Anda di halaman 1dari 24

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Indonesia adalah negara demokrasi. Demokrasi adalah prinsip bangsa atau

negara ini dalam menjalankan pemerintahannya. Semenjak awal bergulirnya era

reformasi, demokrasi kian marak menjadi perbincangan seluruh lapisan bangsa

ini.Demokrasi menjadi kosa kata umum yang digunakan masyarakat untuk

mengemukakan pendapatnya.Hal ini didasarkan pada pengertian demokrasi menurut

Abraham Lincoln.Demokrasi menurut Abraham Lincoln adalah pemerintahan dari

rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.

Salah satu perwujudan dari sistem demokrasi di Indonesia adalah otonomi

daerah.Otonomi daerah adalah hal, wewenang dan kewajiban daerah otonom untuk

mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat

setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.Otonomi daerah dipandang

perlu dalam menghadapi perkembangan keadaan, baik dalam dan luar negeri, serta

tantangan persaingan global. Otonomi daerah memberikan kewenangan yang luas dan

nyata, bertanggung jawab kepada daerah secara proposional, yang diwujudkan

dengan pengaturan, pembagian, dan kemanfaatan sumber daya nasional, serta

perimbangan keuangan pusat dan daerah.Itu semua harus dilakukan sesuai dengan

prinsip-prinsip demokrasi, peran masyarakat, pemerataan, keadilan, serta potensi dan

keanekaragaman daerah yang dilaksanakan dalam kerangka Negara Kesatuan

Republik Indonesia.

Penyelenggaraan Otonomi di daerah didasarkan pada isi dan jiwa yang

terkandung dalam pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945 beserta penjelasannya.

Menurut Hukum Tata Pemerintahan Negara atau Hukum Administrasi Negara

Otonomi Daerah merupakan suatu kewenangan daerah untuk menjalankan

pengaturan, penetapan, penyelenggaraan, pengawasan, pertanggungjawaban Hukum

dan Moral dan Penegakan Hukum Administrasi di daerah untuk terciptanya

pemerintahan yang taat hukum, jujur, bersih, dan berwibawa berdasarkan Pancasila

1
dan Undang-Undang Dasar 1945.Otonomi daerah sebagai suatu kebijakan

Desentralisasi ini diberlakukan dikarenakan Otonomi Daerah diharapkan dapat

menjadi solusi terhadap problema ketimpangan pusat dan daerah, disintegrasi

nasional, serta minimnya penyaluran aspirasi masyarakat local. Otonomi merupakan

solusi terpenting untuk menepis disintegrasi.

Sebagaimana diamanatkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945, wilayah kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah provinsi dan

daerah provinsi dibagi lagi atas daerah kabupaten dan kota, yang masing-masing

sebagai daerah otonomi. Sebagai daerah otonomi, daerah provinsi, kabupaten/kota

memiliki pemerintahan daerah yang melaksanakan, fungsi-fungsi pemerintahan

daerah, yakni Pemerintahan Daerah dan DPRD. Kepala Daerah adalah Kepala

Pemerintahan Daerah baik didaerah provinsi, maupun kabupaten/kota yang

merupakan lembaga eksekutif di daerah, sedangkan DPRD, merupakan lembaga

legislatif di daerah baik di provinsi, maupun kabupaten/kota. Kedua-duanya

dinyatakan sebagai unsur penyelenggaraan pemerintahan di daerah (Pasal 40 UU

No. 32/2004) .

Sejalan dengan semangat desentralisasi, sejak tahun 2005 Pemilu Kepala

Daerah dilaksanakan secara langsung (Pemilukada/Pilkada). Semangat

dilaksanakannya pilkada adalah koreksi terhadap system demokrasi tidak langsung

(perwakilan) di era sebelumnya, dimana kepala daerah dan wakil kepala daerah

dipilih oleh DPRD, menjadi demokrasi yang berakar langsung pada pilihan rakyat

(pemilih). Melalui pilkada, masyarakat sebagai pemilih berhak untuk memberikan

suaranya secara langsung sesuai dengan kehendak hati nuraninya, tanpa perantara,

dalam memilih kepala daerah.

Dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah diterapkan prinsip

demokrasi.Sesuai dengan pasal 18 ayat 4 UUD 1945, kepala daerah dipilih secara

demokratis. Dalam UU NO.32 Tahun 2004, tentang Pemerintahan Daerah, diatur

mengenai pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah yang dipilih secara

langsung oleh rakyat, yang diajukan oleh partai politik atau gabungan parpol.

2
Sedangkan didalam perubahan UU No.32 Tahun 2004, yakni UU No.12 Tahun 2008,

Pasal 59 ayat 1b, calon kepala daerah dapat juga diajukan dari calon perseorangan

yang didukung oleh sejumlah orang. Secara ideal tujuan dari dilakukannya pilkada

adalah untuk mempercepat konsolidasi demokrasi di Republik ini. Selain itu juga

untuk mempercepat terjadinya good governance karena rakyat bisa terlibat langsung

dalam proses pembuatan kebijakan. Hal ini merupakan salah satu bukti dari telah

berjalannya program desentralisasi. Daerah telah memiliki otonomi untuk mengatur

dirinya sendiri , bahkan otonomi ini telah sampai pada taraf otonomi individu .

Selain semangat tersebut, sejumlah argumentasi dan asumsi yang

memperkuat pentingnya pilkada adalah: Pertama, dengan Pilkada dimungkinkan

untuk mendapatkan kepala daerah yang memiliki kualitas dan akuntabilitas. Kedua,

Pilkada perlu dilakukan untuk menciptakan stabilitas politik dan efektivitas

pemerintahan di tingkat lokal.Ketiga, dengan Pilkada terbuka kemungkinan untuk

meningkatkan kualitas kepemimpinan nasional karena makin terbuka peluang bagi

munculnya pemimpin-pemimpin nasional yang berasal dari bawah dan/atau daerah.

Sejak diberlakukannya UU No.32 Tahun 2004, mengenai Pilkada yang

dipilih langsung oleh rakyat, telah banyak menimbulkan persoalan, diantaranya waktu

yang sangat panjang, sehingga sangat menguras tenaga dan pikiran, belum lagi biaya

yang begitu besar , baik dari segi politik (issue perpecahan internal parpol, issue

tentang money politik, issue kecurangan dalam bentuk penggelembungan suara yang

melibatkan instansi resmi) , social (issue tentang disintegrasi social walaupun

sementara, black campaign dll.) maupun financial. Hal ini kita lihat pada waktu

pemilihan kepala daerah di sejumlah daerah seperti di Sulawesi Selatan dan Jawa

Timur. Di Sulsel, pemilihan gubernur langsung diselenggarakan sebanyak dua

putaran karena ketidakpuasan salah satu calon atas hasil penghitungan suara akhir.

