Anda di halaman 1dari 9

TUGAS AGAMA ISLAM

TIGA DATUK PENYEBAR ISLAM DI


SULAWESI SELATAN

NAMA : INTAN PERMATA SARI

KELAS : XII IPA 3

SMA NEGERI 2 MASAMBA


TAHUN PELAJARAN 2015-2016
TIGA DATUK PENYEBAR ISLAM DI
SULAWESI SELATAN

Sejarah masuknya Islam di Sulawesi Selatan hampir pasti selalu dikaitkan


dengan datangnya tiga ulama dari Minangkabau; Datuk ri Bandang, Datuk ri Tiro
dan Datuk ri Patimang. Ini dapat dimaklumi karena titik pijaknya adalah ketika
Islam secara resmi diakui sebagai agama negara oleh kerajaan Gowa. Kalau ini
dijadikan dasar pijakan, maka Islam datang ke Sulawesi Selatan pada tahun 1605
setelah kedatangan tiga orang ulama tersebut.
Tetapi kalau titik pijaknya adalah kedatangan para sayyid atau cucu turunan
dari nabi maka jejak-jejak keislaman di Sulawesi Selatan sudah ada jauh sebelum
itu yaitu pada tahun 1320 dengan kedatangan sayyid pertama di Sulawesi Selatan
yakni Sayyid Jamaluddin al-Akbar Al-Husaini.
Siapa Jamaluddin al-Akbar al-Husaini? Dia adalah cucu turunan nabi atau ahl
al-bayt yang pertama kali datang ke Sulawesi Selatan. Dia juga merupakan kakek
kandung dari empat ulama penyebar Islam di Jawa yang lebih dikenal dengan
wali songo yaitu Sayyid Maulana Malik Ibrahim, Sayyid Ainul Yaqin atau Sunan
Giri, Sayyid Raden Rahmatullah atau Sunan Ampel dan Syarif Hidayatullah atau
Sunan Gunung Jati.
Rakyat Sulawesi Selatan sudah lama berhubungan dengan Islam sebelum
Islam menjadi agama di wilayah itu. Para pelaut dan pedagang Bugis dan
Makassar berhubungan dengan masyarakat dagang yang kebanyakan Islam di
daerah pantai utara dan barat jawa serta sepanjang Selat Malaka, Ternate di
Maluku (yang mengadakan perjanjian persahabatan Kerajaan Gowa). Suatu
masyarakat Melayu Islam telah bermukim di Kota Makassar sejak pertengahan
abad (16) keenam belas, dan Raja Goa menyambut kehadiran mereka dengan
membangun sebuah masjid untuk mereka. Tetapi, daerah itu diislamkan hanya
setelah Raja Gowa sendiri, beserta para penasihat terdekatnya memeluk agama
Islam pada tahun 1605.
Kerajaan-kerajaan yang keras kepala itu ditaklukkan, Soppeng pada tahun
1609, Wajo tahun 1610 dan Bone tahun 1611 dan dinyatakan masuk Islam

1. Datuk Patimang
Datuk Patimang yang bernama asli Datuk Sulaiman dan bergelar Khatib
Sulung adalah seorang ulama dari Koto Tangah, Minangkabau yang menyebarkan
agama Islam ke Kerajaan Luwu, Sulawesi sejak kedatangannya pada tahun 1593
atau penghujung abad ke-16 hingga akhir hayatnya. Dia bersama dua orang
saudaranya yang juga ulama, yaitu Datuk ri Bandang yang bernama asli Abdul
Makmur dengan gelar Khatib Tunggal dan Datuk ri Tiro yang bernama asli Nurdin
Ariyani dengan gelar Khatib Bungsu menyebarkan agama Islam ke kerajaan-
kerajaan yang ada di Sulawesi Selatan pada masa itu.

Mereka menyebarkan agama Islam dengan cara membagi wilayah syiar


mereka berdasarkan keahlian yang mereka miliki dan kondisi serta budaya
masyarakat Sulawesi Selatan atau Bugis/Makassar ketika itu. Datuk Patimang
yang ahli tentang tauhid melakukan syiar Islam di Kerajaan Luwu, sedangkan
Datuk ri Bandang yang ahli fikih di Kerajaan Gowa dan Tallo sementara Datuk ri
Tiro yang ahlitasawuf di daerah Tiro dan Bulukumba.

