Anda di halaman 1dari 21

A.

DEFINISI
Stroke adalah suatu sindrom klinis yang awal timbulnya mendadak, progresif cepat, ber
upa defisit neurologis fokal dan atau global, yang berlangsung 24 jam atau lebih atau langsung
menimbulkan kematian, dan sematamata disebabkan oleh gangguan peredaran darah otak non
traumatik. Bila gangguan peredaran darah otak ini berlangsung sementara, beberapa detik hin
gga beberapa jam (kebanyakan 1020 menit) tapi kurang dari 24 jam disebut sebagai serangan i
skemia otak sepintas (TIA: Transient Ischaemia Attack) (Mansjoer, 2000)
B. KLASIFIKASI
a. Stroke hemoragik
Merupakan pendarahan serebri dan mungkin pendarahan subarakhnoid. Disebabkan oleh
pecahnya pembuluh darah otak pada daerah otak tertentu. Biasanya kejadiannya saat
melakukan aktivitas atau saat aktif, namun bisa juga terjadi saat istirahat. Kesadaran klien
umumnya menurun (Arif Muttaqin, 2008).
Stroke hemoragik adalah disfungsi neurologis vocal yang akut dan disebabkan oleh
pendarahan primer subtansi otak yang terjadi secara spontan bukan oleh karena trauma kapitis,
disebabkan oleh karena pecahnya pembuluh arteri , vena dan kapiler. Pendarahan otak dibagi
dua yaitu (Arif Muttaqin, 2008):
1. Pendarahan intraserebri (PIS)
Pecahnya pembuluh darah (mikroaneurisma) terutama karena hipertensi mengakibatkan
darah masuk kedalam jaringan otak, membentuk massa yang menekan jaringan otak dan
menimbulkan edema otak. Peningkatan TIK yang terjadi cepat, dapat mengakibatkan kematian
mendadak karena heniasi otak. Pendarahan intraserebri yang disebabkan hipertensi sering
dijumpai di daerah putamen, talamus, pons, dan serebellum.
2. Pendarahan subrakhnoid (PSA)
pendarahan ini berasal dari pecahnya aneurisma. Aneurisma yang pecah ini berasal dari
pembuluh darah sirkulasi willisi dan cabang-cabangnya yang terdapat diluar parenkim otak.
Pecahnya arteri dan keluarnya ke ruang subarakhnoid menyebabkan TIK meningkat mendadak,
merenggangnya struktur peka nyeri, dan vasospasme pembuluh darah serebri yang berakibat
disfungsi otak global (nyeri kepala, penurunan kesadaran) maupun fokal (hemiparese,
gangguan hemisensorik, afasia, dan lainnya).
Pecahnya arteri dan keluarnya darah keruang subarakhnoid mengakibatkan terjadinya
peningkatan TIK yang mendadak, merenggangnya struktur peka nyeri, sehingga timbul kepala
nyeri hebat. Sering juga dijumpai kaku kuduk dan tanda-tanda merangsang selaput otak
lainnya. Peningkatan TIK yang mendadak juga mengakibatkan pendarahan subhialoid pada
retina dan penurunan kesadaran. Perdarahan subarakhnoid dapat mengakibatkan vasospasme
pembuluh darah serebri. Vasospasme ini dapat mengakibatkan arteri di ruang subbarakhnoid.
Vasospasme ini dapat mengakibatkan disfungsi otak global (nyeri kepala, penurunan
kesadaran) maupun fokal ( hemiparese, gangguan hemisensorik, afasia dan lainnya). Otak
dapat berfungsi jika kebutuhan oksigen dan glukosa otak dapat terpenuhi. energi yang di
hasilkan di dalam sel saraf hampir seluruhnya melalui proses oksidasi. Otak tidak mempunyai
cadangan oksigen sehingga jika ada kerusakan atau kekurangan aliran darah otak walau
sebentar akan menyebabkan gangguan fungsi. Demikian pula dengan kebutuhan glukosa
sebagai bahan bakar metabolisme otak, tidak boleh kurang dari 20 mg% karena akan
menimbulkan koma pada saat otak hipoksia, tubuh berusaha memenuhi oksigen melalui proses
metabolik anaerob, yang dapat menyebabkan dilatasi pembuluh darah otak.
3. Pendarahan subdural
Pendarahan subdural adalah perdarahan yg terjadi akibat robeknya vena jembatan (bridging
veins) yg menghubungkan vena di permukaan otak dan sinus venosus di dalam durameter atau
karena robeknya arakniodea. Peda penderita perdarahan subdural akakn di jumpai gejala: nyeri
kepala, ketajaman penglihatan menurun akibat edema papil yg terjadi, tanda-tanda deficit
neurologik daerah otak yg tertekan. Gejala ini timbul berminggu-minggu, berbulan-bulan stelah
terjadi trauma kepala.
b. Stroke non hemoragik
Dapat berupa iskemia, emboli, spasme ataupun thrombus pembuluh darah otak.
Umumnya terjadi setelah beristirahat cukup lama atau angun tidur. Tidak terjadi perdarahan,
kesadaran umumnya baik dan terjadi proses edema otak oleh karena hipoksia jaringan otak.
Stroke non hemoragik dapat juga diklasifikasikan berdasarkan perjalanan penyakitnya, yaitu:
1. TIAS (Trans Ischemic Attack)
Yaitu gangguan neurologist sesaat, beberapa menit atau beberapa jam saja dan gejala
akan hilang sempurna dalam waktu kurang dari 24 jam.
2. Rind (Reversible Ischemic Neurologis Defict)
Gangguan neurologist setempat yang akan hilang secara sempurna dalam waktu 1
minggu dan maksimal 3 minggu..
3. stroke in Evolution
Stroke yang terjadi masih terus berkembang dimana gangguan yang muncul semakin
berat dan bertambah buruk. Proses ini biasanya berjalan dalam beberapa jam atau beberapa
hari.
4. Complete Stroke
Gangguan neurologist yang timbul bersifat menetap atau permanent.
(Sumber : Mahar Mardjono dan Priguna Sidharta)

Menurut perjalanan penyakit atau stadiumnya:


TIA ( Trans Iskemik Attack) gangguan neurologis setempat yang terjadi selama
beberapa menit sampai beberapa jam saja. Gejala yang timbul akan hilang dengan
spontan dan sempurna dalam waktu kurang dari 24 jam.
Stroke involusi: stroke yang terjadi masih terus berkembang dimana gangguan
neurologis terlihat semakin berat dan bertambah buruk. Proses dapat berjalan 24 jam
atau beberapa hari.
Stroke komplit: dimana gangguan neurologi yang timbul sudah menetap atau permanen
. Sesuai dengan istilahnya stroke komplit dapat diawali oleh serangan TIA berulang.

Tabel 1.Perbedaan stroke hemoragikdan non hemoragik.


Stroke Hemoragik Stroke non hemoragik
Awitan Hiperakut Subakut
Kesadaran Koma Baik
Tensirendah Hipertensi Normotensi
Muntah Ada Tidakada
Kakukuduk Ada Tidakada
Likour Berdarah Normal
CT scan Hiperdens Hipodens
Frekuensi Pertama kali Beberapa kali

C. ETIOLOGI
Menurut Kusuma, H. & Nurarif, A. H. (2012) penyebab stroke antara lain
a. Trombosis
Bekuan darah dalam pembuluh darah otak atau leher : Ateriosklerosis serebral
b. Embolisme serebral
Bekuan darah atau material lain yang dibawa ke otak dari bagian tubuh yang
lain : endokarditis, penyakit jantung reumatik, infeksi polmonal
c. Iskemia
Penurunan aliran darah ke otak : konstriksi ateroma pada arteri
d. Hemoragi serebral
Pecahnya pembuluh darah serebral dengan perdarahan kedalam jaringan otak
atau ruang sekitar otak

Menurut Setyopranoto, I (2011) penyebab stroke antara lain :


