Anda di halaman 1dari 20

SEJARAH PEREKONOMIAN

RINGKASAN PEREKONOMIAN PROVINSI KALIMANTAN TIMUR

Nur Fitriani

1505055024

A. LATAR BELAKANG

Kebakaran hebat yang terjadi di sepanjang bulan Oktober 1982 hingga


bulan April 1983, dalam waktu yang panjang telah menyebabkan kerusakan
yang tidak dapat diperbaikin bagi jutaan hektar hutan hujan tropis di bagian
Kalimantan Timur. Dalam kebakaran tersebut, tak terhitung jumlah hewan
yang mati. Peristiwa ini digambarkan sebagai salah satu bencana lingkungan
yang paling parah dalam sejarah.. Hal ini menunjukkan dengan jelas tentang
penggambaran Kalimantan yang sejak lama memiliki daerah yang diberkahi
alam, tetapi juga sangant rentan. Pada zaman kolonial, Kalimantan menjadi
sebuah tempat yang menjadi perbatasan bagi ekspansi Belanda dan tempat
yang ideal untuk eksploitasi sumber daya alam secara kejam, telaj dikenal
sebagai tanah orang Dayak dan pemburu kepala (headhunter), yang tidak
dapat diakses dan dikendalikan.(J. Thomas Lindblad, 2012:1)

Pada zaman kolonial, daerah ini bahkan lebih jarang penduduknya


daripada saat ini. Populasi dapat diperkirakan hampir tiga perempat juta pada
sekitar tahun 1900, dan mencapai dua kali lipatnya pada sekitar tahun 1940.
Dari hal tersebut terdapat perbedaan dari tiga kelompok utama
populasi:beragam masyarakat adat (selain semua orang Dayak dan Banjar),
orang Cina (yang jumlahnya jauh lebih sedikit), dan segelintir orang-orang
Eropa. Penduduk pribumi tinggal terutama di daerah pedesaan. Sedangkan,
kelompok imigran non-Indonesia menunjukkan eksenstensi mereka di tiga
pusat kota: Banjarmasin, Samarinda, dan Balikpapan.. Istilah Dayak
digunakan secara longgar untuk mengidentifikasi penduduk yang
benar-benar assli dari pulau Borneo. Kata tersebut berasal dari bahas Kenya
daya yang berarti hulu sungai atau pedalaman dan saat ini digunakan
tanpa konotasi negatifnya yang terdahulu orang Dayak Kalimantan Timur.(J
Thomas Lindblad, 2012:2)

B. Perkembangan Perekonomian

Jika dilihat dari Sejarah Perekonomian kalimantan Timur maka awal


perkembangan perekonomian dimulai dari :

1. Periode Perintis (1880-1914)

Perdagangan membawa pencerahan dan pencerahan membawa


peradaban. Ibarat lampu minyak tanah kecil yang cahayanya menembus
rumah tangga Dayak dan membuat bayangan yang tumbuh selama perayaan
malam di galeri-galeri rumah panjang, semangat pedagang menyelimuti
kehidupan ekonomi dan hubungan sosial di sepanjang sungai dan di
kampung-kampung hulu. Konfrontasi antara impor norma-norma Barat dan
adat lokal kuno (adat) ditandai dengan perdagangan daerah sekitar 1880.
kecendrungan terhadap ekslusivitas dan kompartementalisasi telah menjadi
tema yang berulang sepanjang sejarah kehidupa ekonomi Kalimantan Timur,
mulai dari hak-hak istimewa yang dimiliki oleh pos VOC Banjarmasin pada
abad ke-17 sampai supremasi minyak Pertamina dan Oil pada masa
pasca-kolonial di Kalimantan Timur (J Thomas Linblad, 2012:7). Adapun
hal-hal yang dilakukan antara lain :

a. Monopoli Perdagangan

b. Pertanian

c. Batu Bara dan Minyak

Berdasarkan penjelasan diatas terdapat keadaan sulit dan keuntungan


yang terjadi pada perekonomian Kalimantan Timur. Misalnya, banyak
keberhasilan dalam usaha tambang dapat diperoleh dari pasar dunia yang
berkembang di tahun-tahun awal Perang Dunia pertama. Harga bensin
meningkat lima kali lipat antara tahun 1909 dan 1913, sementara kerosin
naik menjadi dua kali lipat, harga yang tinggi di tahun 1914 dan tahun 1912.

