BAB I
PENDAHULUAN
Penyakit Tuberkulosis (TB) telah menjadi masalah kesehatan masyarakat yang besar
selama berabad-abad. Pelaksanaan intervensi kesehatan masyarakat yang efektif untuk
pencegahan dan pengendalian TB secara bermakna telah banyak menurunkan beban penyakit
secara global. Tetapi, munculnya epidemi HIV merupakan tantangan besar dalam upaya
pengendalian TB secara global.1
Peningkatan prevalensi HIV di Regional Asia Tenggara yang 40 persen dari populasinya
telah terinfeksi dengan Mycobacterium tuberculosis (MTB), jika tidak segera ditanggulangi
dapat mengancam upaya pengendalian TB. HIV meningkatkan epidemi TB dengan beberapa
cara. Telah diketahui bahwa HIV merupakan faktor risiko yang paling potensial untuk terjadinya
TB aktif baik pada orang yang baru terinfeksi maupun mereka dengan infeksi TB laten. Risiko
terjadinya TB pada orang dengan ko-infeksi HIV/TB berkisar antara 5 10% per tahun.1
Peningkatan kasus TB pada ODHA akan meningkatkan risiko penularan TB pada
masyarakat umum dengan atau tanpa terinfeksi HIV. Pencegahan HIV terkait TB melebihi
pelaksanaan sepenuhnya dari DOTS, karena juga mencakup pencegahan infeksi HIV sejak awal,
pencegahan berkembangnya infeksi TB laten menjadi penyakit aktif serta ketentuan dan
penyediaan pengobatan dan perawatan HIV/AIDS.1
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 TUBERKULOSIS-HIV
2.1.1 DEFINISI
Mikroskopis
Pemeriksaan mikroskopis dahak cukup dilakukan dengan dua spesimen
dahak (Sewaktu dan Pagi = SP) dan bila minimal salah satu spesimen dahak
hasilnya BTA positif maka diagnosis TB dapat ditegakkan.
Biakan
Pemeriksaan biakan dahak merupakan baku emas untuk mendiagnosis
TB. Namun, kuman TB merupakan kuman yang lambat dalam pertumbuhan
sehingga biakan memerlukan waktu sekitar 6 8 minggu.
Pemeriksaan biakan memerlukan waktu cukup lama sehingga bila
penegakan diagnosis TB pada ODHA hanya mengandalkan pada
pemeriksaan biakan maka dapat mengakibatkan angka kematian TB pada
ODHA meningkat.
Catatan:
Pada saat ini untuk mendiagnosis TB pada ODHA, WHO
merekomendasikan pemeriksaan Uji Cepat/Rapid Test, yang memerlukan
waktu lebih singkat dan sekaligus dapat dimanfaatkan untuk mengetahui
lebih awal kemungkinan ODHA resisten terhadap Rifampisin. Namun
ketersediaan alat ini masih terbatas hanya pada beberapa Fasyankes dan
belum menjadi kebijakan nasional.6
2.1.4.3 Pemeriksaan Penunjang Radiologis
Table 3. Diagnosis TB
Gejala klinis pada pneumonia berupa batuk produktif, demam yang dapat disertai
menggigil, takikardia, takipneu sampai sianosis. Pada keadaan imunokompeten, tubuh
mampu mengadakan perlawanan tetapi tidak pada keadaan imunokompro-mais sehingga
gejala klinis yang terjadi tidak spesifik.
2. Sarkoma Kaposi
Sarkoma kaposi ditandai oleh lesi tipikal pada kulit dan membran mukosa berwarna
biru kehitaman. Sarkoma kaposi pada membran mukosa saluran napas menimbulkan
gejala batuk, demam, hemoptisis dan dispnea disertai lesi kulit di tempat lain. Foto toraks
menunjukkan infiltrat nodular difus menyebar dari hilus atau gambaran efusi pleura.
Pemeriksaan sitologi cairan pleura dapat membantu penegakan diagnosis sarkoma kaposi.
3. Pneumonia Pneumocystis jirovecii (PCP)
Pneumonia Pneumocystis jirovecii pada orang dewasa sering terjadi pada ODHA
dengan stadium klinis (AIDS). Gejala klinis berupa batuk tidak produktif, demam dan
sesak napas progresif. Penyakit ini dapat dibedakan dengan TB paru berdasarkan gejala
klinis dan foto toraks seperti tertera pada tabel.
