Anda di halaman 1dari 12

MALABSORPSI

Penyakit usus halus seringkali disertai perubahan fungsi- yang bermanifestasi sebagai
sindrom malabsorpsi. Malabsorpsi adalah terganggunya absorpsi satu atau banyak zat gizi
dalam mukosa usus, menyebabkan terjadinya gerakan makanan terdigesti yang tidak
memadai dari usus halus ke dalam darah atau sistem lirnfatika (Price,Sylvia A.2015).

Malabsorpsi dan maldigesti harus dibedakan, karena meningkatnya kehilangan zat


gizi dalam feses dapat menggambarkan salah satu proses tersebut. Maldigesti adalah
kegagalan absorpsi zat gizi pada pemecahan proses pencernaan kimiawi yang berlangsung
dalarn lumen usus atau brush border mukosa usus (Price,Sylvia A.2015).

Penyebab

Penyebab mendasar maldigesti termasuk dalam tiga kategori pertama. Gastrektomi,


khususnya prosedur Billroth II, menyebabkan pencampuran yang tak sernpurna antara kimus
dengan sekret lambung. Penyakit hepatobiliar dapat menyebabkan terjadinya insu fisiensi
asarn empedu intralumen. Kegagalan pankreas dalam menghasilkan atau mengeluarkan
enzim~enzim yang cukup dapat disebabkan oleh sejumlah gangguan pankreas. Dapat terjadi
kegagalan pengeluaran CCK, yang merangsang sekresi pankreas pada sindrom Zollinger
Ellison akibat asidifikasi berlebihan pada duodenum atau penyakit mukosa usus itu sendiri,
misalnya sprue. Penyakit pada ileum terminalis, atau reseksi ileum untuk pengobatan enteritis
regional dapat menyebabkan terjadinya insusiensi garam empedu yang mengganggu
resorpsi ileum. Pertumbuhan bakteri yang berlebihan dalam puntung duodenum (lengkung
buntu atau lengkung aferen yang terbentuk dalam prosedur Billroth II) menyebabkan
terjadinya malabsorpsi vitamin B12 karena penggunaan vitamin ini dan menyebabkan
terjadinya maldigesti lemak akibat dekonjugasi garam empedu. Garam empedu yang tidak
terkonjugasi kurang efektif untuk pembentukan misel dan lebih sedikit terabsorpsi dalam
ileum. Kekurangan faktor intrinsik menyebabkan ketidakmampuan untuk mengabsorpsi
vitamin B12; kekurangan B12 menyebabkan terjadinya anemia pernisiosa. Kekurangan
laktase herediter menyebabkan malabsorpsi selektif laktosa (suatu disakarida susu) dan
keadaan ini sangat sering terjadi pada orang Hispanik, Amerika yang berasal dari Afrika, dan
Asia Tenggara. Aterosklerosis arteria mesenterika (angina abdominal) dapat menyebabkan
terjadinya malabsorpsi dan merupakan sumber ketidaknyamanan pada orang tua, tetapi
penyakit ini jarang terdiagnosis (Price,Sylvia A.2015).

Gejala dan Tanda

Gejala dan tanda malabsorpsi dapat terbagi dalam dua kelompok: akibat isi lumen
usus yang abnormal dan akibat desiensi zat gizi. Penurunan berat badan, diare, steatore,
atus, dan nokturia merupakan gejala dan tanda yang paling sering timbul dan semuanya
disebabkan oleh isi lumen usus yang abnormal (Price,Sylvia A.2015).

Deteksi

Sebagian besar pemeriksaan yang bemianfaat untuk menegakkan diagnosis


malabsorpsi dapat menunjukkan adanya gangguan malabsorpsi maupun maldigesti. Hanya
ada sedikit pemeriksaan yang membedakan kedua hal ini. Penggabungan pemeriksaan ini
seringkali penting dalam penegakan diagnosis (Price,Sylvia A.2015).