1. Infark
Stroke infarct terjadi akibat kurangnya aliran darah ke otak. Aliran darah ke
otak normalnya adalah 58 mL/100 gram jaringan otak per menit; jika turun
hingga 18 mL/100 gram jaringan otak per menit, aktivitas listrik neuron akan
terhenti meskipun struktur sel masih baik, sehingga gejala klinis masih
reversibel. Jika aliran darah ke otak turun sampai <10 mL/100 gram jaringan
otak per menit, akan terjadi rangkaian perubahan biokimiawi sel dan
membran yang ireversibel membentuk daerah infark.
2. Perdarahan Intraserebral
Kira-kira 10% stroke disebabkan oleh perdarahan intraserebral. Hipertensi,
khususnya yang tidak terkontrol, merupakan penyebab utama. Penyebab
lain adalah pecahnya aneurisma, malformasi arterivena, angioma
kavernosa, alkoholisme, diskrasia darah, terapi antikoagulan, dan angiopati
amiloid.
3. Perdarahan Subaraknoid
Sebagian besar kasus disebabkan oleh pecahnya aneurisma pada
percabangan arteri-arteri besar. Penyebab lain adalah malformasi arterivena
atau tumor.
D. FAKTOR RESIKO
Menurut Israr (2008), secara garis besar faktor risiko stroke dibagi atas faktor risiko yang
dapat dimodifikasi (modifiable) dan yang tidak dapat dimodifikasi (nonmodifiable). Faktor risiko
stroke yang dapat dimodifikasi diantaranya adalah hipertensi, penyakit jantung (fibrilasi atrium),
diabetes melitus, merokok, konsumsi alkohol, hiperlipidemia, kurang aktifitas, dan stenosis
arteri karotis. Sedangkan faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi antara lain usia, jenis
kelamin, ras/suku, dan faktor genetik.
Menurut Ahmad Muhlisin Kondisi medis atau penyakit yang dapat menyebabkan stroke yaitu
1. Tekanan darah tinggi.
Tekanan darah tinggi, juga disebut hipertensi, dapat sangat meningkatkan risiko
stroke. Hal ini disebabkan karena tekanan darah yang terlalu tinggi dapat membuat
pembuluh darah di otak menjadi pecah lalu terjadilah stroke (stroke hemoragik).
Merokok, makananan yang mengadung tinggi garam, dan minum alkohol terlalu
banyak semua dapat meningkatkan tekanan darah.
2. Kolesterol Tinggi.
Kolesterol tinggi dapat menjadi faktor risiko stroke, karena kolesterol tinggi dalam
darah dapat membangun timbunan lemak (plak) pada dinding pembuluh darah.
Deposit lemak (plak) tersebut dapat memblokir aliran darah ke otak, menyebabkan
stroke (stroke iskemik).
3. Penyakit jantung.
Gangguan jantung dapat meningkatkan risiko stroke. Misalnya, penyakit jantung
koroner (CAD) meningkatkan resiko stroke. Kondisi jantung lainnya, seperti cacat
katup jantung, denyut jantung tidak teratur (termasuk fibrilasi atrium), dan bilik
jantung membesar, dapat membentuk penggumpalan darah yang dapat menyumbat
pembuluh darah di otak lalu menyebabkan stroke.
4. Diabetes.
Memiliki penyakt diabetes atau kencing manis dapat meningkatkan resiko stroke
dan bisa membuat stroke menjadi semakin parah. Diabetes adalah suatu kondisi
yang menyebabkan gula darah tinggi yang seharusnya gula tersebut masuk ke
dalam sel-sel tubuh. Gula darah yang tinggi (diabetes) cenderung terjadi bersamaan
dengan tekanan darah tinggi dan kolesterol tinggi yang semuanya meningkatkan
risiko stroke.
5. Kegemukan dan obesitas.
Kelebihan berat badan atau obesitas dapat meningkatkan kadar kolesterol total,
meningkatkan tekanan darah, dan menjadi faktor resiko tejadinya diabetes.
6. Serangan stroke sebelumnya atau transient ischemic (TIA).
Jika Anda pernah mengalami stroke sebelumnya atau TIA (mini-stroke, atau stroke
ringan) ada kemungkinan besar bahwa Anda bisa mengalami stroke di kemudian
hari.
7. Penyakit sel sabit.
Penyakit sel sabit merupakan kelainan darah yang berhubungan dengan stroke
iskemik, dan terutama mempengaruhi anak-anak Afrika-Amerika dan Hispanik.
Stroke dapat terjadi jika sel-sel sabit terjebak dalam pembuluh darah dan
menyumbat aliran darah ke otak. Sekitar 10% dari anak-anak dengan penyakit sel
sabit akan memiliki stroke.
8. Faktor Perilaku atau gaya hidup/kebiasaan buruk yang dapat menyebabkan stroke
a. Merokok
Merokok diyakini menjadi resiko stroke karena dapat melukai pembuluh darah
dan mempercepat pengerasan arteri. Karbon monoksida dalam asap rokok
mengurangi jumlah oksigen dalam darah. Asap rokok dapat meningkatkan risiko
stroke dibandingkan orang yang tidak merokok.
b. Minum Alkohol
Minum terlalu banyak alkohol dapat meningkatkan tekanan darah, yang
meningkatkan risiko stroke. Hal ini juga meningkatkan kadar trigliserida, suatu
bentuk kolesterol, yang bisa mengeras pada arteri.
c. Kurang Aktifitas Fisik
Kurang Aktifitas Fisik atau olahraga dapat meningkatkan berat badan, yang
dapat menyebabkan peningkatan tekanan darah dan kadar kolesterol.
Ketidakaktifan juga merupakan faktor risiko untuk diabetes, yang semuanya
merupakan faktor resiko stroke.

