Program sanitasi total berbasis masyarakat, diantaranya berangkat dari latar belakang
kegagalan berbagai program pembangunan sanitasi selama ini. Jika boleh mengutip, ini
mungkin beberapa diantaranya:
Indonesia kehilangan lebih dari Rp 58 triliun, atau setara dengan Rp 265.000 per
orang per tahun karena sanitasi yang buruk. Lebih dari 94 juta penduduk Indonesia
(43% dari populasi) tidak memiliki jamban sehat dan hanya 2% memiliki akses pada
saluran air limbah perkotaan. Sebagai akibat dari sanitasi yang buruk ini,
diperkirakan menyebabkan angka kejadian diare sebanyak 121.100 kejadian dan
mengakibatkan lebih dari 50.000 kematian setiap tahunnya. Dampak kesehatan
tahunan dari sanitasi yang buruk adalah sebesar Rp 139.000 per orang atau Rp 31
triliun secara nasional (WSP, 2007).
Dan lebih dari tiga puluh tahun, akses terhadap sanitasi di pedesaan tidak berubah.
Berdasarkan Joint Monitoring Program WHO-UNICEF, akses terhadap sanitasi di
pedesaan tetap pada angka 38 %. Dengan laju perkembangan seperti ini, Indonesia
akan gagal untuk mencapai target Millenium Development Goals (MDG) untuk
Sanitasi (WSP, 2008).
Sementara kenyataan dilapangan sendiri, misalnya masih banyak sarana yang dibangun
tidak digunakan dan dipelihara oleh masyarakat. Juga cakupan akses pada sanitasi yang
tidak kunjung merangkak naik dalam sekian kurun waktu. Beberapa faktor dapat menjadi
penyebab kegagalan tersebut, diantaranya adalah kurangnya keterlibatan masyarakat
dalam segala proses pelaksanaannya, serta kurangnya demand atau kebutuhan
masyarakat.
Metode CLTS merupakan pendekatan perubahan perilaku hygiene dan sanitasi secara
kolektif melalui pemberdayaan masyarakat dengan metoda pemicuan. Langkah awal
perubahan perilaku dengan pemicuan untuk meningkatkan akses terhadap sarana sanitasi
yang difasilitasi oleh pihak diluar komunitas sehingga masyarakat dapat mengambil
keputusan untuk meningkatkan akses terhadap sarana jamban berdasarkan analisa kondisi
lingkungan tempat tinggal dan resiko yang dihadapinya. (Manual pelaksanaan Program
Sanitasi Total & Pemasaran Sanitasi (SToPS), 2008).
Pendekatan Community Led Total Sanitasi (CLTS), diperkenalkan di Indonesia pada tahun
2005. Fokus pembangunan adalah pencapaian outcome perubahan perilaku secara kolektip
masyarakat dibantu dengan pendekatan yang tepat-guna untuk memicu perubahan. Hal ini
selaras dengan keyakinan masyarakat mencapai tujuan outcome adalah lingkungan yang
bebas dari buang air disembarang tempat. (Manual pelaksanaan Program Sanitasi Total &
Pemasaran Sanitasi (SToPS), 2008).
Bentuk Gerakan Sanitasi Total Berbasis Masyarakat (STBM)
Metode CLTS merupakan pendekatan perubahan perilaku hygiene dan sanitasi secara
kolekktif melalui pemberdayaan masyarakat dengan pemicuan beserta ciri khususnya yaitu
tanpa subsidi fisik, memanfaatkan potensi lokal, mendorong masyarakat untuk menentukan
jamban pilihanya, dan dilakukan secara total oleh masyarakat. Fokus pembangunan adalah
pencapaian outcome perubahan perilaku secara kolektif masyarakat dibantu dengan
pendekatan yang tepat guna untuk memicu perubahan. Hal ini selaras dengan keyakinan
masyarakat mencapai tujuan outcome adalah lingkungan yang bebas dari buang air besar
disembarang tempat.
Sanitasi total
Pengertian Sanitasi Total adalah kondisi ketika suatu komunitas tidak buang air besar (BAB)
sembarangan, Mencuci tangan pakai sabun, Mengelola air minum dan makanan yang
aman, Mengelola sampah dengan benar, serta Mengelola limbah cair rumah tangga dengan
aman (Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 852/MENKES/SK/IX/2008
Tentang Strategi Nasional Sanitasi Total Berbasis Masyarakat)
Prinsip-prinsip yang digunakan untuk menuju Sanitasi Total (Manual pelaksanaan Program
Sanitasi Total & Pemasaran Sanitasi (SToPS), 2008)
Ciri utama dari pendekatan ini adalah tidak adanya subsidi terhadap infrastruktur (jamban
keluarga), dan tidak menetapkan jamban yang nantinya akan dibangun oleh masyarakat.
