nasional perkawinan di indonesia menganut asas monogami namun asas monogami terbuka.
Syarat materiil mutlak : - perkawinan harus atas persetujuan calon suami dan istri (pasal 6 ayat (1))
SYARAT2 PERKAWINAN
b. berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping, yaitu antara saudara, antara
seorang saudara dengan saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara neneknya
c. berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu, dan ibu-bapak tiri
d. berhubungan sesusuan, yaitu orang tua susuan, anak susuan dan bibi susuan
e. berhubungan saudara dengan isteri atau sebagai bibi kemenakan dari isteri, dalam hal
f. yang mempunyai hubungan oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku sekarang
b. seorang yang masih terikat tali perkawinan dengan orang lain tidak dapat kawin lagi, kecuali
dalam hal yang tersebut dalam Pasal 3 ayat (2) dan Pasal 4 UU ini (Pasal UU No. 1 Tahun 1974)
c. apabila suami dan istri yang telah cerai kawin lagi satu dengan yang lain dan bercerai lagi utk
kedua kalinya, maka diantara mereka tidak boleh dilangsungkan perkawinan lagi, sepanjang bahwa
masing2 agamanya dan kepercayaannya itu dari yg bersangkutan tidak menentukan lain (pasal UU
No. 1 tahun 2004)
Syarat formal (diatur dalam pasal 3 sampai pasal 9 No. 9 tahun 1975), yang terdiri dari 3 tahap, yaitu:
Pencegahan perkawinan telah diatur dalam pasal 14 16 UU No. 1 Tahun 1974, yaitu :
1. Para keluarga dalam garis lurus ke atas dan ke bawah dari salah seorang calon mempelai
2. Saudara dari salah seorang calon mempelai
3. Wali nikah dari salah seorang calon mempelai
4. Wali dari salah seorang calon mempelai
5. Pengampu dari salah seorang calon mempelai
6. Pihak pihak yang berkepentingan
7. Suami atau isteri dari salah seorang calon mempelai
8. Pejabat yang ditunjuk
Adapun alasan alasan untuk dapat mengajukan permohonan pencegahan perkawinan, yaitu
apabila :
1. Calon mempelai pria berumur 19 tahun dan calon mempelai wanita belum berumur 16
tahun
2. Antara calon mempelai pria dan calon mempelai wanita mempunyai hubungan darah /
keluarga atau susunan yang tidak boleh kawin, yaitu :
a. Berhubungan darah dalam garis lurus ke bawah atau ke atas
b. Perhubungan darah dalam garis keturunan menyamping, yaitu antara saudara,
antara seorang dengan saudara orang tua dan antara seorang dengan neneknya
c. Berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu dan bapak / ibu tiri
d. Berhubungan susunan, yaitu orang tua susunan, anak susunan, saudara susunan,
dan bibi/paman susunan
e. Berhubungan saudara dengan isteri atau sebagai bibi atau kemenakan dari isteri,
dalam hal seorang suami beristeri lebih dari seorang
3. Calon mempelai masih terikat tali perkawinan
4. Antara calon mempelai pria dan calon mempelai wanita satu sama lain telah bercerai untuk
kedua kalinya, sedangkan agamanya dan kepercayaannya melarang kawin untuk ketiga
kalinya
5. Perkawinan yang dilangsungkan tidak memenuhi prosedur atau tata cara yang telah
ditentukan oleh PP No. 9 Tahun 1975
Dasar Hukum : Pasal 12 UU No.1 Tahun 1974 bahwa tata cara pelaksanaan perkawinan diatur dalam
perundang-undangan tersendiri.
Perundang-perundangan tersendiri yang diatur dalam Pasal 8 dan 10 PP No.9 Tahun 1975.
1. Perkawinan dilangsungkan setelah hari kesepuluh sejak pengumuman kehendak perkawinan oleh
Pegawai Pencatat Perkawinan yang dimaksud dalam Pasal 8 PP ini.
2. Tata cara perkawinan dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya
itu.
3. Dengan mengindahkan tata cara perkawinan menurut masing-masing hukum agamanya dan
kepercayaannya itu, perkawinan dilaksanakan di hadapan Pegawai Pencatat Perkawinan dan dihadiri
oleh dua orang saksi.
