Anda di halaman 1dari 6

Nama : Anisa Endah Pertiwi

NPM : 180310100024
UAS Dinamika Sosial Budaya Indonesia Pada Masa Hindia Belanda (XIX-XX)
Dosen : Tanti R. Skober, S.S., M.Hum.

Jelaskan bagaimana dampak politik etis terhadap kehidupan sosial budaya


di Hindia Belanda!
Pendahuluan : Politik Etis
Hindia Belanda telah merasakan pahit getirnya dikoloni oleh suatu bangsa
yang besar yang berasal dari luar. Semenjak munculnya bangsa-bangsa asing ke
Hindia Belanda, pemerintahan dikuasai oleh bangsa-bangsa asing tersebut.
Maskapai dagang yang didirikan Belanda atau VOC memiliki peran penting
dalam sejarah panjang Indonesia. Hingga berakhirnya masa VOC di Hindia
Belanda, kolonialisme baru lahir.
Gubernur Jenderal yang baru dikirim untuk mengawasi Hindia Belanda.
Pertama, Daendels tiba ke Hindia Belanda dan merombak sistem administrasi
yang dia anggap kotor dan kacau. Selain itu, ia juga menghapuskan sistem
feodalisme di tanah Jawa karena melihat kepatuhan yang berlebih dari rakyat
untuk penguasa lokal semacam raja dan atau sultan. Jalan Raya Pos yang berjarak
1000km juga dia buat dengan menggunakan tenaga rakyat pribumi dan kebijakan-
kebijakan lain yang kebanyakan tidak meringankan bebean rakyat. Kedua,
Janssens yang tidak bisa bertahan lama di Hindia Belanda krena tidak bisa
melawan serangan Inggris yang kemudian digantikan oleh Gubernur Jenderal
Raffles dari Inggris. Kebijakan-kebijakan Raffles juga tidak jauh berbeda dengan
Daendels, terutama dalam menghapuskan feodalisme. Namun, kebijakan yang ia
ambil secara terburu-buru menyebabkan pemerintah pusat dari Inggris
memintanya untuk kembali. Setelah itu, beberapa Gubernur Jenderal yang tidak
terkenal berasal dari Belanda juga memerintah di Hindia Belanda dan pada tahun
1830 masuk masa baru setelah selama lima tahun mengalami perang besar di
Jawa.
Pada 1830 hingga 1870, dikenal dengan masa tanam paksa, dimana
pribumi diwajibkan bekerja di perkebunan. Sistem tanam paksa atau
Cultuurstelsel tersebut membuat keuangan Belanda menjadi lebih baik tapi
membuat rakyat pribumi sengsara. Dari periode berikutnya hingga akhir abad ke-
19, Hindia Belanda diisi oleh perusahaan swasta asing yang juga menguasai
perkebunan. Alih-alih ingin menyejahterakan rakyat dengan menghapuskan sistem
tanam paksa dan menghapuskan perbudakan, pihak swasta asing yang bersifat
liberal ini juga tidak jauh berbeda dengan pihak pemerintah Hindia Belanda.
Eksploitasi besar-besaran pun terjadi. Rakyat juga semakin sengsara.
Lama setelah itu, garis politik kolonial baru dimunculkan secara resmi
oleh van Dedem sebagai anggota parlemen. Dalam pidatonya (1891), ia
mengatakan bahwa harus diadakannya pemisahan keuangan Hindia Belanda dari
Negeri Belanda. Ia juga ingin memperjuangkan kemajuan rakyat dengan membuat
bangunan umum, desentralisasi, kesejahteraan rakyat, dan ekspansi yang pada
umunya menuju ke suatu politik yang konstruktif. Perjuangan tersebut kemudian
dilanjutkan oleh Van Kol, van Deventer, dan Brooschooft. Dengan begitu,
muncullah Politik Etis yang merupakan kebijakan Hindia Belanda untuk
menyejahterakan rakyat dengan didasarkan atas balas budi dari semua yang telah
dilakukan oleh pemerintah terhadap rakyat pribumi yang dianggap tidak beradab