Lemak feses

Uji tertua dan terpercaya untuk mengetahui adanya steatore (sehingga diketahui
adanya malabsorpsi), adalah pemeriksaan lemak feses secara kuantitatif. Secara kualitatif,
feses diperiksa untuk mengetahui adanya lemak netral, lemak pecah, dan serat otot yang tidak
tercema. Skrining ini dapat dipercaya untuk pemeriksaan steatore dan sebagai alat untuk
membedakan antara sprue seliak dan insufisiensi pankreas. Orang normal mengeluarkan
lemak dalam feses kurang dari 6 g per hari. Ekskresi lemak lebih dari 6 g dianggap
berlebihan dan disebut sebagai steatore. Pada kasus berat, feses tampak abnormal, pucat,
berrninyak, berbuih, dan mengambang. Feses mungkin melekat pada jamban dan tidak
mudah disiram (Price,Sylvia A.2015).

Pengumpulan feses 72 jam digunakan sebagai pemeriksaan kuantitatif untuk


rnenghilangkan kesalahan akibat variasi makanan sehari-hari. Pameriksaan lemak feses
panting dilakukan untuk menegakkan diagnosis sprue nontropis, setelah gastrektomi luas,
dan pada gangguan malabsorpsi lain. Uji ini tidak dapat digunakan untuk membedakan antara
maldigesti (seperti pada gangguan pankreas) dan malabsorpsi akibat penyakit usus (seperti
sprue nontropis). Akan tetapi, serat daging yang tidak tercema dalam feses sangat meningkat
pada insufisiensi pankreas, dan hal ini biasanya tidak terdapat pada sprue non-tropis
(Price,Sylvia A.2015).

Uji Absorpsi D-xilosa

D-xilosa merupakan pentosa (monosakarida 1ima karbon) relatif inert yang diabsorpsi
dalam usus halus bagian proksimal tanpa tercerna, masuk ke hati dan kemudian seluruhnya
dikeluarkan oleh ginjal. Pengukuran jumlah Dxilosa yang dikeluarkan dalam urine
memberikan petunjuk mengenai kemampuan absorpsi mukosa usus halus. Uji ini berguna
untuk menilai absorpsi karbohidrat. Uji ini dilakukan setelah penderita berpuasa selama 12
jam. Pada fungsi ginjal normal, sedikitnya 20% dari 25 g dosis Dxilosa yang diminum
secara peroral harus dikeluarkan melalui urine dalam waktu 5 jam. Ekskresi yang kurang dari
jumlah ini atau kadar Dxilosa dalam darah yang kurang dari 30 mg / dl memperlihatkan
adanya malabsorpsi. Hasil uji Dxilosa yang abnormal paling sering ditemukan pada
gangguan usus proksimal (misalnya sprue). Hasil uji ini normal pada gangguan maldigestif
seperti pankreatitis kronik (Price,Sylvia A.2015).

Uji Schilling untuk mengetahui absorpsi vitamin B12

Uji Schilling merupakan pemeriksaan yang berguna untuk mengetahui absorpsi


vitamin B12 dan sering dilakukan secara bertahap untuk memastikan penyebab spesifik
malabsorpsi. Bila pengumpulan urine mencukupi, ekskresi vitamin B12 berlabel 60 Co yang
rendah menunjukkan adanya gangguan absorpsi akibat kurangnya faktor instrinsik (anemia
pernisiosa), pertumbuhan bakteri yang berlebihan pada usus halus proksimal
pascagastrektomi Billroth II, penyakit mukosa ileum seperti pada enteritis regional, atau
insufisiensi pankreas. Koreksi malabsorpsi dengan faktor intrinsik dapat menyebabkan
defisiensi faktor intrinsik yang menyebabkan terjadinya anemia pernisiosa. Bila hasil uji
Schilling kembali normal setelah pengobatan antibiotik, hal ini membantu memastikan
diagnosis malabsorpsi akibat pertumbuhan bakteri berlebihan pada usus proksimal setelah
operasi gastrektomi Billroth II (bakteri mengambil vitamin B12 sehingga mencegah
terjadinya absorpsi). Malabsorpsi vitamin Bnyang terjadi akibat insufisiensi pankreas dapat
dikoreksi dengan pemberian enzim pankreas. Malabsorpsi vitamin B12 akibat enteritis re-

gional yang mengenai ileum terminalis tidak dapat dikoreksi dengan setiap tindakan di atas.

