Anda di halaman 1dari 30

FAKULTAS KEDOKTERAN UKRIDA

(UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA)


Jl. Terusan Arjuna No. 6 Kebon Jeruk Jakarta Barat

KEPANITERAAN KLINIK
STATUS ILMU KESEHATAN ANAK
FAKULTAS KEDOKTERAN UKRIDA
SMF ANAK
RUMAH SAKIT FMC

Nama : Maria Alberta TandaTangan


NIM : 11-2015-423
Dokter Pembimbing : Dr.Klementina ,Sp A

IDENTITAS PASIEN
Nama Lengkap: An. RWN Jenis Kelamin: Laki-laki
Tanggal Lahir: 23-04-1015 (1 th 5 bulan) Suku Bangsa: Sunda
Hubungan Dengan Orang Tua: Anak Kandung Agama: Islam
Alamat:Asrama Hub Kostrad Pendidikan: Belum Sekolah

IDENTITAS ORANG TUA

Nama Ayah : Tn. WP Nama Ibu : Ny.

Umur : 30 tahun Umur : 25 tahun

Pendidikan : SMA Pendidikan : SMA

Pekerjaan : Wiraswasta Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga


A. ANAMNESIS
Diambil dari: Alloanamnesis: Ibu pada tanggal 14 Oktober 2016

Keluhan Utama : Sesak sejak 3 hari yang lalu

Keluhan Tambahan : Demam, Batuk dan pilek

Riwayat Perjalanan Penyakit


Pasien datang ke unit gawat darurat Rumah sakit FMC dengan keluhan demam dan
batuk sejak empat hari yang lalu. Batuk dirasakan hilang timbul dan berdahak, Dahak
sulit dikeluarkan sehingga ibu pasien tidak tahu warna dahaknya. Tiga hari sebelum
masuk rumah sakit Pasien juga mengeluh sesak nafas, namun tidak mengganggu pasien.
Dua hari sebelum masuk rumah sakit pasien juga mengeluh pilek berwarna bening.
Riwayat asma pada keluarga tidak ada, tidak ada riwayat alergi dan riwayat kontak
dengan penderita flek atau batuk lama disangkal oleh ibu pasien.
Satu hari SMRS pasien masih demam dan batuk dan pilek, sesak yang semakin
berat, Selain itu terjadi penurunan nafsu makan dan minum diikuti keadaan pasien yang
menjadi lemas dan cenderung lebih diam dibandingkan biasanya. Mual dan muntah
disangkal. Buang air besar dan air kecil tidak ada keluhan. Sebelumnya pasien hanya
diberikan obat penurun panas oleh ibunya.

Riwayat Penyakit Dahulu :

Pasien tidak pernah mengalami sakit seperti ini sebelumnya.

Riwayat Kehamilan dan Persalinan :

Perawatan antenatal : Rutin

Tempat kelahiran : Rumah Sakit

Ditolong oleh : dokter dan bidan


Cara persalinan : Spontan

Penyakit kehamilan : Tidak ada

Masa gestasi : Cukup bulan (38-39bulan)

Keadaan Bayi :

- Berat badan lahir : 3100 gram

- Panjang badan lahir : 49 cm

- Sianosis : Tidak ada

- Ikterus : Tidak ada

- Langsung menangis : Langsung menangis

- Komplikasi kehamilan : tidak ada

Silsilah Keluarga

Ayah pasien

Ibu pasien

Pasien

Riwayat Imunisasi
VAKSIN DASAR (UMUR) ULANGAN (UMUR)
BCG 2bulan - - - - -
DPT / DT 2bulan 4bulan 6 bulan - - -
Polio 0bulan 2bulan 4bulan - - -
Campak 9 bulan - - - - -
Hepatitis B 0bulan 1bulan 6bulan - - -
MMR - - - - - -
TIPA - - - - - -

Kesan : Imunisasi dasar lengkap lengkap

Riwayat Nutrisi Pasien


Susu : ASI dan Formula.
Makanan padat : Dimulai umur 6 bulan
Makanan sekarang : Nafsu makan menurun
Jumlah yang mampu dimakan tidak mencukupi
Frekuensi 1 kali sehari

Riwayat Tumbuh Kembang


Pertumbuhan gigi pertama 6 bulan

Psikomotor Tengkurap 4 bulan

Duduk 7 bulan

Berdiri 11-12 bulan

Berbicara papa mama spesifik 12 bulan

Memakai baju sendiri -


Kesan : Tidak ada gangguan perkembangan pada anak baik Mental ataupun emosi

B. Pemeriksaan Jasmani
Tanggal 10 Oktober 2016
Keadaan Umum: Tampak Sakit Sedang, Kesadaran Compos Mentis
Tanda-Tanda Vital:
Tekanan Darah : - mmHg
Suhu : 36.9oC
Frekuensi Nafas : 38 x/menit
Frekuensi Nadi : 120 x/menit
Antropometri:
Tinggi Badan : 88 cm
Berat Badan : 10 kg
BB/U : SD -2 s/d 0
TB/U : SD -2 s/d 0
BB/TB : SD -1 s/d 0
Kesan : status pertumbuhan dan gizi anak cukup baik

Kepala
Bentuk dan ukuran :Normocephali,
Rambut dan kulit kepala :Rambut berwarna hitam, merata, tidak ada lesi pada
kulit kepala
Mata :Konjungtiva anemis -/-, Sklera ikterik -/-,
Telinga :normotia
Hidung : Septum deviasi (-), secret (+)
Bibir :Bentuk bibir normal, tidak kering
Gigi-geligi : Tidak terdapat caries dentis
Mulut : Mukosa mulut normal
Lidah : Tidak ditemukan kotoran pada lidah dan tidak ada
atrofi papil lidah, tidak ada tremor dan tidak deviasi
Tonsil : Tonsil normal T1-T1
Faring : Tidak hiperemis
Leher
Tidak ada pembesaran kelenjar getah bening di leher

Thorax
Paru-Paru :
Depan Belakang
Inspeksi Kiri Statis dan dinamis simetris, Statis dan dinamis simetris
retraksi (-)
Kanan Statis dan dinamis simetris, Statis dan dinamis simetris
retraksi (-)
Palpasi Kiri Sela iga tidak melebar Sela iga tidak melebar
Nyeri tekan (-) Nyeri tekan (-)
Massa (-) Massa (-)
Kanan Sela iga tidak melebar Sela iga tidak melebar
Nyeri tekan (-) Nyeri tekan (-)
Massa (-) Massa (-)
Perkusi Kiri Sonor dalam batas normal Sonor dalam batas normal
Kanan Sonor dalam batas normal Sonor dalam batas normal
Auskultasi Kiri Suara napas Suara napas
bronkovesikuler bronkovesikuler
Wheezing tidak ada Wheezing tidak ada
Ronkhi (+) Ronkhi (+)
Kanan Suara napas Suara napas
bronkovesikuler bronkovesikuler
Wheezing tidak ada Wheezing tidak ada
Ronkhi (+) Ronkhi (+)

