Anda di halaman 1dari 21

BAB II

LANDASAN TEORI

II.1 Hukum Pajak Internasional

Negara Indonesia mengadakan treaty tax (perjanjian penghidaran pajak

berganda) bukanlah semata-mata keinginan dari negara kita, namun juga karena ada asas

timbal balik dan keinginan yang sama dari negara yang mengadakan perjanjian tersebut.

Menurut PJA Adriani, hukum pajak internasional ialah keseluruhan peraturan

(Pasal 23 Ayat (2) Undang-undang Dasar 1945) Segala pajak untuk keperluan Negara

berdasarkan Undang-undang yang mengatur tata tertib hukum dan yang mengatur soal

penyedotan daya beli itu di masing-masing negara. Pengertian hukum pajak internsional

itu merupakan suatu pengertian yang lebih luas dari pada pengertian hukum pajak

berganda dan hukum pajak nasional itu termasuk di dalam hukum pajak internasional.

Hukum pajak internasional merupakan suatu kesatuan undang-undang nasional

mengenai:

a. Pengenaan pajak terhadap orang-orang luar negeri.

b. Peraturan-peraturan nasional untuk menghindarkan pajak berganda.

c. Traktat-traktat.

7
Menurut negara-negara Anglo Sakson (Amerika Serikat, Inggris, dan Jepang),

hukum internasional dibagi sebagai berikut:

1. Hukum pajak nasional mengatur hukum pajak luar negeri (National External Tax

Law)

2. Hukum pajak luar negeri (Foreign Tax Law)

3. Hukum pajak internasional (International Tax Law)

National external tax law merupakan bagian dari hukum pajak nasional yang

memuat ketentuan-ketentuan mengenai pengenaan pajak yang mempunyai daya kerja

sampai di luar batas-batas negara karena terdapat unsure-unsur asing, baik mengenai

objeknya (sumber ada di luar negeri) maupun mengenai subyeknya (subyek ada di luar

negeri).

Foreign Tax Law keseluruhan perundang-undangan dan peraturan-peraturan

pajak dari negara-negara yang ada diseluruh dunia.

International Tax Law dibedakan dalam arti sempit dan arti luas. Hukum pajak

internsional dalam arti sempit merupakan keseluruhan kaedah pajak yang berdasarkan

hukum antar negara seperti traktat-traktat, konvensi, dan lazim diterima baik oleh

negara-negara didunia, mempunyai tujuan mengatur soal perpajakan antara negara yang

saling mempunyai kepentingan.

Sedangkan hukum pajak internasional dalam arti luas. Hukum keseluruhan

kaedah yang berdasarkan traktat-traktat, konvensi-konvensi, dan prinsip hukum pajak

yang diterima baik oleh negara-negara di dunia, maupun kaedah-kaedah nasional yang

8
mempunyai sebagai subjeknya pengenaan pajak dalam mana dapat ditunjukkan adanya

unsur-unsur asing, hal mana mungkin dapat menimbulkan bentrokan hukum atara dua

negara atau lebih.

II.2 Pengertian Pajak Berganda International

Sehubungan dengan pengertian pajak berganda (double taxation), berdasarkan

Knechtle dalam bukunya yang berjudul Basic Problems in Internasional Fiscal Law

(1979) memberikan pembahasan secara rinci bahwa pengertian pajak berganda

dibedakan menjadi dua, yaitu :

1. Secara Luas, Pajak berganda adalah bentuk pembebanan pajak dan pungutan lainnya

lebih dari satu kali, yang dapat berganda atau lebih atas suatu fakta fiskal.

2. Secara Sempit, Pajak berganda dianggap terjadi pada semua kasus pemajakan

beberapa kali terhadap suatu subjek dan atau objek pajak dalam satu administrasi

pajak yang sama, yang mengesampingkan pembebanan pajak oleh pemerintah

daerah.