Semua faktor resiko di atas masih dapat dikendalikan, namun ada juga faktor resiko
stroke yang tidak dapat diubah atau dikendalikan. Faktor Resiko stroke yang tak dapat
diubah yaitu :
1. Riwayat keluarga.
Memiliki riwayat keluarga stroke meningkatkan kemungkinan seseorang terserang
stroke.
2. Usia dan jenis kelamin.
Semakin tua Anda, semakin besar kemungkinan Anda untuk mengalami stroke.
Untuk usia 65 dan lebih tua, laki-laki berada pada risiko yang lebih besar daripada
wanita.
G. MANIFESTASI KLINIS
Gejala Stroke Non Hemoragik
Gejala stroke non hemoragik yang timbul akibat gangguan peredaran darah di otak
bergantung pada berat ringannya gangguan pembuluh darah dan lokasi tempat gangguan
peredaran darah terjadi, maka gejala-gejala tersebut adalah:
a. Gejala akibat penyumbatan arteri karotis interna.
Buta mendadak (amaurosis fugaks).
Ketidakmampuan untuk berbicara atau mengerti bahasa lisan (disfasia) bila
gangguan terletak pada sisi dominan.
Kelumpuhan pada sisi tubuh yang berlawanan (hemiparesis kontralateral) dan dapat
disertai sindrom Horner pada sisi sumbatan.
b. Gejala akibat penyumbatan arteri serebri anterior.
Hemiparesis kontralateral dengan kelumpuhan tungkai lebih menonjol.
Gangguan mental.
Gangguan sensibilitas pada tungkai yang lumpuh.
Ketidakmampuan dalam mengendalikan buang air.
Bisa terjadi kejang-kejang.
c. Gejala akibat penyumbatan arteri serebri media.
Bila sumbatan di pangkal arteri, terjadi kelumpuhan yang lebih ringan. Bila tidak di
pangkal maka lengan lebih menonjol.
Gangguan saraf perasa pada satu sisi tubuh.
Hilangnya kemampuan dalam berbahasa (aphasia).
d. Gejala akibat penyumbatan sistem vertebrobasilar.
Kelumpuhan di satu sampai keempat ekstremitas.
Meningkatnya refleks tendon.
Gangguan dalam koordinasi gerakan tubuh.
Gejala-gejala sereblum seperti gemetar pada tangan (tremor), kepala berputar
(vertigo).
Ketidakmampuan untuk menelan (disfagia).
Gangguan motoris pada lidah, mulut, rahang dan pita suara sehingga pasien sulit
bicara (disatria).
Kehilangan kesadaran sepintas (sinkop), penurunan kesadaran secara lengkap
(strupor), koma, pusing, gangguan daya ingat, kehilangan daya ingat terhadap
lingkungan (disorientasi).
Gangguan penglihatan, sepert penglihatan ganda (diplopia), gerakan arah bola mata
yang tidak dikehendaki (nistagmus), penurunan kelopak mata (ptosis), kurangnya
daya gerak mata, kebutaan setengah lapang pandang pada belahan kanan atau kiri
kedua mata (hemianopia homonim).
Gangguan pendengaran.
Rasa kaku di wajah, mulut atau lidah.
e. Gejala akibat penyumbatan arteri serebri posterior
Koma
Hemiparesis kontra lateral.
Ketidakmampuan membaca (aleksia).
Kelumpuhan saraf kranialis ketiga.
f. Gejala akibat gangguan fungsi luhur
Aphasia yaitu hilangnya kemampuan dalam berbahasa. Aphasia dibagi dua yaitu,
Aphasia motorik adalah ketidakmampuan untuk berbicara, mengeluarkan isi pikiran
melalui perkataannya sendiri, sementara kemampuannya untuk mengerti bicara
orang lain tetap baik. Aphasia sensorik adalah ketidakmampuan untuk mengerti
pembicaraan orang lain,namun masih mampu mengeluarkan perkataan dengan
lancar, walau sebagian diantaranya tidak memiliki arti, tergantung dari luasnya
kerusakan otak.
Alexia adalah hilangnya kemampuan membaca karena kerusakan otak. Dibedakan
dari Dyslexia (yang memang ada secara kongenital), yaitu Verbal alexia adalah
ketidakmampuan membaca kata, tetapi dapat membaca huruf. Lateral alexia adalah
ketidakmampuan membaca huruf, tetapi masih dapat membaca kata. Jika terjadi
ketidakmampuan keduanya disebut Global alexia.
Agraphia adalah hilangnya kemampuan menulis akibat adanya kerusakan otak.
Acalculia adalah hilangnya kemampuan berhitung dan mengenal angka setelah
terjadinya kerusakan otak.
Right-Left Disorientation & Agnosia jari (Body Image) adalah sejumlah tingkat
kemampuan yang sangat kompleks, seperti penamaan, melakukan gerakan yang
sesuai dengan perintah atau menirukan gerakan-gerakan tertentu. Kelainan ini sering
bersamaan dengan Agnosia jari (dapat dilihat dari disuruh menyebutkan nama jari
yang disentuh sementara penderita tidak boleh melihat jarinya).
Hemi spatial neglect (Viso spatial agnosia) adalah hilangnya kemampuan
melaksanakan bermacam perintah yang berhubungan dengan ruang.
Syndrome Lobus Frontal, ini berhubungan dengan tingkah laku akibat kerusakan
pada kortex motor dan premotor dari hemisphere dominan yang menyebabkan
terjadinya gangguan bicara.
Amnesia adalah gangguan mengingat yang dapat terjadi pada trauma capitis, infeksi
virus, stroke, anoxia dan pasca operasi pengangkatan massa di otak.
Dementia adalah hilangnya fungsi intelektual yang mencakup sejumlah kemampuan.