Jantung :
Inspeksi : Pulsasi iktus cordis tidak tampak
Palpasi : Teraba iktus cordis pada sela iga V linea midclavicula kiri
Perkusi :
Batas kanan : sela iga V linea sternalis kanan.
Batas kiri : sela iga V, 1cm sebelah medial linea midklavikula kiri.
Batas atas : sela iga II linea parasternal kiri.
Auskultasi : BJ I-II murni reguller, murmur (-), gallop (-)

Abdomen :
Inspeksi : datar,retraksi epigastrium (-), tidak terlihat gerakan peristaltik
Auskultasi : Bising usus (+) normoperistaltik
Palpasi
Dinding Perut : nyeri tekan (-), massa (-)
Turgor Kulit : Kembali cepat
Hati : Tidak teraba membesar, nyeri tekan (-).
Limpa : Tidak teraba membesar
Ginjal : Tidak teraba
Lain-lain : undulasi (-),ascites (-)
Perkusi : Timpani
Kulit : kuning langsat, kelembaban baik
Anogenital: tidak dilakukan
Ekstremitas
Inspeksi : Deformitas (-), pembengkakkan (-)
Palpasi : Pitting oedema di kedua kaki (-)
Movement : Pergerakan keempat ekstremitas baik
C. Laboratorium & Pemeriksaan Penunjang Lainnya
Laboratorium Tanggal 14 oktober 2016
Jenis Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Rujukan
Hematologi
Darah Rutin
Hemoglobin 10,9 g/dL 10.7-14.7
Lekosit 13.200 /mm3 5500-15500
Hematokrit 34.4 % 32-47
Trombosit 397.000 ribu/uL 150.000-450.000

Pemeriksaan Rontgen thorax tanggal 14 Oktober 2016


Pulmo : tampak gambaran vasikuler normal dengan gambaran infiltrat di perihiler,
suprahiler dan paracardial kedua paru. Sinus dan diafragma normal
Kesan : sugestif proses spesifik aktif

D. Ringkasan
Seorang pasien laki-laki berusia 1 tahun 5 bulan datang dengan keluhan demam dan
batuk berdahak sejak 4 hari, sesak sejak 3 hari, dan pilek berwarna bening sejak 2 hari
SMRS. Satu hari SMRS, demam, batuk dan pilek masih dirasakan dan sesak semakin
berat.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum tampak sakit sedang, kesadaran kompos
mentis, suhu 37,9oC, pernapasan 38x/menit, retraksi sela iga (-), rhonki basah kasar (+/+),
Pada pemeriksaan laboratorium darah rutin didapatkan hb : 10,9 g/dL, leukosit : 13.200
/mm3, hematoktir: 34.4 %, trombosit : 397.000 ribu/uL . Pada pemeriksaan rontgen
didapatkan gambaran vaskuler normal dengan gambaran infiltrat di perihiler, suprahiler dan
paracardial kedua paru.

E. Diagnosis Kerja
Pneumonia

F. Diagnosis Differensial
Bronkhitis akut
Asma bronkhial
G. Penatalaksanaan
Medikamentosa
- RL 8 tpm
- Cefotaxim 2 x 250 mg (iv)
- Paracetamol 3x 1 cth
- Ambroxol 2 x cth
- Dexametason 2 x 1,5 ml (iv)
- Inhalasi 2x sehari
o Ventolin
o Fulmicort
o Nacl 3 ml

Non-medikamentosa
Tirah baring
Memberikan makan sedikit demi sedikit tapi sering

H. Prognosis
- Ad vitam : ad bonam
- Ad fungsionam : ad bonam
- Ad sanationam : ad bonam

Follow Up
15 Oktober 2016
S: sakit hari ke 5, Sesak (+), Batuk (+)berkurang, Demam (-) turun, Mual (-), Muntah (-),
BAB normal. BAK normal.Makan dan minum sulit
O :TSS CM
Nadi 110 kali per menit, suhu 36.6oC, Nafas 28 kali/ menit
Mata : CA -, SI
Hidung : sekret +/+ bening
Mulut : T1-T1 tidak hipermis
Leher : KGB tidak membesar
Pulmo : suara nafas bronkovaesikuler, rh +/+, wh -/-
Cor : BJ I-II murni reguler
Abdomen : BU(+) normoperistaltik, nyeri tekan (-)
Ekstremitas ; akral hangat, edema -, CRT <2
A: Pneumonia
P :terapi lanjut
- RL 8 tpm
- Cefotaxim 2 x 250 mg (iv)
- Paracetamol 3x 1 cth
- Ambroxol 2 x cth
- Dexametason 2 x 1,5 ml (iv)
- Inhalasi 2x sehari
o Ventolin
o Fulmicort
o Nacl 3 ml
Follow Up
16 Oktober 2016
S: sakit hari ke 6, Sesak (-), Batuk (+) berkurang, Demam (-) turun, Mual (-), Muntah (-),
BAB normal. BAK normal.Makan dan minum baik
O :TSS CM
Nadi 1010 kali per menit, suhu 36.4oC, Nafas 22 kali/ menit
Mata : CA -, SI
Hidung : sekret -/-
Mulut : T1-T1 tidak hipermis
Leher : KGB tidak membesar
Pulmo : suara nafas bronkovaesikuler, rh +/+, wh -/-
Cor : BJ I-II murni reguler
Abdomen : BU(+) normoperistaltik, nyeri tekan (-)
Ekstremitas ; akral hangat, edema -, CRT <2
A: Pneumonia
P :terapi lanjut
- RL 8 tpm
- Cefotaxim 2 x 250 mg (iv)
- Paracetamol 3x 1 cth
- Ambroxol 2 x cth
- Dexametason 2 x 1,5 ml (iv)
- Inhalasi 2x sehari
o Ventolin
o Fulmicort
o Nacl 3 ml
- Pasien boleh pulang