STBM menekankan pada perubahan perilaku masyarakat untuk membangunan sarana
sanitasi dasar dengan melalui upaya sanitasi meliputi tidak BAB sembarangan, mencuci
tangan pakai sabun, mengelola air minum dan makanan yang aman, mengelola sampah
dengan benar mengelola limbah air rumah tangga dengan aman.
Prinsip-prinsip STBM
Prinsip Sanitasi total berbasis masyarakat (STBM), sesuai Keputusan Menteri Kesehatan
diatas, antara lain :
1. Tidak adanya subsidi yang diberikan kepada masyarakat, tidak terkecuali untuk
kelompok miskin untuk penyediaan fasilitas sanitasi dasar.
2. Meningkatkan ketersediaan sarana sanitasi yang sesuai dengan kemampuan dan
kebutuhan masyarakat sasaran.
3. Menciptakan prilaku masyarakat yang higienis dan saniter untuk mendukung
terciptanya sanitasi total.
4. Masyarakat sebagai pemimpin dan seluruh masyarakat terlibat dalam analisa
permasalahan, perencanaan, pelaksanaan serta pemanfaatan dan pemeliharaan.
5. Melibatkan masyarakat dalam kegiatan pemantauan dan evaluasi.
Metode pemberdayaan masyarakat (dengan metode CLTS) sebagai inti gerakan STBM ini,
bertujuan untuk memicu masyarakat untuk memperbaiki sarana sanitasi, dengan adanya
pemicuan ini target utama dapat tercapai yaitu: merubah perilaku sanitasi dari masyarakat
yang masih melakukan kebiasaan BAB di sembarang tempat. Faktor-faktor yang harus
dipicu beserta metode yang digunakan dalam kegiatan STBM untuk menumbuhkan
perubahan perilaku sanitasi dalam suatu komunitas (Depke RI, 2008).
Berbagai faktor yang harus dipicu beserta cara pelaksanaannya antara adalah
rasa jijik , rasa malu, membangkitkan rasa takut sakit, serta sentuhan pada aspek agama
terkait dogma dan dalil buang air besar sembarangan. Sedangkan metode yang dipakai
untuk membangkitkan kondisi komunitas ini antara lain dengan transect walk dengan
sasaran tempat BAB terbuka yang masih dilakukan oleh masyarakat, demo air dengan
kandungan tinja, perhitungan bersama terhadap jumlah tinja yang berada di sekitar
masyarakat, pemetaan rumah warga yang belum akses jamban, belajar bersama proses
dan alur kontaminasi oleh tinja. Berbagai tool tersebut dilakukan dengan teknik focus group
discussion (FGD).
Metode STBM
Inti kegiatan STBM di masyarakat ada pada tahap pemicuan, yang bertujuan untuk
memfasilitasi masyarakat untuk mampu menganalisa kondisi sanitasi wilayahnya. Proses
ini mengikuti tahapan, antara lain tahap pemetaan, pemetaan, transect walk, dan lainnya
sebagaimana disinggung diatas.
Pemetaan: Bertujuan untuk mengetahui dan melihat peta potensi wilayah tempat
khususnya terkait sanitasi dan buang air besar masyarakat. Hasil pemetaan ini yang
kemudian disalin pada media yang sesuai seperti kertas, biasanya ditempel pada tempat
umum seperti balai Posyandu. Peta ini sekaligus juga berfungsi sebagai tool monitoring
perkembangan akses jamban pasca pemicuan dan dibuatnya rencana tindak lanjut
masyarkat (ingat proses ini dilakuakn dengan FGD).
Transect Walk: Bertujuan untuk melihat dan mengetahui tempat (lokasi) kebiasaan
masyarakat dalam perilaku buang air besarnya. Fasilitator bersama masyarakat sharing dan
berdiskusi di tempat dimaksud, dengan harapan akan timbul rasa jijik dan terpicu rasa malu
pada diri mereka.
Alur Kontaminasi (Fecal Oral): Bertujuan untuk bersama dengan masyarakat belajar dan
mengetahui bagaimana proses tinja dapat masuk kedalam makanan masyarakat, dan
dampak yang ditimbukannya terhadap kesehatan keluarga.
Simulasi air yang telah terkontaminasi: Bertujuan untuk memicu masyarakat terkait persepsi
mereka terhadap yang dianggap bersih, dapat berpotensi tercemar tanpa mereka sadari.
Pengertian sehat menurut WHO adalah Keadaan yg meliputi kesehatan fisik, mental, dan
sosial yg tidak hanya berarti suatu keadaan yg bebas dari penyakit dan
kecacatan..Sedangkan menurut UU No 23 / 1992 Tentang kesehatan Keadaan sejahtera
dari badan, jiwa dan sosial yang memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial
dan ekonomis.