2. Periode Ekspansi (1914-1942)

Periode pengasingan diri yang jauh dari pasar dunia memberikan jalan
untuk respon yang besar terhadap sinyal-sinyal eksternal. Pergerakan yang
tidak terduga dari permintaan di tempat yang jauh, secara drastis membalik
keberuntungan personal dalam level lokal, untuk produsen karet Banjar di
tahun 1920-an seperti halnya orang Dayak yang berurbanisasi pada masa
penebaangan kayu pada saat itu (J Thomas Lindbald, 2012:56). Pada bagian
ini berhubungan dengan infleksi (perubahan), antara kesuksesan dan
kegagalan dalam empat konteks yang berbeda :

a. Perkebunan Karet, dimana produsen-produsen pribumi muncul

b. Pertambangan dan ekstrasi, dimana kekuatan modal Barat yang berkuasa

c. Kehutanan, yang menjalani sebuah metamorfosis dari produksi tradisional


ke modern

3. Prioritas Pemerintahan

Sultan Sulaiman Kutai adalah seseorang yang luar biasa dalam beberapa
hal. Meskipun penigkatan otoritas kolonial Belanda, kekuasaannya semakin
mutlak seiring dalam perjalanan waktu panjang, yaitu dari tahun 1845-1999.
pada tahun 1890-an, tidak terdapat banyak orang Kutai yang hidup dibawah
Sultan Kutai lain. Penghinaan ternuka Sulaiman dengan aneka asisten residen
lokal dan pembangkangan terang-terangan tentangkontrka kewajiban
mendapatkaan sedikit perlawanan keci, karena kekhawatiran bawha hal ini
akan membahayakan penanaman modal Eropa di Kutai. Pada tahun 1897,
seorang penjelajah disegani, A.W. Nieuwenhuis, bertindak atas nama orang
Dayak Hulu Mahakam, bersikeras menyatakan subodinasi (penguasaan)
langsung kebupaten ini untuk kekuasaan raja Belanda. Namun Sulaimna
tidak setuju dan saran Nieuwenhuis itu hanya didukung oleh intervensi oleh
gubernur jenderal. Hulu Mahakam memang, tetapi hal ini tidak berdampak
pada posisi khusus yang dinikmati oleh Kutai selama masa perpanjanga
kolonial ke pantai timur sekitar tahun 1900.(J Thomas Lindblad, 2012:118)

Adapun yang menjadi prioritas dalam pemerintahan ini yaitu:

a. Otoritas dan Kekuasaan

b. Skema Perpajakan

c. Pengeluaran Pemerintah

d. Infrastruktur

4. Dinamika Ekspansi

Sebuah dunia Manichean bahwa tidak da kompromi antara baik dan


buruk. Hal tersebut menbuat semua komunikasi yang berdasarkan
pemahaman mutual, menjadi suatu hal yang tidak mungkin. Seperti
perselisihan yang terkadang terjadi antara budaya-budaya di Kalimnantan
Timur dan Kalimantan Selatan. Tidak terkecuali sebuah konfrontasi antara
orang Eropa dan non-Eropa di daerah tambang batu bara yang damai
Parapatan di Telok Bajur pada bulan November tahun 1926. Adapun hal
yang memungkinkan untuk mengidentifikasi dinamika-dinamika ekspansi
ekonomi di Kalimantan Timur yaitu :

a. Struktur Ekonomi

b. Perdagangan Luar Negeri

c. Ekspansi Lewat Perdagangan

Jika dilihat dari perekonomian Kalimantan Timur yang terjadi dari


permasalahan Kemiskinan maka dapat diuraikan sebagai berikut :

A. Latar Belakang Masalah

Kalimantan Timur (Kaltim) adalah provinsi di Indonesia yang memiliki


potensi sumber daya alam (SDA), baik yang dapat diperbaharui (renewable
resources) maupun yang tidak dapat diperbaharui (non renewable resources).
Potensi SDA tersebut memberikan nilai tambah tersendiri terhadap pembentukan
PDRB, yang menjadi indikator ekonomi makro tingkat regional. Selama kurun
waktu 3 (tiga) tahun terakhir, yaitu 2006-2008; rata-rata pencapaian posisi PDRB
Kaltim adalah PDRB migas sebesar Rp 246.05 T dan PDRB non migas sebesar
Rp 103.04 T. Apabila hal ini dikaitkan dengan jumlah penduduk yang ada, maka
selama kurun waktu tersebut pendapatan perkapita penduduk Kaltim relatif
besar, yaitu mencapai Rp 79,84 juta/kapita atas dasar PDRB migas, atau Rp 33,41
juta/kapita atas dasar PDRB non migas.

