Anda di halaman 1dari 12

MAKARA, SOSIAL HUMANIORA, VOL. 15, NO.

2, DESEMBER 2011: 140-150

PIIL PESENGGIRI:
MODAL BUDAYA DAN STRATEGI IDENTITAS ULUN LAMPUNG

Sulistyowati Irianto*) dan Risma Margaretha


Departemen Antropologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia, Depok 16424, Indonesia
*)
E-mail: sulis@pacific.net.id

Abstrak
Etnifikasi atau proses peminggiran penduduk lokal sebagai akibat migrasi di Lampung menyebabkan ulun Lampung
menjadi minoritas di tengah-tengah heterogenitas budaya pendatang. Dalam menghadapi marjinalisasi ini, mereka
membangkitkan tradisi (invensi tradisi) dalam rangka memperkuat kesadaran kolektif melalui pemaknaan piil
pesenggiri (harga diri) yang direproduksi dan diartikulasikan sebagai representasi identitas. Penelitian ini bertujuan
menjelaskan pemaknaan piil pesenggiri sebagai kedayatahanan identitas ulun Lampung yang mereposisi identitasnya,
terkait dengan bagaimana piil pesenggiri diolah sebagai modal budaya dan strategi budaya di dunia sosial mereka.
Sebagai penelitian kualitatif, data diperoleh melalui wawancara mendalam dengan sejumlah informan untuk
mendapatkan gambaran lengkap tentang piil pesenggiri berdasarkan pengalaman dalam dunia sosial yang dijalaninya.
Temuan penelitian ini, bahwa rekonstruksi identitas ulun Lampung tidak terlepas dari perkembangan dinamika politik
dan budaya dalam ruang dan waktu. Produksi dan reproduksi piil pesenggiri sebagai invensi tradisi, yang diolah
menjadi modal budaya dan strategi identitas merupakan resistensi terhadap pendatang sebagai reteritorialisasi dan
identifikasi diri. Mengubah stigma negatif piil pesenggiri yang selama ini dijadikan "perisai budaya" dalam berbagai
tindakannya adalah konstruksi ulun Lampung dengan citra baru melalui pendidikan, simbol budaya maupun jalur
politik, merupakan proses untuk diakui identitasnya dalam struktur sosial. Reproduksi piil pesenggiri menunjukkan piil
sebagai identitas bukan produk yang statis tetapi kontekstual dan tidak dapat dipisahkan dari habitus ulun Lampung.

Didalalam jurnal tersebut dijelaskan peran dari modal budaya bisa membangkitkan modal identitas suatu daerah yaitu
lampung. Berawal ketika penduduk lokal keberadaanya tergeserkan dengan budaya pendatang sebagai akibat dari migrasi
yang diselenggarakan di Lampung menyebabkan ulun Lampung menjadi minoritas di tengah tengah keberagaman budaya
pendatang. Oleh karena itu mereka membangkitkan tradisi dalam rangka ingin memperkuat kesadaran melalui pemaknaan
pill pwsenggiri (harga diri) yang direproduksi sebagai representasi identitas.

Piil Pesenggiri: Cultural Capital and Identity Strategy of Ulun Lampung

Abstract
Etnifikasi or marginalize the local ethnic as result of migration process in Lampung has caused ulun Lampungs to
became a minority amidst of the cultural heterogeneity immigrants. In response to this marginalization, they re-invented
tradition in order to strengthen their collective consciousness through the meaning of piil pesenggiri (self esteem) that's
reproduced and articulated as a representation of identity. The study aims to explain how the meaning piil pesenggiri
has been reproduced in the repositioning of ulun lampung's cultural identity, related to how ulun lampung interpret piil
pesenggiri as a cultural capital and strategy cultural. The data were obtained through in-depth interviews from a number
of informants to obtain a comprehensive description of piil pesenggiri based on their experiences in the social world.
The results showed that the reconstruction of Lampung ulun identity is inseparable from the development of the
political and cultural dynamics in space and time. The production and reproduction of piil pesenggiri as an invention is
processed to serve a cultural capital and identity strategy on the social structure vis-a-vis migrants can be viewed as a
reteritorialization of identity. Changing the negative stigma that has piil pesenggiri used as cultural "shields" manifested
in the various actions is the construction of ulun lampung with a new image through field of education, cultural
symbols, or political field, and a process for gaining recognition in terms of their existence identity in the social
structure. The reproduction of piil pesenggiri in social structure Lampung society shows that piil is not a static entity
but an ever-changing one and it is inseparable from the ulun Lampungs habitus.

Keywords: piil pesenggiri, invented tradition, reproduction, identity, strategy

1. Pendahuluan merujuk pada tatanan sosial yang dimiliki, artinya ada


aturan main yang dipahami bersama oleh kelompok
Umumnya, suatu kelompok masyarakat mudah itu, serta ada ciri khusus yang digunakan untuk
diidentifikasi melalui kebudayaan lokalnya, yang membedakan individu yang satu dengan yang lainnya.
140
MAKARA, SOSIAL HUMANIORA, VOL. 15, NO. 2, DESEMBER 2011: 140-150 141