Gejala Stroke Hemoragik


a. Gejala Perdarahan Intraserebral (PIS)
Gejala yang sering djumpai pada perdarahan intraserebral adalah: nyeri kepala berat,
mual, muntah dan adanya darah di rongga subarakhnoid pada pemeriksaan pungsi lumbal
merupakan gejala penyerta yang khas. Serangan sering kali di siang hari, waktu
beraktivitas dan saat emosi/marah. Kesadaran biasanya menurun dan cepat masuk koma
(65% terjadi kurang dari setengah jam, 23% antara 1/2-2 jam, dan 12% terjadi setelah 3
jam).
b. Gejala Perdarahan Subarakhnoid (PSA)
Pada penderita PSA dijumpai gejala: nyeri kepala yang hebat, nyeri di leher dan
punggung, mual, muntah, fotofobia. Pada pemeriksaan fisik dapat dilakukan dengan
pemeriksaan kaku kuduk, Lasegue dan Kernig untuk mengetahui kondisi rangsangan
selaput otak, jika terasa nyeri maka telah terjadi gangguan pada fungsi saraf. Pada
gangguan fungsi saraf otonom terjadi demam setelah 24 jam. Bila berat, maka terjadi
ulkus pepticum karena pemberian obat antimuntah disertai peningkatan kadar gula darah,
glukosuria, albuminuria, dan perubahan pada EKG.
c. Gejala Perdarahan Subdural
Pada penderita perdarahan subdural akan dijumpai gejala: nyeri kepala, tajam penglihatan
mundur akibat edema papil yang terjadi, tanda-tanda deficit neurologik daerah otak yang
tertekan. Gejala ini timbul berminggu-minggu hingga berbulan-bulan setelah terjadinya
trauma kepala.
H. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
Pemeriksaan penunjang stroke dilakukan dengan cek laboratorium, pemeriksaan
neurokardiologi, dan pemeriksaan radiologi.
Cek Laboraturium
1. Pemeriksaan darah rutin.
2. Pemeriksaan kimia darah lengkap.
a. Gula darah sewaktu.
Stroke akut terjadi hiperglikemia reaktif. Gula darah dapat mencapai 250 mg dalam
serum dan kemudian berangsur angsur kembali turun.
b. Kolesterol, ureum, kreatinin, asam urat, fungsi hati, enzim SGOT/SGPT/CPK, dan
profil lipid (trigliserid, LDH-HDL kolesterol serta total lipid).
3. Pemeriksaan hemostasis (darah lengkap).
a. Waktu protrombin.
b. Kadar fibrinogen.
c. Viskositas plasma.
4. Pemeriksaan tambahan yang dilakukan atas indikasi Homosistein.
Pemeriksaan neurokardiologi
Sebagian kecil penderita stroke terdapat perubahan elektrokardiografi.
Perubahan ini dapat berarti kemungkinan mendapat serangan infark jantung, atau pada
stroke dapat terjadi perubahan perubahan elektrokardiografi sebagai akibat
perdarahan otak yang menyerupai suatu infark miokard. Pemeriksaan khusus atas
indikasi misalnya CK-MB follow upnya akan memastikan diagnosis. Pada pemeriksaan
EKG dan pemeriksaan fisik mengarah kepada kemungkinan adanya potensial source of
cardiac emboli (PSCE) maka pemeriksaan echocardiografi terutama transesofagial
echocardiografi (TEE) dapat diminta untuk visualisasi emboli cardial.
Pemeriksaan radiologi
1. CT-scan otak
Perdarahan intracelebral dapat terlihat segera dan pemeriksaan ini sangat penting
karena perbedaan manajemen perdarahan otak dan infark otak. Pada infark otak,
pemeriksaan CT scan otak mungkin tidak memeperlihatkan gambaran jelas jika
dikerjakan pada hari-hari pertama, bisanya tampak setelah 72 serangan.
Perdarahan/infark di batang otak sangat sulit diidentifikasi, oleh karena itu perlu
dilakukan pemeriksaan MRI untuk memastikan proses patologik di batang otak.
2. Pemeriksaan foto thoraks
- Dapat memperlihatkan keadaan jantung apakah terdapat pembesaran ventrikel kiri
yang merupakan salah satu tanda hipertensi kronis pada penderita stroke dan adakah
kelainan lain pada jantung.
- Dapat mengidentifikasi kelainan paru yang potensial mempengaruhi proses
manajemen dan memperburuk prognosis.
3. Angiografi
Cerebra agiography merupakan suatu tindakan yang ditujukan untuk
memberikan gambaran tentang kondisi pembuluh darah serta aliran darah di daerah
cerebral dengan memanfaatkan x-ray. Tindakan angiography ini dilaksanakan
dengan memasukan kateter kedalam pembuluh darah besar (biasanya melalui arteri
femoralis) dan memasukan zat kontras setelah kateter mencapai arteri karotis
(Brown, 2004).
Cerebral agiography digunakan oleh dokter untuk mendeteksi adanya
abnormalitas pembuluh darah otak dan digunakan pada saat prosedur diagnostic
lain tidak mampu melihat adanya abnormalitas pada pembuluh darah (Sherwood,
2001). Cerebral angiography berguna untuk mendeteksi adanya stroke akut.
Tindakan ini berguna untuk mendeteksi adanya penyempitan ataupun sumbatan
pada pembuluh darah pada daerah cerebral (Smeltzer, 2004).
Pada penderita stroke dilaksanakannya tindakan angiography cerebral
merupakan tindakan yang controversial terutama pada penderita stroke akut.
Masuknya kateter kedalam pembuluh darah juga beresiko menimbulkan stroke.
Stroke dapat timbul jika kateter memecahkan plak yang menempel pada dinding
pembuluh darah. Lepasnya plak dapat menyumbat pembuluh darah di otak dan
dapat mengakibatkan terjadinya gangguan perfusi jaringan cerebral atau stroke
kembali. Untuk itu pemeriksaan status neurologik klien seperti tingkat kesadaran,
fungsi motorik dan respon pupil, sebelum dan setelah tindakan sangat diperlukan
untuk mengetahui adanya perluasan stroke atau adanya deficit neurologist yang
baru (Willinsky, 2003).
Pemasukan kateter pada tindakan angiography cerebral dapat menyebabkan
rusaknya arteri sehingga dapat menimbulkan hematom. Adanya hematom dan
rusaknya pembuluh darah dapat menstimulus rasa nyeri (Willinsky, 2003)..
Pemasukan zat kontras pada pembuluh darah juga dapat menimbulkan
masalah. Jika tubuh menolak maka reaksi antigen-antibodi akan timbul. Histamin
akan dikeluarkan, permeabilitas kapiler akan meningkat, cairan plasma akan pindah
ke interstisial. Manifestasi klinik yang sering terjadi pada reaksi ini adalah urtikaria.
Zat kontras yang dimasukan kedalam pembuluh darah juga dapat memperberat
kerja ginjal dan mencetuskan terjadinya gagal ginjal terutama jika klien mempunyai
riwayat penyakit ginjal (Willinsky, 2003)..
Pelepasan kateter kembali setelah digunakan dapat mencetuskan terjadinya
perdarahan pada klien. Selain itu pemasukan dan pelepasan kateter pada tubuh
dapat menjadi portde entry bagi kuman untuk masuk kedalam tubuh sehingga klien
yang menjalani angiography cerebral berisiko mengalami infeksi (Willinsky, 2003).
I. KOMPLIKASI
Komplikasi medis yang sering menyebabkan kematian dalam bulan pertama setelah
stroke adalah: yang pertama terjadi pembengkakan otak diikuti oleh dislokasi yang
menyebabkan tertekannya pusat-pusat vital diotak yang mengendalikan pernapasan dan
denyut jantung. Kedua, terjadi pneumonia aspirasi yang diakibatkan masuknya makanan atau
cairan kedalam paru oleh karena mengalami disfagia. Ketiga, terjadi bekuan darah di arteri
jantung dan paru. Keempat, terjadi infeksi saluran kemih, infeksi dada, dan infeksi kulit akibat
dekubitus. Kelima, terjadi komplikasi kardiovaskuler seperti gagal jantung (Smeltzer. 2002).
Setelah stroke iskemik atau perdarahan intraserebrum, sel yang mati dan hematom itu
diganti oleh kista yang mengandung cairan serebrospinalis. Pada kondisi ini mungkin pasien
mengalami komplikasi yang dapat menyebabkan kematian atau cacat. Gejala sisa stroke
mencakup komplikasi antara lain: 80% pasien stroke mengalami penurunan parsial atau total
gerakan dan kekuatan lengan atau tungkai di salah satu sisi tubuh, 30% mengalami masalah
komunikasi, 30% mengalami kesulitan menelan (Disfagia), 10% mengalami masalah melihat,
banyak pasien stroke menderita sakit kepala, tanpa pencegahan yang memadai, 10-20%
pasien dapat mengalami dekubitus (Feigin, 2007).
1. Depresi
Penderita stroke umumnya mengalami stress berat atau depresi ketika kembali
dari rumah sakit setelah menjalani perawatan. Hal ini biasanya disebabkan karena rata-
rata penderita stroke tidak sembuh total.
2. Darah beku
Darah beku mudah terbentuk pada jaringan yang lumpuh, terutama pada kaki
sehingga menyebabkan pembengkakan yang mengganggu. Selain itu, pembekuan
darah juga dapat terjadi pada arteri yang mengalirkan darah ke paru-paru (emboli paru-
paru) sehingga penderita sulit bernapas dan dalam beberapa kasus sering mengalami
kematian.
3. Memar (Dekubis)
Jika penderita stroke menjadi lumpuh, penderita harus sering dipindahkan dan
digerakkan secara teratur agar bagian pinggul, pantat, sendi kaki, dan tumit tidak terluka
akibat terhimpit alas tempat tidur. Bila luka-luka tidak dirawat, bisa terjadi infeksi.
Keadaan ini akan menjadi semakin buruk bila penderita dibiarkan terbaring di tempat
tidur yang basah karena keringat.
4. Otot mengerut dan sendi kaku
Kurang gerak akan menyebabkan sendi menjadi kaku dan nyeri. Misalnya, jika
otot-otot betis mengerut, kaki terasa sakit ketika harus berdiri dengan tumit menyentuh
lantai. Hal ini biasanya ditangani dengan fisioterapi.
5. Pneumonia (radang paru-paru)
Ketidakmampuan untuk bergerak setelah mengalami stroke membuat pasien
harus tirah baring dalam waktu yang lama sehingga cairan terkumpul di paru-paru dan
selanjutnya dapat terjadi pneumonia.
6. Nyeri bahu
Otot-otot di sekitar bahu yang mengontrol sendi-sendi bahu akan mudah cedera
pada waktu penderita diganti pakaiannya, diangkat, atau ditolong untuk berdiri. Untuk
mencegahnya, biasanya tangan yang terkulai ditahan dengan sebilah papan atau kain
khusus yang dikaitkan ke pundak atau leher agar bertahan pada posisi yang benar. Bila
menolong pasien stroke untuk berdiri, lakukan dengan cara yang benar agar tidak
membuat otot-otot daerah tersebut terbebani terlalu berat.
Komplikasi stroke perdarahan
Pada stroke perdarahan, darah yang keluar akan menyebabkan peningkatan
tekanan di dalam otak sehingga kerusakan otak akan bertambah parah, bahkan dapat
menyebabkan kematian.
- Terjadinya perdarahan ulang
- Vasospasme/kontraksi pembuluh darah yang menyebabkan iskemik global otak
sehingga dapt terjadi kerusakan otak secara global.
- Edema otak yang dapat menyebabkan terjadinya hernia otak dan menyebabkan
kematian
- Hidrosefalus
J. PENATALAKSANAAN
Menurut George Dewanto (2009), manajemen stroke hemoragik pertama-tama
ditjukan langsung pada penanganan A (Airway), B(Breathing), C(Circulation), D
(Detection of focal neurological deficit).
Terapi Perdarahan Intraserebral
a. Terapi medis
- Jalan napas dan oksigenasi dengan target pCO2 30-35 mmHg
- Control tekanan darah. Penatalaksanaan tekanan darah tinggi sama seperti
pada stroke iskemik dengan syarat : tekanan darah diturunkan bila tekanan
sistolik > 180 mmHg atau tekanan diastolic > 105 mmHg, pada fase akut tekanan
darah tinggi, tekanan darah tidak boleh diturunkan lebih dari 20%.
- Penatalaksanaan peningktan tekana intracranial : tindakan pengobatan pertama
adalah dengan osmoterapi, tapi tidak boleh digunakan sebagai profilaksis.
Manitol 20% 1 g/kg dalam 20 menit, dilanjutkan dengan 0,25-0,5 g/kg/4 jam
dalam 20 menit. Untuk mempertahankan gradient osmotic, furosemid (10 mg
dalam 2-8 jam) dapat diberikan secaraterus-menerus bersama dengan
osmoterapi. Hiperventilasi dengan sasaran pCO2 35 mmHg dan pengaturan
cairan.
b. Terapi pembedahan
Indikasi tindakan pembedahan :
- Pasien dengan perdarahan serebral > 3 cm yang secara neurologis memburuk
atau mengalami kompresi batang otak dan hidrosefalus akibat obstruksi
ventricular.
- Perdarahan intraserebral dengan lesi structural seperti aneurisma, malformasi
arteriovena, atau angioma kavernosa dapat diangkat jika keadaan pasien stabil.
- Pasien usia muda dengan perdarahan lobus yang sedang atau besar yang
secara klinis memburuk.
Indikasi terapi konservatif dengan medikamentosa :
- Pasien dengan perdarahan kecil (<10 cm3) atau deficit neurologi yang minimal.
- Pasien dengan GCS 4 , kecuali dengan perdarahan serebral disertai kompresi
batang otak, dapat menjadi kandidat untuk pembedahan darurat dalam situasi
klinis tertentu.
Menurut Slyvia A. Price (2006), stroke adalah suatu kejadian yang berkembang,
karena terjadinya jenjang perubahan metabolic yang menimbulkan kerusakan saraf
dengan lama bervariasi setelah terhentinya aliran darah ke suatu bagian otak. Dengan
demikian, untuk mengurangi morbiditas dan mortalitas perlu dilakukan intervensi secra
cepat. Salah satutugas terpenting dokter sewaktu menghadapidefisit neurologikakut,
fokal, dan nonkonvulsif adalah menentukan apakah kausanya perdarahan atau iskemia-
infark. Terapi darurat untuk kedua tipe stroke tersebut berbeda, karena terapi untuk
pembentukan trombus dapat memicu pendarahan pada CVA hemarogik. Pendekatan
pada terapi darurat memiliki tiga tujuan : (1) mencegah cedera otak akut dengan
memulihkan perfusi ke daerah iskemik noninfark, (2) membalikan cedera saraf sedapat
mungkin, (3) mencegah cedera neurologic lebih lanjut dengan melindungi sel di daerah
penumbra iskemik dari kerusakan lebih lanjut oleh jenjang glutamat.
Terapi yang terbukti efektif dalam memulihkan fungsi otak dan memperkecil
kerusakan neuron setelah stroke iskemik adalah (1) aspirin yang diberikan setelah 48
jam, (2) terapi trombolitik yang diberikan dalam 3 jam, dan (3) perawatan intensif di unit
stroke khusus. Di unit ini, carotid stenting dilaporkan cukup berhasil untuk memulihkan
perfusi ke daerah otak yang terkena pada kasus aterosklerosis dengan trombosis.
Karena storke akut sering berkaitan dengan disfungsi jantung dan aritmia, maka
dilakukan pemantauan EKG saat pasien dimasukkan ke perawatan intensif. Telah
dibuktikan bahwa, pada stroke iskemik atau hemoragik yang sedang sampai besar,