Masalah pemenangan Pilkada mengandung latar belakang

multidimensional. Ada yang bermotif harga diri pribadi (adu popularitas); Ada pula

yang bermotif mengejar kekuasaan dan kehormatan; Terkait juga kehormatan Parpol

pengusung; Harga diri Ketua Partai Daerah yang sering memaksakan diri untuk maju.

3
Di samping tentu saja ada yang mempunyai niat luhur untuk memajukan daerah,

sebagai putra daerah. Dalam kerangka motif kekuasaan bisa difahami, karena

politics is the struggle over allocation of values in society.(Politik merupakan

perjuangan untuk memperoleh alokasi kekuasan di dalam masyarakat). Pemenangan

perjuangan politik seperti pemilu legislative atau pilkada eksekutif sangat penting

untuk mendominasi fungsi-fungsi legislasi, pengawasan budget dan kebijakan dalam

proses pemerintahan (the process of government) . Dalam kerangka ini cara-cara

lobbying, pressure, threat, batgaining and compromise seringkali terkandung di

dalamnya. Namun dalam Undang-undang tentang Partai Poltik UU No. 2/2008, yang

telah dirubah dengan UU No.2 Tahun 2011, selalu dimunculkan persoalan budaya dan

etika politik. Masalah lainnya sistem perekrutan calon KDH (Bupati, Wali kota,

Gubernur) bersifat transaksional, dan hanya orang-orang yang mempunyai modal

financial besar, serta popularitas tinggi, yang dilirik oleh partai politik, serta beban

biaya yang sangat besar untuk memenangkan pilkada/pemilukada, akibatnya tidak

dapat dielakan maraknya korupsi di daerah, untuk mengembalikan modal politik sang

calon,serta banyak Perda-Perda yang bermasalah,dan memberatkan masyarakat dan

iklim investasi. Oleh karena itu, perlu diketahui berbagai masalah dan isu-isu apa

dalam Pemilihan Umum Kepala Daerah (PILKADA) dan bagaimana solusi untuk

memecahkan masalah tersebut.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana sistem serta peran demokrasi dan partai politik?

2. Bagaimana tentang pemilu umum di Indonesia?

3. Apa permasalahan dan isu-isu pemilihan kepada daerah (PILKADA)?

4. Apa solusi permasalahan dan isu-isu pemilihan kepada daerah (PILKADA)?

4
BAB II

PEMBAHASAN

A. Demokrasi dan Partai Politik

Demokrasi adalah bentuk atau mekanisme sistem pemerintahan suatu negara

sebagai upaya mewujudkan kedaulatan rakyat (kekuasaan warganegara) atas negara

untuk dijalankan oleh pemerintah negara tersebut.Demokrasi adalah prinsip bangsa

atau negara ini dalam menjalankan pemerintahannya.Sehubungan dengan tersebut,

ada yang namanya partai politik.Dimanapartai politik merupakan salah satu bentuk

perwujudan kebebasan berserikat dan berkumpul yang di jamin oleh konstitusi dan

merupakan salah satu prasyarat berjalannya demokrasi. Selain itu,partai politik salah

satu wujud kongkrit dari partisipasi masyarakat dalam mengembangkan demokrasi

yang tentunya yang diharapkan dapat menjunjung tinggi kebebasan,kesetaraan

kebersamaan,kejujuran,sportifitas dan keadilan.Apter (2007 : 201) memberikan 3

(tiga) ciri penting partai politik,yaitu :

1. Peran suatu partai sering berubah apa bila kondisi politik di suatu Negara

berubah.

2. Bahwa bentuknya di tentukan sepenuhnya oleh kerangka sosio politik

masyarakat partai membutuhkan sebuah kerangka acuan konstitusional atau

rezim politik yang cocok dengan fungsi mereka.

3. Sebagai subkelompok di dalam sistem dengan sarana-sarana mereka sendiri

untuk menghasilkan kekuasaan.

Secara umum partai politik dapat di definisikan sebagi suatu kelompok yang

terorganisir yang memiliki tujuan yang sama,baik untuk mempengaruhi,merebut

maupun mempertahankan kekuasaanya yang bertujuan untuk memperoleh jabatan-

jabatan politik di pemerintahaan.berikut ini akan di sampaikan beberapa pengertian

partai politik menurut pandangan beberapa ahli politik.Budiarjo (1991)

mendefinisikan partai politik sebagai suatu kelompok yang terorganisir anggota-

anggotanya mempunyai orientasi,nilai-nilai dan cita-cita yang sama,di mana tujuan

5
dari kelompok ini adalah untuk memperoleh kekuasaan politik dan berbuat

kedudukan politik,biasanya dengan cara konstitusional untuk melaksanakan program-

programnya.

Kemudian bagaimana dengan pengertian partai politik di Indonesia?

berdasarkan ketentuan pasal 1 undang-undang No.31 Tahun 2002,tentang partai

politik,maka partai politik adalah organisasi yang di bentuk oleh sekelompok warga

Negara Republik Indonesia secara sukarela atas dasar persamaankehendak dan cita-

cita untuk memperjuangkan kehendak anggota,masyarakat,bangsa,dan Negara

melalui pemilihan umum.

1. Dalam ketentuan pasal 202 ayat (1) UU No.10 tahun 2008,tentang pemilu

anggota DPR,DPD,DPRD,provinsi dan DPRD kabupaten/kota,menyebutkan:partai

politik peserta pemilu harus memenuhi ambang atas perolehan suara sekurang-

kurangnya 2,5 % (dutia koma lima perseratus) dari jumlah suara sah secara nasional

untuk di ikutkan dalam penentuan perolehan kursi DPR,kemudian pasal 203 ayat (1)

nya menyebutkan partai politik peserta pemilu yang tidak memenuhi ambang batas

perolehan suara sebagai mana dimaksud dalam pasal 202 ayat (1) tidak di

ikutsertakan perolehan kursi DPR di masing-masing daerah pemilihan.oleh karena itu

memperebutkan simpati dan dukungan dari rakyat menjadi sebuah keharusan apabila

partai politik menginginkan tetap eksis.

2. Undang-undang No.31 tahun 202,lembaran Negara RI tahun 2002 nomor:

138,tambahan LNRI nomor : 4251,yang mengatur tentang partai politik pada

pemilihan umum 2004.