Menurut Sokefeld (1999), identitas menjadi suatu label direpresentasikan secara kontekstual sebagai modal
yang dipakai atau diberikan untuk mengelompokkan untuk berstrategi yang terwujud dalam perilaku pada
serta membedakan diri (self) dengan yang lain (other). berbagai dimensi dalam dunia sosial ulun Lampung
Sebagaimana yang terjadi pada etnis Lampung, berbagai sehingga menjadi alat perjuangan melawan marginalisasi
pertanyaan yang sering muncul adakah orang (Comaroff & Comaroff, 2009).
Lampung?; Lampung yang dimaksud transmigran
Jawakah?; apa yang khusus dari mereka? Kondisi-kondisi yang diuraikan tersebut dirumuskan
dalam pertanyaan penelitian, yaitu Bagaimana ulun
Sangat disadari bahwa heterogenitas dan dominasi Lampung memaknai piil pesenggiri sebagai modal
pendatang di daerah Lampung tidak dapat dipisahkan budaya dan strategi identitas untuk bertindak dalam
dari aspek historis interaksi ulun Lampung (Orang dunia sosialnya? Melalui pemaknaan ulang piil
Lampung atau Etnis Lampung) dengan masyarakat luar pesenggiri yang kontekstual, maka secara khusus tujuan
yang ditengarai sudah terjadi sejak beberapa abad yang penelitian ini adalah mengungkapkan (a) bagaimana
lalu, antara lain dengan Cina, Banten, Bugis, dan Jawa ulun Lampung mendefenisikan kembali identitasnya
baik melalui program kolonisasi maupun transmigrasi melalui piil pesenggiri sebagai bentuk ketahanan
(Hadikusuma, 1990). Terlihat jelas bahwa migrasi identitasnya, dan (b) bagaimana strategi ulun Lampung
internasional dalam persfektif kontemporer memberi untuk bertindak dengan memaknai piil pesenggiri
sumbangan kepada besarnya kompleksitas suatu sebagai modal budaya dalam dunia sosialnya.
fenomena atau dengan kata lain perpindahan migran
mempertajam perbedaan etnik dalam banyak 2. Metode Penelitian
masyarakat (Castles & Miler, 2003). Menurut data BPS
(2000, 2003, 2010), jumlah ulun Lampung sangat Penelitian ini bersifat multisited, sehingga semua ulun
sedikit dibandingkan dengan populasi pendatang. Lampung memiliki kesempatan yang sama untuk
Perkiraan komposisi penduduk berdasarkan suku bangsa menjadi informan. Data dan informasi yang diperlukan
adalah Jawa sebesar 61,88%, Lampung sebesar 11,92%, untuk menjelaskan permasalahan penelitian
Sunda (termasuk Banten) sebesar 11,27%, Semendo dan dikumpulkan dari dua sumber, yaitu primer dan
Palembang sebesar 3,55%, dan suku bangsa lainnya sekunder. Data primer diperoleh melalui pengamatan
(Bengkulu, Batak, Bugis, Minang dan lain-lain) sebesar dan wawancara mendalam dengan sejumlah informan,
11,35%. Komposisi tersebut memang tidak dapat sedangkan data sekunder dikumpulkan dari hasil olahan
dipisahkan dari sejarah kontak ulun Lampung dengan data orang lain baik berupa dokumen, laporan,
orang lain selama ratusan tahun sehingga mereka lebih publikasi, dan sebagainya. Analisis data dilakukan
terbuka dan identitasnya semakin cair. Selain itu, secara simultan dengan proses pengumpulan data
perkawinan dengan etnis lain juga menjadikan batas- dengan menggunakan teknik analisis kualitatif yang
batas identitas menjadi kabur sehingga sukar mencakup pengujian reflektif atas data sehingga
menentukan batas-batas yang menunjuk pada suatu memberi peluang untuk terus menerus melakukan uji
batasan sosial dan wilayah (Barth, 1969). Dilihat dari konsep dengan data-data dan bukti untuk menemukan
perspektif migrasi, apa yang terjadi pada ulun Lampung, simpulan tentang reproduksi identitas lokal melalui
mereka mengalami proses pemarginalan penduduk pemaknaan piil pesenggiri.
setempat di tanah kelahirannya yang membuat mereka
tidak berkuasa atas lahan tersebut, atau disebut dengan 3. Hasil dan Pembahasan
istilah etnifikasi (Oommen, 1997). Artinya, migrasi dan
para migrannya telah membuat etnis lokal menjadi Piil pesenggiri dalam berbagai suara: Pembentukan
minoritas di daerah sendiri yang secara simbolik stereotip. Api ubat malu indung? Mati anakku!
merupakan tanah tumpah darah. (Informasi ini dikisahkan oleh pak Rukmana). Sepenggal
kalimat ini (pernah diajukan oleh Raden Intan,
Kondisi masyarakat Lampung yang semakin dinamis pahlawan nasional Lampung, ketika bertanya kepada
memunculkan pertanyaan, apakah ulun Lampung masih ibunya) menunjukkan makna hakiki sebuah harga diri,
tetap bersikap tenang dan tanpa riak dalam menyikapi yaitu memilih mati jika harga diri dilecehkan. Mengacu
dominasi pendatang? Munculnya kesadaran untuk pada kalimat pendek di atas, tidak heran jika harga diri
bangkit dan merepresentasikan diri agar sejajar dengan merupakan harga mati bagi setiap ulun Lampung. Harga
pendatang dapat dipandang sebagai resistensi ulun diri atau yang disebut piil pesenggiri menjadi kata sakti,
Lampung terhadap gempuran budaya pendatang yang dan bahkan menjadi menu utama karena begitu
heterogen dan dominan. Karena semakin termarjinalkan, seringnya kalimat tersebut dilontarkan dan didengar
sangatlah wajar jika mereka mendefenisikan ulang sejak masa kanak-kanak bahkan sampai tua sekalipun.
identitasnya melalui pemaknaan nilai-nilai yang Piil pesenggiri seolah-olah adalah benda yang dibawa
terkandung dalam piil pesenggiri (harga diri) sebagai kemana-mana sebagai senjata sosial untuk
representasi identitas etnis. Dengan demikian, penelitian berhadapan dengan orang lain. Akibatnya, dalam
ini mengungkapkan sifat dinamis piil pesenggiri yang implementasinya di lapangan banyak yang salah
142 MAKARA, SOSIAL HUMANIORA, VOL. 15, NO. 2, DESEMBER 2011: 140-150

mengartikan seolah-olah piil itu suatu kesombongan, Memang pernah terjadi perkelahian antar orang
kekasaran, ataupun predikat lainnya sehingga konotasi Bali dengan orang Lampung yang pada akhirnya
yang timbul menjadi negatif. Hal tersebut berdampak menyebabkan dibakarnya terminal Tulang Bawang.
pada munculnya streotip yang dikenakan kepada ulun Sebenarnya perkelahian itu bermula antara
kernet/pengelola bis Puspajaya yang pemiliknya
Lampung, sehingga nasihat yang sering diberikan orang orang Bali. Semua pekerja Puspajaya adalah orang
ketika akan bertemu dengan mereka adalah hati-hati Bali, dan tidak melibatkan orang Lampung yang ada
dengan orang Lampung, ke mana-mana selalu bawa di sekitar terminal. Orang Lampung ingin ambil
piil. Label demikian terbentuk karena piil pesenggiri bagian sebagai pekerja di situ. Masalahnya sih, orang
memang ditanamkan, dan sejak kecil anak-anak Balinya agak sombong gitu, harusnya bagi-bagi
Lampung telah dibekali senjata piil. Hal ini dinyatakan rezeki. Masalah yang sangat sepele, tetapi
dengan tegas oleh pak Rukmana sebagai berikut: menimbulkan ketidaksenangan pada kedua belah
Sebagai orang Lampung, benar kalau piil pesenggiri pihak sehingga terjadilah perkelahian yang
adalah acuan hidup kami, meski di sisi yang lain, piil melibatkan massa Bali dan Lampung; bahkan sampai
pesenggiri sendiri saat ini banyak disalah artikan oleh membakar terminal. Peristiwa itu sudah lama,
sebagian orang yang kurang mengerti makna hakiki mungkin sekitar tahun 1998-an. Sampai sekarang
dari piil itu sendiri. Seolah-olah piil itu adu kehebatan terminalnya sudah tidak berfungsi. Pemkab
dan menunjukkan kehebatan secara fisik, atau piil itu sebenarnya sudah beberapa kali mencoba
menjadi kesombongan dan keegoisan. Makanya kalau memperbaikinya, tetapi tidak berhasil. Dengar-dengar
anak-anak muda sekarang ditanya tentang piil pasti orang Bali udah buat sesuatu atau nanam sesuatu di
dalam pikirannya kesombongan dan harga diri yang tengah terminal supaya nggak bisa digunakan lagi.
tidak pada tempatnya. Jadi jangan disalahkan kalau Tau sendirilah orang Bali kan suka pake ilmu mistik
banyak anak muda yang mengatakan piil itu sudah gitu.
gak perlu karena dipakai untuk gagah-gagahan. Habis
kalau sudah bicara piil pasti bawaannya golok, atau
benda-benda tajam lainnya, atau sifat yang mudah Sesungguhnya, inti piil pesenggiri merujuk pada harga
tersinggung terus mengkambinghitamkan piil. diri atau kehormatan ulun Lampung yang terdiri atas
dignity (pesenggiri), keramahtamahan (nemui nyimah),
Bagi generasi muda, piil pesenggiri juga dianggap nama besar (juluk adok), kemampuan berbaur dengan
beban, apalagi jika dikaitkan dengan perkawinan sesuai semua (nengah nyappor), dan gotong royong (sakai
tatacara adat Lampung yang lengkap, biaya mahal, dan sambayan). Kelima unsur tersebut merupakan nilai yang
didalam rangkaian upacaranya seolah-olah melingkupi hampir semua aspek kehidupan ulun
mempertontonkan piil-piil dari setiap keluarga. Ekspresi Lampung dari ritual kelahiran hingga kematian.
anak-anak muda terlihat dari pernyataan Iwan, salah Keluarga selalu menjadi entitas yang didalamnya
seorang informan: berlangsung banyak aktivitas. Sebagai sebuah sistem
Malas ah menikah dengan sesama Lampung, selain tindakan, keluarga juga terdiri atas pelaku-pelaku yang
biayanya mahal, ribet, dan terkesan menunjukkan saling berhubungan. Dalam beberapa kapasitas,
tinggi rendahnya status seseorang. Menikah dengan keluarga mempunyai kepentingan-kepentingan sebagai
gadis Lampung itu pakai kriteria, misalnya si gadis dasar tindakan untuk menegakkan kehormatannya.
yang biasa saja, gak sarjana, gak kerja, maharnya 25
juta, kalau si gadis PNS, maka maharnya 50 juta. Salah satu bentuk kehormatan adalah menikah dengan
Nah, kalau si gadis sarjana dan PNS, maharnya 100
sesama ulun Lampung. Dalam beberapa perkawinan
juta. Belum kalau ada kategori lain seperti cantik,
anak orang kaya, wah makin mahal, lebih baik antar-etnis, sering terjadi kurangnya pengakuan
dijadikan modal. Makanya menjadi PNS adalah keluarga akan pasangan karena dianggap belum sah
kebanggaan bagi ulun Lampung. secara adat sehingga perkawinan demikian dianggap
merusak kehormatan. Karenanya, untuk memulihkan
Piil pesenggiri juga seringkali diidentikkan dengan kembali nama dan gelar kehormatan, atau untuk
kekerasan. Berbagai tindakan yang dilakukan oleh mendapatkan kembali gelar yang seharusnya menjadi
sekelompok orang, seringkali dilegitimasi atas nama piil miliknya akibat belum mendapat persetujuan adat atas
pesenggiri, sehingga semakin memperburuk citra ulun perkawinannya, tidak jarang laki-laki Lampung
Lampung dengan konsep piil-nya. Ada tindakan yang kemudian menikah lagi dengan sesama ulun Lampung.
selalu membawa piil sebagai senjata sosial, dan oleh Hal ini dilakukan agar semua hak-hak istimewa yang
sebagian kalangan dianggap kurang relevan untuk menunjukkan derajat ke-piil-annya kembali dimiliki.
dipertahankan dan harus ada perubahan dalam Oleh karena itu, jika seseorang yang non Lampung
mengimplementasikan piil. Contohnya adalah menikah dengan ulun Lampung, maka harus melalui
kerusuhan seperti peristiwa di Tulang Bawang dan di sebuah proses adat, yaitu dilampungkan terlebih dulu
Fajar Bulan Lampung Barat, Sidomulyo yang baru pernikahannya dianggap sah. Untuk memperoleh
melibatkan orang Bali dengan Lampung, dipicu oleh piil memang harus ada pengorbanan sesuai dengan
ketersinggungan piil yang berdampak kerusuhan massal. pepatah Lampung bibit mengandung biang, biang
Adanya kerusuhan massal tersebut dikisahkan informan: mengandung bibit.
MAKARA, SOSIAL HUMANIORA, VOL. 15, NO. 2, DESEMBER 2011: 140-150 143

