Anda di halaman 1dari 46

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang


Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah sejenis virus yang
menyerang /menginfeksi sel darah putih menyebabkan turunnya kekebalan
tubuh manusia. AIDS atau acquired Immune Deficiency Syndrome adalah
sekumpulan gejala penyakit yang timbul karena turunnya kekebalan tubuh
yang disebabkan infeksi oleh HIV, Secara global HIV menjadi penyebab
keempat terbesar kematian diantara penyakit-penyakit lainnya (Komisi
Penanggulangan AIDS indonesia, 2011).
Pravelensi HIV/AIDS di seluruh dunia terus mengalami peningkatan.
Berdasarkan Unite Nations Programme on HIV/AIDS (UNAIDS) Global
Statistics tahun 2015, bahwa pravelensi HIV/AIDS di dunia mencapai 36,9
juta penderita, penderita terbanyak berada di wilayah Afrika sebanyak 24,7
juta penderita. Sedangkan di Asia tercatat 4,8 juta penderita HIV/AIDS. Asia
diperkirakan memiliki laju infeksi HIV tertinggi di dunia, ketiga negara yang
memiliki laju infeksi tertinggi di dunia adalah China, India dan Indonesia.
Indonesia saat ini termasuk salah satu negara yang dikenal sebagai negara
dengan concencentrated level epidemic, artinya pravelensi HIV/AIDS
diindonesia sudah cukup tinggi pada tempat-tempat dan kelompok sub
populasi tertinggi.
Menurut data Kemenkes RI tahun 2016 , sejak tahun 2005 sampai
September 2015, terdapat kasus HIV sebanyak 184.929 yang didapat dari
laporan layanan konseling dan tes HIV. Sampai dengan tahun 2005 jumlah
kasus AIDS yang dilaporkan sebanyak 5.234 meningkat menjadi 6.081 kasus
pada tahun 2015. Jumlah kumulatif AIDS diindonesia dari tahun 1987 sampai
dengan Desember 2015 sebanyak 77.112 orang. Jumlah AIDS terbanyak
dilaporkan dari Jawa Timur (13.623), Papua (13.328), DKI Jakarta (8.093),
Bali (5.921), Jawa Tengah (5.042), Jawa Barat (4.870), Sumatera Utara

1
(3.761), Kalimantan Barat (2.457), Sulawesi Selatan (2.239), dan NTT
(1.927).
Jumlah kasus baru HIV diindonesia pada tahun 2016 mencapai
41.250 kasus dengan jumlah kasus dikalimantan barat mencapai 525 kasus,
hal ini menyebabkan kalimantan barat menduduki posisi ke 15 dari 34
provinsi dengan jumlah klien positiv HIV terbanyak, jumlah kasus baru AIDS
diindonesia terdapat 7.491 kasus, di kalimantan barat sendiri terdapat 110
kasus baru aids. kasus kumulatif AIDS tahun 2016 diindonesia mencapai
86.780 kasus, kasus kumulatif AIDS di kalbar sebanyak 2.567 kasus
(kementrian Kesehatan RI, 2016).
Berdasarkan data profil kesehatan provinsi kalimantan barat tahun
2015, jumlah penduduk di Kalimantan barat mencapai 4.789.547 jiwa.
Terdapat 531 kasus HIV (364 kasus pada laki-laki, 167 kasus pada
perempuan) dan 99 kasus AIDS serta kematian karena AIDS 30 jiwa.
Berdasarkan data yang di ambil dari Dinas Kesehatan Provinsi Kalimantan
barat tahun 1994 sampai dengan 2015, jumlah penderita positiv HIV dan
AIDS terbanyak di kalimantan barat terdapat di kota pontianak dengan
jumlah penderita positiv HIV 2.576 jiwa dan AIDS 1,363 jiwa.
Hal ini membuktikan bahwa indonesia merupakan salah satu negara
yang mengalami peningkatan epidemi HIV/AIDS paling pesat di dunia dan
kalimantan barat merupakan salah satu provinsi dengan ODHA terbanyak di
Indonesia. Faktor risiko penularan HIV/AIDS tertinggi adalah hubungan seks
tidak aman pada heteroseksual (46,2 %) penggunaan jarum suntik tidak steril
pada Penasun (3,4 %), dan LSL (Lelaki sesama Lelaki) (24,4%), Kasus
ODHA terbanyak adalah pada laki-laki (54%) hampir 2 kali lipat
dibandingkan pada kelompok perempuan (29%) (Depkes RI, 2014).
Pada awal epidemi HIV/AIDS diketahui, penyakit ini lebih banyak
diidentifikasi pada laki-laki homoseksual dan aktivitas seksual laki-laki
homoseksual dituding sebagai penyebab timbulnya HIV/AIDS, Data
mengenai kelompok lakilaki dengan orientasi seksual homoseksual yang
lebih berisiko terhadap penularan HIV/AIDS dan faktor risiko utama