Selanjutnya, pajak berganda sesuai dengan negara (yurisdiksi) pemungut pajaknya,

dapat dikelompokkan menjadi pajak berganda :

1. Internal (domestic)

2. Internasional

Dalam kedua kelompok tersebut terdapat pajak berganda vertikal, horizontal dan

diagonal (terutama dalam negara yang berbentuk federal).

9
Beberapa unsur Pajak Berganda Internasional (PBI), apabila pemajakan berganda

(multiple) dilakukan oleh beberapa adminitrasi pajak (berdasarkan yurisdiksi pemajakan

domestik tiap negara) maka teradapat pajak berganda Internasional (international double

taxation). Secara teoretis dan normatif, istilah pajak berganda internasional meliputi

beberapa unsur, antara lain:

1. Pengenaan Pajak oleh beberapa otoritas pemajakan terhadap kriteria identitas.

2. Identitas subjek pajak (Wajib Pajak yang sama)

3. Identitas objek pajak (objek yang sama)

4. Identitas masa pajak

5. Identitas (kesamaan) pajak

Beberapa tipe Pajak Berganda Internasional ( PBI ):

1. Faktual dan potensial

2. Yuridis dan ekonomis

3. Langsung dan tidak langsung

Beberapa bentuk pajak berganda internasional:

1. Pajak Penjualan

Walaupun hanya ditujukan terhadap peredaran dan konsumsi domestik,

terdapat kemungkinan bahwa pajak penjualan (peredaran dan pertambahan nilai)

dapat menimbulkan P3B. Hal itu dapat terjadi apabila dalam prinsip pemajakan

10
negara pengekspor menganut prinsip Negara asal (origin principle, pemajakan

oleh negara asal barang dan jasa), sedangkan negara pengimpor menganut prinsip

negara tujuan (destination principle, pemajakan oleh negara tujuan sebagai

pemanfaat barang dan jasa). Namun, karena pemajakan atas transfer barang dan

jasa, hampir semua Negara pemungut pajak penjualan menganut prinsip negara

tujuan, maka tidak akan terjadi PBI dalam pajak tidak langsung.

2. Pajak Penghasilan

Dalam pemajakan ini, kita mengenal dua pendekatan kewajiban pajak, antara lain:

a. Kewajiban pajak tidak terbatas, merupakan resultat dari pemajakan

berdasarkan pertalian subjektif yang dapat berupa nasionalitas atau tempat

pendirian atau tempat kedudukan.

b. Kewajiban pajak terbatas, merupakan resultat dari pemajakan berdasarkan

pertalian objektif yang dapat berupa lokasi aktivitas ekonomi dan sumber

penghasilan.

Sehubungan dengan pajak penghasilan, PBI dapat terjadi karena benturan antar

klaim, yaitu:

1. Pemajakan tak terbatas

2. Pemajakan tak dengan terbats

3. Pemajakan terbatas

11
Benturan antar klaim pemajakan tak terbatas dapat terjadi antar negara penganut

prinsip :

a. Nasionalitas, pada umumnya terjadi terhadap orang pribadi yang berada di

negara penganut tempat kelahiran dengan orang tua dari negara penganut

keturunan.

b. Nasionalitas dengan residensi, dapat terjadi baik pada wajib pajak orang

pribadi maupun badan.

c. Residensi, terjadi pada orang pribadi yang mempunyai tempat tinggal di

negara penganut pemajakan berdasarkan asas domisili namun ia berada

dalam waktu yang relatif substansial di negara penganut prinsip kehadiran

substansial (lebih dari 183 hari).