Pengalaman direndahkan karena perkawinan beda etnis, bukan sebagai istri utama, karena istri utama
dialami St (bukan nama sebenarnya), saat ini dikenal haruslah perempuan Lampung.
sebagai salah satu tokoh adat masyarakat Lampung,
mengaku bahwa ketokohannya seperti sekarang ini tidak Piil pesenggiri juga dapat dikategorikan sebagai hukum
diperoleh dengan mudah namun dengan pengorbanan adat ulun Lampung karena ada dan selalu dipakai dalam
dan airmata orang-orang yang dicintainya, sehingga ia semua aktivitas sosial, baik dalam perkawinan sebagai
harus kawin lagi dengan perempuan sesuai adat inti budaya dalam Lampung ataupun menyelesaikan
Lampung demi mendapatkan dan mempertahankan piil berbagai sengketa yang biasanya dipicu oleh tanah,
pesenggiri. Beratnya tanggung jawab sebagai anak laki- perempuan atau pembuatan gelar-gelar adat. Salah satu
laki tertua (punyimbang) dalam keluarga besar baik contoh piil pesenggiri yang menjadi hukum adalah
secara ekonomi, sosial, budaya, menjadi dasar mengapa sebagaimana berita terbaru yang dilansir oleh sebuah
St harus menikah kembali dengan sesama Lampung harian lokal, yaitu kasus salah tembak yang dilakukan
juga. Namun ada hambatan untuk mendapatkan haknya oknum anggota kepolisian di Lampung yang berakhir
sebagai punyimbang karena perkawinannya dengan damai. Perdamaian yang dilakukan secara adat
perempuan bukan Lampung (istrinya dari suku Jawa) disaksikan warga setempat dan penyimbang adat
yang menyebabkan ia disingkirkan dalam keluarga. Lampung dengan membayar denda atas pelanggaran
Padahal dalam perkawinannya ia sudah memiliki empat tersebut. Penyelesaian secara adat juga dilakukan ketika
orang anak. Sampai pada suatu saat ketika dalam acara terjadi konflik karena kesalahpahaman antara orang
adat ia dilecehkan dan tersinggung piil nya karena Bali dengan ulun Lampung, antara lain Tulang
dipermalukan di depan khalayak umum. Peristiwa itu Bawang, Sidomulyo dengan mengacu pada nilai dalam
membuatnya terluka, dan bertanya apa gerangan piil pesenggiri.
penyebabnya? Ternyata, perkawinan beda suku yang
dijalaninya menjadi sumber masalah. Akhirnya, sebagai Nilai-nilai piil pesenggiri yang dipandang sebagai
ulun Lampung yang ber-piil dia bersumpah untuk undang-undang tidak hanya sekedar berupa pemikiran
mengembalikan harga dirinya, dengan menangis dan atau konsep, melainkan juga sebagai sistem nilai yang
bersimpuh di kaki ibunya ia meminta dicarikan isteri, dirujuk dan diinternalisasi oleh masyarakat. Sisi penting
tidak perduli apakah dia cacat, buta, jelek, yang penting dan signifikan dari piil pesenggiri inilah yang
perempuan Lampung. Berikut ini penggalan penururan tampaknya sejajar dengan konsep honour (kehormatan
St: dan harga diri) yang merupakan esensi atau sesuatu
Sebagai anak punyimbang seluruh keluarga yang sangat prinsip karena memiliki sisi kesucian,
mengaharapkan saya untuk menikah dengan orang prestise, kemuliaan, dan keagungan (sacred, prestige,
Lampung juga. Namun harapan itu saya abaikan radiance, glory, presence).
karena saya menikah dengan orang Jawa. Akibatnya
saya tidak mendapatkan hak-hak dalam adat.Suatu Dalam persfektif tentang kehormatan atau honour, piil
hari di pesta adat saya merasa harga diri (piil) pesenggiri dilihat sebagai suatu integritas dari nif atau
diremehkan, dan sangat tidak dianggap sama sekali.
martabat (Bourdieu, 1979). Dengan demikian, piil
Dalam acara adat kala itu, ada semacam pembagian
berupa uang. Masing-masing yang duduk di ruangan pesenggiri sebagai kehormatan menjadi bagian dari
itu mendapat bagian, namanya disebutkan. Namun identitas masyarakat Lampung dan tidak bisa dilihat
apa yang terjadi, yang membagi uang itu melewati semata-mata sebagaimana yang tertera dalam Kitab
saya dan tidak menyebutkan nama saya. Bahkan Kuntara Raja Niti, Kitab Kuntara Raja Niti adalah Kitab
ketika saya menegurnya dia dengan sisnis yang berisi tuntutan moral yang menjadi pedoman
mengatakan, oh kamukah itu Sut, kirain siapa, masyarakat Lampung. Aksara dalam buku ini ada dua,
namun tetap tidak memberikan apapun kepada saya, setengah buku beraksara Lampung kuno, setengahnya
tetapi memberikan sekeping uang itu ke sebelah saya. beraksara Arab. Kitab ini terdiri atas tujuh belas bab,
Bahkan ada yang mengatakan wah...saya tidak
yang intinya ada 3 pokok hukum yaitu Kuntara (Hukum
melihat kamu hadir disini...kirain tidak ada. Tidak
terkirakan sakit hati saat itu. Piil saya tersinggung agama), Raja Niti (Dirgama atau hati nurani) dan Jugul
luar biasa, hampir saya tuja (tusuk dengan pisau) dia. Muda (Karinah atau akibat suatu perbuatan).
Kemudian saya bertanya kenapa diperlakukan Pelanggaran terhadap ke tiga pokok persoalan atau
sedemikian rupa, padahal saya adalah anak laki-laki pokok hukum akan dikenakan sanksi yang disebut
tertua, anak punyimbang. Jawabannya, justru karena cempala, melainkan bagaimana ia menjadi bagian dari
saya anak punyimbang, tetapi kawin tidak begawi tindakan keseharian masyarakat. Kitab Kuntara Raja
(upacara adat lengkap), menikah bukan dengan ulun, Niti adalah Kitab yang berisi tuntutan moral yang
sampai matipun tetap akan mendapat perlakuan menjadi pedoman masyarakat Lampung. Aksara dalam
seperti itu. Hati saya benar-benar terbakar, dengan
buku ini ada dua, setengah buku beraksara Lampung
berlinang airmata saya minta kepada ibu dicarikan
perempuan yang mau menjadi istri asalkan kuno, setengahnya beraksara Arab. Kitab ini terdiri atas
perempuan Lampung. Akhirnya saya menikah lagi tujuh belas bab, yang intinya ada 3 pokok hukum yaitu
dengan gadis Lampung dengan acara begawi, tetapi Kuntara (Hukum agama), Raja Niti (Dirgama atau hati
istri yang Jawa tidak saya ceraikan, kedudukannya nurani) dan Jugul Muda (Karinah atau akibat suatu
perbuatan). Pelanggaran terhadap ke tiga pokok
144 MAKARA, SOSIAL HUMANIORA, VOL. 15, NO. 2, DESEMBER 2011: 140-150