interval QT sering memanjang, suatu temuan yang diketahui berkaitan dengandistrimia
fatal. Dengan demikian, pemberian obat yang meningkatkan interval QT
dikontradiksikan pada pasien dengan storke akut (Afsar, 2001).
Pendekatan dalam penatalaksanaan yang optimal pada pendarahan
intraserebrum masih diperdebatkan. Meluasnya perdarahan secara dini merupakan
penyebab utama kematian dan kecacatan, dan belum ada intervensi yang handal yang
dapat mencegahnya. Setelah periode akut stroke, pasien harus mendapat terapi
antihipertensi jangka panjang.
A. Terapi Medis.
Neuroproteksi
Pada stroke iskemik akut, dalam batas-batas waktu tertentu sebaguan
besar cedera jaringan neuron dapat dipulihkan. Mempertahankan fungsi jaringan
adalah tujuan dari apa yang disebut sebagai strategi neuroprotektif. Hiportemia
adalah terapi neuroprotektif yang sudah lama digunakan pada kasus trauma otak
dan terus diteliti pada stroke. Cara kerja metode ini adalah menurunkan aktivitas
metabolism dan tentu saja kebutuhan oksigen sel-sel neuron. Dengan demikian,
neuron terlindungi dari kerusakan lebih lanjut akibat hipoksia berkepanjangan
atau eksitotoksisitas yang dapat terjadi akibat jenjang glutamat yang biasanya
timbul setelah cedera neuron. The Cleveland Clinic telah meneliti pemakaian
selimut dingin dan mandi air es dalam 8 jam awitan gelaja dan mempertahan
hiportemia ke suhu 89,6 oF selama 12 sampai 72 jam sempentara pasien
mendapat bantuan untuk mempertahankan kehidupan. Selama rehabilitasi,
pasien yang diberi terapi hipotermik cenderung mengalami lebih sedikit
kecacatan (skala Rankin) dan daerah infark yang lebih kecil daripada kelompok
control (Abou-Chebl et al., 2001).
Pendekatan lain untuk mempertahankan jaringan adalah pemakaian obat
neuroprotektif. Banyak riset stroke yang meneliti obat yang dapat menurunkan
metabolism neuron, mencegah pelepasan zat-zat toksik dari neuron yang rusak,
atau memperkecil respons hipereksiratorik yang merusak dari neuron-neuron di
penumbra iskemik yang mengelilingi daerah infark pada stroke. Meningkatnya
pengetahuan tentang patofisiologi cedera sel otak iskemik telah mendorong para
peneliti untuk berfokus pada pengembangan antagonis kalsium, antagonis
glutamat, antioksidan, dan berbagai jenis neuroprotektif lainnya. Tantangan
dalam mengusahakan neuroproteksi pascacedera adalah menemukan obat yang
selektif untuk neuron iskemik, yaitu memiliki indek terapetik (dosis letal dosis
terapetik) yang baik (Salazar, Fulmor, Srinivas, 2000). Berbagai agen telah diuji,
termasuk nitroksida (Leker, et al, 2000)
Suatu obat neuroprotektif yang menjanjikan, serebrolisin (CERE) memiliki
efek pada metabolism kalsium neuron dan juga memperlihatkan efek neurotrofik
(Ladurner, 2001). Saat ini terdapat beragam obat dan senyawa untuk mencegah
dan mengobati secara akut stroke yang berada dalam berbagai tahap
pengembangan. Karena sifat cedera sel otak iskemik yang multidimensi dan
sekuensial, maka kecil kemungkinannya ada satu obat yang akan dapat
melindungi secara total otak selama stroke; kemungkinan besar, diperlukan
kombinasi beberapa obat agar potensi pemulihan dapat diupayakan secara
penuh.
Antikoagulasi
The European Stroke Initiative (2000) merekomendasikan bahwa
antikoagulan oral (INR 2,0 sampai 3,0) diindikasikan pada stroke yang
disebabkan oleh fibrilasi atrium. Diperlukan antikoagulasi dengan derajat yang
lebih tinggi (INR 3,0 sampai 4,0) untuk pasien stroke yang memiliki katup
protestik mekanis. Bagi pasien yang bukan merupakan kandidat untuk terapi
warfarin (Coumadin), maka dapat digunakan aspirin tersendiri atau dalam
kombinasi dengan dipiridamol sebagai terapi antitrombik awal untuk profilaksi
stroke.
Trombolisis Intravena
Satu-satunya obat yang telah disetujui oleh the US Food and Drug
Administration (FDA) untuk terapi stroke iskemik akut adalah activator
plasminogen jaringan (TPA) bentuk rekombinan.Setelah disetujui pada bulan
Juni 1996, TPA dapat dapat digunakan untuk menghindari cedera otak, dan
angka kematian nasional yang telah disesuaikan dengan usia untuk stroke
berkurang 1,1 % sejak tahun 1995 (Peter et al., 1998). Keberhasilan ini
mendorong diintensifkannya upaya-upaya untuk menyuluh masyarakat dan
petuas kesehatan bahwa stroke adalah suatu kedaruratan dan bahwa gejala
stroke akut harus diterapi sama segeranya seperti luka tembak di kepala.
Dengan demikian terapi dengan TPA intravena tetap menjadi standart perawatan
untuk stroke akut dalam 3 jam pertama setelah awitan gejala (Nasional Institute
of Health (NIH), 1995). Namun, hanya 1% sampai 2% pasien saat yang ini
mendapat terapi, biasanya karena mereka datang terlambat ke unit gawat
darurat diluar batas watu 3 jam. Resiko terbesar menggunakan terapi trombolitik
adalah perdarahan intrasebrum. Dengan demikian terapi harus digunakan hanya
bagi pasien yang telah disaring secara cermat dan yang tidak memenuhi satupun
dari criteria eksklusi berikut :
- Gambaran perdarahan intrakranium berupa massa yang membesar CT
- Angiogram yang negatif untuk adanya bekuan
- Peningkatan waktu protombrin atau INR, yang mengisyaratkan
kecenderungan perdarahan
- Adanya pembuluh dan luka yang belum sembuh dari trauma atau
pembedahan yang baru terjadi
- Tekanan darah diastolic yang sangat tinggi; hilangnya autoregulasi adalah
suatu resiko besar
Selain itu, pasien dengan riwayat baru-baru ini pernah menggunakan
kokain atau amvetamin sering disingkirkan karena resiko perdarahan dari
pembuluh otak dibawah tekanan tinggi.
Trombolisis Intraarteri
Pemakaian trombolisis intraarteri untuk pasien dengan stroke iskemik akut
sedang dalam penelitian, walaupun saat ini belum disetujuin oleh FDA (Furland
et al., 1999). Pasien yang beresiko besar mengalami perdarahan akibat terapi ini
adalah mereka yang skor Nasional Institute of Health Stroke Scale (NIHSS)-nya
tinggi, memerlukan waktu yang lebih lama untuk rekanalisasi pembuluh, kadar
glukosa darah yang lebih tinggi, dan hitung trombosit yang rendah (Kidwell et al.,
2001).
Terapi Perfusi
Serupa dengan upaya pemulihan sirkulasi otak pada kasus vasospasme
saat pemulihan dari perdarahan subaraknoid, pernah diusahakan induksi
hipertensi sebagai usaha untuk meningkatkan tekanan darah arteri rata-rata
sehingga perfusi otak dapat meningkat (Hillis et al., 2001).
Pengendalian Edema dan Terapi Medis Umum
Edema otak terjadi pada sebagian besar kasus infark serebrum iskemik,
terutama pada keterlibatan pembuluh-pembuluh besar di daerah arteri serbri
media. Terapi konservatif dengan membuat pasien sedikit dehidrasi, dengan
natrium serum normal atau sedikit meningkat.
B. Terapi Bedah
Dekompresi bedah adalah suatu intervensi drastis yang masih menjalani uji
klinis dan dicadangkan untuk stroke yang paling massive. Pada prosedur ini, salah
satu sisi tengkorak diangkat (suatu hemicraniektomi) sehingga jaringan otak yang
mengalami infark dan edema mengembang tanpa dibatasi oleh struktur tengkorak
yang kaku. Dengan demikian prosedur ini mencegah tekananan dan distorsi pada
jaringan yang masih sehat dan struktur batang otak.
Prosedur bedah yang lebih konservatif secara rutin digunakan pada pasien
dengan CVA. Pemilihan individu yang akan paling memperoleh manfaat dari
pembedahan masih merupakan tugas yang berat. Memperbaiki CBF adalah tujuan
utama intervensi bedah. Endarterektomi karotis (CEA) dilakukan untuk memperbaiki
sirkulasi otak. Pasien yang menjalani tindakan ini sering mengalami masalah lain
yang mempersulit, misalnya hipertensi, diabetes mellitus, dan penyakit cardio
vaskuler yang luas. Prosedur dilakukan dengan pasien dibawah anesthesia umum
sehingga jalan nafas dan ventilasi dapat dikenadilkan dengan baik. Digunakan suatu
pirau temporer untuk meminimalkan iskemia otak. Tekanan darah arteri perlu
dipertahankan normal atau sedikit meninggi agar sirkulasi otak tetap memadai,
karena aliran darah regional para pasien ini berbanding lurus dengan tekanan arteri
siskemik. Prosedur revaskularisasi dilakukan untuk meningkatkan aliran darah
regional ke daerah-daerah tempat sirkulasi terganggu. Revaskularisasi sebenarnya
adalah prosedur profilaktik dan mungkin paling bermanfaat bagi pasien dengan TIA
atau mereka yang berada dalam tahap awal evolusi trombosis. Pasien dengan deficit
neurologic yang sudah menetap tidak memperoleh manfaat dari prosedur ini dan
tidak dianggap sebagai kandidat yang cocok.
Intervensi bedah pada kasus aneurisma diarahkan untuk mencegah
kekambuhan perdarahan. Ligasi arteria karotis komunis di leher adalah tindakan
paling konservatif untuk aneurisme. Prosedur intrakranium, seperti menjepit atau
mengikat leher aneurisma, memerlukan intervensi bedah saraf mayor. Aneurisma
juga dicat dengan perekat fisiologik, yang membentuk suatu katup elastic dan
mencegah pembuluh rupture. Sebelum dilakukan pembedahan, perlu dilakukan
arteriogram. Arteriogram merupakan suatu ancaman serius bagi pasien karena (1)
zat warna, seperti darah bebas, dapat meneybabkan vasospasme karena iritasi, dan
(2) tekanan yang diperlukan untuk memasukkan zat warna dapat menyebabkan
perdarahan di daerah yang baru mengalami rupture. Pasien harus disatabilkan
sebelum dioperasi. Vasospasme harus diatasi atau diperkecil. Untuk mencapai
tujuan ini, pasien disertakan dalam suatu protocol aneurisma, yang mungkin
mencakup prosedur berikut yang disesuaikan dengan masing masing pasien :
- Ruangan dipergelap. Tidak dilakukan pengambilan suhu mellaui rectum, karena
hal ini merangsang saraf vagusdan meningkatkan tekanan darah.
- Pasien diberi fenobarbital intravena untuk mengurangi kemungkinan kejang.
- Pasien diberi deksametakson (Decadron) untuk menimbulkan dieresis.
Deksametakson juga tampaknya melindungi otak dengan menstabilkan
membrane otak dan mengurangi edema otak.
- Pasien diberi penghambat reseptor H2 atau inhibitor pompa proton untuk
mencegah iritasi saluran cerna yang mungkin merupakan efek samping
pemberian deksamatakson.
- Pasien diberi asam aminokaproat (Amicar) untuk mencegah lisis bekuan. Kadar
asam amino kaproat, kadar streptokinase, dan waktu lisis bekuan dipantau
setiap hari.
- Pasien diberi hidralizin hidroklorida (Apresoline) untuk stabilisasi tekanan darah,
apabila tekanan darah sistolik lebih dari 140 mmHg
- Cairan dibatasi berdasarkan osmolalitas serum; mungkin hingga 800 sampai
1200 ml/24 jam.
Dapat dilakukan berbagai prosedur pirau (pirau ventrikuloatrium) apabila
terdapat hidrosefalus obstruktif. Daerah bebas di ruang sub araknoid dapat menyumbat
sirkulasi CBF dan menimbulkan hidrosefalus akut. Saat ini pirau digunakan lebih sering
dibandingkan dahulu dan umumnya telah menggantikan kraniotomi dekompresi yang
dahulu dilakukan untuk mengurangi gejala peningkatan TIK. Riset tentang terapi yang
dapat menyelamatkan jaraingan otak vital yang terganggu selama stroke iskemik atau
hemoragik terus dilanjutkan. Terapi-terapi ini mencakup pemberian obat penyekat
saluran kalsium, inhibitor trombosit, obat trombolitikm pembersihan radikal bebas, dan
hemodilusi.
Menurut Brunner dan Suddarth (2002), pasien yang koma pada saat masuk
rumah sakit dipertimbangkan mempunyai prognosis yang buruk. Sebaliknya, pasein
yang sadar penuh menghadapi hasil yang lebih dapat diharapkan. Fase akut biasanya
berakhir 48 sampai 72 jam. Dengan mempertahankan jalan napas dan ventilasi adekuat
adalh prioritas dalam fase akut ini :
a. Pasien ditempatkan pada posisi lateral atau semi telungkup dengan kepala tempat
tidur agak ditinggikan sampai tekanan vena serebral berkurang.
b. Intubasi endotrakea dan ventilasi mekanik perlu untuk pasien dengan stroke massif,
karena henti pernapasan biasanya factor yang mengancam kehidupan pada situasi
ini.
c. Pasien dipantau untuk adanya komplikasi pulmonal (aspirasi, atelektasis,
pneumonia), yang mungkin berkaitan dengan kehilangan refelk jalan napas,
imobilitas, atau hipoventilasi.
d. Jantung diperiksa untuk abnormalitas dalam ukuran dan irama serta tanda gagal
jantung kongerstif.
Tindakan medis terhadap pasien stroke meliputi diuretic untuk menurunkan
edema serebral, yang mencapai tingkat maksimum 3 sampai 5 hari setelah infark
serebral. Antikoagulan dapat diresepkan untuk mencegah terjadinya atau memberatnya
trombosis atau embolisme dari tempat lain dalam system kardiovaskular. Medikasi anti-
trombosit dapat diresepkan karena trombosit memainkan peran sanagt penting dalam
pembentukan trombus dan embolisasi (Brunner&Suddarth, 2002)
Menurut Wahyo Widadgo, dkk (2008) penatalaksanaan medis pada klien dengan stroke
meliputi:
a. Non pembedahan
- Terapi antikoagulan. Kontraindikasi pemberian terapi antikoagulan pada klien
dengan riwayat ulkus, uremia dan kegagalan hepar. Sodium heparin diberikan
secara subkutan atau melalui IV drip.
- Phenytonin (dilantin) dapat digunakan untuk mencegah kejang
- Enteris-coated, misalnya aspirin dapat digunakan untuk lebih dapat digunakan
untuk menghansurkan trombotik dan embolik.
- Epsilon-aminocaproic acid (Amicar) dapat digunakan untuk stabilkan bekuan di
atas aneurisma yang rupture.
- Calcium channel blocker (nimodipine) dapat diberikan untuk mengatasi
vasospasme pembuluh darah.
b. Pembedahan
- Carotid endarterektomi untuk mengangkat plaque atherosclerosis.
- Superior temporal arteri-middle serebral arteri anastomisis dengan melalui
daerah yang tersumbat dan menetapkan kembali aliran darah pada pembuluh
yang dipengaruhi.

