Anda di halaman 1dari 7

Asas asas dasar perkawinan di indonesia adalah uu no 1 tahun 1974 yang pada intinya hukum

nasional perkawinan di indonesia menganut asas monogami namun asas monogami terbuka.

Syarat materiil terbagi menjadi dua yaitu :

Syarat materiil mutlak : - perkawinan harus atas persetujuan calon suami dan istri (pasal 6 ayat (1))

- Seseorang yang belum memenuhi umur 21 tahun harus mendapat izin


kedua orang tua nya (pasal 6 ayat (2))
- Perkawinan diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur19 tahun dan
pihak wanita sudah mencapai umur 16 tahun (pasal 7 (1))
- Bagi wanita yg putus perkawinannya berlaku waktu tunggu (pasal 11 uu
no 1 tahun 1974 jo. Pasal 39 pp no 9 tahun 75)

SYARAT2 PERKAWINAN

Syarat materiil relatif :

a. perkawinan dilarang antara dua yang :

a. berhubungan darah dalam garis keturunan ke bawah atau ke atas

b. berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping, yaitu antara saudara, antara

seorang saudara dengan saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara neneknya

c. berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu, dan ibu-bapak tiri

d. berhubungan sesusuan, yaitu orang tua susuan, anak susuan dan bibi susuan

e. berhubungan saudara dengan isteri atau sebagai bibi kemenakan dari isteri, dalam hal

seorang suami beristeri lebih dari satu orang

f. yang mempunyai hubungan oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku sekarang

(pasal 8 UU No. 1 Tahun 1974)

b. seorang yang masih terikat tali perkawinan dengan orang lain tidak dapat kawin lagi, kecuali
dalam hal yang tersebut dalam Pasal 3 ayat (2) dan Pasal 4 UU ini (Pasal UU No. 1 Tahun 1974)

c. apabila suami dan istri yang telah cerai kawin lagi satu dengan yang lain dan bercerai lagi utk
kedua kalinya, maka diantara mereka tidak boleh dilangsungkan perkawinan lagi, sepanjang bahwa
masing2 agamanya dan kepercayaannya itu dari yg bersangkutan tidak menentukan lain (pasal UU
No. 1 tahun 2004)

Syarat formal (diatur dalam pasal 3 sampai pasal 9 No. 9 tahun 1975), yang terdiri dari 3 tahap, yaitu:

1. Pemberitahuan kepada Pegawai Pencatat Perkawinan

2. Penelitian syarat syarat perkawinan

3. Pengumuman tentang pemberitahuan untuk melangsungkan perkawinan


PENCEGAHAN PERKAWINAN

Pencegahan perkawinan telah diatur dalam pasal 14 16 UU No. 1 Tahun 1974, yaitu :

1. Para keluarga dalam garis lurus ke atas dan ke bawah dari salah seorang calon mempelai
2. Saudara dari salah seorang calon mempelai
3. Wali nikah dari salah seorang calon mempelai
4. Wali dari salah seorang calon mempelai
5. Pengampu dari salah seorang calon mempelai
6. Pihak pihak yang berkepentingan
7. Suami atau isteri dari salah seorang calon mempelai
8. Pejabat yang ditunjuk

Adapun alasan alasan untuk dapat mengajukan permohonan pencegahan perkawinan, yaitu
apabila :

