Anda di halaman 1dari 15

Tugas Individu (Makalah) :

AKHLAK DALAM KELUARGA

Disusun Oleh :

Deko Apriyanto (12531043)


Pendidikan Agama Islam (PAI II A)

Dosen Pengampu :
Drs. Murni Yanto, M.Pd

Mata Kuliah :
Akhlak Tasawuf

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


JURUSAN TARBIYAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM
(STAIN) CURUP
2013
Akhlaq Dalam Keluarga
Oleh : Deko Apriyanto
A. Latar Belakang
Tidak perlu diragukan lagi bahwa keluarga itu adalah sebagai sebuah batu
daripada batu-batu bangunan sesuatu bangsa yang terdiri dari sekumpulan keluarga
besar, yang mana satu sama lain mempunyai hubungan yang erat sekali. Dan sudah
tentulah bahwa sesuatu bangunan yang terdiri dari sekian banyak batu-batu, akan
menjadi kuat atau lemah sesuai dengan kuat atau lemahnya batu-batu itu sendiri.
Apabila batu-batu itu kuat dan saling kuat menguatkan serta memiliki pula daya tahan
yang hebat, tentulah bangsa yang terbentuk dari keluarga-keluarga yang seperti batu-
batu demikian itu akan kuat dan hebat pulalah keadaannya. Dan sebaliknya, seandainya
batu-batu yang membentuk bangunan bangsa itu lemah dan bercerai-berai, pastilah
bangsa itu akan menjadi lemah dan tiada berdaya.
Oleh karena itu usaha-usaha untuk menguatkan keluarga itu adalah suatu hal
terpenting yang wajib diperhatikan oleh pemimpin dan merupakan jalan yang wajib
ditempuh dengan segala daya dan upaya. Hal yang demikian itu mungkin dapat dicapai
melainkan dengan mengadakan prinsip-prinsip yang kuat di mana dibina diatasnya
mehligai kekeluargaan itu, yang akan menjamin hidup serta pertumbuhannya, hingga
menjadi suatu keluarga yang kuat dan jaya. Setelah itu harus pula diadakan
pengawasan yang kuat atas prinsip-prinsip tersebut dan diawasi pula pelaksanaannya.
Apabila keluarga itu dipandang sebagai sebuah batu daripada batu-batu
bangunan sesuatu bangsa, maka perkawinan dapat dipandang sebagai asal usul dari
suatu keluarga, karena dari perkawinan itulah kekeluargaan terbentuk dan selanjutnya
bertumbuh dan berkembang.
Oleh sebab itu pula maka perkawinan harus mendapat perhatian yang sungguh-
sungguh, yang sama dengan perhatian yang harus dicurahkan kepada kekeluargaan,
kalau bukanlah harus melebihi perhatian terhadap kekeluargaan itu.
Tidak ada satu agama pun daripada agama-agama yang di turunkan dari langit
yang kita ketahui yang tidak menempatkan persoalan perkawinan itu pada tempat yang
pertam-tama serta memperoleh perhatian dan penghormatan yang utama daripadanya.
Demikian pula tidak ada suatu bangsa daripada bangsa mana pun juga yang mengerti
nilai-nilai kehidupan, yang tidak mementingkan atau memperhatikan soal-soal
perkawinan tersebut. Sebabnya bukan saja karena perkawinan itu adalah hal yang
dituntun oleh fithrah manusia dan dituntut oleh hajat alamiah seseorang.
Adapun perkawinan itu pada hakikatnya adalah merupakan suatu kenyataan
daripada kenyataan-kenyataan pengaturan bagi fitrah yang terdapat pada ummat
manusia, sebagaimana fitrah itu pun terdapat pula pada bermacam-macam binatang.
Dan kalau bukanlah karena perkawinan yang berupa pengaturan terhadap fitrah yang
sama-sama dimiliki oleh manusia dan binatang ini, tentulah tidak akan berbeda
keadaan manusia itu daripada binatang-binatang lain yang bermacam-macam itu di
dalam cara mencarikan kepuasan terhadap fitrah tersebut, yang dilakukan dengan jalan
anarkis dan semau-maunya saja.
Kalau demikianlah keadaanya tentulah manusia itu bukanlah manusia yang
dimaksud sebagai makhluk yang selaraskan segala sesuatunya oleh Allah dan
dihembuskan-Nya roh kedalam tubuhnya. Kemudian diberikan-Nya pula kepadanya
akal dan pikiran dan dilebihkan-Nya derajat manusia itu dari makhluk yang lain-
lainnya. Seterusnya manusia itu pun diberi-Nya kekuasaan di bumi dan ditundukkan-
Nya seluruh alam kepadanya. Selanjutnya dipersiapkan-Nya pula untuk manusia itu
prinsip-prinsip hubungan yang tinggi yang dapt meningkatkan derajatnya dari
lingkungan sifat-sifat kebintangannya semata-mata dan diseru-Nya pula manuisa itu
supaya bertolong-tolongan dengan sesama putera bangsanya untuk menciptakan
kemakmuran dunia, mengatur kepentingan-kepentingan serta tukar menukar
kemanfaatan.