TINJAUAN PUSTAKA

Definisi

Infeksi Saluran Pernapasan Akut dapat dijumpai dalam berbagai bentuk, tersering
adalah dalam bentuk Pneumonia. Pneumonia adalah proses infeksi akut yang mengenai
jaringan paru-paru (alveoli). Juga bisa didefinisikan peradangan yang mengenai parenkim
paru, distal dari bronkiolus terminalis yang mencakup bronkiolus respiratorius, dan alveoli,
serta menimbulkan konsolidasi jaringan paru dan gangguan pertukaran gas setempat, dan
menimbulkan angka kesakitan yang tinggi, dengan gejala-gejala batuk, demam, dan sesak
nafas. Secara klinis Pneumonia dapat diklasifikasikan sebagai suatu peradangan paru yang
disebabkan oleh mikroorganisme (bakteri, virus, jamur, parasit, dan lain-lain). Secara
anatomi Pneumonia dapat diklasifikasikan sebagai Pneumonia lobaris, Pneumonia
segmentalis, dan Pneumonia lobularis yang dikenal sebagai Bronko pneumonia dan biasanya
mengenai paru bagian bawah. Selain itu Pneumonia dapat juga dibedakan berdasarkan tempat
dapatannya, yaitu Pneumonia komunitas dan Pneumonia rumah sakit1 Pneumonia lazim
dipakai bila peradangan terjadi oleh proses infeksi akut yang merupakan penyebab tersering,
sedangkan istilah pneumonitis sering dipakai untuk proses non infeksi. Bila proses infeksi
teratasi, terjadi resolusi dan biasanya struktur paru kembali normal. Namun pada pneumonia
nekrotikans yang disebabkan antara lain oleh Staphylococcus atau kuman gram negative
terbentuk jaringan parut atau fibrosis. 1

Epidemiologi

Pneumonia pada anak merupakan infeksi yang serius dan banyak diderita anak-anak
di seluruh dunia yang secara fundamaental berbeda dengan pneumonia pada dewasa. Di
Amerika dan Eropa yang merupakan negara maju angka kejadian pneumonia masih tinggi,
diperkirakan setiap tahunnya 30-45 kasus per 1000 anak pada umur kurang dari 5 tahun, 16-
20 kasus per 1000 anak pada umur 5-9 tahun, 6-12 kasus per 1000 anak pada umur 9 tahun
dan remaja.3 Pneumonia yang merupakan bentuk infeksi saluran nafas bawah akut di
parenkim paru yang serius dijumpai sekitar 15-20%. Unicef memperkirakan bahwa 3 juta
anak di dunia meninggal karena penyakit Pneumonia setiap tahun. Meskipun penyakit ini
lebih banyak ditemukan pada Daerah berkembang akan tetapi di Negara majupun ditemukan
kasus, yang cukup signifikan. Menurut Riskedas tahun 2007, pneumonia merupakan
penyebab kematian kedua tertinggi setelah diare. Hal ini menunjukan bahwa penumonia
merupakan penyakit yang menjadi masalah masyarakat utaMa yAng berkonstribusi terhadapa
tingginya angka kematian balita di Indonesia. Prevalens pneumonia pada bayi di Indonesia
adalah 0,76%. Prevalensi ertinggi adalah provinsi Gorantalo (13,2%) dan Bali (12,9%)
sedangkan provinsi lainnya dibawah 10%.
Etiologi

Penyebab pneumonia pada neonatus dan bayi kecil meliputi Streptococcus group B
dan bakteri gram negative seperti E. coli,Pseudomonas sp, atau Klebsiella sp. Pada bayi yang
lebih besar dan anak balita, pneumonia sering disebabkan oleh infeksi Streptococcus
pneumonia, Haemophillus influenza tipe B, dan Staphylococcus aureus, sedangkan pada anak
yang lebih besar dan remaja, selain bakteri tersebut, sering juga ditemukan infeksi
Mycoplasma pneumonia.4 Di negara maju, pneumonia pada anak terutama disebabkan oleh
virus, disamping bakteri, atau campuran bakteri dan virus. Virus yang terbanyak ditemukan
adalah Respiratory Syncytial Virus (RSV), Rhinovirus, dan virus Parainfluenza.4 penyebab
utama virus adalah Respiratory Syncytial Virus (RSV) yang mencakup 15-40% kasus diikuti
virus influenzae A dan B, parainfluenza. Dari data kematian anak balita dengan pneumonia
RSV, 99 % diantaranya terjadi di Negara berkembang, baik tunggal maupun berama dengan
penyebab bakteri lain.

Secara klinis, umumnya pneumonia bakteri sulit dibedakan dengan pneumonia virus.
Demikian juga dengan pemeriksaan radiologis dan laboratorium, biasanya tidak dapat
menentukan etiologi.5

Tabel 1. Mikroorganisme penyebab pneumonia3,5

Umur Penyebab Tersering Penyebab yang Jarang


Lahir-20 hari Bakteria: Bakteria:
Escherichia colli An aerobic organism
Group B Streptococcus Group D Streptococcus
Listeria monocytogenes Haemophyllis influenza
Streptococcus pneumonia
Ureaplasma urealyticum
Virus:
Cytomegalovirus
Herpes Simplex virus
3 minggu-3 Bakteri: Bakteri:
bulan Clamydia trachomatis Bordetella pertussis
Streptococcus Haemophillus influenza type B
Pneumonia and don typeable
Virus: Moxarella catarrhalis
Respiratory syncytial Staphylococcus aureus
virus Ureaplasma urelyticum
Influenza virus Virus:
Parainfluenza virus Cytomegalovirus
1,2,3
Adenovirus
4 bulan-5 tahun Bakteri: Bakteri:
Streptococcus Haemophillus influenza type B
pneumonia Moxarella cattarhalis
Clamydia pneumonia Neisseria meningitis
Mycoplasma Staphylococcus aureus
pneumoniae Virus:
Virus: Varicella zoster virus
Respiratory syncytial
virus
Influenza virus
Parainfluenza virus
Rhinovirus
Adenovirus
Measles virus
5 tahun-remaja Bakteri: Bakteri:
Chlamydia pneumonia Haemophillus influenza type B
Mycoplasma pneumonia Legionella species
Streptococcus Staphylococcus aureus
pneumoniae Virus:
Adenovirus
Eipstein barr virus
Influenza virus
Parainfluenza virus
Rhinovirus
Respiratory syncytial virus
Varicella zoster virus

Patofisiologi

Sebagian besar pneumonia timbul melalui aspirasi kuman atau penyebaran langsung
kuman dari respiratorik atas. Hanya sebagian kecil merupakan akibat sekunder dari
viremia/bakteremia atau penyebaran dari infeksi intraabdomen. Dalam keadaan normal
saluran respiratorik bawah mulai dari sublaring hingga unit terminal adalah steril. Paru
terlindung dari infeksi melalui beberapa mekanisme termasuk barier anatomi dan barier
mekanis, juga sistem pertahanan tubuh lokal maupun sistemik. Barier anatomi dan mekanik
diantaranya adalah filtrasi partikel di hidung, pencegahan aspirasi dengan reflex epiglottis,
ekspulsi benda asing melalui refleks batuk, pembersihan ke arah kranial oleh lapisan
mukosilier. Sistem pertahanan tubuh yang terlibat baik sekresi lokal immunoglobulin,
alveolar makrofag, dan cell mediated immunity.3