Pengertian Lingkungan Menurut A.L. Slamet Riyadi (1976) adalah Tempat pemukiman
dengan segala sesuatunya dimana organismenya hidup beserta segala keadaan dan
kondisi yang secara langsung maupun tidak dpt diduga ikut mempengaruhi tingkat
kehidupan maupun kesehatan dari organisme itu.
Secara prinsip setiap orang diperbolehkan untuk membuang limbah ke media lingkungan
hidup, sal dapat memnuhi beberapa persyaratan, antra lain memenuhi baku mutu
lingkungan hidup; dan mendapat izin dari Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai
dengan kewenangannya.
Fungsi Baku Mutu Lingkungan adalah untuk mengatakan atau menilai bahwa lingkungan
telah rusak atau tercemar dan untuk mengetahui telah terjadi perusakan atau pencemaran
lingkungan digunakan. nilai ambang batas merupakan batas-batas daya dukung, daya
tenggang dan daya toleransi atau kemampuan lingkungan. Nilai ambang batas tertinggi dan
terendah dari kandungan zat-zat, mahluk hidup atau komponen-komponen lain dalam setiap
interaksi yang berkenaan dengan lingkungan khususnya yang mempengaruhi mutu
lingkungan. Dapat dikatakan lingkungan tercemar apabila kondisi lingkungan telah melewati
ambang batas (batas maksimum dan batas minimum) yang telah ditetapkan berdasarkan
baku mutu lingkungan. telah menetapkan baku mutu air pada sumber air, baku mutu limbah
cair, baku mutu udara ambien, baku mutu udara emisi dan baku mutu air laut. (Bapedal,
2001).
Limbah cair adalah semua bahan buangan yang berbentuk cair yang kemungkinan
mengandung mikroorganisme pathogen, bahan kimia beracun, dan radioaktivitas. Baku
mutu limbah cair rumah sakit adalah batas maksimal limbah cair yang diperbolehkan
dibuang ke lingkungan dari suatu kegiatan rumah sakit.
Menurut Nomor PP No. 18/1999 Jo. PP No.85/1 999, bahwa limbah medis termasuk limbah
B3 definisi limbah B3 menurut PP No.18/1 999 Jo. PP No.85/1999 Pengelolaan Limbah
Bahan Berbahaya dan Beracun disingkat B3 adalah sisa atau suatu usaha dan / atau
kegiatan yang mengandung bahan berbahaya dan/atau beracun yang karena sifat dan/atau
persentasinya dan/atau jumlah, baik secara langsung maupun tidak langsung dapat
mencemarkan dan/atau merusak lingkungan hidup dan/atau membahayakan lingkungan
hidup kesehatan.
http://www.indonesian-publichealth.com/unsur-standar-baku-mutu-air-bersih/
Sebagaimana kita ketahui, air yang telah tercemar menyebabkan penyimpangan standar
kualitas air. Terdapat beberapa faktor yang dapat menyebabkan perjadinya perubahan
kualitas air sehingga tidak sesuai lagi dengan standar baku mutu yang dipersyaratkan.
Beberapa faktor penyebab tersebut antara lain :
1. Secara alamiah sumber air yang digunakan mengandung bahan-bahan kimia dalam
jumlah yang berlebihan sehingga memerlukan pengolahan yang lebih sempurna.
2. Air yang telah memenuhi standar kualitas akan dapat tercemar, baik secara alamiah
maupun akibat aktivitas manusia.
3. Kurangnya pengertian individu atau masyarakat yang menggunakan fasilitas air
bersih.
Beberapa komponen dan standar baku pada air bersih meliputi berbagai aspek baik fisik,
kimia, maupun bakteriologis. Beberapa aspek yang dinilai sebagai acuan standar baku air
tersebut meliputi unsur-unsur antara lain :
1. Suhu. Kenaikan suhu menimbulkan beberapa akibat antara lain menurunnya jumlah
oksigen terlarut dalam air, meningkatkan kecepatan reaksi kimia serta terganggunya
kehidupan ikan dan hewan air lainnya. Jika batas suhu yang mematikan terlampaui,
ikan dan hewan air lainnya mungkin akan mati.
2. pH. Nilai pH air yang normal antara 6 8, sedangkan pH air terpolusi misalnya air
buangan, berbeda-beda tergantung dari jenis buangannya.
3. Warna, bau dan rasa. Warna air yang tidak normal biasanya menunjukkan adanya
polusi. Warna air dibedakan atas dua macam yaitu warna sejati (true colour) yang
disebabkan oleh bahan-bahan terlarut, dan warna semu (apparent colour), yang
selain disebabkan adanya bahan terlarut juga karena adanya bahan tersuspensi,
termasuk di antaranya yang bersifat koloid. Bau air tergantung dari sumber airnya.