Ada beberapa fungsi partai politik yang di kemukakan oleh para ahli. Fungsi-

fungsi tersebut adalah sarana komunikasi politik,sarana sosialisasi politik,sarana

rekruitmen politik,pengelolaan konflik,dan fungsi artikulasi dan agregrasi

kepentingan.yang menjadi pertanyaan kemudian adalah apakah partai politik kita

sudah menjalankan peran dan fungsinya secara optimal?jawabanya adalah belum

karena partai politik terkadang hanya melakukan komunikasi politik misalnya,hanya

di lakukan pada saat menjelang pemilu atau pada saat kampanye saja,padahal

6
semestinya komunikasi partai politik dengan konstituennya perlu dilakukan secara

intens untuk melakukan fungsi artikulasi dan sekaligus agregasi kepentingan sesuai

aspirasi dan kebutuhan masyarakat-konstituennya.begitu juga dengan pengelolaan

konflik.dalam kasus tertentu justru partai di anggap gagal mengelola konflik,tertama

konflik yang di sebabkan oleh perebutan-perebutan jabatan-jabatan penting di partai

maupun jabatan-jabatan publik lainya,misalnya konflik perebutan tiket pencalonan

mejadi calon kepala daerah dan wa kil kepala daerah di beberapa tempat.

Fungsi yang paling menonjol yang di lakukan oleh partai politik adalah fungsi

sarana rekrutmen politik-yaitu rekruitmen untuk menduduki jabatan-jabatan di

pemerintah,DPR,DPRD,dan jabatan-jabatan publik lainya di daerah.seentara itu,di

sisi yang lain proses rekruetmen kader atau kaderisasi di partai politik kurang berjalan

secara sehat dan dinamis,tertama fnomena ini terjadi di erareformasi,di mana begitu

banyak partai politikdalam melakukan rekrutmen kader mengandalakan kekerabatan-

nepotisme,bahkan ada sebagaian kalangan yang mengatakan sudah masuk dalam

lingkaran dinastik politik,yaitu jabatan-jabatan strategis di paratai politik di wariskan

kepada anak,istri,menantu dan keponakannya,bahkan fenomena ini juga sudah terjadi

pada penentuan jabatan-jabatan publik di daerah,di mana suaminya tidak bisa lagi

maju lagi menjadi bupatai atau walikota karna terganjal aturan sudah dua periode

menjabat,kemudian di gantikan oleh istrinya.hal ini menjadi salah satu kelemahan

proses rekrutmen partai politik kita.

Adapun yang berkaitan dengan sistem kepartian,secara umum terdaptat 3

(tiga) sistem kepartaian yaitu sistem satu partai,sistem dua partai dan,sistem multi

partai.sistem satu partai ialah sistem politik dalam suatu Negara yang hanya di kuasai

hanya satu partai dominan,dalam sistem ini mungkin dapat partai-partai lain,namun

kekuatanya tidak signifikan dan hanya ada satu partai yang menguasai

pemerintahan.sistem satu partai merupakan salah satu ciri Negara otokrasi,model

partai tunggal terdapat di berbagai Negara seperti Negara-negara afrika (mai,pantai

gading) dan Negara-negara eropa timur sebelum keruntuhan komunisme soviet dan di

cina.

7
Sedangakan sistem dua partai adalah sistem politik suatu Negara yang

memiliki dua partai utama (major party) dengan kemunkinan adanya partai politik

lain,namun tidak signifikan.hanya terdapat dua partai polit yang kuatannya dua partai

politik utama terkait dengan sistem dan latar belakang sosial Negara tertentu.contoh

Negara yang menerapkan sistem ini adalah Inggris.

Sistem multi partai adalah suatu sistem politik dimana dalam suatu Negara

tidak terdapat suatu partai politik tertentu yang mungkin menjadi mayoritas absolute

untuk menguasai lembaga perwakilan,atau membentuk pemerintahan tanpa berkoalisi

dengan partai lain.sistem multi partai memiliki kelebihan tertutama bagi Negara yang

memiliki heterogen dalam masyarakatnya.namun,sistem ini di pandang memiliki

kelemahan dari sisi pemerintahan yang di hasilkan yaitu,cenderung tidak stabil karena

tidak ada partai yang dominan khususnya pada sistem pemerinthan

parlementer.sistem ini berkembang di Belanda,Prancis,Swedia,dan Indonesia.sistem

multi partai biasanya di perkuat dengan sistem perwakilan berimbang yang member

kesempatan luas bagi pertumbuhan partai-partai kecil.

Sementara itu sistem kepartaian kita yang menerapkan sistem multi partai

yang kita terapkan sejak digulirkannya reformasi yaitu multi pemilu 1999,meskipun

kita juga sebelumnya pernah menerapkannya yaitu pada pemilu pertama pada tahun

1995.kelemahan dari sistem multi partai ini terletak pada stabilitas politk dan

stabilitas pemerintahan,apa lagi kita menerapkan sistem presidensial.sistem

kepartaian multi partai hanya ideal apa bila di terapkan pada sistem

parlementer.sedangka ketidak cocokan sistem multipartai dengan sistem

presidensialisme dapat mengacu pada studi yang di lakukan oleh Mainwaring (1993)

yang menunjukkan,dari seluruh demokrasi di dunia.hanya Chile yang mampu

mngawinkan secara setabil presidensialisme dengan sistem multipartai.menurut

Mainwaring penggabungan presidensialisme dengan multi partai berpotensi

menyebabkan deadlock instabilitas pemerintahan (Tanuwidjaja,2008).hal ini sejalan

dengan apa yang di kemukakan oleh Linz Dan Velenzuela(1994),yang berpendapat

8
bahwa sistem presidensial yang di terapkandi atas struktur politik multi partai

(presidensial-multipartai) cenderung melahirkan konflik antar lembaga presiden dan

parlemen serta menghadirkan demokrasi yang tidak stabil (Hanta Yuada,2010).

Namun demikian bukan berarti kita lebih setuju dengan sistem kepartaian

yang di terapkan di era orde baru yang menerapkan sistem dua partai dan satu

golongan melalui fusi partai-partai politik yang sudah ada pada saat itu akan tetapi

yang paling realistis adalah kita menerapkan sistem multi partai sederhana yaitu

penyederhanaan partai bertahap melalui penerapan electoral threshold dan

parliamentarythreshold,sehingga eksistensi paratai politik akan di tenetukan

keberlangsungannya oleh rakyat melalui pemilihan umum.

