Anda di halaman 1dari 9

PENGOBATAN PADA PASIEN PENYAKIT DISPEPSI

INSTALASI RAWAT INAP DIRUMAH SAKIT X PERIODE


X

Laila Dwi Anggraini

151650061

5A DIII FARMASI

PENULISAN ILMIAH

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN (STIKes) KHARISMA PERSADA DIII FARMASI

Jl. Padjajaran Pamulang Barat, Tangerang Selatan

2017
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dispepsia adalah kumpulan gejala atau sindrom yang terdiri dari nyeri atau rasa
tidak nyaman di epigastrium, mual, muntah, kembung, cepat kenyang, rasa perut penuh,
sendawa, regurgitasi, dan rasa panas yang menjalar di dada. Berdasarkan pendapat para
ahli bahwa 15-30% orang dewasa pernah mengalami dispepsia (Djojoningrat, 2009).
Di Amerika Serikat, 25% dari seluruh penduduknya terkena sindrom dispepsia
(tidak termasuk keluhan refluks) dimana hanya 5% dari jumlah penderita tersebut pergi
ke dokter pelayanan primer. Di Inggris terdapat 21% penderita terkena dispepsia dimana
hanya 2% dari penderita yang berkonsultasi ke dokter pelayanan primer. Dari seluruh
penderita yang datang ke dokter pelayanan primer, hanya 40% di antaranya dirujuk ke
dokter spesialis (Wong et al., 2002). Berdasarkan data tersebut bahwa 95% penderita di
Amerika Serikat membiarkannya saja bahkan 98% penderita di Inggris tidak pergi ke
dokter. Pembiaran atau pengabaian pada kejadian sindrom dispepsia terjadi mungkin saja
karena mereka menganggap bahwa hal tersebut hanyalah hal ringan yang tidak
berbahaya; atau bisa saja pembiaran tersebut terjadi karena tingkat 2
Di Indonesia diperkirakan hampir 30% pasien yang datang ke praktik umum
adalah pasien yang keluhannya berkaitan dengan kasus dispepsia. Pasien yang datang
berobat ke praktik gastroenterologist terdapat sebesar 60% dengan keluhan dispepsia
(Djojoningrat, 2009). Berdasarkan data tersebut ternyata pasien yang mengalami sindrom
dispepsia cukup tinggi di Indonesia. Depkes (2004) mengenai profil kesehatan tahun
2010 menyatakan bahwa dispepsia menempati urutan ke-5 dari 10 besar penyakit dengan
pasien yang dirawat inap dan urutan ke-6 untuk pasien yang dirawat jalan.
Berdasarkan data kunjungan di klinik gastroenterologist didapatkan sekitar 20-
40% orang dewasa mengalami dispepsia, sedangkan di klinik umum hanya sebesar 2-5%.
Beragamnya angka kunjungan ini disebabkan oleh perbedaan persepsi tentang definisi
dispepsia (Rani, 2011).
Sindrom dispepsia dapat disebabkan oleh banyak hal. Menurut Djojoningrat
(2009), penyebab timbulnya dispepsia diantaranya karena faktor diet dan lingkungan,
sekresi cairan asam lambung, fungsi motorik lambung, persepsi viseral lambung,
psikologi, dan infeksi Helicobacter pylori.3
Penelitian yang dilakukan Reshetnikov (2007) tentang gejala gastrointestinal
menyatakan bahwa faktor diet pada sindrom dispepsia berkaitan dengan ketidakteraturan
pada pola makan dan jeda antara jadwal makan yang lama. Ketidakteraturan pola makan
sangat dipengaruhi oleh aktivitas dan kegiatan yang padat (Sayogo, 2006).
Ketidakteraturan pola makan juga dipengaruhi oleh keinginan untuk mempunyai bentuk
tubuh yang ideal. Selain itu, ketidakteraturan pola makan dipengaruhi oleh melemahnya
pengawasan dari orang tua padahal orang tua menjadi penjaga pintu (gatekeeper) dimana
memiliki peran dalam mengatur pola makan (Robert, 2000)
Remaja adalah salah satu suatu kelompok yang berisiko untuk terkena sindrom
dispepsia (Djojoningrat, 2009). Menurut Monks (2000), remaja adalah masa peralihan
dari anak-anak ke masa dewasa yang memiliki usia antara 12-21 tahun termasuk
mahasiswa. Pada mahasiswa khususnya mahasiswa perempuan, pertumbuhan dan
perkembangan yang terjadi pada bentuk tubuh yang dimiliki oleh mahasiswa serta
kesadaran diri dalam menjaga penampilannya membuat mahasiswa memiliki gambaran
tentang diri (body image) yang salah (Heinberg & Thompson, 2009).
Selain hal tersebut di atas, kegiatan mahasiswa dalam mengerjakan berbagai
macam tugas kuliah sangat menyita waktu. Kesibukan dari mahasiswa akan hal tersebut
akan berdampak pada waktu atau jam makan sehingga walaupun sudah sampai pada
saatnya waktu makan, mahasiswa sering menunda dan bahkan lupa untuk makan
(Arisman, 2008).