persoalan atau pokok hukum akan dikenakan sanksi yang dan oleh masyarakat lain. Artinya, upaya untuk ber-piil
disebut cempala. Artinya, piil pesenggiri selalu berada ada dua cara, yaitu diwariskan (ascribed), dan piil yang
pada kondisi yang dikontestasikan oleh masyarakat dicapai melalui usaha (achievement). Mengambil
sendiri. Ia meniscayakan adanya silang-sengkarut adalah istilah untuk menggambarkan bekerjanya ulun
kekuatan dari banyak pihak untuk mengidentifikasi diri Lampung dalam memproduksi pengetahuan yang
sebagai yang paling mengerti, mewarisi, dan mereka adopsi dari pendatang. Dalam hubungan dengan
mempraktikkan piil pesenggiri dalam kehidupan sehari- pendatang terjadi pembelajaran dan sosialisasi, dimana
hari sehingga piil pesenggiri senantiasa menjadi ajang ulun Lampung belajar banyak hal dari pendatang.
pertarungan dan relasi kekuasaan antar pelaku. Pengetahuan itu mereka olah dan dibawa ke dalam
struktur internal atau disebut internalisasi eksternalitas.
Berdasarkan konsep Bourdieu (1979), kontestasi dalam Pengetahuan itu direproduksi kembali menjadi alat
dunia sosial meliputi dunia dimensi laki- laki dan untuk berhadapan dengan pendatang, atau ekternalisasi
perempuan. Kontestasi dalam struktur ulun Lampung internalitas (Bourdieu, 1977). Dengan kata lain, mereka
sendiri berupa perjuangan memperoleh harga diri dan mengambil pengetahuan pendatang, belajar dari
kehormatan dalam dunia sosial, yaitu antara mereka pendatang, meningkatkan kapasitasnya dan menjadikan
sendiri (internal) dan dengan pendatang (eksternal). pengetahuan yang diperolehnya sebagai strategi
Dipandang dari perspektif honour Bourdieu tersebut, perlawanan terhadap pendatang. Dalam berhadapan
maka kontestasi yang terjadi dalam struktur sosial dengan stuktur eksternal, maka ulun Lampung harus
internal ulun Lampung sendirilah yang justru dapat memiliki modal untuk berkontestasi. Struktur eskternal
melemahkan posisi mereka ketika berhadapan dengan adalah dunia sosial tempat mereka secara realitas hidup
dunia luar (struktur eksternal). Mereka seakan-akan berdampingan dengan berbagai kelompok yang sangat
sibuk mengurusi hal-hal yang bersifat internal saja heterogen yang dalam pandangan Bourdieu disebut
sehingga mengabaikan, dan tidak menyadari bahwa mereka sebagai ranah (field), yakni arena yang di dalamnya
telah tertinggal dibandingkan pendatang (eksternal). terdapat kekuatan yang saling tarik-menarik; ada sistem
dan relasi-relasi dalam terjadinya kontestasi. Dalam
Dalam struktur sosial internal masyarakat Lampung, arena atau ranah inilah terbuka kesempatan bagi mereka
memposisikan anak laki-laki tertua secara istimewa untuk berstrategi, berjuang memperoleh hak-haknya,
dalam keluarga (punyimbang), anak punyimbang adalah dan piil pesenggiri menjadi modal budaya ulun
istilah yang diberikan kepada anak laki-laki tertua Lampung. Selain sebagai modal, piil pesenggiri juga
dalam keluarga, adalah dasar kontestasi yang telah menjadi strategi untuk menunjukkan bahwa mereka
dibangun sejak dini antar anak dalam keluarga yang mampu untuk sejajar dalam rangka mengukuhkan
menjadi dasar terjadinya kontestasi dalam struktur eksistensinya di tengah masyarakat yang dominan
internal ulun Lampung. Keistimewaan yang diberikan dalam berbagai aspek, seperti mengejar ketertinggalan
pada anak laki-laki tertua, seperti gelar dan kekayaan, dalam pendidikan, simbol budaya sebagai kekuasaan
hak berbicara dalam adat adalah hak istimewa yang simbolik, mengambil peluang dalam ranah politik, atau
membuat anak lainnya berupaya untuk melebihi paling tidak mendapat pengakuan dalam struktur
saudaranya. Keinginan untuk sejajar dengan anak eksternal sehingga stigma yang terlanjur diberikan
punyimbang yang diberi hak istimewa membuat anak kepada mereka dapat diubah dengan citra baru.
lainnya mencari piil baru diluar struktur internalnya.
Berbagai cara dilakukan agar dapat memiliki Memang tidak mudah untuk berjuang dalam ranah
kesejajaran atau memiliki piil supaya dihargai agar (struktur eksternal), apalagi menghilangkan stigma yang
seimbang dengan berkorban harta dan benda. Kondisi sudah terbentuk yang dalam sudut pandang etnisitas
inilah yang disebut sibuk mengurusi yang ada di disebut labeling. Labeling adalah suatu kelompok etnik
dalam (internal), sehingga melupakan yang ada di luar dipersepsikan (positif atau negatif) oleh kelompok etnis
(eksternal), yaitu pendatang yang heterogen. lainnya. Oleh karena itu, sebagaimana dituturkan oleh
informan, pemaknaan piil pesenggiri yang irasional dan
Akhir-akhir ini, terjadi perubahan pemaknaan terhadap identik dengan kekerasan serta berpotensi memicu
piil dalam menyikapi dunia yang semakin mengglobal. terjadinya konflik internal maupun eksternal
Hasil dalam proses internalisasi dengan pendatang menyebabkan mereka harus berjuang untuk
merupakan pembelajaran, dan dalam relasi itu (lokal- mengubahnya agar menjadi rasional dan proporsional.
pendatang), mereka mendapatkan pengetahuan baru Alat perjuangan yang tepat, menurut informan, adalah
yang diolah sesuai habitus mereka sehingga menjadi tetap dengan piil pesenggiri namun dalam bentuk baru
modal berkontestasi dengan pendatang. Dengan kata yang bersumber dari tradisi masyarakatnya.
lain, mereka menggunakan strategi mengambil agar
sejajar (tetap dengan piil pesenggiri) dengan kelompok Redefenisi Piil Pesenggiri: Modal Budaya dan
lain (eksternal), sekaligus ber-piil juga dalam struktur Strategi Identitas.
internal. Dengan demikian, mereka akan diperhitungkan, Strategi Sense of Collectivism. Modal merupakan
dihargai, baik didalam kelompok masyarakatnya sendiri aspek yang menentukan untuk mengetahui posisi
MAKARA, SOSIAL HUMANIORA, VOL. 15, NO. 2, DESEMBER 2011: 140-150 145