B. Pemilihan Umum di Indonesia

Dalam suatu sistem politik demokrasi, kehadiran pemilu yang bebas dan adil

(free and fair) adalah suatu keniscayaan. Bahkan sistem politik apapun yang di

terapkan oleh suatu negara, seringkali menggunakan pemilu sebagai klaim demokrasi

atas sistem politik yang di bangunnya.Sistem demokrasi liberal, sistem komunis,

sistem otoriter atau sistem otorier atau semi otoriter sebagaimana yang banyak

diterapkan dibeberapa negara dunia ketiga, hampir semuanya telah melakukan pemilu

secara periodik.Pemilihan umum telah menjadi bagian universal dari kehidupan

masyarakat politik internasional.Oleh karena itu, bisa di pahami jika banyak ilmuwan

politik yang menggunakan pemilu sebagai tolak ukur pelaksanaan demokrasi di suatu

negara. Hal ini seperti yang di kemukakan oleh Ranney, no free election, no

democracy.

Pemilihan umum merupakan mekanisme dimana rakyat bisa menyalurkan

aspirasi politiknya secara bebas dalam menentukan pemimpin nasional, sehingga

dalam konteks ini sebenarnya tercermin tanggung jawab warga pilihan negara. Oleh

karena itu, rakyat harus mengerti benar bahwa apapun pilihannya hal itu mesti di

dasari oleh alasan yang kuat, rasional dan kritis (rasional voter) ,bukan sekedar

pembebekan politik-asal ikut dan asal pilih (emotional voter), tentunya harus menjadi

9
pemilih yang cerdas dan bertanggung jawab. Karena meskipun hanya satu suara,

maka pilihan rakyat tersebut sangat berarti dan memiliki implikasi besar yakni dapat

menentukan arah nasib bangsa selama lima tahun mendatang, sehingga kalau salah

pilih, maka tentunya rakyat juga yang akan dirugikan.

Ada beberapa alasan mengapa pemilu sangat penting bagi kehidupan

demokrasi di suatu negara, khususnya di negara-negara dunia ketiga.Pertama, melalui

pemilu kemungkinan suatu komunitas politik melakukan trasfer kekuasaan secara

damai.Sejaran mencatat, tidak jarang peralihan kekuasaan yang dilakukan di luar

sarana pemilu menyebabkan terjadinya kekacauan dan pertumpahan darah. Beberapa

negara yang melakukan transfer kekuasaan melalui kudeta biasanya (cendrung)

menyebabkan adanya kudet pada transfer kekuasaan berikutnya. Dalam perspektif

kehidupan polotik modern, jalan satu-satunya yang paling mungkin adalah melalui

pemilihan umum yang bebas dan adil.

Kedua,melalui pemilu akan tercipta pelembagaan konflik. Diakui atau tidak,

sistem demokrasi menuntut adanya kebebasan menyuarakan kepentingan dan konflik

secara terbuka.Bahkan, przeworski menctat, demokrasi itu sendiri merupakan hasil

kontigen dari konflik. Persoalannya adalah bagaimana agar konflik-konflik itu-

khususnya yag berkaitan dengan konflik untuk memperebutkan dan mempertahankan

kekuasaan dapat diselesaikan melalui lembaga-lembaga denokrasi yang ada. Oleh

karena itu bagi robert dahl, demokrasi poliarki (berskala besar) memiliki dau dimensi

partisipasi politik (warga negara) yang keduanya saling tergantung serta kontestasi

(elit).

Adapun fungsi dari pemilihan umum menurut Arbi sanit, minimal ada 4

(empat) fungsi pemilihan umum, yaitu sarana legitimasi polotik, perwakilan politik,

sirkulasi elit politik, dan sarana pendidikan politik. Dalam realitas sarana legitimasi

politik, perwakilan politik, dan sirkulasi elit politik. Sedangkan fungsi yang terakhir

yaitu sebagai sarana pendidikan politik kurang begitu di perankan secara maksimal

oleh partai politik.

10
Untuk itu menurut Eep Saifullah Fatah, menempatkan pemilu sebagai alat

demokrasi berarti memposisikan pemilu dalam fungsi asasinya sebagai wahana

pembentuk representative government yang jujur, bersih, bebas, adil, dan kompetitif.

Dengan fungsi representative governmentitu, maka sistem pemilihan umum harus

memenuhi tiga prinsip pokok demokrasi, yakni kedaulatan rakyat, keabsahan

pemerintahan, dan pergantian pemerintahan secara teratur. Demokrasi merupakan

sebuah konsep yang bersifat universal, tetapi ketika demokrasi hendak di

implementasikan, maka kita akan berhadapan dengan kenyataan bahwa karakteristik

sosial masyarakat akan mewarnai implementasi nilai-nilai demokrasi yang bersifat

universal tersebut.

Kemudian untuk menilai sebuah proses pemilu, maka scra konseptual terdapat

dua mekanisme yang bisa dilakukan untuk menciptakan dan sekaligus menilai

pemilihan umum yang bebas dan adil. Pertama, electoral law, yaitu sistem pemilihan

dan perangkat peraturan yang merata bagaimana pemilu dijalankan serta bagaimana

distribusi hasil pemilu. Atau oleh kalangan ilmuan politik hal itu dikategorikan

sebagai sistem pemilihan (electroral system) yaitu bagaimana menciptakan

seperangkat metode atau aturan untuk mentransfer suara pemilihan kedala suatu

lembaga perwakilan rakyat secra adil. Kedua, electroral process yaitu menjalankan

pemilihan umum sesuai dengan aturan main dan prinsip-prinsip demokrasi, mulai dari

tahap pencalonan, kampaye, proses pemunggutan suara dan perhitungan suara,

pembagian kursi dan penentuan calon terpilih. Dalam struktur pemilu menurutnya

terdiri atas tiga substruktur, yakni rakyat, parpol dan pengusha. Mekanisme pertama

yaitu electroral system merupakan intervening variabel terhadap upaya untuk

menciptakan sebuah

Pemilu yang demokratis, jujur dan adil serta berkualitas. Karena itu mustahil

menciptakan pemilu yang demokratis, jujur, adil, dan berkualitas, tanpa terlebih

dahulu melakukan pembenahan terhadap perangkat hukum terkait dengan partai

politik, dan pemilihan umum yang di dalamnya memiliki sistem pemilu, mekanisme

pencalonan, kampanye, tata cara pemungutan dan perhitungan suara serta sanksi

11
terhadap pelanggaran yang terjadi selama proses tahapan pemilu dan penyelesaian

sengketa hasil pemilu.