Timbulnya bau pada air secara mutlak dapat dipakai sebagai salah satu indikator
terjadinya tingkat pencemaran air yang cukup tinggi. Air yang normal sebenarnya
tidak mempunyai rasa. Apabila air mempunyai rasa (kecuali air laut), hal itu berarti
telah terjadi pelarutan garam.
4. Kesadahan. Standar kesadahan total adalah 500 mg/l, jika melebihi akan dapat
menimbulkan beberapa resiko seperti : a) mengurangi efektivitas sabun, b)
terbentuknya lapisan kerak pada alat dapur, c) kemungkinan terjadi ledakan pada
boiler, d) sumbatan pada pipa air.
5. Besi (Fe). Dalam jumlah kecil zat besi dibutuhkan oleh tubuh untuk pembentukan
sel-sel darah merah. Kandungan zat besi di dalam air yang melebihi batas akan
menimbulkan gangguan. Standar kualitas ditetapkan 0,1 1.0 mg/l.
6. Mangaan (Mn). Tubuh manusia membutuhkan mangaan rata-rata 10 mg/l sehari
yang dapat dipenuhi dari makanan. Mangaan bersifat toksik terhadap organ
pernafasan. Standar kualitas ditetapkan 0,05 0,5 mg/l dalam air.
7. Nitrit (NO2) dan Nitrat (NO3). Jumlah nitrat yang besar dalam tubuh cenderung
berubah menjadi nitrit dan dapat membentuk methaemoglobine sehingga dapat
menghambat perjalanan oksigen dalam tubuh, hal ini dapat menyebabkan penyakit
blue baby. Nitrit dalah zat yang bersifat racun sehingga kehadiran bahan ini dalam
air minum tidak diperbolehkan.
8. Cadmium (Cd). Cadmium merupakan zat beracun yang bersifat akumulasi dalam
jaringan tubuh sehingga dapat menyebabkan batu ginjal, gangguan lambung,
kerapuhan tulang, mengurangi hemoglobin darah dan pigmentasi gigi. Selain itu
cadmium juga bersifat karsinogenik.
9. Timbal (Pb). Timbal sangat berbahaya bagi kesehatan karena cenderung
terakumulasi dalam tubuh, serta meracuni jaringan syaraf.
10. Kekeruhan. Kekeruhan dapat disebabkan oleh banyak faktor, antara lain karena
adanya bahan yang tidak terlarut seperti debu, tanah liat, bahan organik atau
inorganik, dan mikroorganisme air. Akibatnya air menjadi kotor dan tidak jernih
sehingga bakteri pathogen dapat berlindung di dalam atau di sekitar bahan
penyebab kekeruhan.
11. Bakteri coli. Organisme pathogen di perairan merupakan indikasi adanya
pencemaran air. Oleh karena itu organisme pathogen di perairan harus diketahui.
Mengingat tidak mungkin mengindikasikan berbagai macam organisme pathogen,
maka pengukuran pengukurannya menggunakan bakteri-coli sebagai indikator
organisme. Standar Coli pada air bersih ditetapkan sebesar 10 coli/100 ml air.
Referensi, antara lain : Fardiaz,S., 1992. Polusi Air dan Udara. Kanisius.; Sutrisno,T.C. dan
Suciati,E., 2004, Teknologi Penyediaan Air Bersih. Rineka Cipta; Wardhana, A.W., 1999.
Dampak Pencemaran lingkungan. Andi Offset
http://www.indonesian-publichealth.com/syarat-fisik-sumur-sesuai-standard-kesehatan/
Proses perembesan bahan pencemar kedalam sumur gali, seperti pencemaran
oleh tinja (bakteri coliform), antara lain ditentukan oleh struktur fisik
bangunan saran sumur gali. Syarat kesehatan pada sarana air bersih khususnya
sumur menurut Departemen Kesehatan RI (1995) harus diberi beberapa komponen untuk
mencegah terjadinya kontaminasi pada air sumur. Adapun fungsi dari beberapa
komponen sumur gali adalah sebagai berikut (Depkes, RI, 1998):
Bibir sumur gali berfungsi sebagai pelindung keselamatan bagi pemakai dan untuk
mencegah masuknya limpahan air/pencemaran ke dalam sumur.
b. Dinding sumur berfungsi mencegah merembesnya pencemar yang berasal dari permukaan
tanah maupun dari samping, juga sebagai penahan tanah supaya tidak terkikis atau longsor.
c. Lantai sumur berfungsi untuk mencegah merembesnya air buangan ke dalam sumur dan sebagai
tempat untuk melakukan aktifitas di sumur.
d. Saluran pembuangan air limbah berfungsi untuk menyalurkan air limbah ke tempat
pembuangan yang jauh dari sumur.