Benturan tersebut terjadi apabila subjek pajak yang bertempat tinggal atau

bertempat kedudukan di negara penganut pemajakan global memperoleh

penghasilan atau menjalankan aktivitas ekonomi juga memperoleh penghasilan

dari negara penganut klaim pemajakan terbatas, maka akan timbul PBI sebagai

akibat benturan klaim pemajakan terbatas. Ketentuan dalam Undang-Undang

Pajak Penghasilan. Dalam ketentuan pemajakannya, UU PPh menganut pertalian

subjektif dan objektif. Pertalian subjektif orang pribadi ditentukan berdasarkan :

a. Tempat tinggal (di Indonesia)

b. Kehadiran/ keberadaan (di Indonesia lebih dari 183 hari)

c. Niat untuk bertempat tinggal di Indonesia

12
Pertalian subjektif badan ditentukan berdasarkan :

a. Tempat pendirian

b. Tempat kedudukan

II. 3 Pengertian Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda

Perjanjian penghindaran pajak berganda (P3B) adalah perjanjian pajak antara 2

(dua) negara (bilateral) yang mengatur mengenai pembagian hak pemajakan atas

penghasilan yang diperoleh atau diterima oleh penduduk dari salah satu atau kedua

negara pihak pada persetujuan (both Contracting States). Pembagian hak pemajakan

tersebut diatur dengan tujuan untuk mencegah seminimal mungkin terjadinya pengenaan

pajak berganda. Dengan kata lain, pencegahan pajak berganda dalam P3B diatur dengan

membatasi hak pemajakan dari negara sumber atas penghasilan yang timbul dari wilayah

juridiksinya. Apabila pengenaan pajak berganda dapat dihindari seminimal mungkin,

maka diharapkan dapat mencegah timbulnya efek negatif yaitu distorsi dalam transaksi

internasional. Disamping itu, P3B memiliki tujuan lainnya, yaitu :

1. Mencegah timbulnya pengelakan pajak

2. Memberikan kepastian hukum.

3. Pertukaran informasi.

4. Penyelesain sengketa di dalam penerapan P3B.

5. Non diskriminasi.

6. Bantuan dalam penagihan pajak.

7. Penghematan dalam cash flow.

13
Pada umumnya P3B dimaksudkan sebagai salah satu instrumen yang digunakan

untuk menciptakan iklim yang kondusif dalam meningkatkan hubungan ekonomi kedua

negara. Hal ini dimungkinkan dengan mencegah timbulnya pajak berganda,

penyeludupan pajak, dan memberikan kepastian hukum dan insentif pajak berupa

penghematan pajak berupa penghematan dalam cash flow bagi penduduk dari kedua

negara pihak pada persetujuan yang melakukan transaksi internasional. Persetujuan ini

mengakomodasi ketentuan yang memberikan perlindungan bagi penduduk dari suatu

negara pihak pada persetujuan yang melakukan usaha di negara pihak lainnya pada

persetujuan (the other Contracting States). Perlindungan dimaksud berupa perlakukan

non diskriminasi dan penyelesaian sengketa pajak yang tidak sesuai dengan penerapan

sebagaimana dimaksud dalam persetujuan. Selain itu, P3B mengakomodasi pula

kepentingan politik dari kedua negara pihak pada persetujuan. Misalnya dengan

persetujuan ini diharapkan hubungan politik luar negeri dari kedua negara tersebut

menajdi lebih erat dan harmonis.

II.4 Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B)

Secara tradisional terdapat beberapa metode penghindaran P3B, yaitu :

1. Pembebasan/pengecualian (exemption)

Metode ini berupaya untuk secara total mengeliminasi P3B. Metode tersebut

menghendaki suatu Negara pemegang yurisdiksi pemajakan untuk rela melepaskan

hak pemajakannya dan sepertinya mengakui pemajakan eksklusif di negara lain.

Metode ini meliputi :

14
a. Pembebasan subjek, umumnya diberlakukan terhadap anggota korps diplomatik,

konsuler, dan organisasi internasional. Para duta besar, anggota korps diplomatik

dan konsuler, yang sesuai dengan hukum internasional, mendapat privelage

pemajakan. Mereka hanya dikenakan pajak oleh negara pengirimnya saja.

b. Pembebasan objek, yang lebih dikenal dengan full exemption diberikan dengan

mengeluarkan penghasilan luar negeri dari basis pemajakan WPDN negara

tersebut. Karena penghasilan luar negeri dikeluarkan dari basis penghitungan

pajak atas penghasilan global, maka secara wajar, kerugian juga dikeluarkan

sebagai pengurang basis penghitungan pajak.