Sedangkan mekanisme kedua yaitu elektoral proses, harus di letakkan

sebagai dependent variable. Karena hal itu menentukan sebuah proses pemilu tersebut

berkualitas atau tidak. Artinya dari aspek kualitas proses pemilu misalnya dari sisi

penyelenggaraan pemilu : apakah mulai dari KPU Pusat, KPU daerah, sampai dengan

PPK, PPS, dan KPPS dapat menjalankan netralitasnya sebagai penyelenggara pemilu

dengan tidak melakukan kecurangan yang akan berdampak menguntungkan ataupun

merugikan parpol tertentu atau pasangan calon presiden dan wakil presiden tertentu.

Pemilihan umum di laksanakan untuk memilih anggota DPR, DPD, dan

DPRD.Salain itu pemilihan umum juga untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden.

Pemilu tahun 2009 merupakan pemilu ketiga di era reformasi yang menerapkan

sistem multi partai, yang di ikuti oleh begitu banyak partai politik di mana

sebelumnya (Era Orde Baru) hanya di ikuti oleh dua partai politik dan satu golongan

karya. Pemilu di era reformasi ini dapat berjalan relatif dengan baik, jujur, dan adil,

meskipun masih juga kita temukan adanya kecurangan, baik kecurangan yang

dilakukan oleh penyelenggara pemilu maupun kecurangan yang di lakukan oleh

partai politik sebagai peserta pemilu.

C. Permasalahan Pilkada dan isu-isu Pilkada

1. Daftar Pemilih tidak akurat

a. Sebagian besar DP4 dari Kab/Kota tidak dapat diandalkan

b. Calon pemilih banyak yang memiliki domisili lebih dari satu tempat

c. Calon pemilih dan Parpol bersikap pasif dalam menyikapi DPS

d. Pelibatan RT/RW dalam pemutakhiran data pemilih tidak maksimal

e. Para pihak baru peduli atas kekurang-akuratan data pemilih ketika sudah

ditetapkan sebagai daftar pemilih tetap atau ketika sudah mendekati hari

pemungutan suara

f. Kontrol Panwaslu untuk akurasi data pemilih tidak maksimal.

12
2. Proses pencalonan yang bermasalah

a. Munculnya dualisme pencalonan dalam tubuh partai politik.

b. Perseteruan antar kubu calon yang berasal dari partai yang sama.

c. KPU tidak netral dalam menetapkan pasangan calon.

d. Tidak ada ruang untuk mengajukan keberatan dari pasangan calon/Parpol

terhadap penetapan pasangan calon yang ditetapkan oleh KPU.

e. Terhambatnya proses penetapan pasangan calon.

f. Dalam hal terjadi konflik internal Parpol, KPU berpihak kepada salah

satu pasangan calon/pengurus parpol tertentu sehingga parpol yang

sebenarnya memenuhi syarat namun gagal mengajukan pasangan calon.

Akibat lebih lanjut, partai politik maupun konstituen kehilangan

kesempatan untuk mendapatkan kepala daerah yang merupakan preferensi

mereka.

3. Pemasalahan pada Masa kampanye :

a. Pelanggaran ketentuan masa cuti

b. Manuver politik incumbent untuk menjegal lawan politik

c. Care taker yang memanfaatkan posisi untuk memenangkan PILKADA

d. Money politics

e. Pemanfaatan fasilitas negara dan pemobilisasian birokrasi

f. Kampanye negative

4. Manipulasi dalam penghitungan suara dan rekapitulasi hasil penghitungan:

a. Belum terwujudnya transparansi mengenai hasil penghitungan suara dan

rekapitulasi penghitungan suara.

b. Manipulasi penghitungan dan rekapitulasi penghitungan suara dilakukan

oleh PPK, KPU Kab/kota, dan KPU Provinsi.

c. Belum lengkapnya instrument untuk mengontrol akuntabilitas PPK, KPU

Kabupaten/Kota, dan KPU Provinsi.

d. Keterbatasan saksi-saksi yang dimiliki oleh para pasangan calon.

13
e. Keterbatasan anggota Panwas mengontrol hasil penghitungan

dan rekapitulasi hasil penghitungan suara.

5. Penyelenggara Pilkada tidak adil dan netral

a. Keberpihakan anggota KPUD dan jajarannya kepada salah satu

pasangan calon.

b. Kewenangan KPUD yang besar dalam menentukan pasangan

calon.Tidak adanya ruang bagi para bakal calon untuk menguji

kebenaran hasil penelitian administrasi persyaratan calon.

c. Pengambilalihan penyelenggaraan sebagian tahapan Pilkada oleh KPU

di atasnya.

d. Keberpihakan anggota Panwaslu kepada salah satu pasangan calon

e. Anggota Panwasal menjadi pembela/promotor bagi pasangan calon yang

kalah.

6. Putusan MA dan MK yang menimbulkan kotroversi

7. Posisi kepala daerah/wakil kepala daerah incumbent dalam Pilkada

8. Penggabungan PILKADA (Pilkada serentak).

9. Sistem pemilihan gubernur.

10. Sistem pemilihan wakil kepala daerah.

D. Solusi Permasalahan Pilkada dan Isu-Isu Pilkada

1. Daftar Pemilih tidak akurat.

Permasalahan daftar pemilih yang tidak akurat dalam Pilkada, sering

dijadikan oleh para pasangan calon yang kalah untuk melakukan gugatan.

Berdasarkan Pasal 47 UU No. 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu

menyebutkan bahwa PPS mempunyai tugas dan wewenang antara lain

mengangkat petugas pemutakhiran data pemilih dan membantu KPU, KPU

Provinsi, KPU Kabupaten/Kota, PPK melakukan pemutakhiran data pemilih,

daftar pemilih sementara, daftar pemilih hasil perbaikan, dan daftar pemilih tetap.

14
Melalui pengaturan ini jika dalam pemutakhiran data pemilih, melibatkan RT/RW

sebagai petugas pemutakhiran, maka permasalahan data pemilih yang tidak akurat

akan dapat diminimalisir, karena RT/RW adalah lembaga yang paling mengetahui

penduduknya.