Biakan isi duodenum dan jejunum Uji yang terpercaya untuk memastikan perturnbuhan

bakteri yang berlebihan dalam usus proksimal adalah dengan melak-ukan aspirasi dan biakan
isi usus. Usus halus bagian proksimal normal mengandung kurang dari 105 organisme/ ml,
dan umumnya merup akan organisme sejenis dengan yang terdapat dalam orofaring.
Mekanisme terpenting dalam mempertahankan sterilitas usus proksima1 secara bakteriologis
adalah peristaltik normal yang menyapu bakteri ke arah distal, adanya asam lambung, dan
sekresi imunoglobulin A (IgA) dalam usus. Akibatnya, setiap keadaan yang menyebabkan
stasis isi usus bagian proksimal, seperti lengkung buntu setelah pembedahan Billroth II dapat
menyebabkan terjadinya anemia makrositik (karena penggunaan vitamin B12 oleh
mikroorganisme), diare, dan steatore (karena dekonjugasi garam empedu olehbakteri).
Akhlorhidria lambung dan hipogamaglobulinemia adalah keadaan lain yang dapat
menyebabkan terjadinya pertumbuhan bakteri yang berlebihan (Price,Sylvia A.2015).

Pemeriksaan radiologik barium pada gastrointestinal

Gambaran radiograk usus halus dapat bersifat nonspesifik atau diagnostik.


Gambaran khas sindrom malabsorpsi adalah hilangnya pola barium yang seperti bulu, dan
peningkatan flokulasi barium disertai segmentasi dan gambaran seperti gumpalan. Gambaran
ini sering ditemukan pada sprue tetapi juga terdapat pada gangguan malabsorpsi lain. Pada
enteritis regional, lumen ileum mungkin menyempit ("string sign) (Price,Sylvia A.2015).

Biopsi usus halus

Biopsi adalah pexneriksaan untuk menguji kelainan yang terdapat dalarn penyakit
(seperti sprue) karena biopsi mukosa usus dapat memperlihatkan adanya atrofi vili. Biopsi
dapat dilakukan dengan melakukan endoskopi atau yang lebih jarang lagi dengan menyuruh
pasien menelan sebuah kapsul lalu mencari lesi mukosa dengan pemeriksaan radiografi
(Price,Sylvia A.2015).
Uji napas