4. Sesaat setelah perkawinan dilangsungkan, akta perkawinan yang telah disiapkan oleh Pegawai
Pencatat Perkawinan lalu ditandatangani oleh:
a. Kedua mempelai.
d. Khusus bagi mereka yang melangsungkan perkawinan menurut agama Islam, akta perkawinan
harus ditandantangani oleh wali nikah atau yang mewakili
5. dengan ditandatanganinya akta perkawinan oleh pihak-pihak ditentukan dalam Pasal 11 ayat (2)
PP No.9 Tahun 1975, maka perkawinan ecara resmi sudah dicatat.
BAB V
Akibat Perkawinan
Perkawinan yang sah menurut hukum akan menimbulkan akibat hukum sebagai berikut;
Hak dan kewajiban antara suami isteri diatur dalam pasal 30 s.d pasal 34 UU No 1 Tahun 1974, yg
menetapkan:
1. suami isteri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang menjadi sendi
dasar susunan masyarakat
2. hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan
rumah tangga dan dalam pergaulan masyarakat
4. suami adalah kepala rumah tangga dan isteri ibu rumah tangga.
6. suami-isteri harus mempunyai tempat kediaman yang tetap dan tempat kediaman tersebut
ditentukan oleh suami-isteri bersama.
Akibat perkawinan yang menyangkut harta benda dalam perkawinan, diatur dalam pasal 35 s.d pasal
37 UU No. 1 tahun 1974, yg menetapkan sebagai berikut:
1.Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama, sedangkan harta bawaan
dari masing-masing suami dan isteri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah
atau warisan,adalah di bawah penguasaan masing-masing sepanjang tidak ditentukan lain oleh oleh
suami isteri. Untuk menentukan agar harta bawaan menjadi harta bersama, suami dan isteri
tersebut harus membuat perjanjian perkawinan. Perjanjian perkawinan harus dibuat secara tertulis
dan disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan sebelum atau pada saat perkawinan dilangsungkan.
Perjanjian kawin adalah perjanjian yang dibuat calon suami isteri untuk mengatur akibat-akibat
perkawinannya terhadap harta kekayaan mereka.
2. Mengenai Harta bersama, suami dan isteri dapat bertindak atas oersetujuan kedua belah pihak.
Sedangkan mengenai harta bawaan masign-masing, suami isteri mempunyai hak sepenuhnya untuk
melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya.
3. bila perkawinan putus karena perceraian,harta bersama diatur menurut hukumnya masing-
masing. (menurut penjelasan Pasal 37 UU No.1 Tahun 1974)
Pasal 45 sampai dengan pasal 49 UU No.1 Tahun 1974 mengatur mengenai hak dan kewajiban anak
dan orang tua.
PEMBATALAN PERKAWINAN
Pasal 22 UU No.1 Tahun 1974 mengatur menetapkan bahwa perkawinan dapat dibatalkan apabila
para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk melaksanakan perkawinan.
Pasal 23,24,26, dan 27 UU No. 1 Tahun 1974 mengatur siapa yang berhak mengajukan pembatalan
perkawinan.
1. Para keluarga dalam garis lurus ke atas dari suami atau isteri.
5. Jaksa.
7. Setiap orang yang mempunyai kepentingan hukum secara langsung terhadap perkawinan
tersebut, tetapi hanya setelah perkawinan itu putus.
POLIGAMI.
POLIGAMI HANYA DIPERUNTUKKAN BAGI MEREKA YANG BHUKUM DAN AGAMANYA MENGIZINKAN
SEORANG PRIA BERISTRI LEBIH DARI SEORANG. HAL INI DITEGASKAN DALAM PENJELASAN UMUM
UU NO.1 TAHUN 1974 PADA HURUF C YANG MENYATAKAN, BAHWA UNDANG-UNDANG INI
MENGANUT ASAS MONOGAMI. HANYA APABILA DIKEHENDAKI OLEH YANG BERSANGKUTAN
KARENA HUKUM DAN AGAMA DARI YANG BERSANGKUTAN MENGIZINKANNYA SEORANG PRIA
DAPAT BERISTRI LEBIH DARI SEORANG.