Pneumonia terjadi bila satu atau lebih mekanisme di atas mengalami gangguan
sehingga kuman patogen dapat mencapai saluran nafas bagian bawah. Inokulasi patogen
penyebab pada saluran nafas menimbulkan respon inflamasi akut pada pejamu yang berbeda
sesuai dengan patogen penyebabnya.3

Virus akan menginvasi saluran nafas kecil dan alveoli, umumnya bersifat patchy dan
mengenai banyak lobus. Pada infeksi virus ditandai lesi awal berupa kerusakan silia epitel
dengan akumulasi debris ke dalam lumen. Respon inflamasi awal adalah infiltrasi sel-sel
mononuklear ke dalam submukosa dan perivascular. Sejumlah kecil sel-sel PMN akan
didapatkan dalam saluran nafas kecil. Bila proses ini meluas, dengan adanya sejumlah debris
dan mukus serta sel-sel inflamasi yang meningkat dalam saluran nafas kecil maka akan
menyebabkan obstruksi baik parsial maupun total. Respon inflamasi ini akan diperberat
dengan adanya edema submukosa yang mungkin bisa meluas ke dinding alveoli. Respon
inflamasi di dalam alveoli ini juga seperti yang terjadi pada ruang interstisial yang terdiri dari
sel-sel mononuklear. Proses infeksi yang berat akan mengakibatkan terjadinya denudasi
(pengelupasan) epitel dan terbentuk eksudat hemoragik. Infiltrasi ke interstisial sangat jarang
menimbulkan fibrosis. Pneumonia viral pada anak merupakan predisposisi terjadinya
pneumonia bakterial oleh karena rusaknya barier mukosa.3,

Pneumonia bakterial terjadi oleh karena inhalasi atau aspirasi patogen, kadang-kadang
terjadi melalui penyebaran hematogen. Terjadi tidaknya proses pneumonia tergantung dari
interaksi antara bakteri dan ketahanan sistem imunitas pejamu. Ketika bakteri dapat mencapai
alveoli maka beberapa mekanisme pertahanan tubuh akan dikerahkan. Saat terjadi kontak
antara bakteri dengan dinding alveoli maka akan ditangkap oleh lapisan cairan epitelial yang
mengandung opsonin dan tergantung pada respon imunologis pejamu akan terbentuk
immunoglobulin G spesifik. Dari proses ini akan terjadi fagositosis oleh makrofag elveolar
(sel alveolar tipe II), sebagian kecil kuman akan dilisis melalui perantara komplemen.
Mekanisme seperti ini terutama penting pada infeksi oleh karena bakteri yang tidak berkapsul
seperti Staphylococcus pneumonia. Ketika mekanisme ini tidak dapat merusak bakteri dalam
alveolar, leukosit PMN dengan aktifitas fagositosisnya akan direkrut dengan perantaraan
sitokin sehingga akan terjadi respon inflamasi. Hal ini akan mengakibatkan terjadinya
kongesti vaskular dan edema yang luas, hal ini merupakan karakteristik pneumonia oleh
karena Pneumococcus. Kuman akan dilapisi oleh cairan edematous yang berasal dari alveolus
ke alveolus melalui pori-pori Kohn (the pores of Kohn). Area edematous ini akan membesar
secara sentrifugal dan akan membentuk area sentral yang terdiri dari eritrosit, eksudat purulen
(fibrin, sel-sel leukosit PMN) dan bakteri. Fase ini secara histopatologi dinamakan red
hepatization (hepatisasi merah).3,6

Tahap selanjutnya adalah hepatisasi kelabu yang ditandai dengan fagositosis aktif
oleh leukosit PMN. Pelepasan komponen dinding bakteri dan pneumolisin melalui degradasi
enzimatik akan meningkatkan respon inflamasi dan efek sitotoksik terhadap semua sel-sel
paru. Proses ini akan mengakibatkan kaburnya struktur seluler paru.3,6

Resolusi konsolidasi pneumonia terjadi ketika antibodi antikapsular timbul dan


leukosit PMN meneruskan aktifitas fagositosisnya, sel-sel monosit akan membersihkan
debris. Sepanjang struktur retikular paru masih intak (tidak terjadi keterlibatan interstisial),
parenkim paru akan kembali sempurna dan perbaikan epitel alveolar terjadi setelah terapi
berhasil. Pembentukan jaringan parut pada paru minimal.3,5,6

Pada infeksi yang disebabkan oleh Staphylococcus aureus, kerusakan jaringan


disebabkan oleh berbagai enzim dan toksin yang dihasilkan oleh kuman. Perlekatan
Staphylococcus aureus pada sel mukosa melalui teichoic acid yang terdapat di dinding sel
dan paparan di submukosa akan meningkatkan adhesi dari fibrinogen, fibronektin, kolagen,
dan protein yang lain. Strain yang berbeda dari Staphylococcus aureus akan menghasilkan
faktor-faktor virulensi yang berbeda pula. Dimana faktor virulensi tersebut mempunyai satu
atau lebih kemampuan dalam melindungi kuman dari pertahanan tubuh pejamu, melokalisir
infeksi, menyebabkan kerusakan jaringan yang local dan bertindak sebagai toksin yang
mempengaruhi jaringan yang tidak terinfeksi. Beberapa strain Staphylococcus aureus
menghasilkan kapsul polisakrida atau slime layer yang akan berinteraksi dengan
opsonofagositosis. Penyakit yang serius sering disebabkan Staphylococcus aureus yang
memproduksi koagulase. Produksi coagulase atau clumping factor akan menyebabkan
plasma menggumpal melalui interaksi dengan fibrinogen dimana hal ini berperan penting
dalam melokalisasi infeksi (contoh: pembentukan abses, pneumatosel). Beberapa strain
Staphylococcus aureus akan membentuk beberapa enzim seperti catalase (mengnonaktifkan
hydrogen peroksida, meningkatkan ketahanan intraseluler kuman) penisillinase atau
laktamase (menonaktifkan penisilin pada tingkat molecular dengan membuka cincin beta
laktam molekul penisilin) dan lipase.3