Kritera sumur yang memenuhi syarat kesehatan ialah :
1. Dinding sumur minimal sedalam 3 m dari permukaan lantai/tanah, dibuat dari tembok
yang tidak tembus air/bahan kedap air dan kuat( tidak mudah retak/longsor) untuk
mencegah perembesan air yang telah tercemar ke dalam sumur. Ke dalaman 3 m diambil
karena bakteri pada umunya tidak dapat hidup lagi.
2. Kira-kira 1,5 m berikut ke bawah, dinding dibuat dari tembok yang tidak disemen,
tujuannya untuk mencegah runtuhnya tanah.
3. Diberi dinding tembok (bibir sumur), tinggi bibir sumur 1 meter dari lantai, terbuat dari
bahan yang kuat dan kedap air untuk mencegah agar air sekitarnya tidak masuk ke
dalam sumur, serta juga untuk keselamatan pemakai.
4. Lantai sumur disemen/harus kedap air, mempunyai lebar di sekeliling sumur l,5 m dari tepi
bibir sumur, agar air permukaan tidak masuk. Lantai sumur tidak retak/bocor, mudah
dibersihkan, dan tidaktergenang air, kemiringan 1-5% ke arah saluran
pembuanagan air limbah agar air bekas dapat dengan mudah mengalir ke saluran air
limbah.
5. Sebaiknya sumur diberi penutup/atap agar air hujan dan kotoran lainnya tidak dapat
masuk ke dalam sumur, dan ember yang dipakai jangan diletakkan di bawah/lantai tetapi
digantung.
6. Adanya sarana pembuangan air limbah. Sarana pembuangan air limbah harus
kedap air, minimal 2% ke arah pengolahan air buangan/peresapan.
7. Sebaiknya air sumur diambil dengan pompa.
http://www.indonesian-publichealth.com/jarak-septic-tank/
Syarat Jarak Aman antara Septic Tank dengan Sumur Gali dan Faktor yang
Mempengaruhinya
Pada penelitian yang dilakukan oleh Gotaas, dkk dalam Soeparman (2002), sumber
kontaminasi yang berupa tinja manusia yang ditempatkan dalam lubang yang menembus
permukaan air tanah. Sampel positif organisme coliform didapatkan pada jarak 4 sampai 6
m dari sumber kontaminasi. Daerah kontaminasi melebar ke luar sampai kira-kira 2 m pada
titik yang berjarak sekitar 5 m dari jamban dan menyempit pada kira-kira 11 m. Kontaminasi
tidak bergerak melawan arah aliran air tanah. Setelah beberapa bulan, tanah sekitar jamban
akan mengalami penyumbatan (clogging), dan sampel yang positif dapat diperoleh hanya
pada jarak 2-3 m dari lubang. Dengan kata lain, daerah kontaminasi tanah telah menyempit.
Pola pencemaran secara kimiawi sama bentuknya dengan pencemaran bakteriologis, hanya
jarak jangkaunya lebih jauh.
Dari sudut pandang sanitasi, yang penting diperhatikan adalah jarak perpindahan
maksimum dari bahan pencemar dan kenyataan bahwa arah perpindahan selalu searah
dengan arah aliran air tanah. Dalam penempatan sumur, harus diingat bahwa air yang
berada dalam lingkaran pengaruh sumur mengalir menuju sumur tersebut. Tidak boleh ada
bagian daerah kontaminasi kimiawi ataupun bakteriologis yang berada dalam jarak jangkau
lingkaran pengaruh sumur (Soeparman, 2002:50).
Tindakan pencegahan pencemaran sumur gali oleh bakteri coliform, yang harus
diperhatikan adalah jarak sumur dengan cubluk (kakus), lubang galian sampah, lubang
galian untuk air limbah (cesspool; seepage pit) dan sumber-sumber pengotoran lainnya.
Jarak ini tergantung pada keadaan tanah dan kemiringan tanah. Pada umumnya dapat
dikatakan jarak yang aman tidak kurang dari 10 meter dan diusahakan agar letaknya tidak
berada di bawah tempat-tempat sumber pengotoran seperti yang disebutkan di atas
(Entjang, 2000:78). Sedangkan menurut Chandra (2007:46), Sumur harus berjarak minimal
15 meter dan terletak lebih tinggi dari sumber pencemaran seperti kakus, kandang ternak,
tempat sampah dan sebagainya.
1. Topografi tanah : Topografi tanah dipengaruhi oleh kondisi permukaan tanah dan
sudut kemiringan tanah.
2. Faktor hidrologi : yang termasuk dalam faktor hidrologi antara lain Kedalaman air
tanah, Arah dan kecepatan aliran tanah, Lapisan tanah yang berbatu dan berpasir.
Pada lapisan jenis ini diperlukan jarak yang lebih jauh dibandingkan dengan jarak
yang diperlukan untuk daerah yang lapisan tanahnya terbentuk dari tanah liat.