Namun besarnya posisi PDRB yang didukung dengan pelbagai kekayaan


potensi SDA tidak menjadi jaminan bagi Kaltim untuk bebas dari kemiskinan,
terbukti dari publikasi BPS Pusat yang menyebutkan bahwa sampai dengan Maret
2010, jumlah penduduk miskin di Indonesia mencapai 31,02 juta orang (13,33 %),
walaupun angka tersebut dikatakan mengalami penurunan sebesar 1,51 juta orang,
dibandingkan Maret 2009 yang mencapai 32,53 juta orang (14,15 %). Dalam
konteks Kaltim, jumlah penduduk miskin per Maret 2010 mencapai 243 ribu
orang (7,66 %); dan ini sebenarnya sudah mengalami penurunan, karena pada
Maret 2009 sebelumnya mencapai 239,22 ribu orang (7,77 %).

Dibandingkan provinsi lainnya, angka kemiskinan tersebut masih relatif


tinggi, mengingat beberapa provinsi dapat mencapai dibawah angka kemiskinan
Kaltim, yaitu :

Tabel 1.

Jumlah

Prosentase Penduduk Miskin Beberapa Provinsi Tahun 2009 - 2010 1)

Catatan :

- Prosentase tersebut mencakup penduduk miskin kota & desa.

- Rangking didasarkan pencapaian angka kemiskinan terendah.

Keterangan :

1) Provinsi yang dipilih adalah angka kemiskinan-nya dibawah Provinsi


Kaltim.
2) Provinsi DKI Jakarta, angka kemiskinan-nya hanya mencakup penduduk
perkotaan.

Sumber : Berita Resmi Statistik BPS No. 45/07/Th. XIII, 1 Juli 2010.

Berdasarkan penyajian data diatas bebarapa provinsi mengalami laju


penurunan kemiskinan yang signifikan, sehingga berdampak terhadap pencapaian
rangking terendah, yaitu Bali, Banten dan Bangka Belitung. Sementara untuk
Kaltim sendiri tidak mengalami perubahan (tetap bertahan pada posisi ke-7). Hal
ini berarti ada permasalahan mendasar terhadap kebijakan pembangunan yang
dilaksanakan Pemerintah Daerah, sementara potensi ekonomi yang ada masih
memungkinkan penciptaan peluang pasar ("penyerapan") tenaga kerja, yang
dapat menjadi salah satu faktor untuk menggeser gini ratio menjadi lebih baik
lagi, sehingga mampu menekan angka kemiskinan.

B. Garis Kemiskinan & Angkatan Kerja

Garis kemiskinan dapat diartikan sebagai tingkat minimum pendapatan yang


dianggap dapat memenuhi syarat hidup layak pada suatu daerah setiap bulannya,
sehingga penduduk dapat dikatakan "miskin" apabila memiliki rata-rata
pengeluaran perbulan berada dibawah garis kemiskinan (minuman pendapatan).
Dalam konteks ini, setiap daerah akan berbeda tingkat minimum pendapatannya,
yang dipengaruhi tingkat kemahalan (harga) komoditas, baik berupa kelompok
makanan dan kelompok bukan makanan.

Khususnya untuk Kaltim, garis kemiskinan tahun 2009 berada pada posisi
minimum pendapatan Rp 269.275,-/kapita/bulan, dan pada tahun 2008
sebelumnya adalah Rp 224.084,-/kapita/bulan. Sementara itu, dikaitkan dengan
rata-rata pengeluaran penduduk dalam periode waktu bersamaan menunjukkan
hal yang bersifat kontradiktif, yaitu 50 % diatas garis kemiskinan; Kondisi
seperti ini idealnya tidak akan ada penduduk miskin, namun realitasnya
menunjukkan kondisi sebaliknya.

Tabel 2

Rata-rata Pengeluaran dan Garis Kemiskinan di Provinsi Kalimantan Timur


Tahun 2008-2000

Sumber : Kaltim Dalam Angka Tahun 2009, publikasi BAPPEDA & BPS
Provinsi Kaltim.

Gini rasio, yang menjadi dasar pengukuran adanya ketimpangan pendapatan,


menunjukkan bahwa 40 % penduduk yang berpenghasilan rendah menikmati
23,8 % (2008) dan 22,5 % (2009) pembentukan pendapatan regional (PDRB);
dan ini dikategorikan sebagai kesenjangan lunak (> 17 %), sehingga dapat
disimpulkan di Kaltim distribusi pendapatan (PDRB) dianggap cukup merata
(Dumairy; hal 55). Ini berarti, kemiskinan yang terjadi tidak disebabkan adanya
ketidakmerataan pendapatan, namun disebabkan oleh faktor-faktor lainnya.