2. Proses pencalonan yang bermasalah

Permasalahan dalam pencalonan yang selama ini terjadi disebabkan oleh 2

(dua) hal yaitu konflik internal partai politik/gabungan partai politik dan

keberpihakan para anggota KPUD dalam menentukan pasangan calon yang akan

mengikuti Pilkada. Secara yuridis pengaturan mengenai pencalonan Kepala

Daerah dan Wakil Kepala Daerah diatur dalam pasal 59 sampai dengan pasal 64

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004. Dari beberapa pasal tersebut memberikan

kewenangan yang sangat besar kepada KPUD dalam menerima pendaftaran,

meneliti keabsahan persyaratan pencalonan dan menetapkan pasangan calon, yang

walaupun ada ruang bagi partai politik atau pasangan calon untuk memperbaiki

kekurangan dalam persyaratan adminitrasi, namun dalam praktek beberapa kali

terjadi pada saat penetapan pasangan calon yang dirugikan.

Pasal 59 ayat (5) huruf a Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004

menyatakan bahwa partai politik atau gabungan partai politik pada saat

mendaftarkan pasangan calon, wajib menyerahkan surat pencalonan yang

ditandatangani oleh pimpinan partai politik atau pimpinan partai politik yang

bergabung. Dalam tahapan ini kadang terjadi permasalahan di internal partai

politik, ketika calon yang diajukan oleh pimpinan partai politik setempat berbeda

dengan calon yang direkomendasikan oleh DPP partai politik. Dalam

permasalahan ini karena pimpinan partai politik setempat tidak melaksanakan

rekomendasi DPP partai politik,kemudian diberhentikan sebagai pimpinan partai

politik di wilayahnya dan menunjuk pelaksana tugas pimpinan partai politik sesuai

wilayahnya yang kemudian juga meneruskan rekomendasi calon Kepala Daerah

dan Wakil Kepala Daerah namun ditolak KPUD dengan alasan partai politik

tersebut melalui pimpinan wilayahnya yang lama telah mengajukan pasangan

15
calon. Pasal 61 ayat (4) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 menyatakan

bahwa penetapan dan pengumuman pasangan calon oleh KPUD bersifat final dan

mengikat.Dalam hal KPUD tidak netral, ketentuan ini kadang disalahgunakan

untuk menggugurkan pasangan calon tertentu tanpa dapat melakukan

pembelaan, karena tidak ada ruang bagi pasangan calon yang dirugikan untuk

melakukan pengujian atas tindakan KPUD yang tidak netral melalui pengadilan.

Untuk mengatasi kekurangan ini, ke depan perlu pasangan calon perlu

diberi ruang untuk mengajukan keberatan ke pengadilan, jika dalam proses

pencalonan dirugikan KPUD.

3. Pemasalahan pada Masa kampanye.

Pengaturan mengenai kampanye secara yuridis diatur dalam pasal 75

sampai dengan pasal 85 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 yaitu meliputi

pengaturan mengenai teknis kampanye, waktu pelaksanaan, pelaksana kampanye,

jadwal kampanye, bentuk dan media kampanye, dan larangan-larangan selama

pelaksanaan kampanye. Kandidat dan tim kampanyenya cenderung mencari celah

pelanggaran yang menguntungkan dirinya.

Pasal 75 ayat (2) berbunyi dimaksud pada ayat (1) dilakukan selama 14

(empat belas) hari dan berakhir 3 (tiga) hari sebelum hari pemungutan suara",

dengan terbatasnya waktu untuk kampanye maka sering terjadi curi start

kampanye dan kampanye diluar waktu yang telah ditetapkan.

Kampanye yang diharapkan dapat mendorong dan memperkuat pengenalan

pemilih terhadap calon kepala daerah agar pemilih mendapatkan informasi yang

lengkap tentang semua calon, menjadi tidak tercapai. Untuk itu ke depan perlu

pengaturan masa kampanye yang cukup dan peningkatan kualitas kampanye agar

dapat mendidik pemilih untuk menilai para calon dari segi program.

4. Manipulasi penghitungan suara dan rekapitulasi hasil penghitungan suara.

Manipulasi perhitungan suara dan rekapitulasi hasil penghitungan

suara dapat terjadi di setiap tingkatan, yaitu di KPPS, PPK, KPU Kabupaten, dan

KPU Provinsi. Permasalahan penghitungan suara dan rekapitulasi hasil

16
penghitungan suara akan manipulasi, disebabkan oleh banyaknya TPS yang

tersebar dalam wilayah yang luas. Dengan banyaknya TPS yang tersebar luas

membuat para pasangan calon sulit mengontrolnya karena memerlukan saksi

yang banyak dan biaya besar. Di lain pihak para penyelenggara Pilkada di

beberapa daerah tidak netral, berhubung sistem seleksi anggota KPUD tidak

belum memadai.

5. Penyelenggara Pemilu yang tidak adil dan netral

a. KPU dan KPU Provinsi

Keberpihakan KPU atau KPU Provinsi kepada salah satu pasangan calon dilakukan

kepada KPU Provinsi atau KPU Kabupaten dengan memberhentikan atau

membekukan para anggota KPU Provinsi atau KPU Kabupaten. Padahal

pengambil-alihan baru dapat dilakukan jika KPU dibawahnya tidak dapat

melaksanakan tahapan Pilkada.

b. KPU Provinsi atau Kabupaten/Kota

Keberpihakan KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota kepada salah satu pasangan

calon dilakukan pada tahapan proses pencalonan, penghitungan dan rekapitulasi hasil

penghitungan suara.

c. Panwaslu.

Keberpihakan Panwaslu kepada salah satu pasangan calon dilakukan

khususnya pada tahapan setelah hasil penghitungan suara, dengan menjadi promoter

bagi pasangan yang kalah.

Akibatnya pelaksanaan Pilkada menjadi ruwet, terjadi ketegangan di tingkat

grass root dan bahkan kadang sampai menimbulkan kerusuhan.Hal terjadi karena

kurangnya pemahaman para anggota KPU, KPUD, dan Panwaslu dalam melaksanaan

ketentuan peraturan perundang-undangan, serta sistem seleksi para anggota KPU,

KPUD, Panwaslu belum mengetengahkan adanya kebutuhan anggota KPU, KPUD,

Panwaslu yang obyektif, netral, mempunyai integritas tinggi, tidak mudah

mengeluarkan statement, dan memiliki pemahaman yang baik terhadap ketentuan

peraturan perundang-undang Pemilu.

17
6. Putusan MA atau MK yang menimbulkan kontroversi di masyarakat.

Sengketa Pilkada diatur dalam pasal pasal 106 Undang-Undang Nomor 32

Tahun 2004 yang pada intinya menyatakan bahwa sengketa hasil penghitungan suara

dapat diajukan oleh pasangan calon kepada pengadilan tinggi untuk pilkda

bupati/walikota dan kepada MA untuk pilkda Gubernur. Putusan yang dikeluarkan

pengadilan tinggi/Mahkamah Agung bersifat final.Setelah dikeluarkan Undang-

Undang Nomor 12 Tahun 2008 kewenangan penyelesaian sengketa pilkada beralih

dari Mahkamah Agung ke Mahkamah Konstitusi.