Pada pneumonia terjadi gangguan pada komponen volume dari ventilasi akibat
kelainan langsung di parenkim paru. Terhadap gangguan ventilasi akibat gangguan volume
ini tubuh akan berusaha mengkompensasinya dengan cara meningkatkan volume tidal dan
frekuensi nafas sehingga secara klinis terlihat takipnea dan dispneua dengan tanda-tanda
inspiratory effort. Akibat penurunan ventilasi maka rasio optimal antara ventilasi perfusi
tidak tercapai yang disebut ventilation perfusion mismatch, tubuh berusaha meningkatkannya
sehigga terjaadi usaha nafas eekstra dan pasien terlihat sesak. Selain itu dengan berkurangnya
volume paru secara fungsional karena proses inflamasi, maka akan mengganggu proses difusi
dan menyebabkan gangguan pertukaran gas yang berakibat terjadinya hipoksia. Pada keadaan
yang berat bisa terjadi gagal nafas.3

Klasifikasi

Klasifikasi

1. Berdasarkan lokasi lesi paru5


a. Pneumonia lobaris, menyerang segmen luas pada satu lobus atau lebih.
b. Pneumonia interstitial, menyerang dinding alveolus dan jaringan peribronkial
serta lobular.
c. Bronkopneumonia, dimulai pada ujung bronkiolus dan mengenai lobules
terdekat.
2. Berdasarkan asal infeksi1
a. Pneumonia yang di dapat dari masyarakat (community acquired pneumonia /
CAP)
b. Pneumonia yang di dapat dari rumah sakit (hospitalis based pneumonia)
3. Berdasarkan mikroorganisme penyebab6
a. Pneumonia bakteri
b. Pneumonia virus
c. Pneumonia mikoplasma
d. Pneumonia jamur, sering merupakan infeksi sekunder. Predileksi utama
penderita dengan daya tahan tubuh lemah (immunocompromised)
4. Berdasarkan karakteristik penyakit1
a. Pneumonia tipikal/bakterial
b. Pneumonia atipikal, disebabkan oleh Mycoplasma, Legionella, dan Clamydia.
5. Berdasarkan lama penyakit5
a. Pneumonia akut
b. Pneumonia persisten
6. Berdasarkan usia7
a. Bayi dan anak usia 2 bulan-5 tahun
Pneumonia berat
o Bila ada sesak nafas
o Harus dirawat dan diberikan antibiotic

Pneumonia
o Bila tidak ada sesak nafas
o Ada nafas cepat dengan laju nafas:
>50x/menit untuk anak usia 2 bulan-1 tahun
>40x/menit untuk anak 1-5 tahun.
o Tidak perlu dirawat, diberikan antibiotik oral.
Bukan pneumonia
o Bila tidak ada nafas cepat dan sesak nafas
o Tidak perlu dirawat dan tidak perlu antibiotik, hanya diberikan
pengobatan simptomatis seperti penurun panas.
b. Bayi di bawah usia 2 tahun.
Pneumonia
- Bila ada nafas cepat (60x/menit) atau sesak nafas
- Harus dirawat dan diberikan antibiotik
Bukan pneumonia
Tidak ada nafas cepat atau sesak nafas
Tidak perlu dirawat, cukup diberikan pengobatan simptomatis

Tabel 1. Kriteria WHO terhadap Pengobatan pada Usia 2 Bulan Sampai 5 tahun yang
memiliki batuk atau kesukaran bernafas sesuai dengan klasifikasi klinis penderita7
Kriteria pneumonia Gejala Klinis dan pengobatannya
Bukan pneumonia Tidak ada sesak nafas, tidak ada tarikan
dinding dada. Tidak diberikan antibiotik
Pneumonia Nafas cepat , tidak ada tarikan dindig dada,
pengobatan dirumah dengan diberikan
antibiotik
Pneumonia berat Nafas cepat dan tarikan dinding dada, tidak
ada sianosis masih mampu makan dan
minum, dirujuk kerumah sakit
Pneumonia sangat berat Nafas cepat, tarikan dinding dada, sianosis,
tidak mampu makan dan minum, kejang,
sukar dibangunkan, stridor sewaktu tenang,
gizi uruk, dirujuk kerumah sakit.

Faktor resiko

Berdasarkan hasil penelitian dari berbagai Negara termasuk Indonesia dan berbagai
publikasi ilmiah, dilaporkan berbagai faktor risiko baik yang meningkatkan insiden
(morbiditas) maupun kematian (mortalitas) akibat pneumonia. Faktor risiko yang
meningkatkan insiden termasuk didalamnya adalah kepadatan penghuni dan kondisi ventilasi
yang tidak memadai. Sedangkan faktor risiko yang meningkatkan angka kematian Pneumonia
didalamnya termasuk tingkat sosio-ekonomi rendah dan kepadatan tempat tinggal dan masih
banyak lagi yang lainnya.6

Manisfestasi Klinis

Sebagian besar gambaran klinis pneumonia pada anak berkisar antara ringan hingga
sedang, sehingga dapat berobat jalan saja. Hanya sebagian kecil yang berat.

Secara umum, pneumonia dapat menimbulkan 2 gejala, yaitu gejala infeksi umum dan
gejala respiratorik.3,5,7

a. Gejala infeksi umum meliputi demam, sakit kepala, gelisah, malaise, penurunan
nafsu makan, keluhan gastrointestinal seperti kembung, mual, muntah dan diare.
b. Gejala respiratorik biasa timbul setelah beberapa saat proses infeksi. meliputi
batuk, sesak nafas, retraksi dada, takipneu, nafas cuping hidung, air hunger,
merintih, sianosis. Otot bantu nafas intercostal dan abdominal mungkin
digunakan. Batuk umumnya dijumpai pada anak besar, tetapi pada neonatus bias
tanpa batuk.

Secara klinis pada anak sulit membedakan antara pneumonia bacterial dan pneumonia
viral. Namun, sebagai pedoman dapat disebutkan bahwa pneumonia bacterial awitannya
cepat, batuk produktif, leukositosis dan perubahan nyata pada pemeriksaan radiologis.
Namun keadaan seperti ini kadang-kadang sulit dijumpai pada seluruh kasus.7

Diagnosis

Diagnosis pneumonia pada balita didasarkan pada adanya batuk atau kesukaran
bernafas disertai dengan peningkatan frekuensi nafas (nafas cepat sesuai umur). Panduan
WHO dalam menentukan seorang anak menderita nafas cepat dapat dilihat pada tabel beriku:

Tabel 2. kriteria nafas ceapt menurut frekuansi pernafasan menurut usia anak8

Umur Anak Pernafasan Cepat Bila Fekunsi Nafas Lebih


Dari
Kurang dari 2 bulan 60 kali permenit
2 bulan sampai 12 bulan 50 kali permenit
12 bulan sampai 5 tahun 40 kali permenit

Diagnosis pneumonia yang terbaik adalah berdasarkan etiologi, yaitu dengan pemeriksaan
mikrobiologik. Upaya untuk mendapatkan spesimen atau bahan pemeriksaan guna mencari
etiologi kuman penyebab dapat meliputi pemeriksaan sputum, sekret nasofaring bagian
posterior, torakosintesis pada efusi pleura, dan biopsi paru bila diperlukan. Secara umum,
kuman penyebab spesifik hanya dapat diidentifikasi kurang dari 50% kasus. Dengan
demikian, pneumonia didiagnosis terutama berdasarkan manisfestasi klinis dibantu
pemeriksaan penunjang Yang lain seperti foto polos dada.7
Tetapi tanpa pemeriksaan mikrobiologik, kesulitan yang lebih besar adalah
membedakan kuman penyebab.