pelaku.Oleh karena itu, pelaku yang memiliki modal menjadi miliknya dan didefinisikan orang lain sesuai
besar dapat digolongkan dominan, atau sebaliknya. Jadi, dengan identitas tersebut, dapat berupa simbol-simbol,
modal dapat dikatakan sebagai dasar untuk melakukan bahasa, atau upacara ritual untuk membedakan individu
dominasi jika mengacu pada tipologi modal Bourdieu, yang satu dengan lainnya. Artinya, dilihat dalam
yakni modal ekonomi, modal kultural, modal sosial, dan konteks itu setiap pendatang akan beradaptasi atau
modal simbolik. Ber-piil pesenggiri bisa menjadi berupaya mengidentifikasikan dirinya dengan budaya
kontradiktif atau mungkin ironis jika mereka mengalami lokal atau kebiasaan-kebiasaan masyarakat lokal
proses etnifikasi. Betapa tidak, dengan nilai dan prinsip sebagai bentuk penghagaan akan identitas kelokalan
yang merupakan modal, seharusnya mereka tidak suatu masyarakat. Hal ini kontradiktif dengan pendatang
terpinggirkan baik secara budaya, ekonomi ataupun dari yang ada di Lampung. Pendatang di Lampung kurang
segi populasi dalam lingkungan budayanya sendiri. memahami budaya masyarakat lokal, termasuk
Munculnya kesadaran untuk mengukuhkan kembali kemampuan menggunakan bahasa lokal sebagaimana
jatidiri mereka saat ini didukung oleh banyak elemen yang lazim ditemukan di daerah lain. Selain itu, ulun
seperti elitpemerintahan, seniman, tokoh adat, dan Lampung sebagai pemakai bahasa lokal juga semakin
akademisi yang semuanya adalah ulun Lampung baik sukar ditemukan di tempat publik sehingga kondisi ini
yang tinggal di dalam ataupun di luar Lampung. semakin mempertegas posisi ulun Lampung berada
dalam proses etnifikasi.
Peran pemerintah dan kaum elit memang sangat
menonjol dalam membangkitkan kesadaran kolektivisme Menggunakan idiom budaya dalam tindakan pelaku
ulun Lampung mengukuhkan identitasnya melalui adalah dan strategi baru karena kuatnya keinginan untuk
redefenisi nilai piil pesenggiri. diakui eksistensinya dalam struktur ekstenal. Tindakan
para pejabat elit ini dimaknai sebagai resistensi untuk
Pertama, strategi yang dilakukan, dalam ranah politik, mendobrak dominasi pendatang, maupun respon ulun
berupa kebijakan pemerintah melalui perda yang Lampung terhadap dinamika yang berkembang untuk
dikeluarkan gubernur, maupun bupati dan walikota. menjadi sejajar dalam ranah sosial. Mereka
Diantaranya, pemkab Tulang Bawang mewajibkan memanfaatkan momen otonomi daerah dan isu putra
pemakaian bahasa Lampung Papadun setiap Senin oleh daerah sebagai peluang untuk mengukuhkan dan
seluruh pegawai Pemerintah Kabupaten. Alasannya pengakuan kembali identitasnya sebagai ulun Lampung
adalah bahwa selama ini kurang ada penghargaan dari dan jika memungkinkan mengambil alih posisi yang
para pendatang pada keberadaan etnis Lampung, selama ini didominasi pendatang. Dengan demikian,
sementara masyarakat Lampung asli sendiri pembentukan identitas juga menjadi salah satu gaya
memberikan penghargaan kepada pendatang politik di kalangan politisi sehingga dalam kerangka ini
sebagaimana terkandung dalam unsur piil pesenggiri mereka menggunakan berbagai strategi manipulasi atas
nemui nyimah (Lampung Post, 5 Agustus 2010: 1). simbol-simbol material untuk membentuk afiliasi baru
Kebijakan yang sama juga diberlakukan oleh Walikota dan dimana implikasi dari identitas ini dipertimbangkan
Bandar Lampung yang mengatakan tak pasang sebagai bagian dari perubahan sosial (Schortman,
ornamen lihat saja nanti ketika menginstruksikan agar Patricia, Marne, 2001). Kreasi akan identitas dan peran
semua ruko, restoran, dan hotel wajib memasang elit dalam pemaknaan piil pesenggiri menujukkan
ornamen khas Lampung pada bangunannya dengan bahwa selain diproduksi dan direproduksi identitas juga
tujuan supaya punya ciri dan dikenal daerah lain. Jika ditemukan kembali (invented) sebagai sesuatu yang
instruksi itu tidak diindahkan, dalam tengat waktu yang dianggap menonjol dan dipamerkan kepada umum.
ditentukan, warga akan diberi teguran dan sanksi (Lihat
Tribun lampung, 22 Oktober 2010:15). Ulun Lampung juga mulai menepis pandangan yang
menyangsikan kemampuan mereka sebagai orang yang
Bupati dan walikota dalam konteks ini, juga bertindak malas dan tidak mampu bersaing dengan pendatang.
dan dipandang sebagai pelaku atau agen ulun Lampung. Menduduki posisi strategis memang merupakan target
Kaum elit dianggap memiliki pengaruh besar untuk yang saat ini mereka lakukan agar mereka dihargai dan
mengubah pola relasi antara etnis Lampung dengan tidak dipandang sebelah mata baik di kalangan
pendatang, terutama melalui beberapa keputusan masyarakatnya sendiri maupun oleh pendatang.
strategis yang memberi ruang kepada ulun Lampung Perjuangan untuk menempati posisi strategis dalam
untuk menjadi sejajar sekaligus sebagai pencairan kekuasaan elite saat ini sebagai bentuk reproduksi
stigma yang sebelumnya mempertanyakan identitasnya identitas, dapat dilihat pada Tabel 1.
sebagai penduduk lokal. Pertanyaan ini muncul
mengingat kaburnya identitas ulun Lampung karena Kedua. Kesadaran akan perlunya identitas yang jelas
posisi mereka semakin terdesak dan kurang dihargai, dan dihargai dalam ranah atau medan kekuasaan sebagai
serta kurangnya pengenalan akan atribut mereka sebagai modal berkontestasi diwujudkan dengan membentuk
etnis lokal. Padahal menurut Barth (1969), kelompok beberapa asosiasi independen yang mengakomodasi
etnik lokal dikatakan eksis ketika suatu identitas diklaim kepentingan ulun Lampung dalam pelbagai tindakan
146 MAKARA, SOSIAL HUMANIORA, VOL. 15, NO. 2, DESEMBER 2011: 140-150

