Anda di halaman 1dari 5

4.2.

LOKASI MADURA

Gambar 4.2.1. Indeks Diversitas Shanon-Whiener Lokasi Madura

Grafik 4.2.1 menunjukkan nilai H di Madura 1 dan Madura 2 pada 4 semester. Pada
semester 2 tahun 2015, nilai H adalah sebesar 2831 di Madura 1 dan 2167 di Madura 2. Pada
semester 1 tahun 2016, nilai H sebesar 2344 di Madura 1 dan 2772 di Madura 2. Pada
semester 2 tahun 2016, nilai H sebesar 2498 di Madura 1 dan 2277 di Madura 2. Sedangkan
pada semester 1 tahun 2017, nilai H sebesar 2604 di Madura 1 dan 2583 di Madura 2.
Keanekaragaman spesies (species diversity) suatu komunitas memiliki dua komponen
yakni kekayaan jenis (Species richness), jumlah spsies berbeda dalam komunitas dan proporsi
kelimpahan relative (Relative abundance), proporsi yang direpresentasikan oelh masing
masing spesies dari seluruh individu dalam komunitas (Campbell et al., 2008). Dengan
demikian, semakin tinggi nilai H maka kekayaan jenis dan proporsi kelimpahan masing
masing spesies semakin besar. Grafik 4.2.1 memberikan informasi bahwa lokasi Madura 1
memiliki rata rata diversitas spesies yang lebih tinggi daripada lokasi Madura 2, artinya
lokasi Madura 1 memiliki spesies fitoplankton yang lebih beranekaragam. Perbedaan tinggi
rendahnya diversitas fitoplankton di kedua lokasi ini dipengaruhi oleh kondisi geografis
lokasi yang dijadikan habitat oleh masing - masing spesies fitoplankton (Campbell et al.,
2008). Lokasi 1 yang berada di koordinat 0652'53.00" S sampai 11258'47.52" E. Lokasi
tersebut berada di laut tepi dengan jarak sekitar 1,4 km dari pesisir (daratan). Lokasi 2 berada
pada koordinat 0653'00.05" S sampai 113 0'10.13" E. Lokasi tersebut berada di laut yang
dekat dengan semenanjung dengan jarak sekitar 700 m dari daratan. Penelitian Indriyawati
tahun 2012, menyebutkan bahwa diversitas fitoplankton pada suatu ekosistem dipengaruhi
oleh kondisi geografis ekosistem itu sendiri. Wilayah perairan laut yang dekat dengan daratan
memiliki kandungan materi organik terlarut dan nutrien yang lebih tinggi dibandingkan
dengan wilayah perairan laut lepas yang jauh dari daratan (Nurrachmi, 2000). Kandungan
nutrien yang tinggi berasal dari aliran air darat yang masuk ke perairan laut maupun dari
bahan organik darat yang tertiup oleh angin (Campbell et al., 2008). Selain itu, wilayah laut
yang berada di dekat dengan daratan tergolong wilayah laut dangkal yang masih bisa
ditembus oleh gelombang sinar matahari (Nurrachmi, 2000). Kondisi kondisi demikianlah
yang membuat perairan laut memiliki diversitas fitoplankton yang tinggi. Materi organik
terlarut dan nutrien dibutuhkan oleh fitoplankton sebagai bahan makanan sedangkan sinar
matahari digunakan untuk fotosintesis (Nurrachmi, 2000).
Jika dilihat peta lokasi, lokasi 2 berada lebih dekat dengan daratan dibandingkan
dengan lokasi 1, akan tetapi lokasi 1 justru memiliki diversitas fitoplankton yang lebih tinggi
dibandingkan dengan lokasi 2. Meskipun lebih kaya akan materi organik, wilayah perairan
yang dekat dengan daratan umumnya akan lebih sering terpapar bahan pencemar (polutan)
yang berasal dari aktivitas manusia di daratan (Damar, 2003). Polutan polutan yang
mencemari perairan laut umumnya berasal dari limbah daratan. Penelitian Ryther dan
Dunstan (2003) menyebutkan bahwa kandungan mineral besi (Fe) mampu menekan
proliferasi alga fotosintetik dan fitoplankton. Mineral Besi (Fe) berasal dari aktivitas alami
yakni pengikisan bebatuan di daratan maupun berasal dari aktivitas industri (Ryther dan
Dunstan, 2003). Debu yang tertiup angin dari daratan maupun aliran air sungai yang masuk
ke laut merupakan masukan utama mineral besi ke lautan, namun relatif sedikit debu yang
mencapai tengah laut (Ryther dan Dunstan, 2003). Hal tersebut membuat konsentrasi mineral
besi di daerah dekat daratan lebih tinggi dibandingkan dengan daerah yang jauh dari daratan.
Maka dari itu, diversitas fitoplankton di lokasi 1 lebih tinggi dibandingkan dengan diversitas
di lokasi 2.