Tubuh manusia secara nonnal tidak memproduksi gas hidrogen (H2). Gas ini
sebenarnya adalah hasil sampingan dari metabolisme karbohidrat oleh bakten'. Pasien yang
berpuasa pada umumnya memiliki konsentrasi H2 ekspirasi yang rendah. Prinsip ini
digunakan untuk merancang beberapa uji napas non invasif yang membantu menegakkan
diagnosis berbagai gangguan malabsorpsi. Uji napas laktosa merupakan sebuah uji yang
sensitif untuk mendeteksi aclanya defisiensi laktase (lihat pernbahasan selanjutnya). Lima
puluh gram laktosa diberikan secara peroral dan kemudian dilakukan pemantauan kadar H2
pernapasan. Normahiya laktosa akan diabsorpi clan bila tidak ada pertumbuhan bakteri yang
berlebihan di usus halus maka kadar H2 pernapasan pasien tidak bertambah secara bermakna.
Malabsorpsi laktosa menghasilkan ekskresi H2 yang tinggi akibat ferrnentasi kolonik. llji
napas laktulosa dan uji napas C-kolilglisin (asam empedu) digunakan untuk mendeteksi
pertumbuhan bakteri yang berlebihan dalam usus halus. Apabila pasien rnenelan laktulosa
(suatu clisakarida yang tidak diserap), maka secara normal produksi H2 akan meningkat
secara tajarn ketika laktulosa rnencapai sekum. Cara ini kadang- kadang dipakai untuk
memperkirakan waktu transit yang terjadi di usus halus. Peningkatan tajam kadar H2
pernapasan yang terjadi lebih awal, menunjukkan adanya pertumbuhan bakteri yang
berlebihan dalam usus halus. Pada uji napas asam empedu, asam empedu berlabel C
diberikan pada pasien secara peroral kemudian secara normal akan diabsorpsi utuh dan
mengalami sirkulasi enterohepatik. Akibatnya, hanya sejurnlah kecil CO2 yang dilepaskan
melalui pernapasan. N amun bila diuraikan oleh bakteri, maka C akan dimetabolisme dan
akhirnya dihembuskan sebagai CO2. Kenajkan CO2 pernapasan yang terjadi dini adalah
tanda khas pada pasien yang di usus proksimalnya terdapat pertumbuhan bakteri berlebihan,
walaupun kadar CO2yang tinggi dapat pula terjadi pada malabsorpsi garam empedu (seperti
yang terjadi pada enteritis regional) akibat degradasi oleh bakteri di kolon (Price,Sylvia
A.2015).

GANGGUAN PRIMER USUS HALUS YANG DISERTAI MALABSORPSI

Sprue Non-Tropis (Penyakit Seliak) Steatore idiopatik pada orang dewasa dan
penyakit seliak pada anak merupakan penyebab terpenting malabsorpsi berat pada daerah
non-tropis. Kedua keadaan tersebut dianggap merupakan fase-fase dari satu penyakit yang
sama. Penyakit ini ditandai oleh atro vili usus halus bagian proksirnal karena menelan
makanan yang mengandung gluten (Price,Sylvia A.2015).

Patofisiologi

Gluten merupakan protein yang rnemiliki berat molekul besar, ditemukan dalam
gandum hitam (rye), oat, barley dan terutama gandum. Oleh karena itu, gluten banyak
terdapat dalam ro ti, produk roti lainnya, bir, dan beberapa makanan yang mengalami proses
tertentu. Gluten dan/atau hasil-hasil pemecahan gluten (khususnya gliadin) bersifat toksik
bagi penderita penyakit ini. Gejala menghilang bila gluten dihilangkan dari diet, dan akan
muncul kembali bila gluten diberikan kembali dalam diet. Lesi khas mukosa usus yang
diinduksi gluten adalah hilangnya atau tumpulnya vili disertai pemanjangan kripta, sehingga
menyebabkan mukosa terlihat datar. Hilangnya vili menyebabkan berkurangnya permukaan
absorpsi secara bermakna (Price,Sylvia A.2015).

Walaupun mekanisme keracunan gluten tidak diketahui, tetapi diduga penderita tidak
mempunyai peptidase spesifik yang dalam keadaan normal diperlukan untuk detoksikasi
peptida gluten yang berbahaya Hipotesis ini didukung oleh kenyataan adanya kecenderungan
kuat penyakit ini bersifat familial. Selain itu, juga dikemukakan bahwa gluten atau
metabolitnya menyebabkan terjadinya reaksi hipersensitivitas pada mukosa usus. Teori ini di-
dukung oleh fakta telah ditemukannya antibodi terhadap gliadin di dalam darah penderita
penyakit ini, dan dapat terjadi perbaikan parsial bila diterapi dengan kortikosteroid
(Price,Sylvia A.2015).