3. Faktor Meteorologi : di daerah yang curah hujannya tinggi, jarak sumur harus lebih
jauh dari kakus.
4. Jenis mikroorganisme : Karakteristik beberapa mikroarganisme ini antra lain dapat
disebutkan bahwa bakteri patogen lebih tahan pada tanah basah dan lembab.
Cacing dapat bertahan pada tanah yang lembab dan basah selama 5 bulan,
sedangkan pada tanah yang kering dapat bertahan selam 1 bulan.
5. Faktor Kebudayaan : Terdapat kebiasaan masyarakat yang membuat sumur tanpa
dilengkapi dengan dinding sumur.
6. Frekuensi Pemompaan : Akibat makin banyaknya air sumur yang diambil untuk
keperluan orang banyak, laju aliran tanah menjadi lebih cepat untuk mengisi
kekosongan (Chandra, 2007:126-127).
Article Source :
http://www.indonesian-publichealth.com/program-klinik-sanitasi-puskesmas/
Tujuan, Sasaran dan Strategi Program Klinik Sanitasi Puskesmas
Sebetulnya program Klinik Sanitasi sudah mulai diperkenalkan dan dilaksanakan sejak
tahun 2003. Namun dibanyak tempat program ini seperti jalan di tempat, tanpa tanda-tanda
kehidupan, dengan segudang permasalahan dan alasan. Jikapun ada, dibanyak tempat,
kegiatan klinik sanitasi seperti bergerak tanpa esensi, dan sebatas sekedar gerakan diatas
kertas. Untuk mengingatkan kita bersama, berikut disarikan beberapa hal terkait dengan
program klinik sanitasi. Sumber acuan menggunakan, Pedoman Pelaksanaan Klinik Sanitasi
untuk Puskesmas, dan Standar Prosedur Operasional Klinik Sanitasi Depkes RI tahun 2003.
Klinik sanitasi adalah suatu upaya atau kegiatan yang mengintegrasikan pelayanan
kesehatan promotif, preventif, dan kuratif yang difokuskan pada penduduk yang berisiko
tinggi untuk mengatasi masalah penyakit berbasis lingkungan pemukiman yang
dilaksanakan oleh petugas puskesmas bersama masyarakat yang dapat dilaksanakan
secara pasif dan aktif di dalam dan di luar gedung.
Klinik sanitasi merupakan suatu wahana masyarakat dalam mengatasi masalah kesehatan
lingkungan untuk pemberantasan penyakit dengan bimbingan, penyuluhan, dan bantuan
teknis dari petugas puskesmas. Klinik sanitasi bukan sebagai unit pelayanan yang berdiri
sendiri, tetapi sebagai bagian integral dari kegiatan Puskesmas.
Secara umum klinik sanitasi bertujuan untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat
melaui upaya preventif, kuratif, dan promotif yang dilakukan secara terpadu, terarah dan
terus menerus. Secara khusus bertujuan:
Terciptanya keterpaduan kegiatan lintas program dan lintas sektor dalam program
pemberantasan penyakit menular dan penyehatan lingkungan dengan
memberdayakan masyarakat;
Meningkatnya pengetahuan, kesadaran, kemampuan dan perilaku masyarakat
(pasien, klien dan masyarakat) untuk mewujudkan lingkungan dan perilaku hidup
bersih dan sehat;
Meningkatnya pengetahuan, kesadaran, dan kemampuan masyarakat untuk
mencegah dan menanggulangi penyakit berbasis lingkungan serta masalah
kesehatan lingkungan dengan sumber daya yang ada;
Menurunnya angka penyakit berbasis lingkungan dan meningkatnya kondisi
kesehatan lingkungan.
Sasaran program klinik sanitasi meliputi: 1) penderita penyakit (pasien) yang berhubungan
dengan masalah kesehatan lingkungan (yang datang ke puskesmas atau yang diketemukan
di lapangan); 2) masyarakat umum (klien) yang mempunyai masalah kesehatan lingkungan
(yang datang ke puskesmas atau yang menemui petugas klinik sanitasi di lapangan); 3)
lingkungan penyebab masalah bagi penderita/klien dan masyarakat sekitarnya.
Klinik sanitasi dilaksanakan di dalam gedung dan di luar gedung puskesmas oleh petugas
sanitasi dibantu oleh petugas kesehatan lain dan masyarakat. Kegiatan dalam gedung
difokuskan pada identifikasi penyakit yang diderita pasien, kegiatan konseling, penyuluhan
dan membuat perjanjian untuk kunjungan rumah. Kegiatan di luar gedung berupa kunjungan
rumah. Kegiatan tersebut meliputi inspeksi sanitasi lingkungan tempat tinggal pasien,
penyuluhan yang lebih terarah kepada pasien, keluarga dan tetangga sekitar. Inspeksi
sanitasi lingkungan bertujuan untuk mengetahui faktor risiko lingkungan dan ketepatan jenis
intervensi yang akan dilakukan.