Gambar 4.2.2. Indeks Dominansi Shimson Lokasi Madura

Grafik 4.2.2 menunjukkan nilai D di Madura 1 dan Madura 2 pada 4 semester. Pada
semester 2 tahun 2015, nilai D adalah sebesar 0.086 di Madura 1 dan 0.212 di Madura 2.
Pada semester 1 tahun 2016, nilai D sebesar 0.146 di Madura 1 dan 0.107 di Madura 2. Pada
semester 2 tahun 2016, nilai D sebesar 0.132 di Madura 1 dan 0.176 di Madura 2. Sedangkan
pada semester 1 tahun 2017, nilai D sebesar 0.105 di Madura 1 dan 0.129 di Madura 2.
Nilai dominansi disebabkan karena adanya spesies dominan didalam suatu ekosistem.
Spesies dominan (dominant species) adalah spesies spesies dlam suatu ekosistem yang
paling melimpah atau yang secara kolektif memiliki biomassa terbesar yang berakibat pada
kontrol kuat terhadap keberadaan dan distribusi spesies lainnya (Campbell et al., 2008). Nilai
dominansi berbanding terbalik dengan diversitas, yakni semakin tinggi nilai domanansi maka
keanekaragaman spesies di ekosistem semakin menurun. Grafik 4.2.2 memberikan informasi
bahwa lokasi Madura 1 memiliki rata rata dominansi spesies yang lebih rendah daripada
lokasi Madura 2, artinya lokasi Madura 2 memiliki spesies spesies fitoplankton yang
mendominasi sehingga keanekaragaman spesies menurun. Penelitian Paine (2008)
menyebutkan bahwa spesies dominan superior lebih kompetitif dalam mengekploitasi sumber
daya terbatas seperti nutrien dan Oksigen. Penjelasan lain adalah bahwa spesies dominan
paling sukses dalam menghindari predasi atau dampak penyakit (Paine, 2008).
Dari hasil monitoring yang dilakukan, terdapat 2 spesies yang mendominasi
ekosistem di kedua lokasi yakni spesies Chaetoceros decipiens dan Oscillatoria sp.
Chaetoceros decipiens merupakan fitoplankton golongan diatom yang memiliki struktur
tubuh berbentuk rectangular dan memiliki setae yang berlawanan di kedua sisi selnya
(Quillfeldt, 2001). Chaetoceros decipiens hidup di perairan air laut tropis maupun subtropis
dengan suhu hangat (29 370C). Chaetoceros decipiens tergolong dalam alga yang berbahaya
(harmful algae / HABs) karena pada saat blooming spesies ini mampu mensekresi toxin yang
dapat membunuh alga dari spesies lain maupun membunuh organisme organisme laut
lainnya seperti ikan, crustaceae, maupun beberapa mollusca (Quillfeldt, 2001). Struktur Spine
yang dimilikinya mampu membuat penyumbatan pada dinding sel plankton dan
mikroorganisme lain serta mampu merusak insang pada ikan (Quillfeldt, 2001).
Oscillatoria sp. merupakan golongan fitoplankton yang memiliki filamen yang tidak
bercabang sehingga digolongkan dalam kelompok filamentous cyanobacterium. Spesies ini
sebagian besar hidup di perairan payau (brackish water) dengan suhu sekitar 30-35 0C (Guiry,
2017). Sama halnya dengan Chaetoceros decipiens, Oscillatoria sp. juga mampu mensekresi
racun (Toxin) yang dapat membunuh alga dari spesies lain maupun membunuh organisme
organisme laut lainnya (Guiry, 2017).

a b

Gambar (a) Chaetoceros decipiens dan (b) Oscillatoria sp.