oleh mata dunia. Politik ini diperjuangkan untuk mengadakan desentralisasi,
kesejahteraan rakyat, serta efisiensi. Politik Etis ini juga muncul akibat politik
liberal yang tiba ke Hindia Belanda yang berisi tentang Undang-undang Agraria
dan pergulaan, sewa pertanahan, dan undang-undang pertambangan. Akibatnya
terjadi demoralisasi dan disorganisasi masyarakat. Tepatnya, Politik Etis ini
berasal dari Brooscooft dan C. van Deventer yang merupakan seseorang dari
kalangan kaum liberal. Van Deventer mengecam tindakan Belanda yang tidak
memisahkan keuangan antara Belanda dengan negeri jajahannya. Selain itu ada
tokoh lain yaitu Fock yang menyatakan bahwa pendidikan yang lebih baik akan
memperkuat kaum pribumi dalam administrasi, lakukan pembangunan irigasi,
pembangunan jalan kereta api, pembelian kembali tanah-tanah partikelir,
pemberian kredit untuk pertanian, dan mendorong perindustrian.Politik Etis
mengubah pandangan dalam politik kolonial yang menyatakan Indonesia tidak
lagi sebagai daerah yang menguntungkan, menjadi daerah yang perlu
dikembangkan sehingga dapat dipenuhi keperluannya, dan ditingkatkan budaya
pribumi.
Golongan-golongan politik yang memberikan kritik tersebut merupakan
golongan yang tidak sejalur dengan tindakan kolonialisme di negeri jajahannya.
Seharusnya, para pemilik negeri koloni tersebut menyejahterakan negeri
jajahannya, melakukan evolusi ekonomi bukan eksploitasi besar-besaran terhadap
negeri jajahannya. Dengan begitu maka, tidak akan muncul berbagai keluhan dari
pihak manapun tentang apa yang dilakukan oleh pemilik negeri koloni. Dengan
adanya politik Etis, maka kemudian ada balas budi dan hutang kehormatan yang
harus dibayar Belanda. Dengan munculnya Politik Etis dari berbagi pemikiran
tersebut, maka diharapkan rakyat akan lebih sejahtera. Selama periode tahun
1900-1925, banyak kemajuan terutama dalam bangunan-bangunan yang mulai
dijalankan. Selain itu, ada tiga hal dari Politik Etis (Poesponegoro, 1993:34-42),
yaitu:
1. Irigasi (pembangunan pengairan dan banguna-bangunan irigasi)
2. Emigrasi (pemindahan penduduk)
3. Edukasi (pendidikan).
Dampak Politik Etis terhadap kehidupan sosial budaya di Hindia Belanda
Politik Etis yang berkembang pada awal abad ke-20 di Hindia Belanda
diusulkan oleh orang-orang yang berasal dari negeri Belanda. Bila dipikirkan,
politik etis sebenarnya membantu pemerintah Hindia Belanda dalam membenahi
tatanan kehidupan di Hindia Belanda. Seperti:
1. Irigasi (pembangunan pengairan dan bangunan-bangunan irigasi),
membanu pemerintah Hindia Belanda dalam pembangunan negeri menjadi
sebuah kawasan dengan tata kota kolonial.
2. Emigrasi (perpindahan penduduk), sesuai dengan keadaan Hindia Belanda
yang diisi oleh pribumi yang menganggur maka dilakukan emigrasi ke
kawasan yang cukup luas dan masih banyak lowongan pekerjaan. Hal ini
meringankan beban perusahaan swasta asing yang memiliki perusahaan
atau perkebunan di Hindia Belanda.
3. Edukasi (pendidikan), merupakan salah satu kebijakan yang memiliki dua
sisi yaitu positif dan negatif. Sisi positifnya, banyak rakyat yang bukan
hanya dari golongan priyayi yang dapat merasakan pendidikan. Cukup
menggembirakan memang disaat rakyat pribumi dilanda krisis kebodohan