Kemiskinan dapat terjadi, karena tidak ada pekerjaan atau kalaupun berkerja
tidak bersifat permanen, dan menghasilkan pendapatan yang tidak layak.
Berdasarkan jumlah penduduk di Kaltim selama periode 2005-2009,
menunjukkan laju pertumbuhan rata-rata 2,32 %/tahun, sementara jumlah
angkatan kerja mencapai laju pertumbuhan rata-rata 5,24 %/tahun (2005-2008),
akan tetapi proporsi angkatan kerja terhadap jumlah penduduk secara keseluruhan
hanya mencapai rata-rata 43,22 %/tahun selama 2005-2008. Berarti, secara kasar
terdapat 56,78 % penduduk bukan angkatan kerja, atau tidak bekerja dengan
berbagai alasan, seperti masih mencari pekerjaan, sekolah, mengurus rumah
tangga dan lainnya.

Proporsi relatif angkatan kerja yang lebih besar dibandingkan bukan


angkatan kerja akan memberikan pengaruh positif terhadap penciptaan daya beli
(kemampuan belanja) atau penghimpunan pendapatan menjadi lebih besar.
Sebaliknya, apabila proporsi bukan angkatan kerja yang lebih besar dibandingkan
angkatan kerja, maka ini akan menekan daya beli/penghim- punan pendapatan.
Secara teoritis peningkatan daya beli/penghimpunan pendapatan yang disebabkan
banyaknya penyerapan tenaga kerja, akan menjadi salah satu faktor yang dapat
mengurangi penduduk miskin.

Tabel 3

Jumlah Penduduk & Angkatan Kerja Provinsi Kalimatan Timur Tahun 2005
- 2009

Keterangan :

1) Angka proyeksi

2) Belum ada data

Sumber : Kaltim Dalam Angka Tahun 2009 & 2007, publikasi BAPPEDA &
BPS Provinsi Kaltim.
C. Tinjauan Teoritis

Lembaga Demografi FE UI (2010; hal 81) menyebutkan beberapa faktor


signifikan yang dapat mengurangi jumlah penduduk miskin, yaitu; (1) inflasi
umum yang stabil; (2) penurunan harga beras yang merupakan kebutuhan pokok
penduduk miskin; (3) perbaikan kondisi penduduk miskin di pedesaan yang
bekerja di sektor pertanian; dan (4) berkurangnya pengangguran karena
terbukanya lapangan kerja, terutama disektor informal, dimana porsi penduduk
miskin dominan berada disektor ini.

Muhammad Yunus (2008); menyebutkan bahwa upaya mengatasi


kemiskinan adalah dengan memberikan kemudahan bagi penduduk miskin
mengakses pasar keuangan, untuk mendapatkan "modal usaha" tanpa dibelenggu
aturan keuangan konvensional yang tidak berpihak kepada penduduk miskin.
Pendapat ini jelas merekomendir perlunya dukungan permodalan bagi penduduk
miskin; Di Indoensia konsep ini diwujudkan dengan mengintrodusir Kredit Usaha
Rakyat (KUR) berbasis pembiayaan APBN, sementara di Bangladesh
diwujudkan dengan pembentukan bisnis sosial ("salah satunya Grameen Bank"),
berbasis kemandirian penduduk miskin itu sendiri (mungkin masih ada pengaruh
ajaran Mahatma Gandhi "swadeshi").

Faisal Basri dan Haris Munandar (2009; hal 53); mencontohkan keberhasilan
mengatasi kemiskinan di Negara Kamboja, Vietnam dan Laos, dengan hanya
menerapkan pendekatan ekonomi yang sederhana, namun manusiawi, yaitu
memacu produksi sektor riil, khususnya pertanian dan industri ringan, disamping
memberikan bantuan sederhana bagi penduduk miskin yang berpenghasilan
kurang dari US $ 1/kapita/hari. Hasilnya secara signifikan mampu mengurangi
angka kemiskinan secara konsisten setiap tahunnya. Berbeda dengan Negara
Indonesia, angka kemiskinan perkembangannya berfluktiatif. Pada tahun 2005;
akibat kenaikan harga BBM mencapai 100 % mengakibatkan kenaikan drastis
angka kemiskinan, disisi lainnya pemberian BLT pada tahun 2008, ada
kemungkinan menjadi salah satu faktor yang menyebabkan penurunan angka
kemiskinan.