1. Calon mempelai pria berumur 19 tahun dan calon mempelai wanita belum berumur 16
tahun
2. Antara calon mempelai pria dan calon mempelai wanita mempunyai hubungan darah /
keluarga atau susunan yang tidak boleh kawin, yaitu :
a. Berhubungan darah dalam garis lurus ke bawah atau ke atas
b. Perhubungan darah dalam garis keturunan menyamping, yaitu antara saudara,
antara seorang dengan saudara orang tua dan antara seorang dengan neneknya
c. Berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu dan bapak / ibu tiri
d. Berhubungan susunan, yaitu orang tua susunan, anak susunan, saudara susunan,
dan bibi/paman susunan
e. Berhubungan saudara dengan isteri atau sebagai bibi atau kemenakan dari isteri,
dalam hal seorang suami beristeri lebih dari seorang
3. Calon mempelai masih terikat tali perkawinan
4. Antara calon mempelai pria dan calon mempelai wanita satu sama lain telah bercerai untuk
kedua kalinya, sedangkan agamanya dan kepercayaannya melarang kawin untuk ketiga
kalinya
5. Perkawinan yang dilangsungkan tidak memenuhi prosedur atau tata cara yang telah
ditentukan oleh PP No. 9 Tahun 1975

TATA CARA PERKAWINAN

Dasar Hukum : Pasal 12 UU No.1 Tahun 1974 bahwa tata cara pelaksanaan perkawinan diatur dalam
perundang-undangan tersendiri.

Perundang-perundangan tersendiri yang diatur dalam Pasal 8 dan 10 PP No.9 Tahun 1975.

1. Perkawinan dilangsungkan setelah hari kesepuluh sejak pengumuman kehendak perkawinan oleh
Pegawai Pencatat Perkawinan yang dimaksud dalam Pasal 8 PP ini.

2. Tata cara perkawinan dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya
itu.

3. Dengan mengindahkan tata cara perkawinan menurut masing-masing hukum agamanya dan
kepercayaannya itu, perkawinan dilaksanakan di hadapan Pegawai Pencatat Perkawinan dan dihadiri
oleh dua orang saksi.
4. Sesaat setelah perkawinan dilangsungkan, akta perkawinan yang telah disiapkan oleh Pegawai
Pencatat Perkawinan lalu ditandatangani oleh:

a. Kedua mempelai.

b. Kedua orang saksi yang menghadiri berlangsungnya perkawinan itu.

c. Pegawai Pencatat Perkawinan.

d. Khusus bagi mereka yang melangsungkan perkawinan menurut agama Islam, akta perkawinan
harus ditandantangani oleh wali nikah atau yang mewakili

5. dengan ditandatanganinya akta perkawinan oleh pihak-pihak ditentukan dalam Pasal 11 ayat (2)
PP No.9 Tahun 1975, maka perkawinan ecara resmi sudah dicatat.

BAB V

Akibat Perkawinan

Perkawinan yang sah menurut hukum akan menimbulkan akibat hukum sebagai berikut;

1. TIMBULNYA HUBUNGAN ANTARA SUAMI ISTERI

2. TIMBULNYA HARTA BENDA DALAM PERKAWINAN

3. TIMBULNYA HUBUNGAN ANTARA ORANG TUA DENGAN ANAK

Hak dan kewajiban antara suami isteri diatur dalam pasal 30 s.d pasal 34 UU No 1 Tahun 1974, yg
menetapkan:

1. suami isteri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang menjadi sendi
dasar susunan masyarakat

2. hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan
rumah tangga dan dalam pergaulan masyarakat

3. suami-isteri berhak melakukan perbuatan hukum

4. suami adalah kepala rumah tangga dan isteri ibu rumah tangga.

5. suami-isteri wajib saling cinta-mencintai, hormat-menghormati, setia menyetiai dan memberi


bantuan lahir batin satu kepada yang lain

6. suami-isteri harus mempunyai tempat kediaman yang tetap dan tempat kediaman tersebut
ditentukan oleh suami-isteri bersama.

Akibat perkawinan yang menyangkut harta benda dalam perkawinan, diatur dalam pasal 35 s.d pasal
37 UU No. 1 tahun 1974, yg menetapkan sebagai berikut:
1.Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama, sedangkan harta bawaan
dari masing-masing suami dan isteri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah
atau warisan,adalah di bawah penguasaan masing-masing sepanjang tidak ditentukan lain oleh oleh
suami isteri. Untuk menentukan agar harta bawaan menjadi harta bersama, suami dan isteri
tersebut harus membuat perjanjian perkawinan. Perjanjian perkawinan harus dibuat secara tertulis
dan disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan sebelum atau pada saat perkawinan dilangsungkan.