Gambaran klinis

Penderita sprue non-tropis diduga dilahirkan dengan kecenderungan untuk menderita


penyakit ini, tetapi selama beberapa tahun tidak rnenunjukkan gejala walaupun terdapat
gluten dalam dietnya. Faktor-faktor yang mempercepat timbuhwya garnbaran klinis tidak
diketahui. Awitan biasanya terjadi pada bayi berusia 6 bulan sampai 2 tahun, dan pada orang
dewasa berusia antara 20 dan 50 tahun. Gejala ini jarang timbul pada anak atau remaja. Bila
pada bayi dijumpai anoreksia, iritabilitas, dan diare yang disertai dengan feses pucat dan
banyak, akan segera diikuti oleh penurunan berat badan. Bila tidak diobati, maka akan segera
terlihat adanya kegagalan pertumbuhan. Lesu, lemah, dan diare merupa- kan gejalageja1a
yang paling sering timbul pada orang dewasa, tetapi penderita dapat pula memperlihatkan
gejala dan tanda sindrom malabsorpsi . Orang dewasa seringkali mempunyai riwayat yang
mengesankan adanya sprue pada waktu anak. Diagnosis ditegakkan dengan bukti adanya
malabsorpsi, perubahan khas pada biopsi usus halus, dan perbaikan klinis dengan diet bebas
gluten (Price,Sylvia A.2015).

Pengobatan

Pengobatan sprue nontropis dengan diet bebas gluten umumnya sangat berhasil,
usahakanlah supaya pasien menyukai diet tersebut. Respons terhadap makanan bebas gluten
ini berupa feses yang berubah warna Inenjadi normal, diare menghilang, dan berat badan
meningkat. Sejumlah kecil pasien yang mungkin tidak berespons terhadap diet bebas gluten,
dapat membaik bila diberi pengobatan kortikosteroid, tetapi mereka Inemiliki prognosis yang
kurang baik. Angka mortalitas sebelum ditemukannya diet bebas gluten sebagai pengobatan
adalah sebesar 20% (sebelum Perang Dunia H), tetapi sekarang ini angka mortalitas hampir
nol pada pasien yang sensitif terhadap gluten (Price,Sylvia A.2015).

Sprue tropis

Sprue tropis terjadi pada daerah tropis tertentu seperti Puerto Rico, India, dan Asia
Barat Daya. Gejala dan tanda mirip dengan sprue non-tropis, sedangkan pembahan pada hasil
biopsi juga serupa tetapi lebih ringan. Etiologi tidak diketahui, tetapi diduga disebabkan oleh
suatu agen infektif (walaupun belurn terbukti). Sebagian besar penderita sembuh setelah
pengebatan antibiotik berspektrum luas (tetrasiklin) (Price,Sylvia A.2015).

Defisiensi Laktase

Seperti yang telah dibicarakan sebelumnya, hidrolisis disakarida menjadi


monosakarida terjadi dalam brush border mukosa usus. Defisiensi enzim-enzim tertentu yang
menghidrolisis disakarida dapat terjadi akibat cacat genetik, atau mungkin terjadi sekunder
akibat berbagai macam penyakit saluran cema yang merusak mukosa usus halus. Defisiensi
laktase merupakan jenis sindrom defisiensi disakarida yang paling sering terjadi. Laktase
adalah enzim yang secara normal memecah laktosa (suatu disakarida) menjadi glukosa dan
galaktosa (monosakarida) pada brush border usus, sehingga dapat terjadi absorpsi. Laktosa
merupakan karbohidrat utama dalam susu, sehingga banyak penderita intoleransi susu yang
terbukti mengalami defisiensi laktase. Terdapat diskriminasi rasial yang nyata pada penderita
defisiensi laktase primer. Kenyataannya, defisiensi laktase hanya ditemukan pada sekitar 5
sampai 10% penduduk berkulit putih, tetapi insidensi ini mencapai 80 sampai 90% di antara
orang Afrika-Amerika, Asia, dan Bantu (penduduk Afrika Tengah). Meskipun defisiensi
laktase tampaknya bersifat herediter, intoleransi susu bisa tidak jelas secara klinis hingga usia
remaja. Defisiensi laktase sekunder berkaitan dengan banyak keadaan yang menyebabkan
cedera mukosa usus, seperti sprue tropis dan nontropis, enteritis regional, infeksi bakteri dan
virus pada saluran cerna, giardiasis, fibrosis kistik, dan kolitis ulseratif (Price,Sylvia A.2015).