ASUHAN KEPERAWATAN
Pengkajian
Data yang dikumpulkan akan bergantung pada letak, keparahan, durasi patologi.
A. Riwayat kesehatan yang berhubungan dengan faktor resiko, keadaan biopsiko-sosio-
spiritual
B. Aktivitas / istirahat
Gejala : Kesulitan untuk melakukan aktivitas karena 'kelemahan, kehilangan
sensori atau paralisis
Tanda : gangguan tonus otot dan kelemahan umum, gangguan penglihatan,
gangguan tingkat kesadaran
C. Sirkulasi
Gejala : adanya penyakit jantung, polisitemia, riwayat hipotensi postural,
Tanda : Hipertensi, frekuensi nadi bervariasi disritmia
D. Integritas Ego
Gejala : perasaan tidak berdaya, putus asa
Tanda : emosi yang labil, kesulitan untuk mengekspresikan diri
E. Eliminasi
Gejala : perubahan pola berkemih, distensi abdomen
F. Makanan / Cairan
Gejala : nafsu makan hilang, mual muntah, kehilangan sensasi, adanya riwayat
diabetes, peningkatan lemak dalam daraH
Tanda : kesulitan menelan, obesitas
G. Neurosensori
Gejala : pusing, nyeri kepala, penglihatan menurun, gangguan rasa pengecapan
dan penciuman.
Tanda : status mental / tingkat kesadaran : coma ekstremitas lemah, paralise
wajah, aphasia, pendengaran, reflek pupil dilatasi
H. Nyeri / kenyamanan
Gejala : sakit kepala
Tanda : tingkah laku yang tidak stabil, gelisah
I. Pernafasan
Gejala : merokok (faktor risiko)
Tanda : batuk, ketidakmampuan menelan, hambatan jalan nafas, ronki
J. Keamanan
Gejala : gangguan dalam penglihatan perubahan persepsi terhadap orientasi
tempat tubuh, gangguan berespon terhadap panas dan dingin.
K. Interaksi Sosial
Tanda : gangguan dalam berbicara, ketidakmampuan untuk berkomunikasi
L. Penyuluhan
Gejala : adanya riwayat hipertensi pada keluarga, stroke, pemakaian kontrasepsi
Diagnosa dan intervensi keperawatan
1 Perubahan perfusi jaringan
1) Dapat dihubungkan dengan : interupsi aliran darah, vasospasme serebral,
edema serebral
2) Kemungkinan dibuktikan oleh : perubahan tingkat kesadaran, perubahan dalam
respon motorik/sensorik; gelisah, perubahan tanda-tanda vital.
3) Kriteria Evaluasi
- Mempertahankan tingkat kesadaran fungsi kognitif dan motorik / sensori
- Mendemontrasikan tanda-tanda vital stabil.
4) Intervensi keperawatan
(1) kaji faktor-faktor yang berhubungan dengan penyebab terjadinya koma
atau menurunnya perfusi jaringan otak
R/ mempengaruhi intervensi
(2) Catat status neurologis dan bandingkan dengan keadaan normal
R/ mengetahui kecenderungan tingkat kesadaran dan potensial
peningkatan TIK dan mengetahui lokasi luas dan kemajuan kerusakan SSP
(3) Pantau tanda-tanda vital
R/ reaksi mungkin terjadi oleh karena tekanan / trauma serebral pada
daerah vasomotor otak
(4) Evaluasi pupil : ukuran, bentuk, kesamaan dan reaksi terhadap cahaya
R/ reaksi pupil berguna dalam menentukan apakah batang otak
tersebut masih baik. Ukuran dan kesamaan pupil ditentukan oleh
keseimbangan antara persyaratan simpatis dan parasimpatis yang
mempersarafinya
(5) Catat perubahan dalam penglihatan : kebutuhan, gangguan lapang
pandang
R/ gangguan penglihatan yang spesifik mencerminkan daerah otak yang
terkena dan mempengaruhi intervensi yang akan dilakukan
(6) Kaji fungsi bicara jika pasien sadar
R/ perubahan dalam isi kognitif dan bicara merupakan indikator dari lokasi
(7) Letakkan kepala engan posisi agak ditinggikan dan dalam posisi anatomis
R/ menurunkan tekanan arteri dengan meningkatkan drainase dan
meningkatkan sirkulasi
(8) Pertahankan keadaan tirah baring : ciptakan lingkungan yan tenang
R/ aktivitas yang kontinu dapat meningkatkan TIK, istirahat dan ketenangan
diperlukan untuk pencegahan terhadap perdarahan dalam kasus stroke
hemoragik
(9) Cegah terjadinya mengejan saat defekasi dan pernafasan yang memaksa
R/ manuver valsava dapat meningkatkan TIK dan memperbesar risiko
terjadinya perdarahan
(10) Kaji adanya kedutan, kegelisahan yang meningkat, peka rangsang dan
serangan kejang
R/ merupakan indikasi adanya meningeal kejang dapat mencerminkan
adanya peningkatan TIK /trauma serebral yang memerlukan perhatian dan
intervensi selanjutnya.