1. Anamnesis

Untuk anamnesis tergantung berat ringannya penyakit. Sebagian besar


gambaran klinis pneumonia pada anak berkisar antara ringan hingga sedang, sehingga
dapat berobat jalan saja.5 tanda penyakit pneumonia pada balita antara lain: batuk
nonproduktif, ingus (nasal discharge), suara nafas lemah, pemanfaatan otot bantu
nafas, demam, cyanosis (kebiru-biruan), sakit kepala, kekakuan dan nyeri otot, sesak
nafas, menggigil, berkeringat, lelah, terkadang kulit menjadi lembab, mual dan
muntah. Gejala penyakit pneumonia biasanya didahului dengan infeksi saluran nafas
akut selama beberapa hari. Selain didapatkan demam, menggigil, suhu tubuh
meningkat dapat mencapai 40 derajat celcius, sesak nafas, nyeri dada dan batuk
dengan dahak kental, terkadang dapat bewarna kuning hingga hijau. Pada sebagian
penderita juga ditemui gejala lain seperti nyeri perut, kurang nafsu makan dan sakit
kepala

2. Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan pekak pada perkusi, suara nafas
melemah, dan terdengar adanya ronkhi. Pada neonatus dan bayi kecil, gejala
pneumonia tidak selalu jelas terlihat. Umumnya tidak ditemukan kelainan pada
perkusi dan auskultasi paru. Pernafasan tidak teratur dan hypopnea dapat ditemukan
pada bayi muda.8
WHO merekomendasikan untuk menghitung frekuensi nafas pada setiap anak
dengan batuk. Dengan adanya batuk, frekuensi nafas yang lebih cepat dari normal
serta adanya tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam (chest indrawing), WHO
menetapkannya sebagai kasus pneumonia berat di lapangan dan harus memerlukan
perawatan di rumah sakit untuk pemberian antibiotik.7 Perkusi thoraks tidak bernilai
diagnostik, karena umumnya kelainan patologinya menyebar. Suara redup pada
perkusi biasanya karena adanya efusi pleura. Pada auskultasi suara nafas yang
melemah seringkali ditemukan bila ada proses peradangan subpleura dan mengeras
(suara bronkial) bila ada proses konsolidasi. Rhonki basah halus yang khas untuk
pasien yang lebih besar mungkin tidak akan terdengar untuk bayi. Pada bayi dan
balita kecil karena kecilnya volume thoraks biasanya suara nafas sering berbaur dan
sulit diindentifikasi.6,8

3. Pemeriksaan Penunjang
a. Darah perifer lengkap
Pada pneumonia virus dan juga pneumonia mycoplasmaumumnya ditemukan
leukosit dalam batas normal atau sedikit meningkat. Akan tetapi pada pneumonia
bakeri didapatkan leukositosis yang berkisar antara 15.000-40.000/mm3 dengan
predominan PMN. Leukositosis hebat (>30.000/mm3) hampir selalu menunjukkan
adanya infeksi bakteri, sering ditemukan pada keadaan bakteremia, dan risiko
terjadinya komplikasi lebih tinggi. Pada infeksi Chlamydia kadang ditemukan
eosinophilia.8
b. Foto thoraks
Diagnosis pneumona utamanya didasarkan klinis, sedangkan pemeriksaan foto
polos dada perlu dibuat untuk menunjang diagnosis, disamping untuk melihat
luasnya kelainan patologi secara lebih akurat.5
Foto rontgen thoraks pada pneumonia ringan tidak rutin dilakukan, hanya
direkomendasikan pada pneumonia berat yang dirawat. Kelainan foto rontgen
thoraks pada pneumonia tidak selalu berhubungan dengan gambaran klinis.
Kadang bercak-bercak sudah ditemukan pada gambaran radiologis sebelum timbul
gejala klinis. Akan tetapi, resolusi infiltrat sering memerlukan waktu yang lebih
lama setelah gejala klinis menghilang. Pada pasien dengan pneumonia tanpa
komplikasi, ulangan foto rontgen thoraks tidak diperlukan. Ulangan foto rontgen
thoraks diperlukan bila gejala klinis menetap, penyakit memburuk, atau untuk
tindak lanjut.5
Umumnya pemeriksaan yang diperlukan untuk menunjang diagnosis
pneumonia di IGD hanyalah pemeriksaan rontgen thoraks posisi AP, foto lateral
tidak meningkatkan sensitifitas dan spesifitas penegakan diagnosis pneumonia
pada anak. Foto rontgen thoraks AP dan lateral hanya dilakukan pada pasien
dengan tanda dan gejala klinik distress pernafasan seperti takipnea, batuk, dan
ronkhi, dengan atau tanpa suara nafas yang melemah.5
Secara umum, gambaran foto thoraks pada pneumonia dapat berupa:
Infiltrat interstitial: peningkatan corakan bronkovaskular, hiperaerasi
Infiltrat alveolar (konsolidasi paru dengan air bronchogram), disebut sebagai
pneumonia lobaris bila mengenai 1 lobus paru.
Bronkopneumonia: bercak-bercak infiltrat difus merata pada kedua lapang
paru (dapat meluas hingga daerah perifer paru) disertai dengan peningkatan
corakan peribronkial.
Penebalan peribronkial, infiltrate interstisial merata, dan hiperinflasi
cenderung terlihat pada pneumonia virus.
Infiltrat alveolar berupa konsolidasi segmen/lobar, bronkpneumonia dan air
bronkogram sangat mungkin disebabkan oleh bakteri.
c. Pemeriksaan kultur dan pewarnaan gram sputum, direkomendasikan dalam
tatalaksana anak dengan pneumonia berat.8
d. Pemeriksaan antigen virus dengan atau tanpa kultur (jika fasilitas tersedia)
dilakukan pada anak usia <18 bulan.3
e. Analisis cairan pleura, bila terdapat efusi pleura: pemeriksaan mikroskopis, kultur,
deteksi antigen (jika tersedia).2
f. Pemeriksaan C-reaktif Protein (CRP). CRP adalah suatu protein fase akut yang
disintesis oleh hepatosit. Sebagai respon infeksi atau inflamasi jaringan, produk
CRP secara cepat distimulasi oleh sitokin, terutama interleukin (IL)-6, IL-1, dan
Tumor Necrosis Factor (TNF). Meskipun fungsi pastinya belum diketahui, CRP
sangat mungkin berperan dalam opsonisasi mikroorganisme atau sel yang rusak.5
CRP kadang-kadang digunakan untuk evaluasi respon terapi antibiotik. Dengan
pengobatan antibiotik, kadar CRP turun secara meyakinkan pada hari pertama
pengobatan.5
g. Laju Endap Darah (LED), dan protein fase akut lainnya tidak direkomendasikan
sebagai pemeriksaan rutin.5
Diferential diagnosis