c. Pembebasan pajak, pada prinsipnya penghasilan luar negeri dibebaskan dari

pajak domestik, namun untuk keperluan penghitungan pajak pengaruh progresi

penghasilan luar negeri terhadap pengenaan pajak atas penghasilan global

dipertahankan. Apabila Negara residen memberlakukan tarif sepadan

(proposional atau flat), maka pengaruh progresi tersebut adalah nihil. Progresi

akan berpengaruh positif apabila penghasilan luar negeri negative, karena

kerugian tersebut merupakan pengurang basis penghitungan pajak atas

penghasilan global. Hal ini merupakan salah satu perbedaan antara metode

pembebasan penghasilan dengan pembebasan pajak. Pengaruh progresif akan

efektif di negara penganut tarif pajak progresif.

Misalnya:

Tuan Wili, penduduk negara A, memperoleh penghasilan bersih

Rp.100,000,000,- Penghasilan dalam negeri Rp. 40,000,000,- penghasilan

15
luar negeri Rp. 60,000,000,- Negara A menerapkan tarif progresif yaitu, 10

% atas penghasilan bersih sampai dengan 25,000,000,-, 20 % atas

penghasilan diatas Rp. 25,000,000 sampai dengan Rp. 50,000,000,-, 30 %

atas penghasilan di atas Rp. 50,000,000,-. Apabila negara itu menerapkan

metode pembebasan penuh maka pajak terutang atas penghasilan yang

diperoleh Tn Wili adalah:

Tarif Pogresif

10 % X 25,000,000,- = Rp. 4,000,000,-

20 % X 15,000,000,- = Rp. 1,500,000,-

Jumlah Rp. 5,500,000,-

Diklasifkasikan sebagai metode pembebasan progresif apabila penghasilan

yang berasal dari luar negeri turut diperhitungkan dengan penghasilan dalam

negeri hanya untuk tujuan penentuan tarif pajak dakam rangka menentukan

besarnya pajak yang terutang atas penghasilan dari dalam negeri. Apabila

contoh diambil dari kasus Tn Satoru, maka pajak terutang atas penghasilan

yang diperolehnya adalah 30 % X 40,000,000,- = Rp. 12,000,000,-

2. Kredit Pajak

Berbeda dengan metode eksemsi (yang mengeliminasi penghasilan luar negeri dari

basis pengenaan atau pemajakan dengan memperhitungkan penghasilan terhadap

penghasilan income against income), metode kredit memberikan keringanan atau

eliminasi PBI dengan cara mengkreditkan (mengurangkan atau mengimputasikan)

16
pajak luar negeri terhadap pajak penghasilan global yang merupakan porsi

penghasilan luar negeri.

Beberapa varian dari metode kredit, antara lain :

a. Kredit penuh, mengurangkan pajak yang terutang atau dibayar di luar negeri

sepenuhnya terhadap pajak domestik yang dialokasikan terhadap penghasilan

dimaksud. Metode ini sangat jarang negara yang memberlakukan metode kredit

penuh.

Misalnya, Tn Wolo, penduduk negara B memperoleh penghasilan dari

luar negeri sebesar Rp. 100,000,000,- dan telah dikanakan pajak di luar

negeri sebesar 40% dari jumlah bruto sebesar Rp. 40,000,000,-. Selain

itu, Tn Wolo memperoleh penghasilan yang berasal dari dalam negeri

sebesar Rp. 100,000,00,-

Negara B menerapkan tarif progresif, 10 % atas penghasilan bersih

sampai dengan Rp. 20,000,000,-, 20 % atas penghasilan di atas Rp.

20,000,000,- sampai dengan Rp. 40,000,000,-, 40 % atas penghasilan di

atas Rp. 40,000,000,-.