B. Landasan Teori
1. Pengertian Akhlak
Secara etimologis akhlak adalah bentuk jamak dari khuluq yang berarti
budi pekerti, perangai, tingkah laku atau tabiat.1 Berakar dari kata khalaqa yang
berarti menciptakan. Seakar dengan kata khaliq (pencipta), makhluq (yang
diciptakan) dan khalq (pencipta).2
kesamaan akar kata diatas mengisyaratkan bahwa dalam akhlaq tercakup
pengertian terciptanya keterpaduan antara kehendak khaliq (Tuhan) dengan prilaku
makhluk (manusia). Atau dengan kata lain, tata perilaku seseorang terhadap orang
lain dan lingkungannya baru mengandung nilai akhlak yang hakiki manakala
tindakan atau prilaku tersebut didasarkan kepada kehendak khaliq. Dari pengertian

Al-Munjid fi al-Lughah wa al-Ilam (Beirut: Dar al Masyriq, 1989), cet. Ke 28, hlm. 164.
1
2
Yunahar Ilyas, Kuliah Akhlaq, (Yogyakarta: Lembaga Pengkajian dan Pengalaman Islam (LPPI
UMY), 2011), hlm. 1.
etimologis seperti ini, akhlak bukan saja merupakan tata aturan atau norma perilaku
yang mengatur hubungan antara manusia dengan Tuhan dan bahkan dengan alam
semesta sekalipun.3
Secara terminologis ada beberapa defenisi tentang akhlaq :4
1) Imam al-Ghazali:
Akhlak adalah sifat yang tertanam dalam jiwa yang menimbulkan perbuatan-
perbuatan dengan gampang dan mudah, tanpa memerlukan pemikiran dan
pertimbangan.5

2) Ibrahim Anis:
Akhlak adalah sifat yang tertanam dalam jiwa, yang dengannya lahirlah
macam-macam perbuatan, baik atau buruk, tanpa membutuhkan pemikiran dan
pertimbangan.6

3) Abdul Karim Zaidan:


Akhlaq adalah nilai-nilai dan sifat-sifat yang tertanam dalam jiwa, yang
dengan sorotsn dan timbangannya seseorang dapat menilai perbuatanya baik
atau buruk, untuk kemudian memilih melakukan atau meninggalkannya.7

Ketiga defenisi yang dikutip di atas sepakat menyatakan bahwa akhlaq atau
khuluq itu adalah sifat yang tertanam dalam jiwa manusia, sehingga dia akan
muncul secara spontan bilamana diperlukan tanpa memerlukan pemikiran atau
pertimbangan lebih dahulu, serta tidak memerlukan dorongan dari luar.

Disamping istilah akhlaq, juga dikenal istilah etika dan moral. Ketiga
istilah itu sama-sama menentukan nilai baik dan buruk sikap perbuatan manusia.
Perbedaannya terletak pada standar masing-masing. Bagi akhlaq standarnya adalah
Al-Quran dan Sunnah; bagi etika standarnya pertimbangan akal pikiran; dan bagi
moral standarnya adat kebiasaan yang umum maupun berlaku dimasyarakat.8