Perjanjian kawin adalah perjanjian yang dibuat calon suami isteri untuk mengatur akibat-akibat
perkawinannya terhadap harta kekayaan mereka.

Perjanjian kawin diatur dalam pasal 29 uu no 1 tahun 1974.

2. Mengenai Harta bersama, suami dan isteri dapat bertindak atas oersetujuan kedua belah pihak.
Sedangkan mengenai harta bawaan masign-masing, suami isteri mempunyai hak sepenuhnya untuk
melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya.

3. bila perkawinan putus karena perceraian,harta bersama diatur menurut hukumnya masing-
masing. (menurut penjelasan Pasal 37 UU No.1 Tahun 1974)

Pasal 45 sampai dengan pasal 49 UU No.1 Tahun 1974 mengatur mengenai hak dan kewajiban anak
dan orang tua.

PEMBATALAN PERKAWINAN

Pasal 22 UU No.1 Tahun 1974 mengatur menetapkan bahwa perkawinan dapat dibatalkan apabila
para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk melaksanakan perkawinan.

Pasal 23,24,26, dan 27 UU No. 1 Tahun 1974 mengatur siapa yang berhak mengajukan pembatalan
perkawinan.

1. Para keluarga dalam garis lurus ke atas dari suami atau isteri.

2. Suami dan isteri.

3. Pejabat yang berwenang.

4. Pejabat yang ditunjuk.

5. Jaksa.

6. Suami atau Isteri yang melangsungkan perkawinan.

7. Setiap orang yang mempunyai kepentingan hukum secara langsung terhadap perkawinan
tersebut, tetapi hanya setelah perkawinan itu putus.

POLIGAMI.

Dalam UU No.1 Tahun 1974 dan Peraturan Pelaksanaannya ditentukan bahwa :

POLIGAMI HANYA DIPERUNTUKKAN BAGI MEREKA YANG BHUKUM DAN AGAMANYA MENGIZINKAN
SEORANG PRIA BERISTRI LEBIH DARI SEORANG. HAL INI DITEGASKAN DALAM PENJELASAN UMUM
UU NO.1 TAHUN 1974 PADA HURUF C YANG MENYATAKAN, BAHWA UNDANG-UNDANG INI
MENGANUT ASAS MONOGAMI. HANYA APABILA DIKEHENDAKI OLEH YANG BERSANGKUTAN
KARENA HUKUM DAN AGAMA DARI YANG BERSANGKUTAN MENGIZINKANNYA SEORANG PRIA
DAPAT BERISTRI LEBIH DARI SEORANG.
Alasan-alasan dan syarat-syarat Poligami.

PASAL 4 AYAT (1) UU 1 TAHUN 1974 J.O PASAL 41 HURUF A PP NO.9 TAHUN 1975 yaitu :

Alasan-alasan :

1. Isteri tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai isteri.

2. Isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan.

3. Isteri tidak dapat melahirkan keturunan.

Syarat-syarat :

Pasal 5 ayat (1) UU No.1 Tahun 1974.

a. Ada persetujuan dari isteri/ isteri-isteri.

b. Adanya kepastian, bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup isteri-isteri dan anak-anak
mereka.

c. Adanya jaminan, bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anak mereka.

PUTUSNYA PERKAWINAN DAN AKIBATNYA

Pasal 38 UU No. 1 Tahun 1974, menentukan bahwa perkawinan dapat putus karena :

a. Kematian

b. Perceraian

c. Atas keputusan pengadilan

Putusnya perkawinan karena kematian suami atau isteri, menimbulkan akibat hukum, terutama
berpindahnya semua hak dan kewajiban kepada ahli waris.

Putusnya perkawinan karena perceraian diatur dalam Pasal 39 sampai dengan Pasal 41 UU No. 1
Tahun 1974 jo. Pasal 14 sampai dengan Pasal 36 PP No. 9 Tahun 1975.