Tarif Progresif

10 % X 20,000,000,- = Rp. 2,000,000,-

20 % X 50,000,000,- = Rp. 10,000,000,-

40 % X 140,000,000,- = Rp. 56,000,000,-

17
Jumlah Rp. 66,000,000,-

Sehubungan dengan metode pengkreditan penuh, atas seluruh pajak yang

dibayar atau terutang diluar negeri sebesar Rp. 40,000,000,- oleh Tn

Wolo dapat diperhitungkan senagai kredit pajak atas yang terutang

diakhir tahun.

b. Kredit pajak biasa, memberikan keringan pajak berganda internasional yang

berupa pengurangan pajak luar negeri terhadap pajak nasioanl dengan batasan

jumlah yang terendah antara pajak domestik yang dialokasikan kepada

penghasilan luar negeri dan pajak yang sebenarnya terutang atau dibayar di luar

negeri atas penghasilan dimaksud yang termasuk dalam penghasilan global.

Misalnya, PT. AB memperoleh penghasilan bersih dalam satu tahun

pajak sebesar Rp. 1,000,000,000,- yang terdiri dari Rp. 500,000,000,- dari

luar negeri dan sisanya Rp. 500,000,000,- diperoleh dari kegiatan dalam

negeri. Atas penghasilan dari luar negeri itu telah dikenakan pajak pajak

50% atau sebesar Rp. 250,000,000,- Jumlah pajak yang dibayar diluar

negeri dapat dikreditkan di Indonesia adalah sebesar Rp. 145,625,000,-

yaitu sebesar batas maksimum yang diperkenankan sesuai dengan pasal

24 undang undang PPh yang berlaku di Indonesia. Besarnya batas

maksimum yang diperkenankan sesuai pasal 24 undang-undang PPh di

atas ditentukan berdasarkan ratio penghasilan luar negeri dengan

penghasilan kena pajak dikalikan PPh terutang.

18
3. Metode Fiktif (tax sparing)

Insentif pajak yang diperoleh dari luar negeri oleh penduduk dari suatu negara yang

dapat diperhitungkan sebagai kredit pajak atas pajak yang terutang di negara itu.

Umumnya insentif pajak diberikan oleh Negara-negara berkembang untuk menarik

investor dari Negara-negara maju. Insentif pajak dimaksud berupa pembebasan

pajak (tax holiday) atau pajak ditanggung pemerintah (tax borne by government).

Agar insentif pajak itu efektif dan bermaanfaat bagi investor maka negara maju

tempat si investor berdomisili memberikan tax sparing. Apabila negara tidak

memberikan tax sparing maka insentif pajak tersebut akan dinikmati oleh negara itu

dan bukan oleh investor. Dengan kata lain, negara berkembang memberikan subsidi

pajak kepada negara maju tidak menerapkan tax sparing rule.

II.5 Implikasi Penghindaran Pajak Berganda

Beberapa metode penghindaran P3B sebagaimana dibahas di muka mempunyai

implikasi baik bagi wajib pajak (investor), negara sumber maupun negara domisili

(penyedian keringan).

Pemberian keringan dalam bentuk pembebasan (exemption) baik objek maupun

pajak dapat mengeliminasi secara tuntas P3B karena pemajakan hanya dilakukan oleh

Negara sumber. Pelepasan pemajakan oleh negara domisili menyebabkan hilangnya

potensi penerimaan negara tersebut dari penghasilan mancanegara.

Metode eksemsi didasarkan atas prinsip netralitas impor modal (netralitas pasar

internasional) yang secara otomatis mendorong mobilitas sumber dana ke mancanegara.

Hal ini dapat merupakan rangsangan untuk menanam modal di negara berkembang.

19
Karena beban pajak hanya ditentukan oleh Negara tempat penanaman modal, apabila

beban tersebut lebih rendah daripada negara domisili dan Negara lainnya, investor

memperoleh penghematan pajak. Karena tidak mengenakan pajak, administrasi pajak

negara domisili investor tidak direpotkan dengan kekurang-lengkapan informasi pajak

kecuali negara tersebut menerapkan metode eksemsi pajak dan terdapat kerugian

mancanegara.