3
Harun Nasution dkk., Ensiklopedi Islam Indonesia (Jakarta: Djambatan, 1992), hlm. 98.
4
Yunahar, Op. Cit., hlm. 2
5
Abu Hamid Muhammad al-Ghazali, Ihya Ulum ad-Din, (Beirut: Dar al-Fikr, 1989), Jilid III,
hlm.58
6
Ibrahim Anis, Al-Mujam al-Wasith, (Kairo: Dar al maarif, 1972), hlm. 202.
7
Abdul Karim Zaidan, Ushul ad- Dawah (Baghdad: Jamiyyah al-Amani, 1976), hlm. 75.
8
Asmaran As, Pengantar Studi Akhlak (Jakarta: Rajawali Pers, 1992), hlm. 9.
2. Keluarga

Keluarga itu adalah sebagai sebuah batu daripada batu-batu bangunan


sesuatu bangsa yang terdiri dari sekumpulan keluarga besar, yang mana satu sama
lain mempunyai hubungan yang erat sekali. Dan sudah tentulah bahwa sesuatu
bangunan yang terdiri dari sekian banyak batu-batu, akan menjadi kuat atau lemah
sesuai dengan kuat atau lemahnya batu-batu itu sendiri. Apabila batu-batu itu kuat
dan saling kuat menguatkan serta memiliki pula daya tahan yang hebat, tentulah
bangsa yang terbentuk dari keluarga-keluarga yang seperti batu-batu demikian itu
akan kuat dan hebat pulalah keadaannya. Dan sebaliknya, seandainya batu-batu
yang membentuk bangunan bangsa itu lemah dan bercerai-berai, pastilah bangsa itu
akan menjadi lemah dan tiada berdaya.9

Oleh karena itu usaha-usaha untuk menguatkan keluarga itu adalah suatu hal
terpenting yang wajib diperhatikan oleh pemimpin dan merupakan jalan yang wajib
ditempuh dengan segala daya dan upaya. Hal yang demikian itu mungkin dapat
dicapai melainkan dengan mengadakan prinsip-prinsip yang kuat di mana dibina
diatasnya mehligai kekeluargaan itu, yang akan menjamin hidup serta
pertumbuhannya, hingga menjadi suatu keluarga yang kuat dan jaya. Setelah itu
harus pula diadakan pengawasan yang kuat atas prinsip-prinsip tersebut dan diawasi
pula pelaksanaannya.

Apabila keluarga itu dipandang sebagai sebuah batu daripada batu-batu


bangunan sesuatu bangsa, maka perkawinan dapat dipandang sebagai asal usul dari
suatu keluarga, karena dari perkawinan itulah kekeluargaan terbentuk dan
selanjutnya bertumbuh dan berkembang.

Oleh sebab itu pula maka perkawinan harus mendapat perhatian yang
sungguh-sungguh, yang sama dengan perhatian yang harus dicurahkan kepada
kekeluargaan, kalau bukanlah harus melebihi perhatian terhadap kekeluargaan itu.

3. Pandangan Islam tentang ikatan keluarga


Islam telah memperkenalkan ikatan keluarga (tali sillaturrahim) dengan
cara yang tidak ada bandingannya dalam agama-agama atau paham-paham lain.

9
Syaikh Mahmoud Syaltout, Islam Sebagai Aqidah dan Syariah (2), (Jakarta: Bulan Bintang,
1985), hlm. 102
Islam menuntun umatnya untuk menjunjung tinggi ikatan keluarga dan
menghukum siapa saja yang memutuskan ikatan ini.10
Tidak ada bukti yang lebih kuat mengenai perhatian Islam terhadap ikatan
keluarga daripada gambaran yang sangat jelas yang dilukiskan oleh Nabi saw, yang
memandang ikatan keluarga (Rahim) sebagai tonggak dalam arena ciptaan yang
luas dan sebagai upaya mencari perlindungan Allah dari putusnya sillaturahim:
Allah mengabulkan doa, memelihara orang-orang yang memegang sillaturahim ini.
Banyak ayat-ayat Al-Quran yang mengulang dan menegaskan posisi
arham dalam Islam, mendorong orang untuk menegakkan sillaturahim dan
menanamkan perasaan yang kuat serta menghindarkan pengabaian terhadap ini
semua dan memberikan peringatan terhadap penyalahgunaan hal-hal tersebut. Salah
satu ayat ini adalah :








Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang Telah menciptakan
kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya; dan dari
pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang
banyak. dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya
kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim.
Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan Mengawasi kamu. (QS. An-Nisa 4: 1)
Ayat ini memerintahkan kepada manusia untuk pertama-tama dan terutama,
bertakwa kepada Allah, kemudian yang kedua, memberikan hormat kepada
arham dalam rangka menekankan arti pentingnya.
Bagi seseorang musli, sejati, kenyataan bahwa rahm sering disebutkan
dalam hubungannya dengan iman kepada Allah dan perlakuan baik kepada orang
tua, cukup menegaskan mengenai arti pentingnya.