Pada awalnya Datuk Patimang dan Datuk ri Bandang melaksanakan syiar


Islam di wilayah Kerajaan Luwu, sehingga menjadikan kerajaan itu sebagai
kerajaan pertama di Sulawesi Selatan, Tengah dan Tenggara yang menganut
agama Islam. Kerajaan Luwu merupakan kerajaan tertua di Sulawesi Selatan
dengan wilayah yang meliputi Luwu, Luwu Utara, Luwu Timur serta Kota
Palopo, Tana Toraja, Kolaka (Sulawesi Tenggara) hingga Poso (Sulawesi Tengah).

Seperti umumnya budaya dan tradisi masyarakat nusantara pada masa itu,
masyarakat Luwu juga masih menganut kepercayaan animisme/dinamisme yang
banyak diwarnai hal-hal mistik dan menyembah dewa-dewa. Namun dengan
pendekatan dan metode yang sesuai, syiar Islam yang dilakukan Datuk Patimang
dan Datuk ri Bandang dapat diterima Raja Luwu dan masyarakatnya. Bermula
dari masuk Islam-nya seorang petinggi kerajaan yang bernama Tandi Pau, lalu
berlanjut dengan masuk Islam-nya raja Luwu yang bernama Datu' La Pattiware
Daeng Parabung pada 4-5 Februari 1605, beserta seluruh pejabat istananya
setelah melalui dialog yang panjang antara sang ulama dan raja tentang segala
aspek agama baru yang dibawa itu. Setelah itu agama Islam-pun dijadikan agama
kerajaan dan hukum-hukum yang ada dalam Islam-pun dijadikan sumber hukum
bagi kerajaan.

Setelah Raja Luwu dan keluarganya beserta seluruh pejabat istana masuk
Islam, Datuk Patimang tetap tinggal di Kerajaan Luwu dan meneruskan syiar
Islamnya ke rakyat Luwu, Suppa, Soppeng, Wajo dan lain-lain yang masih banyak
belum masuk Islam. Dikemudian hari sang penyebar Islam itu-pun akhirnya
wafat dan dimakamkan di Desa Patimang, Luwu.

Sementara itu Datuk ri Bandang pergi dari kerajaan Luwu menuju wilayah
lain di Sulawesi Selatan dan kemudian menetap di Makassar sambil melakukan
syiar Islam di Gowa,Takalar, Jeneponto, Bantaeng, lalu dikemudian hari sang
ulama itu-pun akhirnya wafat di wilayah Tallo. Sedangkan Datuk ri Tiro yang ahli
tasawuf melakukan syiar Islam di wilayah selatan, yaitu Tiro, Bulukumba,
Bantaeng dan Tanete, yang masyarakatnya masih kuat memegang budaya sihir
dan mantera-mantera. Khatib Bungsu atau Datuk ri Tiro yang kemudian berhasil
mengajak raja Karaeng Tiro masuk Islam dikemudian hari juga wafat dan
dimakamkan di Tiro atau sekarang Bontotiro.

2. Datuk Ri Bandang
Datuk Ri Bandang yang bernama asli Abdul Makmur dengan gelar Khatib
Tunggal adalah seorang ulama dari Koto Tangah,Minangkabau yang
menyebarkan agama Islam ke kerajaan-kerajaan di wilayah timur nusantara,
yaitu Kerajaan Luwu, Kerajaan Gowa, Kerajaan Tallo dan Kerajaan
Gantarang (Sulawesi) serta Kerajaan Kutai (Kalimantan) dan Kerajaan
Bima (Nusa Tenggara). Datuk ri Bandang bersama dua orang saudaranya yang
juga ulama, yaitu Datuk Patimang yang bernama asli Datuk Sulaiman dengan
gelar Khatib Sulung dan Datuk Ri Tiro yang bernama asli Nurdin Ariyani dengan
gelar Khatib Bungsu dan seorang temannya,Tuan Tunggang
Parangan melaksanakan syiar Islam sejak kedatangannya pada penghujung abad
ke-16 hingga akhir hayatnya ke kerajaan-kerajaan yang ada di timur nusantara
pada masa itu.