Dalam rangka peningkatan penerimaan pajak dari penghasilan mancanegara,

Negara domisili dapat menerapkan kebijakan pengurangan pajak terhadap penghasilan

luar negeri atau keringanan tarif pajak. Kedua metode tersebut dapat menghambat minat

investasi ke mancanegara terutama apabila bebas pajak disana sudah cukup tinggi.

Namun hal demikian secara statuter tidak akan mengurangi niat baik Negara sumber

untuk memberikan keringan pajak dalam rangka menarik investasi.

II.6 Asas asas Pemungutan Pajak

1) Asas Equality

Pemungutan pajak harus bersifat adil dan merata, yaitu dikenakan pada orang

pribadi yang harus sebanding dengan kemampuan membayar pajak (ability to

pay) dan sesuai dengan manfaat yang diterima.

2) Asas Certainty

Penetapan pajak hendaknya tidak sewenang-wenang, jadi wajib pajak harus

mengetahui kapan membayar dan batas waktu pembayaran

3) Asas Convenience of Payment

20
Kapan Wajib Pajak itu harus membayar pajak sebaiknya sesuai dengan saat

saat yang tidak menyulitkan Wajib Pajak, misalnya pada saat memperoleh

penghasilan.

4) Asas Economy

Secara ekonomi, biaya pemungutan dan pemenuhan kewajiban pajak bagi

Wajib Pajak diharapkan seminimum mungkin, demikian pula beban yang

dipikul.

Pengenaan pajak berganda secara internasional pada dasarnya merupakan akibat

dari perbedaan prinsip-prinsip perpajakan internasional yang dianut oleh setiap negara.

Perbedaan prinsip tersebut mengakibatkan konflik juridiksi antara satu negara dan

negara lainnya. Walaupun setiap negara mempunyai metode penghindaran pajak

berganda secara unilateral, hal ini tidak sepenuhnya menjamin tidak terjadinya

pengenaan pajak berganda.

Pada dasarnya, pengenaan pajak berganda disebabkan oleh tiga jenis konflik

jurisdiksi yang akan dibahas berikut ini :

a. Konflik antara azas domisili dan azas sumber

Masalah yang umum terjadi dalam pengenaan pajak berganda adalah

bertemunya azas domisili dengan azas sumber. Negara domisili, dalam hal

ini adalah Jepang, mengenakan pajak atas penghasilan yang diterima di

negaranya, sedangkan negara sumber yaitu Indonesia juga mengenakan

pajak atas penghasilan yang dihasilkan dari negara tersebut.

21
b. Konflik karena perbedaan definisi penduduk

Seorang pribadi atau badan pada saat yang bersamaan dapat dianggap

sebagai penduduk dari dua negara. Hal ini terjadi karena definisi

penduduk kedua negara tersebut berbeda. Konflik mengenai penduduk

ganda (dual residence) biasanya terjadi atas orang pribadi, tetapi tidak

menutup kemungkinan terjadi pada suatu badan hukum.

Dalam perjanjian Indonesia Jepang, seseorang atau suatu badan merupakan

penduduk dari kedua negara, maka untuk tujuan persetujuan ini pejabat yang

berwenang dari masing-masing negara, berdasarkan permufakatan kedua

belah pihak akan menentukan tempat kedudukan seseorang atau badan

tersebut.

c. Perbedaan definisi tentang sumber penghasilan

Apabila kedua negara memperlakukan satu jenis penghasilan yang

bersumber dari wilayahnya, yang kemudian berakibat penghasilan tersebut

dikenai pajak dikedua negara.

II.7 Transaksi Hubungan Istimewa

Transaksi hubungan istimewa dapat terjadi baik antara Wajib Pajak dalam negeri

maupun antara Wajib Pajak dalam negeri dengan pihak luar negeri, terutama yang

berkedudukan di negara-negara dengan beban pajak rendah. Terhadap transaksi antara

Wajib Pajak yang memiliki hubungan istimewa, undang-undang perpajakan Indonesia

menganut asa material (substance over form rule)

22
Hubungan istimewa di antara wajib pajak dapat terjadi karena ketergantungan

atau keterikatan satu dengan yang lain disebabkan karena :

a. Kepemilikan atau penyertaan modal langsung atau tidak langsung paling rendah

25% pada wajib pajak lain.

b. Adanya penguasaan melalui manajer atau penggunaan teknologi.