10
Muhammad Ali al-Hasyimi, Musli Ideal, (Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2004), hlm. 150.
Menegakkan tali sillaturahim merupakan salah satu prinsip pokok Islam,
salah satu dasar yang telah dikembangkan agama ini sejak pertama kali Nabi saw
menyebarkannya. Hal ini merupakan salah satu keistimewaan dari sifat-sifat hukum
Islam yang paling khas.11

4. Hak, Kewajiban dan Kasih sayang Suami Isteri


Salah satu tujuan perkawinan dalam Islam adalah bentuk mencari
ketentraman atau sakinah. Allah SWT berfirman :






Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah dia menciptakan untukmu isteri-
isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram
kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya
pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang
berfikir (QS. Ar-Rum 30: 21)
Dalam ayat diatas Allah SWT menjelaskan bahwa yang berperan membuat
keluarga sakinah ada dua faktor, pertama, mawaddah, kedua rahmah. Dalam
bahasa Indonesia padanan kedua kata itu adalah kasih sayangi sebagaimana terlihat
dalam terjemahan ayat diatas. Tapi kalau ada yang bertanya apa beda antara kasih
dan sayang, mungkin tidak semua kita bisa dengan tepat dan cepat bisa
menjelaskannya.
a. Hak-hak Bersama Suami Isteri
Dalam hubungan suami isteri di samping hak masing-masing ada juga
hak bersam yaitu (1) hak tamattu badani (menikmati hubungan sebadan dan
segala kesenangan badani lainnya), (2) hak saling mewarisi, (3) hak nasab
anak.12
1. Hak Tamattu Badani

11
Ibid., hlm. 152.
12
Yunahar, Loc. Cit. hlm. 163.
Salah satu hikmah perkawinan adalah pasangan suami isteri satu sama
lain dapat saling menikmati hubungan seksual yang halal, bahkan berpahala.
Islam memang mengakui bahwa setiap manusia normal membutuhkan
penyaluran nafsu birahi terhadap lawan jenisnya. Islam tidak memerangi
nafsu tersebut tetapi juga tidak membiarkannya lepas tanpa kendali. Islam
mengatur penyalurannya secara halal dan baik melalui ikatan perkawinan.
Karena sifatnya hak bersama, tentu juga sekaligus menjadi kewajiban
bersama. Artinya hubungan seksual bukanlah semata kewajiban suami
kepada isteri, tetapi juga merupakan kewajiban isteri kepada suami. Suami
tiodak boleh mengabaikan kewajiban ini sebagaimana isteri tidak boleh
menolak keinginan suami.
2. Hak Saling Mewarisi
Hubungan saling mewarisi terjadi karena dua sebab : Pertama,
karena hubungan darah; Kedua, karena hubungan perkawinan. Dalam
hubungan perkawinan ini yang mendapat warisan hanyalah pasangan suami
isteri. Suami mewarisi isteri dan isteri mewarisi suami. Dalam surat An-
Nisa ayat 12 dijelaskan bahwa suami mendapat (setengah) dari harta
warisan bila isteri tidak punya anak, dan (seperempat) bila isteri punya
anak. Sebaliknya isteri dapat (seperempat) bila suami tidak punya anak,
dan 1/8 (seperdelapan) bila suami punya anak.





















Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan
oleh isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. jika Isteri-isterimu
itu mempunyai anak, Maka kamu mendapat seperempat dari harta yang
ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan)
seduah dibayar hutangnya. para isteri memperoleh seperempat harta yang
kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. jika kamu mempunyai
anak, Maka para isteri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu
tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah
dibayar hutang-hutangmu. jika seseorang mati, baik laki-laki maupun
perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak,
tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang
saudara perempuan (seibu saja), Maka bagi masing-masing dari kedua
jenis saudara itu seperenam harta. tetapi jika Saudara-saudara seibu itu
lebih dari seorang, Maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu,
sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar
hutangnya dengan tidak memberi mudharat (kepada ahli waris). (Allah
menetapkan yang demikian itu sebagai) syari'at yang benar-benar dari
Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Penyantun.(QS. An-Nisa
:12)
Hubungan aling mewarisi hanya berlaku dalam perkawinan yang sah
menurut syariat islam dan sesama Muslim. Bila perkawinannya tidak sah,
atau salah seorang tidak Muslim baik dari awalnya atau ditengah-tengah
perkawinan maka haknya batal.

3. Hak Nasab Nak


Anak yang dilahirkan dalam hubungan perkawinan adalah anak
berdua, walupun secara formal Islam mengajarkan supaya anak dinisbahkan
kepada bapaknya, sehingga seorang anak disebut Fulan ibn Fulan, atau
Fulanah Bintu Fulan, bukan fulan ibn fulanah atau fulanah bintu fulanah.
Apapun yang terjadi kemudian (misalnya perceraian) status anak tetap
berdua. Masing-masing tidak dapat mengklaim lebih berhak terhadap anak
tersebut, walaupun pengadilan dapat meilih dengan siapa anak ikut. Perlu
juga diingatkan di sini bahwa penisbahan seorang anak kepada bapaknya
secara formal tetap berlaku sekalipun bagi anak perempuan setelah
menikah. Anak perempuan kalau sudah menikah tidak diajarkan oleh Islam
untuk menisbahkan dirinya kepada suami sebagaimana yang tradisi
sebagian masyarakat kita.
b. Kewajiban Suami Kepada Isteri
Hak isteri atau kewajiban suami kepada isteri ada empat : (1) membayar
mahar, (2) memberikan nafkah, (3) menggauli isteri dengan sebaik-baiknya
(ihsan al-asyarah), dan (4) membimbing dan membina keagamaan isteri.13
1. Mahar
Mahar adalah pemberian wajib dari suami untuk isteri. Suami tidak
boleh memaafkannya kecuali seizin dan serela isteri. (QS. An-Nisa : 20-
21). Jumlah minimal dan maksimal mahar tidak ditentukan oleh Syara.
Tergantung kemampuan suami dan kerelaan isteri. Yang penting ada
nilainya. Bahkan boleh dengan sepasang sandal, atau mengajarkan beberapa
ayat Al-Quran, atau masuk Islam seperti yang pernah terjadi di zaman
Rasulullah saw.
2. Nafkah
Nafkah adalah menyediakan segala keperluan isteri berupa makanan,
minuman, pakaian, rumah, pembantu, obatobat dan lain-lain. Hukumnya
wajib berdasarkan Al-Quran, Sunnah, dan Ijma.


