Baik dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahuri 2004 maupun Undang-

Undang Nomor 12 Tahun 2008 kewenangan pengadilan untuk mengadili sengketa

Pilkada hanya terbatas pada sengketa hasil yang mempengaruhi pemenang Pilkada,

permasalahannya adalah bagaimana apabila terjadi sengketa di luar hasil

penghitungan suara, selain itu beberapa putusan baik Mahkamah Agung maupun

Mahkamah Konstitusi menimbulkan kontroversi di masyarakat, akibatnya

penyelesaian Pilkada berlarut-larut.

Selama ini tidak hanya sengketa hasil penghitungan suara yang terjadi

dalam Pilkada, seperti permasalahan DPT, permasalahan pencalonan baik terjadinya

permasalahan di internal partai politik maupun pemenuhan persyaratan

Pilkada.Meskipun Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 maupun Undang-Undang

Nomor 12 Tahun 2008 sudah membatasi kewenangan pengadilan hanya sebatas

sengketa hasil penghitungan suara, namun pengadilan sering menabrak aturan

tersebut.

7. Putusan-putusan MK yang membatalkan UU No. 32 Tahun 2004 dan UU No. 12

Tahun 2008 terkait dengan Pilkada.

a. Putusan MK No.072-073/PUU-ii/2005 menyatakan Undang-Undang Nomor 32

Tahun 2004: Dalam pertlmbangan hukumnya, mahkamah berpendapat bahwa Pilkada

langsung tidak termasuk dalam kategori pemilu sebagaimana dimaksud pasal 22E

18
UUD Negara RI Tahun 1945 namun Pilkada langsung adalah pemilu secara materiil

untuk mengimplementasikan pasal 18 ayat (4) UUD Negara RI Tahun 1945 karena itu

dalam penyelenggaraannya dapat berbeda dengan pemilu yang diatur pasal 22E UUD

Negara RI Tahun 1945, misalnya dalam hal regulator, penyelenggara dan badan yang

menyelesaikan perselisihan hasil pilkada meskipun tetap didasarkan asas pemilu yang

berlaku. Pembentuk Undang-Undang No 32 Tahun 2004 telah menetapkan KPUD

sebagai penyelenggara Pilkada yang merupakan wewenang pembentuk undang-

undang yang terpenting adalah harus dijamin independensinya, terganggunya

independensi penyelenggara mengakibatkan bertentangan dengan kepastian,

perlakuan yang sama dan keadilan sesuai pasal 28D UUD Negara RI Tahun 1945.

Mahkamah juga berpendapat bahwa pembentuk undang-undang dapat dan memang

sebaiknya pada masa yang akan datang menetapkan KPU sebagaimana dimaksud

pasal 22E UUD Negara RI Tahun 1945 sebagai penyelenggara pilkada karena

memang dibentuk untuk itu dan telah membuktikan independensinya dalam pemilu

2004.

b. Putusan MK Nomor No.22/PUU-VII/2009 menyatakan bahwa pasal 58 huruf o

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tidak bertentangan dengan Undang-Undang

Nomor 32 Tahun 2004, namun dalam salah amar putusannya juga menyatakan bahwa

masa jabatan yang dihitung satu periode adalah masa jabatan yang telah dijalani

selama setengah atau lebih masa jabatan, dengan kata lain dihitung satu kali masa

jabatan adalah apabila seorang kepala daerah telah menduduki jabatannya selama 2,5

tahun atau lebih. Penghitungan masa jabatan ini tidak dibatasi apakah karena pilkada

langsung berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 atau pilkada tidak

langsung berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009, karena dalam

pertimbangan hukumnya majelis hakim berpendapat bahwa perbedaan sistem

pemilihan kepala daerah antara langsung dan tidak langsung, tidak berarti bahwa

sistem Pilkada tidak langsung tidak atau kurang demokratis apabila dibandingkan

dengan sistem langsung demikian pula sebaliknya. Dari pertimbangan majejelis ini

berarti bahwa menurut majelis, Pilkada langsung maupun pilkada tidak langsung

19
sama-sam demokratishya sebagaimana dimaksud pasal 18 ayat (4) UUDN 1945.

Bahkan majelis berpendapat setelah pengalaman dalam pilkada langsung berdasar

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, sekarang timbul gagasan baru untuk kembali

memberlakukan pilkada tidak langsung, dan hal ini sah-sah saja.

Perubahan pengertian norma hukum pasal 58 huruf o UU No 32 Tahun 2004

yaitu batasannya adalah 2, 5 (dua setengah) tahun, artinya apabila Kepala

Daerah/Wakil Kepala Daerah menduduki masa jabatannya kurang dari 2,5 (dua

setengah tahun, belum dianggap satu kali masa jabatan sehingga masih bisa

mencalonkan selama 2 (dua) periode sehingga apabila selama 2 (dua) kali masa

pencalonannya selalu terpilih, yang bersangkutan bisa menduduki jabatannya

maksimal 12, 4 (dua belas koma empat) tahun beberapa hari.

8. Penyesuaian tata cara pemungutan suara dan penggunaan KTP sebagai kartu

pemilih.

a. Penyesuaian tata cara pemungutan suara.

Berdasar Pasal 88 UU No. 32 Tahun 2004 menyatakan: "pemberian suara

untuk Pilkada dilakukan dengan mencoblos salah satu pasangan calon dalam surat

suara". Sedangkan dalam pelaksanaan Pemilu DPR, DPD, dan DPRD serta Perhllu

Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2009 melalui peraturan KPU pemberian suara

dilakukan dengan memberi tanda "centang". Walaupun cara pemberian suara dalam

Pemilu 2009 dengan memberi tanda centang masih banyak yang salah sehingga suara

tidak sah, namun cara pemberian suara ini telah mulai memasyarakat,

sehingga agar tidak membingungkan masyarakat, maka ketentuan dalam UU No. 32

Tahun 2004 terkait dengan cara pemberian suara perlu diselaraskan dengan Pemilu

DPR, DPD, dan DPRD serta Pemilu Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2009.

b. Penyesuaian penggunaan KTP sebagai kartu pemilih.