Alasan-alasan dan syarat-syarat Poligami.
PASAL 4 AYAT (1) UU 1 TAHUN 1974 J.O PASAL 41 HURUF A PP NO.9 TAHUN 1975 yaitu :
Alasan-alasan :
2. Isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan.
Syarat-syarat :
b. Adanya kepastian, bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup isteri-isteri dan anak-anak
mereka.
c. Adanya jaminan, bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anak mereka.
Pasal 38 UU No. 1 Tahun 1974, menentukan bahwa perkawinan dapat putus karena :
a. Kematian
b. Perceraian
Putusnya perkawinan karena kematian suami atau isteri, menimbulkan akibat hukum, terutama
berpindahnya semua hak dan kewajiban kepada ahli waris.
Putusnya perkawinan karena perceraian diatur dalam Pasal 39 sampai dengan Pasal 41 UU No. 1
Tahun 1974 jo. Pasal 14 sampai dengan Pasal 36 PP No. 9 Tahun 1975.
ALASAN PERCERAIAN
Untuk melakukan perceraian, menurut pasal 39 Ayat (2) UU No. 1 Tahun 1974, harus cukup alasan
bahwa antara suami isteri tersebut tidak akan hidup rukun sebagai suami isteri.
Alasan tersebut diatur dalam pasal 19 PP No. 9 Tahun 1975, yang menentukan bahwa perceraian
terjadi karena alasan atau alasan alasan :
a. salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan lain
sebagainya yang sukar disembuhkan.
b. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut turut
tanpa izin pihak lain dan atau tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar
kemampuan
c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang
lebih berat setelah perkawinan berlangsung
d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang
membahayakan pihak lain
e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan aakibat tidak
menjalankan kewajibannya sebagai suami / isteri
f. Antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan
tidak ada harapan akan hidup rukun dalam rumah tangga.
Gugatan perceraian dianggap terjadi beserta segala akibatnya menurut pasal 34 ayat (2) PP No. 9
Tahun 1975, yaitu:
1. putusan perceraian yang dijatuhkan oleh pengadilan negeri dianggap terjadi beserta segala akibat-
akibatnya terhitung sejak saat pendaftarannya pada daftar pencatatan perceraian kantor catatan
sipil oleh pegawai pencatat
2. putusan perceraian yang dijatuhkan oleh pengadilan agama, dianggap terjadi beserta segala
akibat-akibatnya terhitung sejak jatuhnya putusan pengadilan agama yang telah mempunyai
kekuatan hukum yg tetap.
Disamping hal di atas, atas permohonan penggugat atau tergugat, pengadilan dapat menentukan:
2. menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin pemeliharaan dan pendidikan suami
3. hal-hal yang perlu untuk menjamin terpeliharanya barang-barang yang menjadi hak bersama
suami isteri atau barang-barang yang menjadi hak isteri.
Akibat Perceraian
1. baik ibu maupun bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-
mata berdasarkan kepentingan anak, bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak,
pengadilan memberikan keputusannya.
2. bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemelliharaan dan pendidikkan yang diperlukan
anak itu, bilamana bapak dalam kenyataan tidak dapat memberi kewajiban tersebut, pengadilan
dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut.
3. pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan
dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas isteri
Bab XI
Perwalian
Perwaliana, menurut UU No.1 Tahun 1974 diatur dalam Pasal 50 s.d Pasal 54
Anak yang berada di bawah kekuasaan wali yaitu, anak yang belum mencapai umur 18 tahun atau
belum pernah kawin (sebelum berusia 18 tahun)dan yang tidak berada di bawah kekuasaan orang
tua. Perwalian itu meliputi pribadi dan harta benda si anak
Wali berkewajiban:
1. menngurus anak yang berada di bawah penguasaannya dan harta bendanya sebaik-baiknya
dengan menghormati agama dan kepercayaan anak itu
2. membuat daftar harta benda anak yang berada di bawah kekuasaannya pada waktu memulai
jabatannya dan mencatat semua perubahan-perubahan harta benda anak atau anak-anak itu
3. bertanggung jawab terhadap harta benda anak yang berada di bawah perwaliannya serta
kerugian yang ditimbulkan karena kesalahan atau kelalaiannya,