13
Ibid., hlm. 165.
Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun
penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. dan kewajiban
ayah memberi makan dan Pakaian kepada para ibu dengan cara ma'ruf.
seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya.
janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan Karena anaknya dan
seorang ayah Karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian.
apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan
keduanya dan permusyawaratan, Maka tidak ada dosa atas keduanya. dan
jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, Maka tidak ada dosa
bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut.
bertakwalah kamu kepada Allah dan Ketahuilah bahwa Allah Maha melihat
apa yang kamu kerjakan. (QS. Al-Baqarah :233)
Kewajiban suami memberikan nafkah kepada isterinya sebanding
dengan kewajiban isteri mematuhi dan meladeni suami, menyelenggarakan
dan mengatur urusan rumah tangga serta mendidik anak. Kewajiban
memberi nafkah gugur bila aqad nikahnya tidak sah, bila isteri tidak
bersedia digauli atau tidak bersedia hidup bersama atau tidak bersedia
mengikuti kepentingan suami ke suatu tempat.
Berapa jumlah nafakah yang wajib dibayar suami dengan isteri
ditentukan oleh urf (sesuatu yang sudah dikenal baik secara luas oleh
masyarakat), maksudnya disesuaikan dengan kewajaran, kelaziman dan
kemampuan suami.
3. Ihsan al-Asyarah
Ihsan al- Asyarah artinya bergaul dengan isteri dengan cara yang
sebaik-baiknya. Teknisnya terserah kepada kiat masing-masing suami.
Misalnya : membuat isteri gembira, tidak mencurigai isteri, menjaga rasa
malu isteri, tidak membuka rahasia isteri pada orang lain, mengizinkannya
mengunjungi orang tua dan familinya, membvantu isteri apabila ia
memerlukan bantuan sekalipun dalam tugas-tugas rumah tangga,
menghormati harta miliknya pribadi dan lain-lain.
4. Membimbing dan Mendidik Keagamaan Isteri
Seorang suami bertanggung jawab di hadapan Allah terhadap isterinya
karena dia adalah pemimpinnya. Setiap pemimpin harus mempertanggung
jawabkan kepemimpinannya. Oleh karena itu menjadi kewajiban suami
mengajar dan mendidik isterinya supaya menjadi seorang imraah shalihah.
Dia harus mengajarkan hal-hal yang harus diketahui oleh seorang wanita
tentang masalah agamanya terutama syariah, seperti masalah thaharah,
whudu, haidh, nifas, shalat, puasa dzikir, membaca Al-Quran, kewajiban
wanita terhadap suami, anak-anak, orang tua, tetangga dan karib kerabat.
Juga tentang cara berpakaian dan tata pergaulan yang Islami serta hal-hal
lainnya.
c. Kewajiban Kepada Anak
Anak adalah amanah yang harus dipertanggung jawabkan orang tua
kepada Allah SWT. anak adalah tempat orang tua mencurahkan kasih
sayangnya. Dan anak juga investasi masa depan untuk kepentingan orang tua di
akhirat kelak. Oleh sebab itu orang tua harus memelihara, membesarkan,
merawat, menyantuni dan mendidik anak-anaknya dengan penuh tanggung
jawab dan kasih sayang.
1. Memberi nama anaknya dengan nama yang baik
Borang tua jangan sampai memberi nama anaknya dengan nama yang
mengandung arti yang tidak baik. Anak akan malu apabila dipanggil oleh
temannya atau orang lain dengan nama yang mempunyai arti jelek.
Umpamanya si Si Ribut, si Bandel, si Keset, Khusrin (artinya rugi),
Hasidin (artinya orang yang penghasut) dan sebagainya. Maka nama yang
diberikan orang tua harus nama yang mengandung optimisme, yang
merupakan doa dari ibu dan bapaknya.14
2. Bantuan bapak kepada anak untuk mengajarkan ketaatan.
Bantuan bapak kepada anak untuk mengajarkan ketaatan adalah
mutlak wajib. Anak harus dididik untuk selalu taat pada ajaran agama
dengan sebagus pengalamannya, sebijak penerapannya, dan seluruh
pendidikannya. Ia diharuskan menjalankan perintah-perintah agama dengan
semampu mungkin. Rasulullah bersabda, Allah pasti merahmati seorang
ayah yang menolong anaknya berada di jalan kebaikan. (HR. Abu Syaikh
dengan sanad yang lemah).15

14
Djatnika Racmat, Sistem etika Islami (Akhlak Mulia), tt. Hlm. 226
15
Muhammad Alwi al-Maliki, Etika Islam tentang Sistem Keluarga, (Surabaya: Mutiara Ilmu,
1995), hlm. 26
3. Larangan bagi orang tua mendoakan kejelekan terhadap putra-
putrinya
Sebab ini merupakan perkara buruk yang membahayakan dan saat ini
sudah banyak yang tersebar di tengah-tengah kehidupan kita. Kebanyakan
hal tersebut banyak dilakukan para ibu. Jika seorang ibu marah pada
anaknya, ia tumpahkan kemarahannya pada anaknya dalam ujud pelaknatan
dan caci makian: ia doakan dengan doa kesialan, kecelakaan dan
kehancuran. Ini termasuk perkataan yang tidak patut dilakukan menurut
ajaran agama Islam.16
4. Hubungan Kasih sayang
Anak adalah tempat orang tua mencurahkan kasih sayang. Setiap
manusia yang normal secara fitri pasti mendambakan kehadiran anak-anak
dirumahnya. Kehidupan rumah tangga sekalipun bergelimang harta benda-
belum lagi lengkap kalau belum mendapatkan anak. Al-Quran menyatakan
anak adalah perhiasan hidup dunia :





Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia tetapi amalan-
amalan yang kekal lagi saleh adalah lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu
serta lebih baik untuk menjadi harapan. (QS. Al-Kahfi :46)
5. Hubungan Masa Depan
Anak adalah investasi masa depan di akhirat bagi orang tua. Karena
anak yang saleh akan selalu mengalirkan pahala kepada kedua orang tuanya,
sebagaimana yang dinyatakan oelh Nabi Muhammad saw:17
jika seseorang meninggal dunia putuslah (pahala) amalannya
kecuali salah satu dari tiga hal; Shadaqah jariah, ilmu yang bermanfaat
yang dapat di ambil manfaat darinya, dan anak shaleh yang
mendoakannya. (HR. Muslim)
Dengan tiga alasan diataslah seorang muslim didorong untuk dapat
berfungsi sebagai orang tua dengan sebaik-baiknya. Apalagi kalau dia
pikirkan betapa pentingnya pembinaan dan pen didikan anak-anak untuk
16
Ibid., hlm. 28
17
Yunahar., Loc. Cit, hlm 173
menjaga eksitensi dan kualitas umat manusia umumnya dan umat Islam
khususnya pada masa yang akan datang.

C. Simpulan
Dari pembahsan di atas, dapat lah di tarik kesimpulan :
1. Hak, Kewajiban dan Kasih sayang Suami Isteri

Salah satu tujuan perkawinan dalam Islam adalah bentuk mencari ketentraman
atau sakinah.

a. Hak-hak Bersama Suami Isteri


Dalam hubungan suami isteri di samping hak masing-masing ada juga
hak bersam yaitu (1) hak tamattu badani (menikmati hubungan sebadan dan
segala kesenangan badani lainnya), (2) hak saling mewarisi, (3) hak nasab anak.
I. Hak Tamattu Badani
II. Hak Saling Mewarisi
III. Hak Nasab Nak
b. Kewajiban Suami Kepada Isteri

Hak isteri atau kewajiban suami kepada isteri ada empat : (1) membayar mahar,
(2) memberikan nafkah, (3) menggauli isteri dengan sebaik-baiknya (ihsan al-
asyarah), dan (4) membimbing dan membina keagamaan isteri.

c. Kewajiban Kepada Anak


Anak adalah amanah yang harus dipertanggung jawabkan orang tua
kepada Allah SWT. anak adalah tempat orang tua mencurahkan kasih
sayangnya. Dan anak juga investasi masa depan untuk kepentingan orang tua di
akhirat kelak. Oleh sebab itu orang tua harus memelihara, membesarkan,
merawat, menyantuni dan mendidik anak-anaknya dengan penuh tanggung
jawab dan kasih sayang.
i. Memberi nama anaknya dengan nama yang baik
ii. Bantuan bapak kepada anak untuk mengajarkan ketaatan.
iii. Larangan bagi orang tua mendoakan kejelekan terhadap putra-
putrinya
iv. Hubungan Kasih sayang
v. Hubungan Masa Depan
D. Kritik dan Saran
Saya menyadari bahwasannya makalah ini masih jauh dari kesempurnaan dan
kebenaran, maka dari itu peran saudara-saudara sangat saya harapkan untuk
memberikan kritik dan saran yang sifatnya membangun agar dalam pembuatan
makalah ini menjadi makalah yang baik dan benar.

E. Daftar Pustaka

Al-Hasyimi, Muhammad Ali. Muslim Ideal, Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2004.

Al-Maliki, Muhammad Alwi. Etika Islam tentang Sistem Keluarga, Surabaya:

Mutiara Ilmu, 1995.

As, Asmaran. Pengantar Studi Akhlak Jakarta: Rajawali Pers, 1992.

Ilyas, Yunahar. Kuliah Akhlaq, Yogyakarta: Lembaga Pengkajian dan Pengalaman

Islam (LPPI UMY), 2011.

Racmat, Djatnika. Sistem etika Islami (Akhlak Mulia), tt.

Syaltout, Syaikh Mahmoud. Islam Sebagai Aqidah dan Syariah (2), Jakarta:

Bulan Bintang, 1985.

Anda mungkin juga menyukai