Pada awalnya, Datuk ri Bandang berdakwah di Makassar (Kerajaan Gowa,


Sulawesi), tapi karena situasi masyarakat yang belum memungkinkan dia pergi
ke Kutai (Kerajaan Kutai, Kalimantan), dan melaksanakan syiar Islam bersama
temannya, Tuan Tunggang Parangan di kerajaan tersebut. Namun akhirnya dia
kembali lagi ke Gowa karena melihat kondisi yang juga belum kondusif.
Temannya, Tuan Tunggang Parangan tetap bertahan di Kutai, dan akhirnya
berhasil mengajak Raja Kutai (Raja Mahkota) beserta seluruh petinggi kerajaan
masuk Islam.

Setelah kembali lagi ke Makassar, Datuk ri Bandang bersama dua


saudaranya Datuk Patimang dan Datuk ri Tiro menyebarkan agama Islam dengan
cara membagi wilayah syiar mereka berdasarkan keahlian yang mereka miliki
dan kondisi serta budaya masyarakat Sulawesi Selatan atau Bugis/Makassar
ketika itu. Datuk ri Bandang yang ahli fikih berdakwah di Kerajaan Gowa dan
Tallo, sedangkan Datuk Patimang yang ahli tentang tauhid melakukan syiar Islam
di Kerajaan Luwu, sementara Datuk ri Tiro yang ahli tasawuf di daerah Tiro dan
Bulukumba.

Pada mulanya Datuk ri Bandang bersama Datuk Patimang melaksanakan syiar


Islam di wilayah Kerajaan Luwu, sehingga menjadikan kerajaan itu sebagai
kerajaan pertama di Sulawesi Selatan, Tengah dan Tenggara yang menganut
agama Islam. Kerajaan Luwu merupakan kerajaan tertua di Sulawesi Selatan
dengan wilayah yang meliputi Luwu, Luwu Utara, Luwu Timur serta Kota Palopo,
Tana Toraja, Kolaka (Sulawesi Tenggara) hingga Poso (Sulawesi Tengah).

Dengan pendekatan dan metode yang sesuai, syiar Islam yang dilakukan
Datuk ri Bandang dan Datuk Patimang dapat diterima Raja Luwu dan
masyarakatnya. Bermula dari masuk Islam-nya seorang petinggi kerajaan yang
bernama Tandi Pau, lalu berlanjut dengan masuk Islam-nya raja Luwu yang
bernama Datu' La Pattiware Daeng Parabung pada 4-5 Februari 1605, beserta
seluruh pejabat istananya setelah melalui dialog yang panjang antara sang ulama
dan raja tentang segala aspek agama baru yang dibawa itu. Setelah itu agama
Islam-pun dijadikan agama kerajaan dan hukum-hukum yang ada dalam Islam-
pun dijadikan sumber hukum bagi kerajaan.

Datuk Ri Bandang merupakan ulama yang pertama kali memperkenalkan


orang Makassar dengan Islam. Pada sejumlah literatur disebutkan, Datuk Ri B
andang, Datuk Patimang dan Datuk Tiro menyebarkan Islam di daerah berbeda di
Sulawesi Selatan.

Datuk Patimang lebih banyak menyebarkan Islam di daerah Suppa, Soppeng,


Wajo dan Luwu, sedangkan Datuk Tiro lebih banyak menyebarkan Islam di
selatan Sulawesi meliputi Bantaeng dan Bulukumba. Datuk Patimang wafat dan
dimakamkan di Luwu, sedangkan Datuk Tiro wafat dan dimakamkan di Tiro,
Bulukumba. Datuk Ri Bandang disebutkan berperan memperkenalkan ajaran
Islam kepada Raja Tallo dan Raja Gowa di awal abad ke 17.

Berkat pengaruhnya, Malingkaan Daeng Manynyonri yang juga Raja Tallo


XV,bersedia memeluk Islam. Dia merupakan orang pertama di Sulsel yang
memeluk Islam melalui pengaruh Datuk Ribandang. Oleh karena itu pula
Kerajaan Tallo sering disebut-sebut sebagai pintu pertama Islam di daerah ini.
Penerimaan Islam secara resmi oleh Raja Tallo ini terjadi pada malam Jumat 9
Jumadil Awal 1014 H /atau 22 September 1605 M.