Table 5. Manifestasi Klinis & Gambaran Foto Toraks PCP & TB Paru
Manifestasi klinis MAC umumnya berupa demam, keringat malam, penurunan berat
badan, lemah / fatique dan nyeri abdomen. Manifestasi yang terlokalisir berupa gejala-
gejala limfadenitis servikal atau mesenterikal, pneumonitis, perikarditis, osteomielitis dan
infeksi SSP.
Pada pemeriksaan fisis dapat ditemukan hepatomegali, splenomegali atau
limfadenopati (di paratrakeal, retroperitoneal dan paraaorta).
Pada pemeriksaan laboratorium dapat ditemukan anemia, peningkatan alkali fosfatase.
5. Infeksi parasit
Infeksi parasit yang sering ditemukan pada ODHA Cryptococcus sp. dan Nocardia sp.
Gejala klinis Cryptococcosis sulit dibedakan dengan gejala klinis TB paru. Diagnosis
Cryptococcosis paru ditegakkan dengan ditemukannya spora fungi pada apusan dahak.
Gejala klinis Nocardiosis mirip TB paru seperti batuk produktif dapat disertai darah,
demam, mual, malaise, sesak napas, keringat malam tanpa aktifitas, penurunan nafsu
makan dan berat badan, nyeri sendi dan nyeri dada. Pada pemeriksaan fisis dapat
ditemukan ronki basah, suara napas melemah, limfadenopati, skin rash dan
hepatosplenomegali.
Kelainan pada foto toraks sering ditemukan pada lobus atas berupa kavitas. Organisme
penyebab dapat ditemukan secara positif lemah pada pewarnaan tahan asam. Kecurigaan
klinis meningkat dengan ditemukannya abses otak. Diagnosis ditegakkan dengan
ditemukannya batang pada sediaan dengan pewarnaan gram positif.6
2.1.6 PENATALAKSANAAN
Pada prinsipnya, pemberian OAT pada ODHA tidak berbeda dengan pasien HIV
negatif. Interaksi antar OAT dan ARV terutama dengan hepatotoksiknya. Pada ODHA
yang belum mendapat terapi ARV, waktu pemberian OAT harus disesuaikan dengan
kondisinya.
Tatalaksanan pengobatan TB pada pasien dengan infeksi HIV/AIDS adalah sama
seperti pasien TB lainnya. Obat TB pada pasien HIV/AIDS sama efektifnya dengan
pasien TB yang tidak disertai HIV/AIDS. Prinsip pengobatan pasien TB-HIV adalah
dengan mendahulukan pengobatan TB. Pengobatan ARV(antiretroviral) dimulai
berdasarkan stadium klinis HIV sesuai dengan standar WHO.8
Pada ODHA yang sedang dalam pengobatan ARV yang kemudian sakit TB maka
pilihan paduan pengobatan ARV adalah seperti pada tabel di bawah ini:6
2.1.8 PENCEGAHAN
BAB III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
1. Lubis, Rahayu. Ko-Infeksi HIV/AIDS dan TB. Departemen Epidemiologi FKM USU:
Medan. Available on: http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/19101/1/ikm-
jun2007-11%20(11).pdf
2. Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit Dan Penyehatan Lingkungan Kementerian
Kesehatan Republik Indonesia. Petunjuk Teknis Tata Laksana Klinis Ko-Infeksi TB-HIV.
2012. Available on: http://spiritia.or.id/Dok/juknistbhiv2013.pdf
3. Trisna Widiany, Annisa. 2011. TB Paru dengan HIV. Fakultas Kedokteran Universitas
Trisakti: Jakarta
4. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Kebijakan Nasional Kolaborasi TB/HIV.
2007. Available on: http://www.spiritia.or.id/Dok/bijaknasTBHIV.pdf
5. World Health Organization (WHO). Tuberculosis Global Facts. 2010/2011. Available on:
http://www.who.int/tb/publications/2010/factsheet_tb_2010_rev21feb11.pdf
6. Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit Dan Penyehatan Lingkungan Kementerian
Kesehatan Republik Indonesia. 2012. Petunjuk Teknis Tata Laksana Klinis Ko-Infeksi
TB-HIV.
7. Pratiwi, Lina. 2013. TB-Paru pada Orang dengan HIV-AIDS (ODHA). Fakultas
Kedokteran Universitas Trisakti: Jakarta
8. Ressa, dkk. 2013. Tuberkulosis Paru-HIV. Fakultas Kedokteran Universitas Andalas:
Padang