Sejalan dengan pemahaman Faisal Basri, oleh Mudrajad Kuncoro (2007;


363), dikatakan bahwa menumbuhkembangkan industri kecil dan rumah tangga
(IKRT) akan memberikan keuntungan terhadap penyerapan tenaga kerja serta
penggunaan sumber daya alam lokal, terutama dipedesaan. Penyerapan tenaga
tersebut dimensi manfaatnya akan berdampak terhadap peningkatan jumlah
tenaga kerja, pengurangan kemiskinan, pemerataan distribusi pendapatan dan
pembangunan ekonomi pedesaan.

Simon Kuznets (Mudrajad Kuncoro; hal 105); ketidakmerataan pendapatan


menurun sejalan dengan peningkatan GNP perkapita ("PDRB per kapita" pada
tingkatan regional) pada tahapan pembangunan selanjutnya. Ada 3 (tiga) faktor
penyebab terjadinya kemiskinan (hal 107), yaitu; Pertama, secara mikro
kemiskinan muncul karena adanya ketidakseimbangan kepemilikan sumber daya,
yang menimbulkan distribusi pendapatan yang tidak berimbang; Kedua,
kemiskinan muncul akibat perbedaan dalam kualitas sumber daya manusia, yang
berimplikasi terhadap rendahnya tingkat produktifitas, dan ini selanjutnya
berdampak terhadap perolehan upah yang rendah; Ketiga, kemiskinan muncul
akibat perbedaan dalam akses modal.

Perwakilan Bank Dunia di Indonesia (2006; hal xi), menyebutkan hampir


42 % penduduk Indonesia hidup diantara garis kemiskinan US $ 1 - US $ 2.
Kemiskinan dari segi non pendapatan adalah masalah yang lebih serius
dibandingkan dengan kemiskinan dari segi pendapatan; Apabila kita
memperhitungkan semua dimensi kesejahteraan - konsumsi yang memadai,
kerentanan yang berkurang, pendidikan, kesehatan dan akses terhadap
infrastruktur dasar. Hampir sebagian besar penduduk Indonesia diperkirakan
pernah mengalami paling tidak satu jenis kemiskinan, bila dilihat dari segi
kemiskinan non pendapatan ini.

Bank Dunia merekomendasikan 3 (tiga) cara untuk mengentaskan


kemiskinan, yaitu; (1) membuat pertumbuhan ekonomi bermanfaat bagi rakyat
miskin; (2) membuat layanan sosial bermanfaat bagi rakyat miskin; dan (3)
membuat pengeluaran pemerintah bermanfaat bagi rakyat miskin.

D. Permasalahan & Kebijakan Mengatasi Kemiskinan

Kemiskinan yang terjadi di Kaltim Timur penyebab utamanya tidak terletak


pada ketidakmerataan pendapatan, namun lebih disebabkan oleh rendah
penyerapan tenaga kerja; diukur dari jumlah angkatan kerja terhadap jumlah
penduduk secara keseluruhan. Sedangkan ukuran kemiskinan merujuk pada
jumlah pendapatan minimal untuk dapat hidup selayaknya.

Sebagaimana telah diutarakan sebelumnya, gini rasio Kaltim berada pada


tingkatan lunak ("tidak ada kesenjangan pendapatan yang berarti"). Fakta ini
menguatkan pendapat Simon Kusnetz, yang menyebutkan bahwa pemerataan
pendapatan akan berkurang, sejalan dengan peningkatan pendapatan perkapita.

Tabel 4

Pendapatan/Kapita dan Pertumbuhan Ekonomi Provinsi Kalimantan Timur Tahun


2006 - 2008
Keterangan :

1) Atas dasar harga berlaku.

Sumber : Kaltim Dalam Angka Tahun 2009, publikasi BAPPEDA & BPS
Provinsi Kaltim.

Penyajian data diatas memberikan indikasi terhadap pembuktian premis


Simon Kuznets, selama periode waktu 2006-2008 pendapatan perkapita di Kaltim
mengalami peningkatan, baik dengan memperhitungkan migas maupun tanpa
memperhitungkan migas. Walaupun disisi lainnya, dalam kurun waktu yang
bersamaan laju pertumbuhan ekonomi berfluktusi.