ALASAN PERCERAIAN

Untuk melakukan perceraian, menurut pasal 39 Ayat (2) UU No. 1 Tahun 1974, harus cukup alasan
bahwa antara suami isteri tersebut tidak akan hidup rukun sebagai suami isteri.

Alasan tersebut diatur dalam pasal 19 PP No. 9 Tahun 1975, yang menentukan bahwa perceraian
terjadi karena alasan atau alasan alasan :

a. salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan lain
sebagainya yang sukar disembuhkan.
b. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut turut
tanpa izin pihak lain dan atau tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar
kemampuan
c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang
lebih berat setelah perkawinan berlangsung
d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang
membahayakan pihak lain
e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan aakibat tidak
menjalankan kewajibannya sebagai suami / isteri
f. Antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan
tidak ada harapan akan hidup rukun dalam rumah tangga.

Gugatan perceraian dianggap terjadi beserta segala akibatnya menurut pasal 34 ayat (2) PP No. 9
Tahun 1975, yaitu:

1. putusan perceraian yang dijatuhkan oleh pengadilan negeri dianggap terjadi beserta segala akibat-
akibatnya terhitung sejak saat pendaftarannya pada daftar pencatatan perceraian kantor catatan
sipil oleh pegawai pencatat

2. putusan perceraian yang dijatuhkan oleh pengadilan agama, dianggap terjadi beserta segala
akibat-akibatnya terhitung sejak jatuhnya putusan pengadilan agama yang telah mempunyai
kekuatan hukum yg tetap.

Disamping hal di atas, atas permohonan penggugat atau tergugat, pengadilan dapat menentukan:

1. nafkah yang harus ditanggung suami

2. menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin pemeliharaan dan pendidikan suami

3. hal-hal yang perlu untuk menjamin terpeliharanya barang-barang yang menjadi hak bersama
suami isteri atau barang-barang yang menjadi hak isteri.

Akibat Perceraian

Diatur dalam Pasal 41 UU No. 1 Tahun 1974, yg menentukan sebagai berikut:

1. baik ibu maupun bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-
mata berdasarkan kepentingan anak, bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak,
pengadilan memberikan keputusannya.

2. bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemelliharaan dan pendidikkan yang diperlukan
anak itu, bilamana bapak dalam kenyataan tidak dapat memberi kewajiban tersebut, pengadilan
dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut.

3. pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan
dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas isteri

Bab XI

Perwalian

Perwaliana, menurut UU No.1 Tahun 1974 diatur dalam Pasal 50 s.d Pasal 54
Anak yang berada di bawah kekuasaan wali yaitu, anak yang belum mencapai umur 18 tahun atau
belum pernah kawin (sebelum berusia 18 tahun)dan yang tidak berada di bawah kekuasaan orang
tua. Perwalian itu meliputi pribadi dan harta benda si anak

Wali berkewajiban:

1. menngurus anak yang berada di bawah penguasaannya dan harta bendanya sebaik-baiknya
dengan menghormati agama dan kepercayaan anak itu

2. membuat daftar harta benda anak yang berada di bawah kekuasaannya pada waktu memulai
jabatannya dan mencatat semua perubahan-perubahan harta benda anak atau anak-anak itu

3. bertanggung jawab terhadap harta benda anak yang berada di bawah perwaliannya serta
kerugian yang ditimbulkan karena kesalahan atau kelalaiannya,

Kemudian dengan alasan:

1. ia sangat melalaikan kewajibannya terhadap anaknya;

2. ia berkelakuan buruk sekali;

Perwalian dapat dicabut dengan putusan pengadilan.

Tentunya putusan pengadilan tersebut atas permintaan

1. keluarga anak dalam garis lurus keatas

2. saudara kandung yang telah dewasa

3. pejabat yang berwenang.

Anda mungkin juga menyukai