Gejala khas desiensi laktase adalah kejang perut, kembung, dan diare se telah minum
susu. Mekanisme patosiologi yang menerangkan diare adalah sebagai berikut. Bila laktosa
yang tidak dihidrolisis masuk ke usus besar, dapat menimbulkan efek osmotik yang
menyebabkan masuknya air ke dalam lumen kolon. Bakteri kolon juga meragikan laktosa
sehingga menghasilkan asam laktat dan asam lemak yang mengiritasi kolon. Akibatnya
terjadi peningkatan motilitas usus akibat iritasi kolon dan diare hebat. Riwayat intoleransi
susu atau produk susu lainnya dan pH feses yang menurun menjadi 6,0 (normalnya pH feses
7,0 sampai 7,5) sangat mendukung diagnosis defisiensi laktase. Diagnosis ini dapat
ditegakkan dengan uji napas laktosa, seperti yang sudah diterangkan sebelumnya, atau
dengan uji toleransi laktosa. Uji toleransi laktosa dilakukan dengan memberikan laktosa 50 g,
kemudian kadar glukosa darah diukur seperti melakukan uji toleransi glukosa; pada defisiensi
laktosa, kadar gula darah tidak dapat naik lebih dari 20 mg / 100 ml dibandingkan dengan
kadar gula darah puasa. Pengobatan dapat dilakukan dengan tidak mengonsumsi susu dan
produk susu lainnya. Tetapi, biasanya pasien mampu menoleransi yogurt, karena terdapat
kandungan derivat laktase yang dipecahkan oleh bakteri (Price,Sylvia A.2015).

Malabsorpsi Pasca-Gastrektomi

Malabsorpsi dan penurunan berat badan adalah gambaran yang sering ditemukan
setelah gastrektomi. Hal ini hampir selalu terjadi setelah gastrektomi total, dan sering pula
setelah prosedur Billroth II, namun jarang terjadi setelah prosedur Billroth I. Meningkatnya
kehilangan lernak melalui feses terjadi pada banyak penderita yang telah menjalani prosedur
Billroth II, terutama bila puntung duodenum (lengkung buntu atau aferen) panjang. Penyebab
utarna steatore adalah: (1) pencampuran Inakanan dengan enzim yang berlangsung kurang
sempurna akibat pengosongan isi lambung yang terlalu cepat (partikel makanan terlalu besar
bagi enzim); (2) berkurangnya sekresi pankreas akibat adanya pintas duodenum dan
kurangnya rangsangan kimus asam untuk mengeluarkan sekretin dan CCK; (3) stasis isi usus
pada lengkung aferen yang mengakibatkan proliferasi bakteri menjadi abnormal, yang dapat
memakai habis vitamin B12 serta menyebabkan terjadinya dekonjugasi garam-garam
empedu; (4) hilangnya fungsi lambung sebagai reservoir mengakibatkan waktu transit
makanan di usus berjalan lebih cepat sehingga rnengakibatkan diare (Price,Sylvia A.2015).

Apabila terjadi malabsorpsi berat, penderita dapat mengalami anemia dan gejala lain
akibat desiensi zat gizi. Pengobatan yang tepat untuk rnengatasi malabsorpsi pasca-
gastrektomi bergantung pada penyebab mekanisme malabsorpsi yang dikenali. Antibiotik
berspektrum luas (tetrasiklin) diberikan bila penyebabnya adalah pertumbuhan bakteri yang
berlebihan. Terapi menggunakan enzim pankreas mungkin dapat mernbantu mengatasi
desiensi fungsional pankreas. Makan sedikit makanan rendah karbohidrat yang dimakan
tanpa minum air dapat membantu memperlambat pengosongan lambung yang berlangsung
terlalu cepat (sindrom dumping) (Price,Sylvia A.2015).