Apabila terdapat transaksi internasional yang bersifat tidak wajar, maka dapat

mengakibatkan terjadinya pengalian penghasilan atau dasar pengenaan pajak dan/

menekan keseluruhan jumlah pajak terutang atas wajib pajak lainnya, yang dapat

direkayasa untuk menekan keseluruhan jumlah pajak terutang atas Wajib Pajak yang

mempunya tujuan instimewa baik nasional maupun multinasional. Dan ketidakwajaran

tersebut terjadi pada :

a. Harga penjualan.

b. Harga pembelian.

c. Alokasi biaya administrasi dan umum.

d. Pembebasan bunga atas pemberian pinjaman oleh pemegang saham

e. Pembayaran komisi, Lisensi, waralaba, sewa, royalti, imbalan jasa manajemen,

imbalan jasa teknik, dan imbalan jasa lainnya.

Dan atas penyebab ketidakwajaran tersebut, maka Direktur Jendral Pajak dapat

mengenakan perhitungan kembali jumlah kewajaran atas transaksi hubungan istimewa

dalam Pasal 18 UU PPh, yang memiliki fungsi untuk mencegah terjadinya penghindaran

pajak karena adanya hubungan istimewa. Atas wewenang tersebut, Direktur Jendral

Pajak juga berwenang melakukan perjanjian dengan wajib pajak dan bekerja sama

23
dengan pihak otoritas pajak negara lain, untuk menentukan harga transaksi antar pihak

pihak yang mempunyai hubungan istimewa, yang berlaku selama suatu periode tertentu

dan mengawasi pelaksanaannya serta melakukan renegosiasi setelah periode tertentu

berakhir.

Perjanjian dengan Direktur Jendral Pajak yang lebih dikenal dengan Advance

Pricing Agreement (APA), merupakan persetujuan di antara Internal Revenue Services

(IRS) dan perusahaan dengan menggunakan harga-harga transfer, untuk menentukan

harga transfer yang telah disepakati. APA biasanya diperoleh sebelum perusahaan terkait

dalam harga transfer, yang memiliki tujuan memecahkan masalah perselisihan harga

transfer dengan cara yang lebih tepat dan menghindari proses pengadilan yang akan

lebih banyak menghabiskan biaya. Dan dengan APA, perusahaan dapat mendapatkan

manfaat-manfaat antara lain :

a. Memberikan kepastian kepada Wajib Pajak atas semua perhitungan mengenai

harga transaksi dengan menggunakan metode yang disetujui.

b. Memberikan kepastian terhadap kegiatan Wajib Pajak termasuk kepastian

mengenai kewajiban pajak yang berkaitan dengan harga transfer.

c. Mengurangi biaya pada saat diaudit, karena selama periode APA berlaku harga

transaksi yang telah disepakati oleh Wajib Pajak dan otoritas pajak.

d. Dapat mencegah praktik harga transfer yang tidak benar dan semata-mata hanya

untuk menghindari pajak.

24
II.8 Bunga, Royalti, dan Dividen kutipan PSAK No.23

28 Pendapatan yang timbul dari penggunaan aktiva perusahaan oleh pihak-

pihak lain yang menghasilkan bunga, royalti, dan dividen harus diakui atas dasar yang

dijelaskan dalam paragraf 29 bila:

(a) besar kemungkinan manfaat ekonomi sehubungan dengan transaksi

tersebut akan diperoleh perusahaan.

(b) jumlah pendapatan dapat diukur dengan andal.

29 Pendapatan harus diakui dengan dasar sebagai berikut:

(a) bunga harus diakui atas dasar proporsi waktu yang memperhitungkan

hasil efektif aktiva tersebut.