Setelah Raja Tallo memeluk Islam, menyusul Raja Gowa XIV Sultan Alauddin
yang mengucapkan dua kalimat syahadat. Setelah proses pengislaman
berlangsung di kalangan istana, Raja Gowa kemudian secara resmi
mengumumkan bahwa Kerajaan Gowa dan seluruh daerah kekuasaannya resmi
beragama Islam. Sejak saat itu pula, Datuk Ribandang diberi keleluasaan untuk
mengajarkan Islam kepada rakyat Gowa-Tallo.

Sebelum masuknya agama Islam di Sulsel, masyarakat masih menganut


kepercayaan animisme. Setelah memeluk Islam, Sultan Alauddin juga berusaha
menyebarkan Islam ke kerajaan tetangganya. Kerajaankerajaan yang berhasil
diislamkan antara lain, Kerajaan Soppeng (1607), Wajo (1610), dan Bone (1611).
Sultan Alauddin bahkan masih melanjutkan penyebaran Islam ke Buton, Dompu
(Sumbawa), dan Kengkelu (Tambora, Sumbawa).Wafat[sunting | sunting sumber]
Setelah Raja Luwu dan keluarganya beserta seluruh pejabat istana masuk
Islam, Datuk ri Bandang pergi dari Kerajaan Luwu menuju wilayah lain di
Sulawesi Selatan dan kemudian menetap di Makassar sambil melakukan syiar
Islam di Gowa, Takalar, Jeneponto, Bantaeng. Dakwah Islam yang dilaksanakan
Datuk ri Bandang akhirnya juga berhasil mengajak Raja Gowa, I Manga'rangi
Daeng Manrabia dan Raja Tallo, I Malingkang Daeng Manyonri beserta rakyatnya
masuk Islam. Dikemudian hari sang ulama itu-pun akhirnya wafat dan
dimakamkan di wilayah Tallo.

Sementara itu Datuk Patimang menetap di Kerajaan Luwu dan meneruskan


syiar Islamnya ke rakyat Luwu, Suppa, Soppeng, Wajo dan lain-lain yang masih
banyak belum masuk Islam. Dikemudian hari sang penyebar Islam itu-pun
akhirnya wafat dan dimakamkan di Desa Patimang, Luwu. Sedangkan Datuk ri
Tiro melakukan syiar Islam di wilayah selatan, yaitu Tiro, Bulukumba, Bantaeng
dan Tanete, yang masyarakatnya masih kuat memegang budaya sihir dan
mantera-mantera. Datuk ri Tiro yang kemudian berhasil mengajak raja Karaeng
Tiro masuk Islam dikemudian hari juga wafat dan dimakamkan di Tiro atau
sekarang Bontotiro.

3. Datuk Ri Tiro
Datuk ri Tiro yang bernama asli Nurdin Ariyani/Abdul Jawad dengan gelar
Khatib Bungsu adalah seorang ulama dari Koto Tangah,Minangkabau yang
menyebarkan agama Islam ke kerajaan-kerajaan di Sulawesi Selatan serta
Kerajaan Bima di Nusa Tenggarasejak kedatangannya pada penghujung abad ke-
16 hingga akhir hayatnya. Dia bersama dua orang saudaranya yang juga ulama,
yaitu Datuk Patimang yang bernama asli Datuk Sulaiman dan bergelar Khatib
Sulung serta Datuk ri Bandang yang bernama asli Abdul Makmur dengan gelar
Khatib Tunggal menyebarkan agama Islam ke kerajaan-kerajaan yang ada di
wilayah timur nusantara pada masa itu.