Permasalahan rendahnya penyerapan tenaga kerja akan terkait dengan


struktur ekonomi pembentuk PDRB ("PDRB berdasarkan lapangan usaha"),
karena tidak semua sektor ekonomi dapat menyerap tenaga kerja relatif besar.
Oleh Faisal Basri dan Haris Munandar (2009; hal 44-45); disebutkan bahwa
dalam kasus Indonesia, seharusnya pertumbuhan ekonomi ditopang oleh
sektor-sektor ekonomi yang tercakup didalam "tradeable", karena dengan tingkat
kesejahteraan dan pendidikan rata-rata penduduk masih rendah, serta akses ke
informasi dan sumber daya ekonomi yang timpang, maka apabila pertumbuhan
ekonomi ditopang sebaliknya oleh sektor-sektor ekonomi lingkup "non tradeable"
akan menimbulkan resiko, karena; Pertama, sektor ekonomi non tradeable ini
("kadangkala dikatakan sektor jasa") pada umumnya bersifat padat modal dan
bermuatan teknologi tinggi; Kedua, terkonsentrasikan di perkotaan saja, terutama
kota-kota besar; Dan ketiga, menyerap sedikit tenaga kerja dilihat dari aspek
kuantitas, disamping tuntut edukasi (aspek kualitas) yang menyebabkan mereka
yang memiliki latar belakang pendidikan tinggi saja yang dapat memasuki sektor
ini.

Berbeda dengan sektor ekonomi tradeable; masih memungkinkan


dilaksanakan dengan pola intensif tenaga kerja, karena bobot teknologinya
bersifat sederhana atau menggunakan teknologi tinggi yang dikombinasikan
dengan pengguaan tenaga manusia, sehingga cukup menyerap banyak tenaga
kerja.

Tabel 5

Prosentase Distribusi PDRB Provinsi Kalimantan Timur Menurut Penggunaan


Atas Dasar
Harga Berlaku
Tahun 2006 -
2008

Sumber : Kaltim Dalam Angka Tahun 2009, publikasi BAPPEDA & BPS
Provinsi Kaltim.

Penyajian data pada Tabel 5 dapat dilihat bahwa selama periode waktu
2006-2008, baik berdasarkan PDRB Migas maupun Non Migas; sektor ekonomi
lebih didominasi sektor yang bersifat "tradeable", terutama sektor pertambangan
non migas. Namun, mengingat sektor pertambangan non migas ini terutama batu
bara diekspor dalam bentuk komoditi mentah (belum diolah), maka tidak
memberikan dampak signifikan terhadap penyerapan tenaga kerja.

Pada tataran penduduk pedesaan yang berbasis pertanian sebagai lapangan


usahanya, maka seharusnya perhatian Pemerintah Daerah adalah memacu
pertumbuhan sektor pertanian, karena selain pertimbangan menyerap banyak
tenaga kerja, juga berdampak terhadap penciptaan pendapatan (daya beli) yang
mampu menggeser penduduk dari garis kemiskinan.

Potensi lahan pertanian di Kaltim cukup luas untuk pelbagai budidaya


tanaman, terutama untuk budidaya tanaman keras (perkebunan), seperti karet,
kelapa, kopi, lada, cengkeh, kakao dan kelapa sawit. Perkembangan luasan lahan
yang telah digarap masih relatif rendah, karena membutuhkan biaya cukup besar
untuk proses penggarapannya, dan harus dilakukan secara kolektif, baik secara
informal melalui pembentukan kelompok tani, maupun secara formal, melalui
pengelolaan oleh BUMN atau swasta murni, seperti PIR-Bun dan perkebunan
besar swasta. Adapun potensi pasarnya adalah berorientasi ekspor, dengan
permintaan yang terus meningkat.

Data yang tersajikan pada Tabel 5 diatas membuktikan bahwa sektor


pertanian masih relatif rendah sumbangannya terhadap PDRB migas maupun
PDRB non migas. Padahal hasil kajian Lembaga Demografi FE UI
merekomendasikan upaya pengentasan kemiskinan dengan cara mendorong
pembangunan ekonomi di pedesaan, dimana sebagian besar penduduk Indonesia
bermukim permanen, walaupun di Kaltim sendiri jumlah penduduk yang
bermukim di pedesaan hanya 44,05 % selama periode waktu 2006-2008;
selebihnya merupakan penduduk yang bermukim di perkotaan, rata-rata 55,95 %
(Kaltim Dalam Angka 2009; hal 75).

Namun strategi pembangunan pedesaan hraus tetap mendapatkan prioritas


Pemerintah Daerah, karena ada 3 (tiga) tujuan mendasar yang dapat dicapai; (1)
mendorong penduduk perkotaan yang belum bekerja, mau bekerja di pedesaan,
sehingga akan menambah angkatan kerja dan menghasilkan pendapatan, dalam
rangka mengurangi angka kemiskinan; (2) mengurangi tekanan kepadatan
penduduk di perkotaan yang terus meningkat, sejalan dengan laju pertumbuhan
penduduk yang mencapai rata-rata 2,34 %/tahun dalam periode waktu 2006-2008
(Kaltim Dalam Angka 2009; hal 70), dimana dari aspek ini bertujuan pula untuk
melakukan penyebaran penduduk secara mandiri, mengingat di Kaltim tingkat
kepadatan penduduk relatif rendah; dalam periode waktu 2006-2008 rata-rata
hanya 15,24 org/km2 (Kaltim Dalam Angka; hal 71) ; Disamping itu, yang lebih
penting lagi adalah; (3) Menghimpun kekuatan sumber daya manusia, yang akan
menjadi potensi penggarap lahan pertanian di pedesaan yang belum
termanfaatkan.