Enteritis Regional (Penyakit Crohn)

Enteritis regional, ileokolitis, atau penyakit Crohn merupakan suatu penyakit


peradangan granule- matosa kronis pada saluran cerna yang sering terjadi berulang. Secara
klasik penyakit ini mengenai ileum terminalis, walaupun dapat juga mengenai setiap bagian
saluran cerna. Penyakit ini biasanya timbul pada orang dewasa muda dalam usia dekade
kedua atau ketiga dan lebih sering lagi terjadi dalam usia dekade keenam. Laki-laki dan
perempuan terserang penyakit ini dalam perbandingan yang kira-kira sama. Penyakit Crohn
cenderung bersifat familial dan pal- ing sering terjadi pada kulit putih dan Yahudi
(Price,Sylvia A.2015).

Etiologi enteritis regional tidak diketahui. Walaupun tidak ditemukan adanya


autoantibodi, enteritis regional diduga merupakan suatu reaksi hipersensitivitas atau mungkin
disebabkan oleh agen infektif yang belum diketahui. Teorite0ri ini dikemukakan karena
adanya lesilesi granulomatosa yang mirip dengan lesi-lesi yang ditemukan pada lesi jamur
dan tuberkulosis paru (Price,Sylvia A.2015).

Terdapat beberapa persamaan yang menarik antara enteritis regional dan kolitis
ulserativa. Keduanya adalah penyakit radang, walaupun lesinya berbeda. Kedua penyakit ini
bermanifestasi di luar saluran cema yaitu uveitis, artritis, dan lesi kulit yang identik. Merokok
adalah faktor risiko terjadinya penyakit Crohn, tetapi tidak pada kolitis ulseratif (Price,Sylvia
A.2015).

Patologi

Enteritis regional mengenai ileum terminalis pada sekitar 75% kasus, dan mengenai
l<0lon pada sekitar 35% kasus. Esofagus dan lambung lebih jarang terserang penyakit
Dalam beberapa keadaan, terjadi lesi melompat," yaitu bagian usus yang sakit dipisahkan
oleh daerah-daerah usus normal sepanjang beberapa inci atau kaki (Price,Sylvia A.2015).

Lesi ini diduga mulai terjadi dalam kelenjar limfe dekat usus halus, yang akhimya
menyumbat aliran saluran limfe. Selubung submukosa usus jelas menebal akibat hiperplasia
jaringan limfoid dan limfedema. Dengan berlanjutnya proses patogenik, segmen usus yang
terserang menebal sedemikian rupa sehingga kaku seperti slang kebun. Lumen usus menjadi
sangat menyempit, sehingga hanya dilewati sedikit aliran barium, menimbulkan "tanda senar
(string sign) yang terlihat pada pemeriksaan radiografi. Seluruh dinding usus biasanya
terserang. Mukosa seringkali meradang dan timbul tukak disertai dengan eksudat putih
berwarna abu-abu. Daerah yang bertukak ini memiliki gambaran fisura dan granuloma batu
koral (Price,Sylvia A.2015).

Gambaran klinis

Gejala dan tanda enteritis regional sangat bergantung pada stadium penyakit yang
masih dini atau sudah lanjut, dan sesuai dengan bagian saluran cerna yang terserang. Gejala
yang sering ditemukan adalah diare intermiten ringan (dua sampai lima kali per hari), nyeri
kolik pada abdomen bagian bawah, dan malaise yang makin bertambah setelah periode
bertahuntahun. Penderita penyakit ini yang lebih berat dapat mengalami defekasi cair
dalam frekuensi sering disertai dengan darah dan pus dalam feses. Beberapa penderita
mengalami steatore, penurunan berat badan, anemia, dan manifestasi malabsorpsi lainnya.
Pasien juga sering mengalami demam ringan (Price,Sylvia A.2015).