Kolaborasi
- Beri oksigen sesuai indikasi
- Beri obat sesuai indikasi anti koagulasi, antifibrolitik, antihipertensi
- Pantau pemeriksaan laboratorium sesuai indikasi
2 Kerusakan mobilitas fisik
1) Dapat dihubungkan dengan : keterlibatan neuromuskuler kelemahan, parestesia,
kerusakan perseptual/kognitif
2) Kemungkinan dibuktikan oleh : ketidakmampuan bergerak dengan tujuan dalam
lingkungan fisik, kerusakan koordinasi
3) Kriteria evaluasi
- Mempertahankan posisi optimal dari fungsi yang dibuktikan oleh tak adanya
kontraktur
- Meningkatkan kekuatan dan fungsi bagian tubuh yang terkena
- Mendemonstrasikan teknik yang memungkinkan melakukan aktivitas
- Mempertahankan integritas kulit
4) Intervensi keperawatan
(1) kaji kemampuan pasien dalam melakukan aktifitas secara fungsional /
luasnya kerusakan awal dan dengan cara yang teratur
R/ mengidentifikasi kekuatan dan dapat memberikan informasi mengenai
pemulihan
(2) Ubah posisi pasien etiap 2 jam
R/ menurunkan risiko terjadinya trauma / iskemia jaringan
(3) Letakkan pasien pada posisi telungkup satu kali atau dua kali sehari jika
pasien dapat mentoleransinya
R/ membantu mempertahankan ekstensi pinggul fungsional
(4) Latih pasien untuk melakukan pergerakan ROM atif dan pasif untuk semua
ekstremitas
R/ : Meminimalkan atrofi otot, meningkatkan sirkulasi, membantu
mencegah kontraktur
(5) Gunakan penyangga dengan ketika pasien berada dalam posisi tegak,
sesuai indikasi
R/ : penggunaan penyangga dapat menurunkan resiko terjadinya
subluksasi lengan
(6) Evaluasi penggunaan dari / kebutuhan alat bantu untuk pengaturan posisi
R/ : kontraktur fleksi dapat terjadi akibat dari otot fleksor lebih kuat
dibandingkan dengan otot ekstensor
Tindakan Kolaborasi
- berikan tempat tidur khusus sesuai indikasi
- Konsultasikan dengan ahli fisioterapi secara aktif, latihan resistif, ambulan
pasien
- Berikan obat relaksan otot, antispasmodik, sesuai indikasi