Untuk melaksanakan kegiatan program klinik sanitasi diperlukan adanya tenaga pelaksana,
sarana dan prasarana, dan dukungan dana. Tenaga pelaksana sebaiknya berlatarbelakang
pendidikan kesehatan lingkungan atau tenaga kesehatan lain yang ditunjuk oleh kepala
puskesmas dan telah mendapat pelatihan tentang klinik sanitasi.
Kelengkapan sarana dan prasarana seperti ruangan untuk konseling dan bengkel,
peralatan, transportasi, alat peraga atau media penyuluhan, formulir pencatatan dan
pelaporan, dan buku pedoman. Tenaga dan sarana/prasarana yang tersedia dapat
diberdayakan dengan baik jika ada dukungan dana operasional.
Beberapa hambatan yang mungkin ditemui dalam pelaksanaan klinik sanitasi sebagai
berikut :
Beberapa peluang yang mungkin ditemui dalam pelaksanaan klinik sanitasi sebagai berikut.
1. Adanya dana operasional Puskesmas yang dapat dimanfaatkan untuk kegiatan klinik
sanitasi.
2. Penyakit berbasis lingkungan masih mendominasi kasus yang terjadi.
3. Adanya mekanisme lokakarya mini di puskesmas yang dapat digunakan untuk
pengembangan dan koordinasi kegiatan klinik sanitasi.
4. Pendayagunaan tenaga kesehatan lingkungan yang saat ini bekerja di luar bidang
tugasnya untuk pelaksanaan klinik sanitasi.
5. Adanya dana sektor lain yang dapat dialokasikan di desa sehingga dapat menunjang
kegiatan klinik sanitasi.
6. Semakin meningkatnya partisipasi masyarakat dalam pembangunan di desa sebagai
dampak dari pemberdayaan masyarakat selama ini.
7. Telah tersediaannya alat (water test kit dan media penyuluhan).
8. Penerapan paradigma sehat yang selaras dengan pelaksanaan klinik sanitasi.
http://www.indonesian-publichealth.com/kondisi-sanitasi-buruk-dan-kejadian-diare/
Bagi keluarga besar Sanitarian khususnya dan Public Health umumnya mengenal penyakit
Diare sebagai salah satu penyakit berbasis lingkungan yang sudah sangat kita pahami
kiprahnya. Bahkan penyakit diare ini menjadi soko guru pijakan SPM (Standard Pelayanan
Minimal) program Penyehatan Lingkungan. Karena sepertinya program penyehatan
lingkungan belum mempunyai cantolan SPM. Dan ini akan menyangkut program, kegiatan,
anggaran, dan lain lain. Konon asbabun nuzul SPM ini melahirkan beragam argumen, mulai
global fund, kemampuan penganggaran daerah, dan teknis kebijakan lainnya, yang sangat
jauh untuk dapat dipahami oleh cucuk lampah seperti saya. Dan beruntung kita masih
punya diare, SPM milik saudara sekandung kita sehingga disaat harus menyusun
perencanaan masih punya induk semang.
Urusan penyakit diare dari berbagai faktor muaranya masih akan berujung pada masalah
jamban, air bersih dan perilaku. Sebagaimana dikemukakan bahwa : Tantangan
pembangunan sanitasi di Indonesia adalah masalah sosial budaya dan perilaku penduduk
yang terbiasa buang air besar (BAB) di sembarang tempat, khususnya ke badan air yang
juga digunakan untuk mencuci, mandi dan kebutuhan higienis lainnya (Depkes RI, 2008)
Kemampuan berfikir dan profesionalisme Sanitarian dan Public Health (sepertinya) memang
masih harus dekat dengan persoalan ini. Benar simbah bilang, sementara di negara lain
orang sudah berkutat di bulan, kita masih berkutat di urusan jamban. Namun ini memang
kondisi faktual kita, sehingga ketika suatu hari kita harus mengisi permintaan data dari pusat
terkait data pemantauan peredaran barang yang berhubungan dengan penipisan lapisan
Ozon, kita toleh kanan toleh kiri. Ketika itu saya teringat masa indah ketika sekolah. Ketika
segala hal kita pelajari, mulai ukur tanah, deteksi sumber air bersih dengan gelombang
listrik, uji porositas, teori dan praktikum dust sampler, teori simpul ADKL, dan segudang ilmu
lain. Sementara saat ini kita terengah engah dikejar berbagai permasalah kesehatan
lingkungan yang kian hari kian berkembang, tanpa mampu kita ikuti hikayat dan asbabun
nuzulnya.