datanglah suatu pendidikan yang menjadi pencerahan. Namun, sisi
negatifnya adalah, rakyat yang telah mendapatkan pendidikan adalah
rakyat yang akan dijadikan pegawai pemerintahan yang rendahan. Hal ini
juga membantu pemerintah Hindia Belanda dalam mencarai pegawai
pemerintah yang bisa melakukan pekerjaan sebagai pegawai pemerintahan
namun dibayar dengan gaji yang minim.
Dalam politik etis ini, muncul beberapa dampak sosial budaya, terutama
dari pendidikan. Seorang pribumi yang telah mengenyam pendidikan, sedikitnya
akan mengangkat derajat sosialnya. Pendidikan adalah merupakan bagian dari
budaya barat. Sebelumnya dikalangan pribumi hanya dikenal pesantren, yaitu
pendidikan berbasis agama Islam. Pendidikanlah yang mengangkat status
sosialnya di masyarakat. Pendidikan juga menjadi boomerang bagi pemerintah
Hindia Belanda karena masyarakat pribumi jadi lebih pintar dan mengubah
mentalitas seseorang. Hal ini sangat menguntungkan bagi rakyat, meskipun
setelahnya ada anggapan buruk bahwa pribumi disekolahkan untuk dijadikan
sebagai pegawai pemerintahan dan guru-guru rendahan, namun disisi lain hal ini
juga berdampak positif karena rakyat akan memikirkan suatu kebebasan bagi hajat
hidup dirinya dan orang banyak. Rakyat lokal baik pribumi maupun priyayi mulai
membuat sebuah gerakan kebangkitan. Meskipun rasa nasionalis belum dirasakan
secara besar-besar dari setiap lapisan masyarakat Hindia Belanda, tapi gerakan
kebangkitan itu memicu adanya rasa nasinalis untuk segera melepaskan diri dari
pemerintahan Hindia Belanda. Selain itu, pembaratan dan akulturasi antara
budaya lokal dengan orang Eropa khusunya Belanda terjadi secara menerus dan
pelan-pelan. Keadaan rakyat yang mulai melirik kepada pembebasan diri semakin
banyak terjadi. Elit-elit dan organisasi-organisasi muncul, seperti Sarekat Islam
(SI) dan Budi Oetomo.
Dengan pendidikan, rakyat pribumi yang disiapkan sebagai pegawai
pemerintah rendahan menjadi satu bukti yang memperlihatkan adanya perubahan
sosial. Banyak lulusan dari sekolah-sekolah di Hindia Belanda yang disekolahkan
lagi diluar negeri terutama di negeri Belanda. Selain itu, peran guru yang berasal
dari pribumi juga banyak muncul mengajarkan anak-anak pribumi. Dilihat dari
segi manapun, Politik Etis tetap menguntungkan pemerintah Hindia Belanda
padahal pada dasarnya Politik Etis merupakan suatu politik balas budi terhadap
rakyat akibat segala buruk yang melanda rakyat, terutama pribumi.
Disadari atau tidak pribumi setelah politik etis menjadi pekerja murah,
melebihi ketika pendidikan belum merasuk. Pekerja pribumi yang bekerja di
pemerintahan digaji lebih rendah.
Sekolah-sekolah yang menggunakan bahasa Belanda dalam pengantarnya
dapat membuat kaum pribumi berada dalam posisi dan keduddukan yang
diperhatikan dalam masyarakat, karena derajat ssosialnya meningkat. Selain itu,
dalam pemerintahan juga menjadi berpengaruh karena bahasa Belanda dianggap
bahasa golongan atas. Politik etis menambah sejarah panjang Indonesia dalam
pendidikan dan rasa nasionalis ketika sudah mendapatkan pembaratan dan
akulturasi.

Uraikan secara deskriptif kronologis bagaimana terbentuknya kelompok


masyarakat Indies di Indonesia!

Anda mungkin juga menyukai