(b) royalti harus diakui atas dasar akrual sesuai dengan substansi perjanjian yang

relevan.

(c) dalam metode biaya (cost method), dividen tunai harus diakui bila hak

pemegang saham untuk menerima pembayaran ditetapkan.

30 Hasil efektif suatu aktiva merupakan tingkat bunga yang diperlukan

untuk mendiskontokan aliran penerimaan ka.s di masa depan yang diharapkan selama

hidup aktiva tersebut untuk menyamakan jumlah tercatat semula dari aktiva

tersebut. Pendapatan bunga mencakup jumlah amortisasi setiap diskon, premium atau

perbedaan lain antara jumlah tercatat semula dari suatu instrumen hutang dan jumlahnya

pada saat jatuh tempo.

25
31 Jika bunga yang belum dibayar telah diakru sebelum pembelian suatu investasi

(investment) yang berbunga, penerimaan bunga kemudian dialokasikan antara periode

sebelum pembelian dan sesudah pembelian; hanya bagian setelah pembelian yang diakui

sebagai pendapatan. Jika dividen pada sekuritas ekuitas diumumkan dari penghasilan neto

sebelum pembelian, dividen tersebut dikurangi dari harga bell sekuritas tersebut. Jika sulit

untuk membuat alokasi seperti itu kecuali atas dasar arbriter, dividen diakui sebagai

pendapatan kecuali bila dividen itu dengan jelas merupakan suatu perolehan kembali dari

sebagian harga beli sekuritas ekuitas tersebut.

32 Royalti diakui sesuai dengan syarat perjanjian yang relevan kecuali,

dengan memperhatikan hakikat perjanjian, adalah lebih sesuai untuk mengakui pendapatan

atas suatu dasar yang sistematik dan rasional lain.

33 Pendapatan diakui bila besar kemungkinan manfaat ekonomi sehubungan dengan

transaksi tersebut akan diperoleh perusahaan tersebut. Namun, bila ketidakpastian timbul

tentang kolektibilitas sejumlah yang telah termasuk dalam pendapatan, jumlah yang tidak

dapat ditagih, atau jumlah yang pemulihannya tidak lagi besar kemungkinannya, diakui

sebagai beban, daripada penyesuaian jumlah pendapatan yang diakui semula.

37 Pendapatan harus diukur dengan nilai wajar imbalan yang diterima atau
yang dapat diterima.

41 Pendapatan yang timbul dari penggunaan aktiva perusahaan oleh pihak-

pihak lain yang menghasilkan bunga, royalti dan dividen harus diakui atas dasar yang

diatur dalam paragraf 42 bila:

(a) besar kemungkinan manfaat ekonomi sehubungan dengan transaksi tersebut

akan diperoleh perusahaan; dan

26
(b) jumlah pendapatan dapat diukur dengan andal.

42 Pendapatan harus diakui dengan dasar sebagai berikut:

(a) bunga harus diakui atas dasar proporsi waktu yang memperhitungkan

hasil efektif aktiva tersebut.

(b) royalti harus diakui atas dasar akrual sesuai dengan substansi perjanjian yang

relevan.

(c) dalam metode biaya (cost method), dividen tunai harus diakui bila hak

pemegang saham untuk menerima pembayaran ditetapkan.

43 Perusahaan harus mengungkapkan:

(a) kebijakan akuntansi yang dianut untuk pengakuan pendapatan termasuk

metode yang dianut untuk menentukan tingkat penyelesaian transaksi

penjualan jasa.

(b) jumlah setiap kategori signifikan dari pendapatan yang diakui selama periode

tersebut termasuk pendapatan dari:

(i) penjualan barang.

(ii) penjualan jasa.

(iii) bunga.

(iv) royalti.

(v) dividen.

(c) jumlah pendapatan yang berasal dari pertukaran barang atau jasa dimasukkan

dalam setiap kategori yang signifikan dari pendapatan.

(d) pendapatanyangditundapengakuannya.

27

Anda mungkin juga menyukai