Anda di halaman 1dari 4

Aku mengenal ibu sebagai perempuan yang ceria.

Dia sering tertawa, meski aku tidak


benar-benar mampu mengeja apakah karena gemar saja atau dia memang sedang bahagia. Satu hal
yang pasti, banyak lelucon yang sedatar papan sekali pun mampu memantik gelaknya. Persis
seperti bocah usia di bawah lima tahun yang menganggap anjing tercebur ke kubangan lumpur
bukan sebagai masalah, melainkan ajang bermain air dan sabun. Pekerjaan menyebalkan bagi
sebagian orang dewasa karena mesti mengulang aktivitas yang sama padahal bisa dilakukan sekali
saja dalam seminggu.
Tapi aku suka ibu. Suka melihat sudut bibirnya yang tertarik nyaris mencapai tulang pipi.
Suka melihat retinanya yang coklat mengembun seperti daun ketika pagi hari. Segalanya lebih
menarik. Tentu. Daripada kau melihat sepasang bahu yang berguncang atau lima jari yang
membekap mulut dengan rapat. Aku tidak suka itu dan mungkin ibu juga begitu.
Kana, ambilkan arang dan sekam! suara Ibu merambati udara. Beradu deru mesin alkon
yang melewati sungai Pangambangan di belakang rumah kami.
Aku yang sedang memandangi buah-buah rambutan bergegas menuju teras. Di sudut
tempat yang menjadi transisi antara pekarangan dan pintu rumah tergeletak sekarung kulit padi
yang telah menghitam, juga beberapa bungkus arang yang biasa digunakan untuk membakar ayam
atau ikan. Ibu meletakkan di sana, di tempat teduh oleh bayangan dahan belimbing wuluh. Sengaja
katanya, agar tidak mengganggu estetika. Karena menurut kepercayaan ibu, sesuatu yang kotor
mesti dirahasiakan sebagaimana yang dilakukan Tuhan terhadap kesalahan manusia.
Aku tidak berani membantah. Sepanjang hidup pun tak pernah menganggap ibu salah,
terlebih jika sudah melibatkan Tuhan. Bapak juga begitu. Dia tidak suka mendebat ibu. Paling
tidak, demikianlah yang kutahu sepanjang kebersamaan mereka sebagai orangtua. Meski dalam
kesehariannya, lelaki dengan kumis melintang di antara hidung dan katup teratas bibir itu berbeda
minat dengan ibu.
Bapak lebih suka tanaman yang bisa dimakan, terlepas dalam kondisi mentah atau setelah
diolah. Oleh karena itu, di halaman ini kalian bisa melihat perbedaan keduanya yang kentara. Jika
ibu memilih menanam sepasang bunga kertas, putih dan merah sebagai gerbang, maka bapak
memilih menanam mangga di halaman depan. Bila ibu lebih suka menumbuhkan bunga sri gading
untuk mengawetkan pupur basahbedak berbahan tepung beras dan airyang biasa dipakainya
tatkala menjajakan kembang barenteng dengan jukung hawaian, maka bapak condong menanam
sepohon belimbing wuluh di seberangnya.
Bapak suka menyantap ikan goreng, pepes, dan bakar dengan belimbing wuluh yang
dicampur irisan cabai serta bawang merah. Lantaran demikian, hampir tak sekalipun buah
bercitarasa asam sepat itu sempat menghujam tanah. Bapak akan lebih dulu memetiknya tak lama
setelah bakal bunga menjelma buah. Ia akan menyusunnya ke dalam toples kaca, menyiram dengan
larutan garam, lalu menyimpan di rak gantung sekitar dapur. Sepanjang tahun kalian bisa melihat
deretan toples kaca berisi belimbing wuluh lunak dan berwarna kecoklatan. Bapak suka itu, ia
tidak pernah bosan, tak mau digantikan. Kami menyebutnya jaruk balimbing tunjuk.
Selain belimbing wuluh, bapak juga menaruh perhatian istimewa pada pohon rambutannya.
Sekali dalam seminggu ia akan memupuk akar rambutan yang menyembul ke permukaan dengan
gula. Setiap pagi, sesuai menyesap teh panas buatan ibu, ia akan menyiramkan sisanya ke pokok
rambutan itu. Kupikir tidak bisa benar-benar disebut sisa, sebab bapak seperti sengaja menyisihkan
tehnya lebih banyak untuk akar rambutan. Pada masa berbunga, bapak akan lebih sering
melakukannya.
Ibu tidak pernah keberatan gula sakarnya berkurang setengah kilo setiap minggu. Seperti
bapak yang juga tidak pernah marah simpanan arang untuk membakar dan memepes ikan
berkurang demi anggrek milik ibu. Sudah kukatakan, mereka nyaris alpa dari berbantahan.
***
Bapak tidak suka bunga. Aku tahu. Ibu tentu lebih tahu. Tapi bapak adalah lelaki manis