2
penularan HIV/AIDS di pontianak masih belum tersedia. oleh Karena itu,
pembuatan makalah ini bertujuan untuk mengetahui faktor risiko penularan
HIV/AIDS pada laki-laki dengan orientasi seks homoseksual.

1.2 Rumusan Masalah


Bagaimana tren dan isu faktor risiko penularan HIV/AIDS pada laki-
laki dengan orientasi seks homoseksual.

1.3 Tujuan Penulisan


1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui faktor risiko penularan HIV/AIDS pada laki-laki
dengan kelainan orientasi seks yaitu homoseksual.
2. Tujuan Khusus

a. Untuk mengetahui definisi HIV/AIDS

b. Untuk mengetahui epidemiologi HIV/AIDS

c. Untuk mengetahui etiologi HIV/AIDS

d. Untuk mengetahui manifestasi HIV/AIDS

e. Untuk mengetahui prognosis HIV/AIDS

f. Untuk mengetahui patofisiologi HIV/AIDS

g. Untuk mengetahui respon penderita HIV/AIDS

h. Untuk mengetahui pemeriksaan diagnostik HIV/AIDS

i. Untuk mengetahui penatalaksanaan HIV/AIDS

j. Untuk mengetahui komplikasi HIV/AIDS

k. Untuk mengetahui HIV/AIDS pada homoseksual

l. Untuk mengetahui tren dan isu risiko penularan HIV/AIDS pada laki-
laki dengan orientasi seks homoseksual.

3
1.4 Manfaat
1) Untuk memberikan informasi kepada para pembaca, terutama bagi sesama
mahasiswa dan generasi muda tentang AIDS dan faktor-faktor risiko
penularan HIV/AIDS, serta memberikan informasi bahwa jenis kelainan
orientasi seks salah satunya homoseksual dapat menjadi salah satu faktor
risiko terbesar penuaran HIV/AIDS sehingga dengan demikian kita
semuaberusaha untuk menghindarkan diri dari segala faktor yang dapat
menyebabkan risiko tertular HIV/AIDS.

4
BAB 2

TINJAUAN TEORI

2.1 Definisi
HIV merupakan retrovirus bersifat limfotropik khas yang menginfeksi
sel-sel dari sistem kekebalan tubuh, menghancurkan atau merusak sel darah
putih spesifik yang disebut limfosit T-helper atau limfosit pembawa faktor T4
(CD4). Virus ini diklasifikasikan dalam famili Retroviridae, subfamili
Lentiviridae, genus Lentivirus. Selama infeksi berlangsung, sistem kekebalan
tubuh menjadi lemah dan orang menjadi lebih rentan terhadap infeksi.
Tingkat HIV dalam tubuh dan timbulnya berbagai infeksi tertentu merupakan
indikator bahwa infeksi HIV telah berkembang menjadi AIDS (Rosella,
2013).
Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS) adalah suatu penyakit
yang disebabkan oleh retrovirus Human Immunodeficiency Virus (HIV) dan
ditandai oleh suatu kondisi imunosupresi yang memicu infeksi oportunistik,
neoplasma sekunder, dan manifestasi neurologis (Kummar, et al. 2015).
AIDS adalah infeksi oportunistik yang menyebabkan penurunan sistem imun
yang di sebabkan oleh virus HIV. HIV bersifat limfotropik khas yang
menginfeksi sel-sel dari sistem kekebalan tubuh, menghancurkan atau
merusak sel darah putih spesifik yang disebut limfosit T-helper atau limfosit
pembawa faktor T4 (CD4) (Handoko, 2012).
2.2 Epidemiologi dan Prevalensi HIV/AIDS
Epidemik HIV diketahui terus meningkat setelah ditemukannya
infeksi zoonotik dengan infeksi Simian Immunodeficiency Viruses dari
primate di Afrika. Sub-saharan Afrika khususnya Afrika selatan memiliki
masalah global HIV tertinggi yaitu 70.8%. Prevalensi penyakit ini setiap
tahun diketahui semakin meningkat. Pada tahun 2002 prevalensi global HIV
HIVAIDS adalah 31,0 juta dan pada tahun 2012 menjadi 35,3 juta. Selain
pada dewasa, HIV juga ditemukan menginfeksi anak-anak. HIV masih
menjadi kontributor terbesar dalam menyebabkan global burden disease.