Untuk mendukung pencapaian tujuan ketiga diatas, Pemerintah Provinsi


Kaltim telah menyediakan fasilitas kredit untuk usaha perkebunan dan peternakan
melalui Bankaltim (d/h. Bank Pembangunan Daerah/BPD), dan memberikan
sertifikat lahan garapan untuk kelompok tani (sebelumnya sudah dipelopori oleh
Pemerintah Kabupaten Kutai Timur, dalam rangka pembukaan lahan kritis/tidak
termanfaatkan untuk perkebunan). Konsepsi ini sejalan dengan pemikiran
Muhammad Yunus, lebih menekankan pada kemandiri untuk bekerja.

Konsepsi yang sama, namun dengan pola yang berbeda adalah penerapan
Program Pemberdayaan Distrik dan Kampung (PPDK) di Kabupaten Jayapura,
dimana peran masyarakat secara mandiri didorong untuk memberdayakan potensi
yang ada di distrik/kampung masing-masing. Pemerintah Kabupaten beserta
stakehorlder lainnya memberikan dukungan pembiayaan stimulan dan
pengawasan pelaksanaannya saja (WIM Poli, 2007).

Strategi pembangunan di pedesaan sejalan pula dengan rekomendasi


Perwakilan Bank Dunia, terutama strategi yang bertendensi meningkat
produktifitas pertanian. Diagnosa kemiskinan yang dilakukan menunjukkan
bahwa peningkatan pendapatan di sektor pertanian tetap menjadi pendorong
utama pengentasan kemiskinan. Data panel tahun 1993 dan 2000 menunjukkan
bahwa 40 % pekerja pertanian di daerah pedesaan mampu keluar dari jerat
kemiskinan dengan tetap bekerja di sektor pertanian pedesaan (2006; xv).

Untuk keperluan tersebut, upaya revitalisasi pertanian dilaksanakan


bersamaan dengan pembenahan infrastruktur pertanian, khususnya jalan dan
irigasi. Jalan diperlukan untuk kemudahan akses membawa hasil pertanian ke
pasar, sedangkan irigasi sangat relevan mendorong diversifikasi hasil pertanian.
Sebagaimana telah disebutkan pada awal pembahasan, ukuran kemiskinan
berdasarkan kriteria UNDP, yaitu terhadap rata-rata pengeluaran US
$ 1/hari/kapita; BPS memodifikasi-nya menjadi akumulasi pengeluaran minimal
("layak") per kapita per bulan, yang mencakup pengeluaran untuk kelompok
makanan maupun bukan makanan.

Dalam konteks ini, khususnya untuk makanan; pengeluaran paling besar


yang dilakukan penduduk Kaltim, secara berurutan adalah untuk padi-padian,
makanan dan minuman jadi, tembakau dan sirih serta lkan. Sedangkan bukan
makanan, sebagain besar pengeluaran penduduk Kaltim, secara berurutan adalah
untuk perumahan, bahan bakar, penerangan dan air serta aneka barang dan jasa.

Keseluruhan pengeluaran tadi akan bergerak mengikuti perkembangan harga,


yang terukur dari perkembangan Indeks Harga Konsumen (IHK). Pada Tabel 6,
dapat diperhatikan bahwa kenaikan IHK, diikuti pula dengan kenaikan rata-rata
pengeluaran penduduk untuk keperluan makanan dan bukan makanan. Dari sini
dengan jelas faktor perkembangan harga (inflasi/IHK) merupakan salah satu
faktor yang menentukan upaya menekan angka kemiskinan.

Keterbatasan infrastruktur di Kalimantan Timur, khususnya jaringan jalan


dan jembatan yang dapat menembus sampai kepelosok (pedesaan); menyebabkan
mahalnya biaya transportasi, sehingga memberikan pengaruh terhadap harga
akhir komoditas sampai ke pedesaan (pedalaman). Untuk saat ini pengaruh
tersebut belum diperhitungkan dalam IHK, karena IHK (inflasi) baru mencakup 3
(tiga) kota saja di Provinsi Kalimantan Timur, yaitu Samarinda, Balikpapan dan
Tarakan, yang fasilitas infrastruktur-nya relatif lebih baik.