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan dalam latar belakang, maka dirumuskan
masalah yaitu Bagaimana Pola Pengobatan pada pasien penyakit dispepsi instalasi rawat
inap dirumah sakit x periode x?.
C. Tujuan Penulisan
1. Tujuan Umum
Tujuan Umum penelitian ini adalah untuk mengetahui pola pengobatan pada
pasien penyakit dyspepsia instalasi rawat inap dirumah sakit x periode x.
2. Tujuan Khusus
(a) Untuk mengetahui gambaran karakteristik pasien (Umur dan Jenis Kelamin)
(b) Untuk mengetahui gambaran penggunaan dan pemberioan obat pada pasien
penyakit Dispepsia.
(c) Untuk mengetahui Kerasionalan Obat pada pasien Penyakit Dispepsia yang
melitupi ketepan indikasi, ketepetan obat, ketepatan dosis dan ketepatan
pasien.
D. Manfaat
1. Dapat mengetahui wawsan penelitian mengenai penyakit dispepsia.
2. Dengan adanya hasil penelitian ini diharapkan dapat meberiakan informasi
kepada tenaga kesehatan khususnya tenaga kesehatan farmasi agar dapat
dijadikan pedoman dalam pelayanan pemberian obat yang rasional dalam
pengobatan penyakit dyspepsia.
3. Dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada
masyarakat tentang penggunaan obat yang baik pada pengobatan penyakit
dispepsia.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Teori
1. Dispepsia Akut
a. Definisi Dispepsia
Dispepsia merupakan kumpulan keluhan/gejala klinis yang
terdiri dari rasa tidak enak /sakit perut bagian atas yang menetap atau
mengalami kekambuhan keluhan refluks gastroesofagus klasik berupa
rasa panas di dada (Heartburn) dan regurgitasi asam lambung kini
tidak lagi termasuk dispepsia (Mansjoer A edisi III, 2000) batasan
dyspepsia terbagi atas dua yaitu
1. Dispepsia organic, bila telah diketahui adanya kelainan
organik sebagai penyebabnya
2. Dispepsia non organik, atau dispepsia fungsional, atau
dispepsia non ulkus (DNU), bila tidak jelas penyebabnya
Dyspepsia merupakan nyeri atau rasa tidak enak pada abdomen
bagian atas dan dada bagian bawah sering disertai rasa perih di ulu hati
(heart-burn), mual reguritasi dan flatulensi. (Rudi Haryono, 2012)
Dispepsia adalah keluhan yang diasosiasikan sebagai akibat dari
kelainan saluran makanan bagian atas yang berupa nyeri perut bagian
atas, perih, mual, yang kadang- kadang disertai rasa panas di dada dan
perut, lekas kenyang, anoreksia, kembung, regurgitasi, banyak
mengeluarkan gas asam dari mulut (Hadi, 2009).
Dispepsia adalah suatu gejala yang ditandai dengan nyeri ulu
hati, rasa mual dan kembung. Gejala ini biasa berhubungan/ tidak ada
hubungan dengan makan.

b. Patogenesis dan Patofisiologis


1. Dispepsia organik
Dispepsia organik adalah dispepsia yang telah diketahui adanya
kelainan organik sebagai penyebabnya. Dispepsia organik jarang
ditemukan pada usia muda, tetapi banyak ditemukan pada usia lebih
dari 40 tahun. Dispepsia organik dapat disebabkan karena:

i. Dispepsia Tukak
Keluhan penderita yang sering dirasakan adalah nyeri
uluhati. Berkurang atau bertambahnya nyeri berhubungan
dengan adanya makanan. Hanya dengan pemeriksaan
endoskopi dan radiologi dapat menentukan adanya tukak
lambung atau duodenum
ii. Refluks gastroesofageal
Gejala yang klasik dari refluks gastroesofageal, yaitu rasa
panas di dada dan regurgitasi asam terutama setelah makan.
iii. Ulkus peptikum/duodenum
Ulkus peptik dapat terjadi di esophagus, lambung,
duodenum atau pada divertikulum meckel ileum. Ulkus
peptikum timbul akibat kerja getah lambung yang asam
terhadap epitel yang rentan. Penyebab yang tepat masih belum
dapat dipastikan.
iv. Penyakit saluran empedu
Sindroma dispepsia ini biasa ditemukan pada penyakit
saluran empedu. Rasa nyeri dimulai dari perut kanan atas atau
di ulu hati yang menjalar ke punggung dan bahu kanan.
v. Karsinoma
Karsinoma dari saluran makan (esophagus, lambung,
pancreas dan kolon) sering menimbulkan keluhan sindrom
dispepsia. Keluhan yang sering diajukan yaitu rasa nyeri perut.
Keluhan bertambah berkaitan dengan makanan, anoreksia dan
berat badan menurun.
vi. Pankreatitis
Rasa nyeri timbul mendadak yang menjalar ke punggung.
Perut terasa makin tegang dan kembung.
vii. Dispepsia pada sindrom malabsorbsi
Pada penderita ini di samping mempunyai keluhan rasa
nyeri perut, nausea, sering flatus, kembung, keluhan utama
lainnya ialah timbulnya diare yang berlendir.
viii. Dispepsia akibat obat-obatan
Banyak macam obat yang dapat menimbulkan rasa sakit
atau tidak enak di daerah ulu hati tanpa atau disertai rasa mual
dan muntah, misalnya obat golongan NSAIDs, teofilin,
digitalis, antibiotik oral (terutama ampisilin, eritromisin dan
lain-lain).
2) Dispepsia non-organik (fungsional)
Dispepsia fungsional dapat dijelaskan sebagai keluhan dispepsia
yang telah berlangsung dalam beberapa minggu tanpa didapatkan kelainan
atau gangguan struktural/organik/metabolik berdasarkan pemeriksaan
klinik, laboratorium, radiology dan endoskopi. Bisanya dispepsia non-
organik merupakan dispepsia yang terjadi pada anak. Dalam konsensus
Roma II, dispepsia fungsional didefinisikan sebagai dispepsia yang
berlangsung sebagai berikut : sedikitnya terjadi dalam 12 minggu, tidak
harus berurutan dalam rentang waktu 12 minggu terakhir, terus menerus
atau kambuh (perasaan sakit atau ketidaknyamanan) yang berpusat di
perut bagian atas dan tidak ditemukan atau bukan kelainan organik (pada
pemeriksaan endoskopi) yang mungkin menerangkan gejala-gejalanya.