Tabel 1. Karakteristik Kepala Daerah Tk. I/Tk. II Tindakan ini dipandang merupakan resistensi karena
Berdasarkan Etnis saat ini dapat dikatakan menjarah pengetahuan kaum pendatang
Karakteristik untuk dipakai untuk memeperkuat solidaritas
Berdasarkan Etnis kelompoknya (Rutherford, 2000). Mengambil
Jabatan
pengetahuan bertujuan untuk meningkatkan kapasitas diri
Lampung Jawa Lainnya
sendiri dalam berkompetisi dalam internal masyarakatnya,
Gubernur Provinsi Lampung V sekaligus strategi untuk berhadapan dengan orang luar
Wakil Gubernur V (pendatang) yang pengetahuannya telah mereka adopsi
Walikota Bandar Lampung V sehingga setiap hubungan atau relasi harus bermanfaat.
Wakil Walikota V
Dalam banyak hal piil menjadi alat pembenaran suatu
Walikota Metro V tindakan sehingga seringkali piil menjadi romantisme
Wakil Walikota V masa lalu (dulu memiliki tanah yang luas, hidup boros
Bupati Lam-Sel V dan pesta, tanaman dan hasilnya tinggal petik dari
Wakil Bupati V pohonnya). Hal inilah yang merupakan faktor penyebab
semakin terdesaknya mereka oleh pendatang; karena
Bupati Kab. Lam-Teng V
etos kerja yang kurang. Mengubah citra seperti hati-
Wakil Bupati V hati dengan orang Lampung, kemana-mana selalu bawa
Bupati Kab. Lam-Utara V piil, pemalas, kurang kreatif dan hanya suka menunggu
Wakil Bupati hasil tanaman tanpa usaha maksimal merupakan
pukulan bagi ulun Lampung (Hasil wawancara dengan
Bupati Kab. Lam-Tim V
informan). Menjadikan piil pesenggiri menjadi strategi
Wakil Bupati V identitas sosialnya penting karena bagi ulun Lampung
Bupati Kab. Pesawaran V piil merupakan sumber pengetahuan yang dimiliki
Wakil Bupati V masyarakat, dibatinkan (habitus) dalam kehidupan dunia
sosial ulun Lampung (antar mereka sendiri maupun
Bupati Kab. Pringsewu V V
dengan orang lain). Melalui resistensi terjadi perbaikan
Wakil Bupati kosong struktur sehingga terjadi bolak-balik antara pelaku
Bupati Kab. Tanggamus V (agen) dengan struktur untuk mendapatkan kesejajaran
Wakil Bupati V dengan pendatang. Lihat Maunati (2004), yang
Bupati Kab. Tulang Bawang V mengkaji faktor-faktor yang terdapat dalam proses
konstruksi citra identitas etnis. Pada tahap ini, ulun
Wakil Bupati V Lampung bukanlah sekedar mengembangkan atau
Bupati Kab.Tulang Bawang Barat V mempertahankan kualitas kehidupan masa lalu, tetapi
Wakil Bupati V mereka juga melakukan invensi tradisi. Disisi lain,
Bupati Kab. Mesuji V kekuatan dan kemampuan adaptasi dari tradisi tidak
akan tumpang tindih atau tabrakan dengan tradisi yang
Wakil Bupati V
baru. Artinya tradisi-tradisi lama yang hidup dalam
Bupati Kab. Way Kanan V tradisi baru akan selalu diperbaiki sehingga tetap
Wakil Bupati V seimbang. Mengacu pada konsep habitus Bourdieu,
TOTAL 15 10 2 sebagai produk sejarah dan mitologi masa lampau, maka
upaya membangkitkan kembali piil pesenggiri yang
terbentuk dari habitus yang dibawa kedalam struktur
sebagai arena erat kaitannya dengan kepemilikan modal
budayanya. Antara lain adalah dengan membentuk yaitu (a) modal ekonomi, yakni sarana produksi dan
perkumpulan Lampung Sai (Lampung Bersatu), dan finansial seperti kekayaan, (b) modal kultural berupa
Majelis Punyimbang Adat Lampung (MPAL). pengetahuan yang dimiliki baik fromal maupun
Pembentukan asosiasi ini didukung oleh elemen informal, (c) modal sosial adalah jaringan hubungan
masyarakat seperti tokoh adat, akademik, dan sebagai sumber daya untuk penentuan kedudukan sosial,
masyarakat umum. Asisasi ini merupakan wadah termasuk agama, (d) modal simbolik, yaitu semua
konsultasi budaya bagi masyarakat yang bentuk pengakuan oleh kelelompok berupa nama besar,
membutuhkannya. Melalui perkumpulan ini, dilakukan jabatan, gelar, kehormatan, ataupun prestise
kembali pengkajian akan sejarah dan budaya Lampung, (Haryatmoko, 2010).
sehingga menimbulkan rasa patriotisme bagi generasi
muda. Pembentukan asosiasi sukarela ini adalah sebuah Reproduksi piil pesenggiri secara formal diinstitusikan
strategi baru mengambil pengetahuan pendatang ditampilkan dalam bentuk yang jelas dan berlaku untuk
karena perkumpulan yang bersifat kesukuan lazim jangka waktu tertentu maupun jangka waktu lama, tidak
dilakukan kelompok etnis yang jauh dari tanah asalnya. lain karena didalamnya sarat nilai-nilai sebagai aturan-
MAKARA, SOSIAL HUMANIORA, VOL. 15, NO. 2, DESEMBER 2011: 140-150 147

aturan yang terbuka maupun tersembunyi yang secara Lampung dan kemampuan berbahasa Lampung.
tidak langsung menyiratkan kontinuitas dari masa lalu Pesertanya tidak dibatasi hanya bagi ulun Lampung
secara otomatis dalam pembentukan identitasnya. Jika saja, namun terbuka bagi siapapun yang ingin
piil pesenggiri adalah tradisi yang direkacipta, berpartisipasi dalam kegiatan tersebut. Dalam ajang
dimodifikasi dari nilai lama yang dimaknai sebagai tersebut, salah satu materi yang diujikan adalah
identitas baru, merupakan bagian sejarah dari pengetahuan peserta akan budaya Lampung dan
pengalaman individu dan kolektif etnis Lampung kemampuan berbahasa Lampung. Mensyaratkan materi
sebagai penduduk asli (indigenous people). Meniru uji yang sifatnya lokal kepada umum merupakan
sejarah adok yang dahulu diberikan oleh Banten yang strategi budaya agar ke-lokalannya diakui dan semakin
relasi kuasanya lebih tinggi, sekarang ulun Lampung kokoh dalam ranah publik. Adanya peningkatan
memberikan adok (gelar) kepada pendatang, atau pengguna bahasa lokal, agar menjadi digemari oleh
mereka yang menginginkannya merupakan kontinuitas generasi muda ulun Lampung dimana padahal selama
nilai-nilai dari masa lalu yang mengalami komodifikasi. ini bahasa Lampung hanya dipakai di kalangan terbatas
Melalui metafora kekerabatan angkat saudara, adalah (pada acara adat dan kalangan orangtua dan tokoh adat
strategi ulun Lampung untuk dihargai. Ketika pendatang saja). Sifat eksklusivisme bahasa Lampung mengalami
menerima tawaran untuk diberikan adok, maka terjadi perubahan menjadi inklusivisme, enak didengar, dan
hubungan simbiosis, yaitu penghargaan pendatang akan diharapkan pemakainya dapat dengan mudah ditemukan
eksistensi ulun Lampung sehingga prinsip kesejajaaan di ruang-ruang publik sebagaimana pengguna bahasa
terpenuhi. Jawa yang dominan.