Dato Patimang menyebarkan Islam di daerah utara (Suppa, Soppeng, Luwu),


Dato ri Bandang menyebarkan Islam di daerah tengah (Gowa, Takalar, Jeneponto
dan Bantaeng), kemudian Dato ri Tiro menyebarkan Islam di daerah selatan
(Bulukumba dan sekitarnya). Setiap orang ini kemudian menyebarkan Islam
dengan metode masing-masing yang disesuaikan dengan budaya setempat. Dato
ri Tiro, sesuai dengan budaya di bagian selatan ini, kemudian menyebarkan Islam
yang lebih bercorak tasawuf. Dalam penerapannya, beliau tidak terlalu
mementingkan keteraturan syariat. Salah satu ajaran beliau yang terkenal adalah
"dalam menyusun lima telur, yang pertama diletakkan tidak selalu yang
menempati urutan pertama". Artinya, penerapan lima rukun Islam tidak lah
harus berurutan mulai dari syahadat sampai haji. Setiap kita boleh memilih apa
yang kita rasa lebih memudahkan. Puasa, jika pun dirasakan lebih mudah
daripada shalat, dapat dilakukan terlebih dahulu, demikian pula dengan syariat-
syariat yang lain. Perlu disampaikan pula bahwa masyarakat daerah ini sangat
kuat memegang kepercayaan dinamisme, dan banyak memiliki kesaktian dan
jampi-jampi yang mujarab. Menurut kisah yang diteruskan secara turun temurun,
Dato ri Tiro memilih daerah Bontotiro pesisir sebagai pusat penyebaran agama
Islam. Daerah ini adalah daerah tandus dan berbatu. Beliau kemudian mencari
sumber air (karena ternyata daerah ini dialiri oleh sungai bawah tanah dengan
kapasitas yang besar), dengan menancapkan tongkat beliau pada batu dan
memancarlah air. Sumber air ini kemudian menganak-sungai, yang kemudian
disebut dengan Sungai Salsabila, mengambil nama salah satu sungai yang
terdapat di Surga. Setelah mendapatkan kepercayaan dari seluruh masyarakat di
Bontotiro melalui "keajaiban" yang ditampilkannya, beliau kemudian menghadap
pada Karaeng Tiro, raja yang berkuasa di daerah ini dengan maksud
mengislamkan sang raja. Tapi karena Karaeng Tiro dalam keadaan sakaratul
maut, maka Dato ri Tiro langsung menuntun sang raja untuk mengucapkan dua
kalimat syahadat. Dalam tiga kali percobaan pengucapan, Karaeng Tiro selalu
salah mengucap; "Asyhadu allaa hila hila hilaa", dan baru pada pengucapan
keempat beliau dapat melafazkannya dengan benar. Karena peristiwa ini, dusun
tempat tinggal Karaeng Tiro kemudian dinamakan Dusun Hila-Hila. Sampai akhir
hayatnya, Dato ri Tiro menghabiskan hidup beliau di dusun ini. Dato ri Tiro
kemudian melanjutkan dakwahnya menuju daerah Kajang. Daerah ini adalah
daerah adat yang diperintah oleh Ammatoa. Daerah ini adalah daerah yang paling
kuat memegang adat, bahkan hingga hari ini. Mirip-mirip suku Badui di Banten,
para penduduk daerah ini menggunakan pakaian hitam-hitam dan tidak
mengijinkan perkembangan teknologi memasuki daerah mereka. Pada proses
dakwahnya, Dato ri Tiro kemudian berhasil mengislamkan daerah ini. Tapi
karena proses yang belum selesai, ada beberapa kesalahpahaman yang timbul.
Salah satunya adalah kepercayaan penduduk Kajang bahwa Al-Qur'an diturunkan
pertama kali di daerah ini, karena Dato ri Tiro membawa Kitab Suci Al-Qur'an ke
daerah ini pada saat proses dakwah berlangsung. Hal lainnya adalah falsafah sufi
yang mereka pegang kuat; "Sambayang tamma tappu, je'ne tamma luka", yang
artinya "Shalat yang tak pernah putus, wudhu yang tak pernah batal". Hal ini
mengisyaratkan penguasaan hakikat shalat dan wudhu yang mensyaratkan
kondisi suci lahir-batin serta menyebarkan kebaikan kepada seluruh alam
semesta. Puasa Ramadhan yang mereka jalani pun cuma tiga hari; awal,
pertengahan dan akhir ramadhan saja. Hal ini dapat dimaklumi karena mungkin
Dato ri Tiro tidak ingin memberatkan mereka pada awal mereka masuk Islam.

Setelah beberapa lama melaksanakan dakwah Islam, akhirnya Khatib Bungsu


atau Datuk ri Tiro berhasil mengajak raja Karaeng Tiro (Sulawesi Selatan) serta
raja Bima (Nusa Tenggara) masuk Islam. Sang pendakwah itu tidak kembali lagi
ke Minangkabau sampai akhir hayatnya dan dimakamkan di Tiro atau sekarang
Bontotiro.

Anda mungkin juga menyukai