Bronkitis

Bronkitis adalah suatu penyakit yang ditandai adanya dilatasi (ektasis) bronkus lokal
yang bersifat patologis dan berjalan kronik. Perubahan bronkus tersebut disebabkan oleh
perubahan-perubahan dalam dinding bronkus berupa destruksi elemen-elemen elastis dan
otot-otot polos bronkus. Batuk dan produksi sputum adalah gejala yang paling umum
biasanya terjadi setiap hari. Intensitas batuk, jumlah dan frekuensi produksi sputum bervariasi
dari pasien ke pasien. Dahak berwarna yang bening, putih atau hijau-kekuningan, Dyspnea
(sesak napas), Demam dapat mengindikasikan infeksi paru-paru sekunder virus atau bakteri.

Asma

Asma adalah gangguan inflamasi kronik saluran nafas yang melibatkan banyak sel
dan elemennya, inflamasi kronik menyebabkan peningkatan hiperresponsif jalan nafas yang
menimbulkan gejala episodik berulang berupa mengi, sesak nafas dan dada terasa berat dan
batuk batuk terutama malam atau dii hari, episodik tersebut berhubungan dengan obstruksi
jalan nafas yang luas bervariasi dan sering kali bersifat reversible dengan atau tanpa
pengobatan

Tatalaksana

Kriteria rawat inap:7

1. Untuk bayi:
- Saturasi oksigen 92%, sianosis
- Frekuensi nafas>60 kali per menit
- Distress pernafasan, apnea intermitten, atau grunting
- Tidak mau minum atau menetek
- Keluarga tidak bisa merawat di rumah.
2. Untuk anak:7
Saturasi oksigen <92%
Frekuensi nafas>50 kali permenit
Distress pernafasan
Grunting
Terdapat tanda dehidrasi
Keluarga tidak dapat merawat d rumah

Kriteria Pulang:7

a. Gejala dan tanda sudah hilang


b. Asupan oral adekuat
c. Pemberian antibiotik dapat diteruskan di rumah (peroral)
d. Keluarga mengerti dan setuju untuk pemberian terapi serta rencana control
e. Kondisi rumah dan lingkungan memungkinkan untuk perawatan lanjut di rumah.

Pneumonia ringan8

Pada pneumonia ringan rawat jalan dapat diberikan antibiotik lini pertama secara oral,
misalnya amoksisilin atau kortimoksasol. Kotrimoksasol (4 mg TMP/kgBB/kali 20 mg
sulfametoksasol/kgBB/kali), 2 kali sehari selama 3 hari. Sedangkan untuk dosis amoksisilin
adalah 25mg/kgBB/kali, 2 kali sehari selama 3 hari.7

Tindakn lanjut

Anjurkan ibu untuk memberi makan anak, nasehati ibu untuk mebawa kembali anaknya
setelah 2 hari atau lebih cept kalau keadaan anaknya memburuk atau tidak dapat minum atau
menyusui.

Ketika anak kembali:

- Jika pernfasannya membaik (melambat) demam berkurang, nafsu makan membaik


lanjutkan pengobatan sampai 3 hari.

Pneumonia Berat

Berikan oksigen untuk mempertahankan saturasi >92%, dipantau setiap 4 jam. Pada
anak yang stabil dapat dilakukan uji coba tanpa menggunakan oksigen setiap hari. Bila
saturasi tetap stabil >90% pemberian oksigen dapat dihentikan.
Bila asupan per oral kurang, dapat diberikan cairan intravena dan dilakukan balans
cairan ketat agar tidak terjadi hidrasi berlebihan. Pada distress pernafasan berat, pemberian
makanan per oral harus dihindari, dapat diganti dengan NGT/intravena dengan perhitungan
balans cairan yang ketat.8

Bila suhunya 39C dapat diberikan paracetamol.8

Nebulisasi agonis -2 dan/atau NaCl 0,9% dapat diberikan untuk memperbaiki


mucocilliary clearance, namun bukan merupakan terapi yang rutin dilakukan.8

Pemberian antibiotik amoksisilin 50-100 mg/kgBB IV atau IM setiap 8 jam, dipantau


ketat dalam 72 jam pertama. Bila respon baik, terapi diteruskan hingga 5 hari, kemudian
dilanjutkan dengan amoksisilin oral 15 mg/kgBB/kali, 3 kali sehari, selama 5 hari berikutnya.
Bila keadaan klinis memburuk sebelum 48 jam atau terdapat keadaan yang berat (tidak dapat
menyusu, makan atau minum, dan ataupun kejang, letargi, sianosis, distress pernafasan
berat), tambahkan kloramfenikol 25 mg/kgBB/kali IM atau IV setiap 8 jam. Antibiotik lini
kedua yaitu seftriakson 80-100 mg/kgBB IM atau IV satu kali sehari.8

Pada anak usia <5 tahun, amoksisilin merupakan lini pertama (efektif melawan
sebagian besar patogen yang menyebabkan pneumonia pada anak, ditoleransi dengan baik
dan murah). Alternatifnya meliputi ko-amoksiclav, eritromisin, klaritomisin, atau azitromisin.
Sedangkan pada anak usia 5 tahun, lini pertamanya adalah golongan makrolid karena pada
anak usia 5 tahun pneumonia sering disebabkan oleh M. Pneumoniae.8