Struktur eksternal adalah arena atau ranah yang Ketiga. Saat ini, usaha para pelaku demikian gencar
mengandung jalinan relasi antar posisi-posisi objektif untuk mengukuhkan identitas mereka ke ranah atau
yang bersifat dinamis untuk memanfaatkan event medan kekuasaan dengan mengunakan budaya sebagai
sebagai kesempatan (peluang) untuk eksis, sehingga di modal untuk ke luar dari inferioritas yang selama ini
dalam ranah inilah ulun Lampung memperjuangkan mereka alami. Menggunakan modal budaya dan modal
identitasnya. Resistensi terhadap dominasi pendatang simbolik juluk adok sebagai salah satu inti dasar piil
juga merupakan upaya untuk mengembalikan martabat pesenggiri adalah strategi yang paling sering dilakukan.
dan melahirkan pencitraan baru ulun Lampung Upacara adok atau ada yang menyebutnya mewari
(Bourdieu, dalam Randal, 2003). Dukungan pemerintah adalah ritual pemberian gelar. Begitu pentingnya adok
juga sangat besar dalam menumbuhkan kesadaran bagi ulun Lampung, dan untuk memperolehnya tidak
identitas dan eksisitensi ulun Lampung di tengah jarang seseorang rela berkorban apa saja, bahkan harta
masyarakat yang heterogen, seperti dituturkan informan: benda, bahkan nyawa sekalipun. Sesuai dengan dasar
memperbaiki image atau stigma orang Lampung yang pembetukannya, dahulu adok hanya dimiliki oleh
terlanjur dicap malas, bodoh, sombong, egois, tidak kalangan bangsawan, punyimbang dan tokoh adat saja.
memiliki keinginan maju, kurang daya saing. Melalui Dalam beberapa hal, memang telah terjadi perubahan
kegiatan kebudayaan yang semakin sering dipertontonkan dalam cara beradok. Namun, keinginan untuk
kepada umum, seperti festival budaya, maupun ajang memperoleh gelar adok (secara adat) masih merupakan
muli-mekhanai (bujang-ggadis) telah menjadi agenda cita-cita setiap ulun Lampung. Bahkan, sampai sekarang
rutin pemerintah untuk mempromosikan Lampung baik pun masih dapat ditemukan pemaknaan piil pesenggiri
secara nasional maupun internasional (Corr & Harriet, yang berlandaskan adok saja (irasional) tanpa memberi
2003). makna yang positif. Mahalnya biaya begawi adok yang
bahkan mencapai ratusan juta rupiah menyebabkan
Dengan demikian, membangkitkan piil pesenggiri tetap banyak orang yang jatuh miskin karena pesta gelar
melestarikan masa lalu dan mengorganisasikan yang tersebut. Namun demi piil, yang ber-juluk-adok
masih dianggap sesuai pada masa kini, yaitu dengan (bernama dan bergelar) banyak yang rela melakukannya
memasukkan kembali sejarah masa lalu ke dalam tradisi (Ortner, 2002). Dalam struktur internal ulun Lampung,
baru. Seperti pemberian adok dengan cara baru, festival yang lazim dipakai bukan nama kecil, tetapi nama adat
budaya untuk menjembatani antar generasi dan yang sangat hebat, seperti Batin Bandar Kusuma, atau
pembentukan wadah yang menampung aspirasi ulun Tuan Sampuna Jaya. Hal ini menyebabkan panggilan
Lampung (MPAL) adalah bentuk eksistensi gelar lebih disukai, karena lebih bergengsi, lebih
identitasnya. Festival budaya Krakatau adalah ajang bermartabat, apalagi mengacu kepada prinsip dasar
pameran budaya Lampung secara nasional. Berbagai adok. Bahkan, nama kecil akan hilang dengan
atraksi seni budaya Lampung disajikan dalam kegiatan sendirinya karena tertutupi oleh nama besar yang
ini. Festival ini merupakan ajang lomba tahunan budaya diperoleh melalui upacara adat besar (begawi).
Lampung yang diikuti oleh setiap daerah tingkat II yang Pemakaian nama besar ini setara dengan biaya yang
ada di Lampung. Demikian juga dengan ajang muli- dihabiskan untuk memperolehnya. Gelar atau adok yang
mekhanai. Salah satu materi lomba yang disajikan diberikan kepada seseorang menunjukkan tingkat
dalam ajang tersebut adalah pengetahuan akan budaya kedudukannya dalam masyarakat, sehingga dalam
148 MAKARA, SOSIAL HUMANIORA, VOL. 15, NO. 2, DESEMBER 2011: 140-150

struktur internal Lampung, akan mudah ditentukan piil pesenggiri juluk adok merujuk ke teori Scott. Apa
siapa dan apa kedudukannya dilihat dari gelar yang yang dilakukan ulun Lampung adalah resistensi akan
disandangnya. Semakin hebat gelarnya, semakin tinggi keberadaan mereka yang selama ini kurang dihargai dan
nilai prestise yang dimiliki. Wajar, jika nama gelar ini ditempatkan dalam stigma negatif. Adok adalah simbol-
menjadi panggilan favorit bagi mereka yang telah simbol strategi. Adok menjadi sarana pengakuan
memiliki gelar adat (adok). identitas sehingga dapat dilihat sebagai dasar dari suatu
tindakan, gagasan yang berkesinambungan, sarana
Dalam konteks dinamika dan kontestasi dengan untuk pencukupan diri, pembangunan, dan dialektika
pendatang saat ini, adok juga mengalami redefenisi, batin. Melalui metafora kekerabatan (angkat saudara),
yaitu dimaknai sebagai gelar pendidikan. Ber-juluk atau ulun Lampung mengambil kembali posisinya dari para
memiliki nama besar adalah jika seseorang memiliki pendatang yang dominan. Sebaliknya, para pendatang
nama baik, bergelar dalam adat, diakui secara umum, menginginkan penghormatan akan budaya dan
dan terhormat. Munculnya kesadaran baru akan perbedaan. Kekerabatan adalah logika dunia yang
pemaknaan adok ini menyebabkan pelaku ulun Lampung partikularistik sebagai afiliasi keluarga, dan memberi
mengejar ketertinggalannya dalam pendidikan, namun adok menggambarkan ide ras akan adanya suatu
tetap tanpa melupakan adok dalam adat. Merunut ke keluarga. Dengan demikian, identitas sebagai
sejarahnya, adok sebagai tanda bahwa seseorang ber-piil konstruksi dapat dilihat dalam dua realitas sosial,
(harga diri) yang dulunya diberikan Banten sebagai pertama, didefenisikan pihak yang berada dalam
bentuk kerja sama politik. Dalam hubungan timbal balik struktur kekuasaan yang dominan, dan kedua, oleh
antara keduanya, Banten memberikan gelar kepada individu dalam kehidupan kesehariannya, dan antara
mereka yang saat itu melakukan seba sebagai hadiah keduanya saling berkaitan dan mempengaruhi sehingga
(Vickers, 2009). Seba adalah pemberian upeti atau memiliki kesamaan atau bahkan perbedaan (Sutterluty,
penghormatan kepada penguasa. 2006). Bagi pendatang, apa yang mereka lakukan bukan
karena paksaan karena meskipun mereka bukan etnis
Mengambil dan mengolah menjadi modal budaya Lampung, mereka juga bagian dari masyarakat, dan
adalah strategi adopsi budaya dahulu menerima para pendatang ini juga ingin dilihat sebagai orang lokal
sebagai bentuk kontestasi ulun Lampung agar sejajar (Honneth, 2001).
dengan Banten yang memiliki gelar, sedangkan
sekarang member sebagai adalah resistensi terhadap Dalam proses itu, maka formasi dan konstruksi identitas
keberadaan pendatang. Resistensi atau perlawanan secara tidak pernah mengalami keajegan. Terdapat situasi dan
halus untuk menunjukkan identitasnya sebagai etnis peristiwa yang membuat formasi dan konstruksi
lokal; salah satunya adalah dengan diberikannya adok identitas tampak tunggal, tetapi juga ada kalanya plural,
secara massal (sebanyak 303 orang) oleh pemerintah yang disebut segmentasi. Segmentasi (Baunmann &
Kabupaten Tulang Bawang kepada orang non-Lampung Gingrich, 2004) merupakan proses yang memungkinkan
yang dilegitimasi oleh MPAL. Strategi ulun Lampung terjadinya fusi (peleburan) identitas dalam suatu situasi
saat ini adalah melakukan hal yang sama, artinya atau konteks yang sensitif, atau juga melingkupi
mengambil dan menggunakan yang dahulu mereka (encompassment), suatu proses memasukkan yang lain
dapatkan dari Banten (adopsi gelar, yaitu adok, yang (other) menjadi bagian dari diri (self). Ketika proses
ketika itu dimaknai sebagai mengangkat saudara) yang peleburan itu terjadi, maka sangat dimungkinkan pula
sekarang diberlakukan kembali dengan pendatang (juga terjadinya orientalisasi (orientalization) ketika setiap
dengan angkat saudara). Secara politis, pandangan ini subjek yang mengidentifikasi diri memiliki kesamaan
dimaknai bahwa, ketika seseorang telah menjadi yang terbaik dalam menciptakan suatu representasi
saudara tentu tidak akan saling menyakiti, sedangkan yang ideal, yang lalu dipertentangkan atau dipakai untuk
dalam kaca mata yang lain, menurut informan, merendahkan yang lain. Mengacu kepada oposisi biner
pemberian adok ini sebagai upaya menghindarkan identitas ini, maka ulun Lampung dalam konteks ini
konflik antaretnis sekaligus sebagai peredam konflik. justru bertindak ekstrem karena oposisi Binner itu
sendiri selain masih diberlakukan dalam struktur
Dalam konteks kekuasaan simbolik Bourdieu,si pemilik internal, juga dalam struktur eksternal, yaitu kepada
adok memberikan kepada pendatang (penerima adok) orang luar melalui metapora kekerabatan (kinship),
sebuah simbol kehormatan, sehingga dalam relasi yaitu adok yang dikomodifikasi.
kekuasaan si pemberi berada dalam posisi relasi kuasa
yang lebih tinggi daripada si penerima. Memberikan Juluk adok sebagai unsur dalam piil pesenggiri juga
gelar adalah perlawanan yang sifatnya hidden atau berelasi dengan nemui nyimah, yaitu sifat menghargai
resisten terhadap dominasi pendatang selama ini. tamu. Metafora tamu salah satu faktor yang
Resistensi, menurut Scott (1990) merupakan reaksi menyebabkan jarang terjadi konflik di daerah Lampung.
terhadap adanya dominasi yang kuat terhadap yang Unsur lainnya adalah nengah nyappor, artinya menjadi
lemah di dalamnya ada hubungan kekuasaaan antara orang yang dapat diandalkan atau penengah ketika ada
mereka yang dominan dan subordinat. Menggunakan permasalahan. Nyappor artinya bercampur, berbaur dan
MAKARA, SOSIAL HUMANIORA, VOL. 15, NO. 2, DESEMBER 2011: 140-150 149