Sebagian penyulit bersifat khas untuk enteritis regional. Stenosis yang terjadi dapat
menyebabkan tirnbulnya gejala muntah dan tanda obstruksi usus lainnya. Obstruksi ureter
kanan dan hidronefrosis dapat terjadi akibat kompresi eksternal pada ureter oleh massa ileum.
Lesi bertukak dapat mengalami perforasi melalui dinding usus dan menyebabkan terjadinya
peritonitis. Perforasi yang lebih sering terjadi adalah perforasi tertutup dan terbentuk fistula
antara lengkung usus, sedangkan yang lebih jarang terjadi adalah perforasi yang melibatkan
kandung kemih dan vagina. Tukak, abses, dan fistula sering terjadi pada daerah perianal dan
perirektal. Fistula ekstema pada dinding anterior abdomen juga dapat terjadi. Demam tinggi
biasanya berkaitan dengan peradangan yang luas atau komplikasi seperti fistula dan abses.
Hingga 30% penderita penyakit ileum biasanya menderita batu empedu. Timbulnya penyakit
ileum yang luas menyebabkan terjadinya malabsorpsi garam empedu yang berkaitan dengan
menurunnya lengkung garam empedu dan meningkatnya pembentukan batu empedu. Pasien
ini juga cenderung rnengalami pembentukan batu oksalat urine akibat meningkatnya absorpsi
oksalat dalam kolon. Diare yang menyebabkan terjadinya dehidrasi adalah faktor risiko
tambahan untuk terjadinya pernbentukan batu ginjal (Price,Sylvia A.2015).

Manifestasi penyakit ini di luar saluran cerna adalah artritis, uveitis, dan lesi kulit,
tetapi manifestasi ini lebih jarang terjadi dibandingkan pada kolitis ulseratif. Diagnosis
ditegakkan berdasarkan gambaran klinis, perubahan dalam pemeriksaan radiografi, adanya
keterlibatan kolon atau rektum, dan perubahan hasil biopsi yang memperlihatkan adanya lesi
granulomatosa (Price,Sylvia A.2015).

Pengobatan dan prognosis

Tidak ada pengobatan enteritis regional yang bersifatkhusus atau kuratif.


Penatalaksanaan dini pada sebagian besar penderita bersifat medis, suportif, dan paliatif, yang
bertujuan untuk mendapatkan keadaan remisi. Penggunaan kortikosteroid, azatioprin
(Imuran), 6-merkaptopurin (6-MP), dan sulfasalazin (Azuldine) bertujuan untuk
rnernpermudah terjadinya remisi dan mengendalikan komplikasi supuratif. Obat anti
kolinergik, seperti propantelin bromida (Pro- Banthine) dan obat antidiare, seperti
difenoksilat dengan atropin (Lomotil), dapat membantu mengurangi kejang, nyeri abdomen,
dan diare. Obat ini merupakan kontraindikasi pada obstruksi usus. Defisiensi zat gizi dan
steatore diobati dengan peng- gantian zat gizi yang sesuai dengan diet rendah lemak dan diet
sedikit residu. Ketidakseimbangan elektrolit dan cairan serta volume darah dapat dipulihkan
dengan penggantian cairan atau nutrisi secara intravena (IV) dan transfusi darah(Price,Sylvia
A.2015).

Pembedahan umumnya dihindari karena rekurensi dan penyebaran lesi biasanya


timbul setelah reseksi. Namun, adakalanya pembedahan perlu dilakukan selama perjalanan
penyakit, untuk mengatasi komplikasi (Price,Sylvia A.2015).

Bila enteritis regional timbul secara akut, maka sekitar 90% penderita dapat mencapai
remisi spontan. Akan tetapi, enteritis regional memiliki awitan yang lambat pada sebagian
besar pasien. Sekitar 75% pasien akan mengalami relaps. Angka mortalitas yang secara
langsung disebabkan oleh penyakit ini rendah (Price,Sylvia A.2015).

Anda mungkin juga menyukai