Komplikasi

Jika anak tidak mengalami perbaikan setelah 2 hari atau kondisi anak semakin memburuk
lihat ada knya komplikasi atau adanya diagnosis lain. Jika mungkin lakukan foto dada ulang
untuk mencari komplikasi. Beberapa komplikasi yag sering terjadi;8

a. Pneumonia stafiloccocus. Curga kearah ini jika terdapat perburukan klinis secara
cepat walaupun usdah diterapiyang ditandai dengan adanya pneumatokel atau
pneumotoraks degan efusi pleur paa foto dada, ditemukan kokus gram positif pada
pemeriksaan apusan sputum.
- Terapi dengan kloksasilin (50 mg/kgBB IM atau IV setiap 6 jam) dan gentamisin ( 7,5
mg/kgBB IM atau IV satu kali sehari) bila anak menunjukan perbaikan, lanjutkan
terapi dengan kliksasilin atau anti stafilokokus lainnya.
b. Empiema . curiga kearah ini apabila terdapat demam persisten, ditemukan gambaran
klinis dan fto dada yang mndukung
o Bila masif terdapat pedorongan orga intratorakal
o Pekak paa perkusi
o Gambaran foto dada menunjukan adanya cairan pada satu atau kedua sisi dada
- Tatalaksana empiema harus didrainase8

Pencegahan

Pencegahan primer

1. ASI ekslusif 6 bulan


2. Gizi cukup dan seimbang sesuai usia anak. Kecukupan gizi merupakan kunci dalam
meningkatkan system pertahanan tubuh anak, dimulai dari ASI eksklusif pada 6 bulan
pertama kehidupan. Gizi yang baik terbukti dapat mencegah pneumonia dan juga
mempercepat penyembuhan
3. Imunisasi. Imunisasi yang penting berkaitan dengan pneumonia antara lain imunisasi
DPT, campak, pneumokokus dan Hib. Imunisasi DPT dan campak merupakan
imunisasi wajib yang harus diberikan pada anak, sedangkan imunisasi pneumokokus
dan Hib merupakan imunisasi anjuran yang dapat diberikan pada anak karena
memberikan kekebalan terhadap kuman penyebab pneumonia.
4. Lingkungan bebas asap. Anak-anak harus dijauhkan dari pajanan asap rokok, asap
dapur terutama dari pembakaran kayu dan sejenisnya, serta polusi udara.
Memperbaiki hygiene lingkungan dapat dilakukan misalnya dengan menyediakan
ventilasi yang baik di dalam rumah, menjaga kebersihan, dan menggunakan masker
pelindung untuk mengurangi pajanan terhadap polusi.
5. Etiket batuk. Penularan pneumonia banyak berasal dari percikan batuk atau bersin
pasien pneumonia. Untuk menghindari penularan tersebut, sebaiknya menutup mulut
saat batuk atau bersin. Selain itu, penting untuk men cuci tangan setelahnya untuk
menghindari tersebarnya kuman3.

Pencegahan sekunder
Tingkat pencegahan kedua ini merupakan upaya manusia untuk mencegah orang yang
telah sakit agar sembuh, menghambat progresifitas penyakit, menghindari komplikasi, dan
mengurangi ketidakmampuan. Pencegahan sekunder meliputi diagnosis dini dan pengobatan
yang tepat sehingga dapat mencegah meluasnya penyakit dan terjadinya komplikasi. Upaya
yang dapat dilakukan antara lain:4
a. Pneumonia berat: dirawat di rumah sakit, diberikan antibiotik parenteral dan
penambahan oksigen.
b. Pneumonia : diberikan antibiotik kotrimoksasol oral, ampisilin atau amoksilin.
c. Bukan Pneumonia : perawatan di rumah saja. Tidak diberikan terapi antibiotik. Bila
demam tinggi diberikan parasetamol. Bersihkan hidung pada anak yang mengalami
pilek dengan menggunakan lintingan kapas yang diolesi air garam. Jika anak
mengalami nyeri tenggorokan, beri penisilin dan dipantau selama 10 hari ke depan.
Pencegahan Tertier
Tujuan utama dari pencegahan tertier adalah mencegah agar tidak munculnya
penyakit lain atau kondisi lain yang akan memperburuk kondisi balita, mengurangi kematian
serta usaha rehabilitasinya. Pada pencegahan tingkat ini dilakukan upaya untuk mencegah
proses penyakit lebih lanjut seperti perawatan dan pengobatan.4

Upaya yang dilakukan dapat berupa:4


a. Melakukan perawatan yang ekstra pada balita di rumah, beri antibiotik selama 5 hari,
anjurkan ibu untuk tetap kontrol bila keadaan anak memburuk.
b. Bila anak bertambah parah, maka segera bawa ke sarana kesehatan terdekat agar
penyakit tidak bertambah berat dan tidak menimbulkan kematian.

Prognosis
Secara umum, prognosis dari penyakit ini adalah baik. Data Survei Kesehatan
Nasional (SKN, 2011) menunjukkan bahwa 27,6% kematian bayi dan 22,8% kematian balita
di Indonesia disebabkan oleh penyakit respiratori, terutama pneumonia. Kebanyakan kasus
pneumonia virus sembuh tanpa pengobatan, bakteri patogen umum dan organisme atipikal
cukup berespon terhadap terapi antimikroba.5

Daftar Pustaka

1. Dahlan Z. Pneumonia. Dalam: Buku ajar ilmu penyakit dalam. Edisi 5. Internal
publishing: Jakarta; 2009.h.2196
2. Sigalingging G. Karakteristik penderita penyakit pneumonia pada anak di ruang
merpati RSU Herna Medan. Jurnal darma agung: Medan; 2011.h.69-78. Diunduh dari
http://uda.ac.id/jurnal/files/Jurnal%2010%20-%20Ganda%20Sigalingging1.pdf. 2
Agustus 2016.
3. Retno AS, Landia S, Makmuri S. Pneumonia. Divisi respirologi bagian ilmu
kesehatan anak: Surabaya; 2006. Diunduh
darihttp://old.pediatrik.com/pkb/061022023132-f6vo140.pdf. 3 Agustus 2016.
4. Nurjazuli. Faktor risiko dominan kejadian pneumonia pada balita. 2011.
Ejournals.undip.ac.id. Diunduh
http://jurnalrespirologi.org/jurnal/April09/Artikel%20NURJAZULI.pdf 2 Agustus
2016.
5. Rahajoe NN, Supriyanto B, Setyanto DB. Pneumonia. Dalam: Buku ajar respirologi
anak. Cetakan ketiga. Edisi 1. IDAI: Jakarta; 2012. h. 350-65.
6. Hassan R, Alatas H. Pneumonia. Dalam: Ilmu kesehatan anak. Cetakan 11.
Infomedika: Jakarta; 2007.h.1228-33.
7. Pudjiadi AH. Pneumonia dalam :Pedoman Pelayanan Medis Ikatan Dokter Anak
Indonesia. Jakarta;2009.h.250-55.
8. World Health Organitation (WHO). Pneumonia. Dalam: Pelayanan kesehatan anak di
rumah sakit, pedoman bagi rumah sakit rujukan tingkat pertama di kabupaten/kota.
WHO: Jakarta; 2009.h. 86-93.

Anda mungkin juga menyukai