mudah berintegrasi dengan siapapun. Demikian juga dapat dipisahkan dari habitus ulun Lampung, dan
dengan unsur sakai sambayan, yang selama ini dikenal sebagai identitas, piil pesenggiri harus diolah dan
sebagai gotong royong. Sakai sambayan sekarang dijadikan modal sesuai dengan habitus mereka; (4)
dimaknai sebagai musyawarah untuk memecahkan strategi ulun Lampung dengan merespon pendatang
masalah secara bersama-sama. Permasalahan yang melalui nilai piil pesenggirinya dalam hubungan
terjadi di Lampung yang berkaitan dengan piil multikultur dapat dijadikan model dalam hubungan
pesenggiri sangat rawan dengan konflik seperti konflik antar etnis di Indonesia, yaitu bahwa resistensi dapat
tanah, perkawinan, maupun hubungan dengan dilakukan secara halus dan tanpa disadari sehingga
pendatang. Asosiasi sukarela seperti MPAL dan konflik dapat dieliminasi.
Lampung Sai adalah salah satu akomodasi kepentingan
masyarakat Lampung. Asosiasi ini memang tidak References
terlepas dengan keberlangsungan adat dan pemecahan
kasus-kasus di masyarakat yang sedapatnya diselesaikan Barth, F. (1969). Ethnic groups and boundaries: the
secara adat saja baik menyangkut perselisihan antar social organization of culture difference. Oslo:
ulun Lampung, maupun dengan non Lampung. Scandinavian University Press.
Penyelesaian secara adat dan damai, merupakan
alternatif yang lebih anggun yang didasari oleh nilai Baunmann, G, & Gingrich, A. (2004). Grammars of
luhur piil pesenggiri. Salah satu kasus yang diselesaikan identity/alterity a structural approach. Amsterdam:
dengan cara terhormat atau atas dasar piil pesenggiri Berghahn Books.
adalah kasus salah tembak oleh oknum polisi. Peristiwa
salah tembak yang dilakukan tujuh oknum anggota Bourdieu, P. (1977). Ooutline Of A Theory Of Practice.
kepolisian Polsek Natar, Kecamatan Natar, Kabupaten Cambridge: Cambridge University Press.
Lampung Selatan (Lamsel) pada 28 Oktober 2010
terhadap dua orang warga Desa Muara Putih, kecamatan Bourdieu, P. (1979). Algeria 1960. Cambridge:
setempat, berakhir damai. Perdamaian dilakukan secara Cambridge University Press.
adat dan disaksikan sejumlah warga dan penyimbang
adat Lampung dengan membayar biaya perdamaian, Bourdieu dalam Johnson, Randal (Ed). (2003). The Field
yaitu membeli kerbau, denda berjabat tangan dengan of Cultural Production: Essay on Art and Literature.
sejumlah penyimbang, denda buka bicara, biaya
penggalang sila, dan biaya lainnya. Oleh karenanya, piil Castles, S., & Miller, M.J. (2003). The Age of
pesenggiri dalam masyarakat Lampung merupakan Migration: International Population Movements in the
kristalisasi nilai-nilai dan aturan yang ada masyarakat Modern World. (third revised edition) Basingstoke and
yang tidak perlu dituliskan tetapi tetap bertumbuh dan New York: Palgrave-Macmillan and Guilford Books.
dijalankan dalam masyarakat sebagai makhluk sosial
dan budaya. Comaroff, J.L., & Jean, C. (2009). Ethnicity.Inc.
Chicago: The University of Chicago Press.
4. Simpulan
Corr, R., & Harriet L.W. (2003). Ritual, knowledge, and
Kesadaran kultural untuk sejajar dengan pendatang the politics of identity in andean festivities. Ethnology,
sebagai sense of collectivism dengan menemukan nilai 42, 39-54.
yang bersumber dari tradisi mereka membuat ulun
Lampung dapat mengangkat kembali identitas mereka Hadikusuma, H. (1990). Masyarakat dan Adat Budaya
sebagai etnis lokal yang bermartabat. Nilai yang Lampung. Bandung: Mandar Maju.
terdapat dalam piil pesenggiri diolah sehingga
merupakan modal budaya dan modal simbolik dalam Haryatmoko (2010). Habitus dan Kapital dalam Strategi
ranah kontestasi dengan pendatang. Berangkat dari Kekuasaan Teori Strukturasi Pierre Bourdieu dengan
pemaknaan dan redefenisi terhadap piil pesenggiri yang Orientasi Budaya.
nilai-nilainya disegarkan kembali (invensi tradisi),
menunjukkan: (1) piil pesenggiri bukanlah produk yang Honneth, A. (2001). Invisibility: on the epistemology of
statis, tetapi bersifat konstekstual, dikonstruksi ulang recognition. The Aristotelian Society Supplementary,
sebagai resistensi secara halus terhadap dominasi 75, 11126.
pendatang; (2) produksi dan reproduksi piil pesenggiri
sebagai becoming identity adalah kemampuan Maunati, Y. (2004). Identitas dayak komodifikasi dan
mengintenalisasi eksternalitas, dan mengekternalisasi politik kebudayaan. Yogyakarta: LKiS Pelangi Aksara.
internalitas menjadi titik balik dan modal eksistensinya
sebagai ulun Lampung daslam berkontestasi; (3) Oommen. T.K. (1997). Kewarganegaraan, kebangsaan
redefenisi piil pesenggiri merupakan hasil interaksi & etnisitas (Munabari Fahlesa trans.). Bantul: Kreasi
dengan pendatang dalam ruang dan waktu, yang tidak Wacana Offset.
150 MAKARA, SOSIAL HUMANIORA, VOL. 15, NO. 2, DESEMBER 2011: 140-150

Ortner, S.B. (2002). Burned Like a Tattoo High School Sokefeld, M. (1999). Debating self, identity, and culture
Social Categories and American Culture, Ethnography, in anthropology. Current Anthropology, 40(4), 417-447.
3(2), 115148.
Sutterluty, F. (2006). The belief in ethnic kinship: A
Ruthernford, D. (2000). The white edge of the margin: deep symbolic dimension of social inequality.
textuality and authority in Biak, Irian Jaya, Indonesia. Ethnography, 7(2): 179207.
American Ethnologist, 27(2), 312-339.
Vickers, A. (2009). Peradaban Pesisir Menuju Sejarah
Scott, J. (1990). Domination and the arts of resistance, Budaya Asia Tenggara. Bali: Udayana University Press.
hidden transcripts. London: University Press.

Schortman, E.M., Patricia, A.U., & Marne, A. (2001).


Politics with style: identity formation in prehispanic
southeastern mesoamerica. American Anthropologist,
103(2), 312-330.

Anda mungkin juga menyukai