c. Penyebab Penyakit Dispepsia


Penyebab dari dispepsia antara lain menelan udara (aerofagi),
regurgitasi (alir balik, refluks) asam dari lambung, iritasi lambung
(gastritis), ulkus gastrikum atau ulkus duodenalis, kanker lambung,
peradangan kandung empedu (kolesistitis), intoleransi laktosa
(ketidakmampuan mencerna susu dan produknya, kelainan gerakan
usus, kecemasan atau depresi, perubahan pola makan dan pengaruh
obat- obatan yang dimakan secara berlebihan dan dalam waktu yg
lama, alcohol nikotin rokok.

d. Gejala Dispepsia
1. Nyeri perut (abdominal discomfort)
2. Rasa perih di ulu hati
3. Mual. Kadang-kadang sampai muntah
4. Nafsu makan berkurang
5. Rasa lekas kenyang
6. Perut kembung
7. Rasa panas di dada dan perut
8. Reguritasi (keluar cairan lambung secara tiba-tiba) (Manifestasi
Klinik (Rudi Haryono, 2012)

e. Pengobatan Dispepsia
2. Kerasionalan Pengobatan
Pemberian obat yang rasional adalah pemberian obat yang mengacu tepat
pasien,tepat indikasi, tepat obat, tepat dosis dan waspada efek samping obat.
Pemilihan oabta yang tepat yaitu : efektif, aman dan dapat diteriman dari segi
mutu dan biaya serta diresepkan pada waktu ynag tepat, dosis yang benar, cara
pemakain yang tepat dan dalam jangka waktu yang benar (Sadikkin,2011)
Menurut BPOM (2008), penggunaan obat yang tdak tepat, tidak efektif,
tidak aman, dan juga tidak ekonomis atau tidak rasional, saat ini telah menjadi
masalah tersendiri dalam pelayanan kesehatan, baik dinegara maju maupun di
Negara berkembang.
Kreteria penggunaan obat rasional menurut DepKes RI 2008 adalah
sebagai berikut :
a. Tepat Indikasi penyakit
Obat yang diberikan harus tepat bagi suatu indikasi penyakit
b. Tepat Obat
Obat yang dipilih harus memiliki efek terapi sesuia dengan penyakit.
Pilihan obat yang kurang tepat dapat diidentifikasikan dengan melihat
masalah kesehatan. Dimana obat yng digunakan tidak efektif untuk
indikasi yang telah diketahui.
c. Tepat Dosis
Tepat dosis apabila satu dari empat hal ini tidak dipenuhi, maka efek
terapi tidak akan tercapai.
1) Tepat Jumlah
Jumah obat yang diberikan harus dalam jumlah cukup.
2) Tepat Interval Waktu Pemberian Cara Pemberian Obat
Cara pemberian obat yang tepat hendaknya dibuat sederhana mungkin
dan praktis agar mudah ditaati oleh pasien, makin sering frekuensi
pemberian obat perhari (misalnya 4x sekali)makin rendah tingkat
ketaatan minum obat. Obat yang harus diminum 3x sehari harus
diartikan bahwa obat tersebut harus diminum dengan interval setiap 8
jam.
3) Tepat Lama Pemberian
Lama pemberian obat harus tepat sesuia dengan penyakitya masing-
masing. Seperti untuk penyakit Tuberkulosis, lama pemberian obat
minimal 6 bulan.
d. Tepat Pasien
Penggunaan obat disesuaikan dengan kondisi pasien, antara lain harus
memperhatikan : kontra indikasi obat, komplikasi, menyusui, lanjut
usia atau bayi.
e. Waspada Efeek Samping
Pemberian obat yang potensial menimbulkan efek samping, yaitu efek
yang tidak diinginkan yang timbul pada penderita obat dengan dosis
terapi.

Anda mungkin juga menyukai