Sumber : Algae base
Gambar 4.2.3. Indeks Kemerataan Jenis Pielou Lokasi Madura

Grafik 4.2.3 menunjukkan nilai E di Madura 1 dan Madura 2 pada 4 semester. Pada
semester 2 tahun 2015, nilai E adalah sebesar 0.817 di Madura 1 dan 0.631 di Madura 2. Pada
semester 1 tahun 2016, nilai E sebesar 0.703 di Madura 1 dan 0.747 di Madura 2. Pada
semester 2 tahun 2016, nilai E sebesar 0.776 di Madura 1 dan 0.737 di Madura 2. Sedangkan
pada semester 1 tahun 2017, nilai E sebesar 0.830 di Madura 1 dan 0.793 di Madura 2.
Indeks Kemerataan jenis Pielou digunakan untuk mengetahui derajat kemerataan
kelimpahan individu setiap spesies. Jika setiap jenis memiliki jumlah individu yang sama,
maka komunitas tersebut mempunyai nilai evenness maksimum, sebaliknya, bila nilai
kemerataan ini kecil, maka dalam komunitas tersebut terdapat jenis dominan, sub-dominan,
dan jenis yang terdominasi, maka komunitas tersebut memiliki eveness minimum. Pada
grafik 4.2.3 dapat dilihat bahwa rata-rata nilai kemerataan jenis di kedua lokasi adalah
mendekati 1.00. Jika nilai E yang didapat mendekati nilai 1, maka dapat dikatakan jika
sebaran individu dalam suatu ekosistem merata dan cenderung tidak ada dominansi
(Campbell et al., 2008). Nilai E berbanding lurus dengan nilai H dan berbanding terbalik
dengan nilai D.
Nilai kemerataan yang tinggi mencerminkan nilai diversitas spesies yang tinggi pula.
lokasi Madura 1 memiliki rata rata kemerataan spesies yang lebih tinggi daripada lokasi
Madura 2, artinya lokasi Madura 1 memiliki spesies fitoplankton yang lebih beranekaragam
dan lebih merata dibandingkan dengan lokasi 2. Perbedaan tinggi rendahnya kemerataan
fitoplankton di kedua lokasi ini dipengaruhi oleh kondisi geografis lokasi yang dijadikan
habitat oleh masing - masing spesies fitoplankton dan dominansi spesies. Lokasi 1 yang
berada di koordinat 0652'53.00" S sampai 11258'47.52" E. Lokasi tersebut berada di laut
tepi dengan jarak sekitar 1,4 km dari pesisir (daratan). Lokasi 2 berada pada koordinat
0653'00.05" S sampai 113 0'10.13" E. Lokasi tersebut berada di laut yang dekat dengan
semenanjung dengan jarak sekitar 700 m dari daratan. Penelitian Indriyawati tahun 2012,
menyebutkan bahwa kemerataan jenis fitoplankton pada suatu ekosistem dipengaruhi oleh
kondisi geografis ekosistem itu sendiri. Wilayah perairan laut yang dekat dengan daratan
memiliki kandungan materi organik terlarut dan nutrien yang lebih tinggi dibandingkan
dengan wilayah perairan laut lepas yang jauh dari daratan (Nurrachmi, 2000). Kandungan
nutrien yang tinggi berasal dari aliran air darat yang masuk ke perairan laut maupun dari
bahan organik darat yang tertiup oleh angin (Campbell et al., 2008). Selain itu, wilayah laut
yang berada di dekat dengan daratan tergolong wilayah laut dangkal yang masih bisa
ditembus oleh gelombang sinar matahari (Nurrachmi, 2000). Kondisi kondisi demikianlah
yang membuat perairan laut memiliki nilai kemerataan jenis fitoplankton yang tinggi.
Selain itu, pada lokasi 1 dominansi spesies jauh lebih rendah dibandingkan dengan
dominansi di lokasi 2. Nilai dominansi disebabkan karena adanya spesies dominan didalam
suatu ekosistem. Spesies dominan (dominant species) adalah spesies spesies dlam suatu
ekosistem yang paling melimpah atau yang secara kolektif memiliki biomassa terbesar yang
berakibat pada kontrol kuat terhadap keberadaan dan distribusi spesies lainnya. spesies
dominan superior lebih kompetitif dalam mengekploitasi sumber daya terbatas seperti nutrien
dan Oksigen. Penjelasan lain adalah bahwa spesies dominan paling sukses dalam
menghindari predasi atau dampak penyakit (Paine, 2008). Karena nilai diversitas yang tinggi
dan nilai dominansi yang rendah maka nilai kemerataan jenis di lokasi 1 menjadi lebih tinggi
dibandingkan dengan lokasi 2.

Campbell, N. A., J. B. Reece., dan Lisa, A. U. (2008). BIOLOGI-Jilid 3. Edisi ke-8.


Jakarta : Erlangga
C.H. von Quillfeldt., (2001). Identification of Some Easily Confused Common Diatom
Species in Arctic Spring Blooms. Botanica Marina Vol. 44: 375389
Damar, A., 2003. Effects of Enrichment on Nutrient Dynamics, Phytoplankton
Dynamics and Productivity in Indonesian Tropical Water: A Comparison Between Jakarta
Bay, Lampung Bay and Semangka Bay. Ph.D Dissertation Christian Albrechts University.
Kiel. Germany.
Indriyawati, N., Abida, I. W., dan Haryo, T. (2012). Hubungan Antara Kelimpahan
Fitoplankton Dengan Zooplankton di Perairan Sekitar Jembatan Suramadu Kecamatan
Labang Kabupaten Bangkalan. Jurnal KELAUTAN, Vol. 5, No.2.
M.D. Guiry in Guiry, M.D. & Guiry, G.M. 2017. AlgaeBase. World-wide electronic
publication, National University of Ireland, Galway. http://www.algaebase.org; searched on
16 October 2017.
Nurrachmi, I. 2000. Hubungan konsentrasi Nitrat dan Fosfat dengan kelimpahan
Diatom (Bacillariophyceae) di perairan pantai Dumai Barat. J. Perikanan dan Kelautan, Vol.
4 (12) : 47-58.
Paine, R. (2008). Food Web Complexity and Species Diversity. American Naturalist,
Vol. 100 (1) : 65-75.
Ryther, G. H. dan W. M. Dunstan. (2003). Iron, Nitrogen, Phosporus, and
Eutrophication in the coastal marine environment. Science, Vol 171 (1) : 1008-1033.

Anda mungkin juga menyukai