Mohon maaf, tulisan ini menjadi seperti infotainment. Kita kembali ke Diare dulu. Sebuah
penyakit yang masih dianggap sebelah mata oleh sebagian masyarakat, karena kalah
pamor dari AIDS, Narkoba, Polio, atau Cancer. Padahal sebagaimana dikemukakan bahwa :
1. Buruknya kondisi sanitasi merupakan salah satu penyebab kematian anak di bawah
3 tahun yaitu sebesar 19% atau sekitar 100.000 anak meninggal karena diare setiap
tahunnya dan kerugian ekonomi diperkirakan sebesar 2,3% dari Produk Domestik
Bruto (studi World Bank, 2007, dalam Depkes 2008).
2. Penyakit diare hingga kini masih merupakan salah satu penyebab utama morbiditas
dan mortalitas pada anak diseluruh dunia terutama negara negara berkembang. Di
Indonesia diperkirakan angka kesakitan antara 150 430 perseribu penduduk
setahunnya (M.H Abdoerrachman dkk, 1985)
Berikut beberapa literatur yang terkait dengan penyakit diare, artikel Lengkap dapat Anda
baca DISINILiteratur Sanitasi dan Diare
http://www.indonesian-publichealth.com/epidemiologi-penyakit-diare/
Penyakit diare sering kali dikaitkan dengan status kesehatan lingkungan. Diare juga identik
dengan jamban. Data dan studi epidemiologi memang kuat menghubungkan fakta tersebut.
Penyakit diare merupakan salah satu masalah kesehatan di negara berkembang, terutama
di Indonesia baik di perkotaan maupun di pedesaan. Penyakit diare bersifat endemis juga
sering muncul sebagai Kejadian Luar Biasa (KLB) dan diikuti korban yang tidak sedikit.
Untuk mengatasi penyakit diare dalam masyarakat baik tata laksana kasus maupun untuk
pencegahannya sudah cukup dikuasai. Akan tetapi permasalahan tentang penyakit diare
masih merupakan masalah yang relatif besar (Suraatmaja, 2010).
Angka kesakitan diare sekitar 200-400 kejadian di antara 1000 penduduk setiap tahunnya.
Dengan demikian di Indonesia dapat ditemukan sekitar 60 juta kejadian setiap tahunnya,
sebagian besar (70-80%) dari penderita ini adalah Anak di bawah Lima Tahun (BALITA).
Sebagian dari penderita (1- 2%) akan jatuh ke dalam dehidrasi dan kalau tidak segera
ditolong 50- 60% di antaranya dapat meninggal. Kelompok ini setiap tahunnya mengalami
kejadian lebih dari satu kejadian diare.
Pengertian Diare, adalah penyakit yang ditandai dengan bertambahnya frekuensi defekasi
lebih dari biasanya (>3 kali/hari) disertai perubahan konsistensi tinja (menjadi cair),
dengan/tanpa darah dan/atau lendir. Diare adalah kehilangan cairan dan elektrolit secara
berlebihan yang terjadi karena frekuensi satu kali atau lebih buang air besar dengan bentuk
tinja yang encer atau cair. Menurut WHO (2006) diare adalah keluarnya tinja yang lunak
atau cair dengan frekuensi 3x atau lebih perhari dengan atau tanpa darah atau lendir dalam
tinja, atau bila ibu merasakan adanya perubahan konsistensi dan frekuensi buang air besar
pada anaknya. Jadi diare adalah keluarnya tinja yang lunak atau cair pada balita umur 6
bulan sampai 5 tahun dengan frekuensi lebih dari biasanya atau lebih dari 3 kali dalam
sehari dengan atau tan pa darah atau lendir dalam tinja.
Sampai saat ini penyakit diare merupakan penyebab utama kesakitan dan kematian,
khususnya pada bayi dan balita di Indonesia. Pemerintah telah menerapkan berbagai
strategi pemberantasan dan pengendalian penyakit diare ini. Beberapa dasar pelaksanaan
pemberantasan penyakit ini antara lain :
erdapat 4 area prioritas Program Indonesia Sehat dengan Pendekatan Keluarga ini (Pasal
2), meliputi:
1. penurunan angka kematian ibu dan bayi;
2. penurunan prevalensi balita pendek (stunting);
3. penanggulangan penyakit menular; dan
4. penanggulangan penyakit tidak menular.
5. melakukan pendataan kesehatan seluruh anggota keluarga;
6. membuat dan mengelola pangkalan data Puskesmas;
7. menganalisis, merumuskan intervensi masalah kesehatan, dan menyusun rencana
Puskesmas;
8. melaksanakan kunjungan rumah dalam upaya promotif, preventif, kuratif, dan
rehabilitatif;
9. melaksanakan pelayanan kesehatan (dalam dan luar gedung) melalui pendekatan
siklus hidup; dan
10. melaksanakan Sistem Informasi dan Pelaporan