5
Penyebab kematian utama penderita penyakit ini adalah infeksi oportunitik,
akan tetapi 50% penderita yang telah mendapatkan terapi antiretrovirus akan
meninggal karena non-AIDS related death antara lain non-AIDS defining
cancer (23.5%), penyakit kardiovaskular (15,7%), dan penyakit liver (14,1%)
(Marteen, et al. 2014).
2.3 Etiologi
AIDS disebabkan oleh HIV. HIV adalah virus sitopatik yang
diklasifikasikan dalam famili Retroviridae, subfamili Lentivirinae, genus
Lentivirus. HIV termasuk virus Ribonucleic Acid (RNA) dengan berat
molekul 9,7 kb (kilobases). Strukturnya terdiri dari lapisan luar atau envelop
yang terdiri atas glikoprotein gp120 yang melekat pada glikoprotein gp4.
Dibagian dalamnya terdapat lapisan kedua yang terdiri dari protein p17.
Setelah itu terdapat inti HIV yang dibentuk oleh protein p24. Didalam inti
terdapat komponen penting berupa dua buah rantai RNA dan enzim reverse
transcriptase. Bagian envelope yang terdiri atas glikoprotein, ternyata
mempunyai peran yang penting pada terjadinya infeksi oleh karena
mempunyai afinitas yang tinggi terhadap reseptor spesifik CD4 dari sel Host.
Molekul RNA dikelilingi oleh kapsid berlapis dua dan suatu membran
selubung yang mengandung protein (Harisson, 2009).
Jenis virus RNA dalam proses replikasinya harus membuat sebuah
salinan Deoxyribo Nucleic Acid (DNA) dari RNA yang ada di dalam virus.
Gen DNA tersebut yang memungkinkan virus untuk bereplikasi. Seperti
halnya virus yang lain, HIV hanya dapat bereplikasi di dalam sel induk. Di
dalam inti virus juga terdapat enzim-enzim yang digunakan untuk membuat
salinan RNA, yang diperlukan untuk replikasi HIV yakni antara lain: reverse
transcriptase, integrase, dan protease. RNA diliputi oleh kapsul berbentuk
kerucut terdiri atas sekitar 2000 kopi p24 protein virus. Dikenal dua tipe HIV
yaitu HIV -1 yang ditemukan pada tahun 1983 dan HIV-2 yang ditemukan
pada tahun 1986 pada pasien AIDS di Afrika Barat. Epidemi HIV secara
global terutama disebabkan oleh HIV-1, sedangkan HIV-2 tidak terlalu luas