seumpama rambutan jenis batukan yang tumbuh di pekarangan kami. Konon menurut cerita bapak,
rambutan ini tidak bisa dipisahkan daging buah dan bijinya. Kalian hanya bisa menikmati dengan
cara mengemut hingga rasa manisnya menyisakan hambar. Meski seperti tebu, rambutan ini tidak
boleh terlalu banyak disantap karena bisa menyebabkan batuk. Bisa jadi inilah muasal nama
batukan yang disematkan pada jenisnya.
Manisnya bapak bukan dengan kata cinta. Seumur kebersamaan dengan mereka, aku tidak
pernah mendapati keduanya bertukar panggilan sayang, jelingan menggoda pun tidak. Ya, paling
tidak, itulah yang kudapati dari teras hingga dapur. Selebihnya barangkali menjadi rahasia yang
disimpan berdua oleh bapak dan ibu.
Kenapa Ibu memanggil Bapak dengan sebutan Bapaknya Kana, bukan kanda atau
sejenisnya? usutku suatu waktu.
Ibu sedang merangkai kuntum melati dan kelopak mawar dengan sebuah jarum dan benang
dari serat pelepah pisang ketika aku bertanya begitu. Maka dilepaskan segala kegiatan ke atas
sebuah talamnampan berbahan kuningan. Ibu menatapku lama, tersenyum sesamar benang serat
pelepah pisang.
Itu cara menyapa pasangan yang dicontohkan Penghulu Zaman, ucap Ibu lalu kembali
menusuk kuntum melati dengan jarum yang tajam. Aku meringis ngilu menyaksikannya, terlebih
saat giliran kelopak mawar yang lubangnya kentara.
Bu, ini kembang barenteng ya?
Dia menggeleng kecil. Ini kembang nagasari.
Bukankah kembang nagasari semestinya menggunakan melati yang masih kuncup?
Tunjukku pada kuntum-kuntum semerbak yang telah mekar sempurna. Kalau begini lebih
mirip kembang barenteng untuk ziarah.
Ibu tidak menyahut, ia hanya memandangiku dengan nanar. Aku balik menatap mata ibu,
menelusuri kebohongan dari retina secoklat air rawa. Tidak ada dusta di sana. Hanya rahasia yang
terlampau dalam untuk diselam.
***
Senampan ketan berhias nanas merah yang dibentuk bagai kepala merak telah tersaji di
depan pelaminan yang berhias arguci. Di sekeliling ketan itu terselip daun pisang yang dilipat
kerucut. Lalu di atas ketan putih yang dimasak dengan santan berderet-deret irisan telur dadar tipis
membentuk gelombang. Kami menyebutnya lakatan hadap-hadap. Sajian wajib di hari pernikahan
perempuan Banjar.
Pada kiri dan kanan pelaminan berdiri kambang saraihiasan kertas berwarna-warni yang
dililit ke lidiyang ditancap pada vas kuningan. Kuning, merah, dan hijau menjadi warna
dominan. Kuning bermakna sakral, merah terselip makna kejujuran, sedangkan hijau berarti sejuk.
Itu kata pahiasanperias pengantin tradisional Banjaryang kini sedang berusaha menyematkan
kembang nagasari pada galung. Bunga ini istimewa, dikumpulkan oleh bapak dan dirangkai oleh
ibu.
Beruntungnya suamimu, jujuran sapambari tapi mendapat melati yang masih kuncup,
komentar pahiasan sembari mengangkat surai nagasari.
Memang ada apa dengan melati yang masih kuncup?
Perempuan jelmaan yang menuju senja itu menepuk kedua pundakku. Dia menunduk, kami
bertatapan sesaat di pantulan cermin meja rias yang dihadiahkan calon suamiku sebagai tanda
kesanggupannya memenuhi syarat antaran tikar kalambu; mengisi kamar mempelai wanita dari
teras hingga langit-langitnya.
Melati yang kuncup pertanda kau masih dara, bisiknya membuat rambut halus di sekujur
tengkukku meremang.
Mataku memicing tajam ke sudut dinding kamar. Di sana, foto pernikahan bapak dan ibu
terpajang, belum dipindahkan ketika pahiasan meminta kamar mereka menjadi kamar pengantin.
Sebab ukuran kamarku yang sempit untuk tukang rias dan perlengkapannya masuk. Mendadak
anganku berterbangan.
Melati pada surai nagasari ibu yang telah mekar, akta kelahiranku yang hanya memuat satu
nama orangtua, ibu yang lebih suka menyatukan kelopak bunga yang telah tercerabut dari kuntum,
bapak yang sering mengumpulkan bunga ranggas tapi sejujurnya lebih suka menumbuhkan taman
yang bisa ia makan. Aku sadar sekarang, mereka bukan selalu sepaham, melainkan hampir tak
pernah bercakap kecuali perihal anak. Adakah seluruhnya kembang barenteng ibu; rangkaian
bunga yang dibawa orang berduka pada pemakaman orang tercinta?

Anda mungkin juga menyukai