3 Kerusakan komunikasi Verbal


1) Dapat dihubungkan dengan kerusakan sirkulasi serebral, kerusakan
beuromuskuler, kehilanga tonus
2) Kemungkinan dibuktikan oleh kerusakan artikulasi, ketidakmampuan untuk
bicara, ketidakmampuan menghasilkan komunikasi tertulis
3) Kriteria Evaluasi
- Mengindikasikan pemahaman tentang masalah komunikasi
- Membuat metode komunikasi dimana kebutuhan dapat diekspresikan
- menggunakan sumber dengan tepat
4) Intervensi keperawatan
(1) Kaji derajat disfungsi
R/ : membantu menentukan daerah dan derajat kerusakan serebral yang
terjadi dan kesulitan pasien dalam beberapa proses komunikasi
(2) berikan metode komunikasi alternatif
R/ : memberikan komunikasi tentang kebutuhan berdasarkan keadaan
yang mendasarinya
(3) Antisipasi dan penuhi kebutuhan pasien
R/ : bermanfaat dalam menurunkan frustasi bila tergantung pada orang lain
(4) Diskusikan mengenal hal-hal yang dikenal pasien, pekerjaan,, keluarga,
hobi
R/ : meningkatkan percakapan yang bermakna dan memberikan
kesempatan untuk keterampilan praktis
Kolaborasi
- Konsultasikan dengan /rujuk kepada ahli terapi wisata
R/ : pengkajian secara individual kemampuan bicara dan sensori, motorik, dan
kognitif berfungsi untuk mengidentifikasi kekurangan kebutuhan terapi.

4 Perubahan Persepsi Sensori


1) Dapat dihubungkan dengan perubahan persepsi sensori transmisi, integrasi,
stres psikologis.
2) Kemungkinan dibuktikan oleh disorientasi terhadap waktu, tempat, orang,
perubahan dalam pola perilaku, konsentrasi buruk, perubahan pola komunikasi,
inkoordinasi motor.
3) Kriteria evaluasi
- memulai / mempertahankan tingkat kesadaran
- mengakui perubahan dalam kemampuan
4) Intervensi keperawatan
(1) Evaluasi adanya gangguan penglihatan
R/ : munculnya gangguan penglihatan dapat berdampak negatif terhadap
kemampuan pasien untuk menerima lingkungan
(2) Kaji kesadaran sensorik
R/ : penurunan kesadaran terhadap sensorik dan kerusakan perasaan
berpengaruh buruk terhadap keseimbangan posisi tubuh
(3) Berikan stimulasi terhadap rasa suntikan
R/ : membantu melatih kembali jaras sensorik untuk mengintegrasikan
persepsi
(4) Observasi respon perilaku pasien seperti rasa bermusuhan, menangis,
afek tidak sesuai halusinasi
R/ : respon individu dapat bervariasi tetapi umumnya yang terlihat
seperti emosi labil, apatis
(5) Lakukan validasi terhadap persepsi pasien
R/ : membantu pasien untuk mengidentifikasi ketidakkonsistenan dari
persepsi dan integrasi stimulus

5 Kurang perawatan diri


1) Dapat dihubungkan dengan : kerusakan neuromuskuler, penurunan kekuatan
dan ketahanan, kehilangan kontrol, nyeri, depresi
2) Kemungkinan dibuktikan leh : kerusakan kemampuan melakukan ADL
3) Kriteria evaluasi
- mendemonstrasikan teknik untuk memenuhi kebutuhan perawatan diri
- melakukan aktivitas perawatan diri dalam tingkat kemampuan sendiri
- mengidentifikasi sumber pribadi
4) Intervensi Keperawatan
(1) Kaji kemampuan dan tingkat kekurangan untuk melakukan kebutuhan
sehari-hari
R/ : membantu dalam mengantisipasi pemenuhan kebutuhan secara
individual
(2) Pertahankan dukungan sikap, yang tegas , beri pasien waktu ya cukup
untuk mengerjakan tugasnya
R/ : Pasien akan memerlukan empati tetap perlu untuk mengetahui
pemberi asuhan yang akan membantu pasien secara konsisten
(3) Kaji kemampuan pasien untuk berkomunikasi tentang keutuhannya
R/ : tidak dapat mengatakan kebutuhannya pada fase pemulihan akut
tetapi biasanya dapat mengontrol kembali fungsi sesuai perkembangan
proses penyembuhan.
(4) Buat rencana terhadap gangguan penglihatan yang ada
Kolaborasi
- Berikan obat suppositori dan pelunak feces
R/ : dibutuhkan pada awal untuk membantu menciptakan . merangsang fungsi
defekasi teratur
- Konsultasikan dengan ahli fisioterapi
R/ : memberikan bantuan untuk mengembangkan rencana terapi dan
mengidentifikasikan kebutuhan alat penyokong khusus

DAFTAR PUSTAKA
Doengoes, M.E., 2000, Rencana Asuhan Keperawatan Pedoman untuk Perencanaan dan
Pendokumentasian Perawatan Pasien, EGC, Jakarta.
Price, S.A., dan Wilson, L.M, 1995, Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses Penyakit, EGC,
Jakarta
Mardjono Mahar, Sidharta Priguna., 2006, Neurologi Klinis Dasar , P.T Dian Rakyat, Jakarta.
Gleadle, Jonathan., 2005, Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik, EMS, Jakarta.
Brunner and Suddarth, , 2001, Keperawatan Medikal Bedah,EGC, Jakarta.
Brunner, I, S dan Suddarnth, Drs (2002) Buku Ajaran Keperawatan Medical Bedah Vol2
Jakarta: EGC
Carwin, J, E (2001) Buku Saku Patofisiologi, Jakarta: EGC
Muttaqin. A (2008), Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem Persyarafan. Jakarta:
Salemba Medika
Sudoyo, Aru W. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid 1, Edisi 4. Jakarta. Interna
Publishing.
Mansjoer, Arif. 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi 3. Jilid 2, Jakarta: Media Aesculapius.

Anda mungkin juga menyukai