"Berdasar Pasal 71 UU No. 32 Tahun 2004 menyatakan: "Pemilih yang telah

terdaftar sebagai pemilih diberi tanda bukti pendaftaran untuk ditukarkan dengan

kartu pemilih untuk setiap pemungutan suara". Sedangkan dalam pelaksanaan Pemilu

DPR, DPD, dan DPRD serta Pemilu Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2009 dalam

20
rangka efisiensi KTP (Kartu Tanda Penduduk) atau Surat Keterangan Kependudukan

dapat dijadikan kartu pemilih. Untuk itu dalam rangka efisiensi pelaksanaan Pilkada,

"ketentuan dalam UU No. 32 Tahun 2004 terkait dengan penggunaan kartu pemilih

dalam pelaksanaan Pilkada perlu disesuaikan dengan pelaksanaan Pemilu DPR, DPD,

dan DPRD serta Pemilu Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2009.

21
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Pelaksanaan Pilkada/Pemilukada yang telah berlangsung sejak Juni 2005 s/d

saat ini secara umum telah berlangsung secara aman, tertib, dan demokratis

dengan tingkat partisipasi yang cukup tinggi. Meskipun demikian dalam

penyelenggaraan Pilkada ke depan masih perlu dilakukan berbagai

penyempurnaan untuk memperbaiki beberapa kekurangan yang terjadi dalam

penyelenggaraan Pilkada, yaitu :

1. Peningkatan akurasi daftar pemilih.

Dari segi regulasi, pengaturan data pemilih yang ada dalam Pasal 70 ayat (1)

dan ayat (2) UU No. 32 Tahun 2004 sebetulnya sudah cukup memadai. Kunci

penyelesaian dari daftar pemilih yang kurang akurat adalah pelibatan RT/RW

secara resmi dan intensif baik dalam up dating data penduduk maupun

perbaikan data pemilih.

2. Peningkatan akuntabilitas proses pencalonan.

Dari segi regulasi, pengaturan tahapan pencalonan yang ada dalam Pasal 59

sampai dengan pasal 64 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 belum cukup

memadai. Untuk mengatasi kekurangan ini, ke depan pasangan calon perlu

diberi ruang untuk mengajukan keberatan ke pengadilan, jika dalam proses

pencalonan dirugikan KPUD.

3. Masa kampanye yang lebih memadai.

Dari segi regulasi, pengaturan mengenai kampanye yang diatur dalam pasal 75

sampai dengan pasal 85 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 belum

member! waktu yang cukup, yaitu hanya 14 (empat belas) hari, sehingga tidak

cukup bagi masyarakat untuk mendapatkan informasi lengkap para calon.

22
Untuk itu perlu pengaturan masa kampanye yang cukup dan peningkatan

kualitas kampanye agar dapat mendidik pemilih untuk menilai para calon dari

segi program.

4. Peningkatan akuntabilitas penghitungan dan rekapitulasi hasil penghitungan

suara.

Dari segi regulasi, pengaturan mengenai penghitungan dan rekapitulasi hasil

penghitungan suara sebagaimana yang diatur dalam Pasal 96 s/d Pasal 101 UU

No. 32 Tahun 2004 masih mengandung celah terjadi manipulasi pada

pembuatan berita acara dan sertifikat penghitungan suara yang tidak sama

dengan hasil penghitungan suara yang disaksikan oleh masyaakat, karena tidak

semua peserta Pilkada menempatkan saksi di setiap TPS dan keterbatasan

jangkauan Panwaslu mengawasi penghitungan suara di setiap TPS. Selain itu

pengumuman hasil penghitungan suara yang dipasang di setiap TPS hanya

selama TPS ada (tidak lebih dari sehari), sehingga para saksi peserta Pilkada

kesulitan untuk mengakses hasil penghitungan suara di setiap TPS.Untuk itu

perlu pengaturan yang memungkinkan adanya kontrol dari masyarakat/para

saksi calon untuk mengakses hasil penghitungan suara di TPS maupun hasil

rekapitulasi hasil penghitungan suara di setiap tingkatan.

5. Peningkatan penyelenggara Pemilu yang adil dan

netral

Keberpihakan penyelenggara pemilu kepada salah satu pasangan calon terjadi

karena kriteria dalam sistem seleksi para anggota penyelenggara pemilu baru

belum menjangkau sikap mental yang diperlukan bagi penyelenggara pemilu

yang antara lain harus netral, obyektif, mempunyai integritas tinggi,

kesukarelaan/keterpanggilan dalam tugas, dan tidak tidak mudah mengeluarkan

statement. Untuk itu dalam revisi UU No. 22 Tahun 2007 tentang

Penyelenggara Pemilu perlu penambahan kriteria sikap mental dimaksud dalam

system seleksi anggota penyelenggara pemilu.

23
DAFTAR PUSTAKA

Undang-undang dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Prof.Drs.HAW.2002.Otonomi Daerah dan Daerah Otonom.Jakarta:RajaGrafindo

Persada

Solihin,Dadang.2001.Otonomi Penyelenggaraan pemerintahan

Daerah.Jakarta:Gramedia Pustaka Utama

Kumolo,Tjahjo.2015.Politik Hukum Pilkada Sererntak.Jakarta:Expose Publika

Juliansah,Elvi S.sos.2007.Pilkada Penyelenggaraan pemilihan kepala daerah dan

wakil kepala daerah.Jakarta:Grafindo

24

Anda mungkin juga menyukai

  • Makalah PSH
    Makalah PSH
    Dokumen12 halaman
    Makalah PSH
    angelicia
    Belum ada peringkat
  • Makalah Ham
    Makalah Ham
    Dokumen11 halaman
    Makalah Ham
    angelicia
    Belum ada peringkat
  • Cover
    Cover
    Dokumen17 halaman
    Cover
    angelicia
    Belum ada peringkat
  • Abcde
    Abcde
    Dokumen2 halaman
    Abcde
    angelicia
    Belum ada peringkat
  • Andi Baso Zulfakar Ar
    Andi Baso Zulfakar Ar
    Dokumen79 halaman
    Andi Baso Zulfakar Ar
    Iwan Sutiawan Brur
    Belum ada peringkat
  • Askep Fail Chest NEW
    Askep Fail Chest NEW
    Dokumen17 halaman
    Askep Fail Chest NEW
    angelicia
    Belum ada peringkat
  • Hoi Cover
    Hoi Cover
    Dokumen1 halaman
    Hoi Cover
    angelicia
    Belum ada peringkat
  • Hukum Pemda
    Hukum Pemda
    Dokumen24 halaman
    Hukum Pemda
    angelicia
    Belum ada peringkat