Tabel 6

Rata-rata Indeks Harga Konsumen (IHK) serta Rata-rata Pengeluaran


Makanan & Bukan Makanan Provinsi Kalimantan Timur Tahun 2006-2008
Sumber : Kaltim Dalam Angka Tahun 2009, publikasi BAPPEDA & BPS
Provinsi Kaltim.

Selama masalah infrastruktur belum menyentuh sampai ke pelosok, maka


kemiskinan di Kaltim tidak dapat dituntaskan, paling tidak hanya dapat dikurangi,
karena atas dasar ukuran pendapatan minimal tadi menyebabkan faktor
kemahalan harga tidak dapat dihindarkan; sebagian besar pengeluaran rata-rata
penduduk, baik untuk kelompok makanan maupun bukan makanan, tidak
sepenuhnya dapat dihasilkan secara lokal, masih didatangkan dari luar, yang
membutuhkan biaya transportasi hingga sampai ke konsumen akhir (termasuk
penduduk pedesaan).

Di perkotaan; kemiskinan yang terjadi, selain disebabkan tidak bekerja atau


bekerja paruh waktu (tidak tetap), dengan penghasilan yang belum mencukupi
untuk hidup layak, juga disebabkan lapangan usaha penduduk lebih banyak
berada di sektor informal, seperti perdagangan dan industri kecil/rumah tangga
(IKRT). Skala usaha sektor ini relatif kecil, dan sifatnya hanya pemenuhan
kebutuhan pasar lokal.

Upaya peningkatan skala usaha, selain membutuhkan permodalan,


diperlukan pula diversifikasi produk dan pengembangan wilayah pemasaran,
sehingga peran Pemerintah Daerah sangat diperlukan untuk membantu
permodalan sebagaimana disarankan oleh Mudrajat Kuncoro.

Untuk keperluan perluasan pasar, dukungan dari Pemerintah Daerah berupa


pelaksanaan kegiatan pameran lokal dan keikutsertaan pengusaha IKRT lokal
pada pameran skala nasional. Upaya ini efektifitas keberhasilannya ditentukan
oleh kemampuan IKRT bersangkutan melakukan diversifikasi produk secara
konsisten sesuai kebutuhan pasar, dan mampu menjaga originalisasi produk, baik
tampilan bentuk maupun selera. Pengembangan SDM para pengusaha IKRT
merupakan upaya lainnya yang tidak kalah penting untuk tetap dilakukan, yang
selama sudah menunjukkan hasil mengembirakan.

E. S i m p u l a n

Dari keseluruhan pembahasan diatas dapat ditarik beberapa kesimpulan,


sebagai berikut :

1. Kemiskinan yang terjadi bukan disebabkan oleh ketidakmerataan pendapatan


penduduk, karena gini rasio menunjukkan angka > 17 % (kesenjangan
lunak) ;

2. Lemahnya daya beli/kemampuan menghimpun pendapatan dalam jumlah


yang layak sebagai ukuran kemiskinan, lebih disebabkan oleh faktor
ketiadaan kesempatan kerja ;

3. Perkembangan sektor ekonomi yang bersifat tradeable, yang diharapkan


dapat menjadi pemicu dalam penyerapan tenaga kerja, tidak sepenuhnya
dapat diharapkan, karena khususnya untuk sektor ekonomi pertambangan
hasilnya diekspor dalam kondisi mentah (raw material), sehingga penyerapan
tenaga kerja relatif menjadi kurang ;

4. Sementara sektor ekonomi pertanian di pedesaan, belum dapat dimanfaatkan


sepenuhnya, walaupun potensi penyerapan tenaga kerja-nya relatif tinggi;
sehingga Pemerintah Daerah harus berperan aktif untuk melakukan
pembenahan infrastruktur pedesaan dan pengembangan budi daya pertanian,
sehingga mampu menumbuhkan keberminatan penduduk berusaha (bekerja)
di desa ; dan
5. Kemiskinan di perkotaan terjadi karena, selain tidak memiliki pekerjaan, juga
disebabkan lapangan usahanya lebih bertumpu pada sektor informal (IKRT),
dengan skala usaha kecil. Dalam kiatan ini peran Pemerintah Daerah
diharapkan dapat memberikan bantuan permodalan dan perluasan jaringan
pemasaran produk.

DAFTAR PUSTAKA

http://diddyrusdiansyah.blogspot.co.id/2013/02/kemiskinan-di-provinsi-kalimanta
n-timur.html By Diddy Rusdiansyah on Senin, 25 Februari 2013

Anda mungkin juga menyukai