6
penyebarannya, hanya terdapat di Afrika Barat dan beberapa negara Eropa
yang mempunyai hubungan erat dengan Afrika Barat (JW Mellors, 1997).
HIV-1 dan HIV-2 mempunyai struktur yang hampir sama tetapi
mempunyai perbedaan struktur genom. HIV-1 punya gen vpu tapi tidak
punya vpx, sedangkan HIV-2 sebaliknya (Wainberg MA et al, 2011).
Perbedaan struktur genom ini walaupun sedikit, diperkirakan mempunyai
peranan dalam menentukan patogenitas dan perbedaan perjalanan penyakit
diantara kedua tipe HIV. Karena HIV-1 yang lebih sering ditemukan, maka
penelitian-penelitian klinis dan laboratoris lebih sering sering dilakukan
terhadap HIV-1. (Sterling TR et al, 2001).
Jumlah limfosit T penting untuk menentukan progresifitas penyakit
infeksi HIV ke AIDS. Sel T yang terinfeksi tidak akan berfungsi lagi dan
akhirnya mati. Infeksi HIV ditandai dengan adanya penurunan drastis sel T
dari darah tepi. (Wainberg MA et al, 2011).
Penularan virus ditularkan melalui :
a. Hubungan seksual (anal, oral , vaginal) yang tidak terlindungi (tanpa
kondom) dengan orang yang telah terinfeksi HIV.
b. Jarum suntik/tindik/tato yang tidak steril dan dipakai bergantian.
c. Mendapatkan transfusi darah yang mengandung virus HIV.
d. Ibu penderita HIV positif kepada bayinya ketika dalam kandungan , saat
melahirkan atau melalui air susu ibu/ASI.
2.4 Manifestasi Klinis

Gejala klinis pada stadium AIDS dibagi antara lain:


Gejala utama/mayor:
a. Demam berkepanjangan lebih dari tiga bulan
b. Diare kronis lebih dari satu bulan berulang maupun terus-menerus
c. Penurunan berat badan lebih dari 10% dalam tiga bulan
Gejala minor:
a. Batuk kronis selama lebih dari satu bulan

7
b. Infeksi pada mulut dan tenggorokan disebabkan jamur candida
albicans
c. Pembengkakan kelenjar getah bening yang menetap di seluruh tubuh
d. Munculnya Herpes zoster berulang dan bercak-bercak gatal di seluruh
tubuh
Dapat juga timbul gejala letih dan lesu yang muncul setelah
melakukan aktivitas tertentu dan memburuk setelah beberapa waktu.
Kelelahan fisik yang luar biasa sering diakibatkan adanya penurunan fungsi
sistem tubuh, seperti gangguan fungsi paru, jantung, saraf atau pun otot.
Rosella (2013) menambahkan manifestasi klinik utama dari penderita AIDS
umumnya meliputi 3 hal yaitu:

a. Manifestasi tumor
Sarkoma Kaposi
Kanker pada semua bagian kulit dan organ tubuh. Penyakit ini sangat
jarang menjadi sebab kematian primer.
Limfoma ganas
Timbul setelah terjadi Sarkoma Kaposi dan menyerang saraf serta
dapat bertahan kurang lebih 1 tahun.
b. Manifestasi oportunistik
Manifestasi pada Paru
Pneumoni pneumocystis (PCP)
Pada umumnya 85% infeksi oportunistik pada AIDS merupakan
infeksi paru PCP dengan gejala sesak nafas, batuk kering, sakit
bernafas dalam dan demam.
Cytomegalovirus (CMV)
Pada manusia 50% virus ini hidup sebagai komensal pada paru-
paru tetapi dapat menyebabkan pneumocystis. CMV merupakan
30% penyebab kematian pada AIDS.
Mycobacterium avilum

8
Menimbulkan pneumoni difus, timbul pada stadium akhir dan sulit
disembuhkan.
Mycobacterium tuberculosis
Biasanya timbul lebih dini, penyakit cepat menjadi milier dan
cepat menyebar ke organ lain di luar paru.
c. Manifestasi gastrointestinal
Tidak ada nafsu makan, diare kronis, penurunan berat badan >10% per
bulan.
d. Manifestasi neurologis
Sekitar 10% kasus AIDS menunjukkan manifestasi neurologis yang
biasanya timbul pada fase akhir penyakit. Kelainan saraf yang umum
adalah ensefalitis, meningitis, demensia, mielopati, neuropati perifer.
2.5 Prognosis
Sepuluh tahun setelah terinfeksi HIV, sekitar 50% penderita
mengalami AIDS. Prognosis HIV buruk karena menginfeksi sistem imun
terutama sel CD4 dan akan menimbulkan destruksi sel tersebut, akibatnya
banyak sekali penyakit oportunistik yang dapat menyertainya. Di Rumah
Sakit Kanker Dharmais Jakarta, hasil penelitian pada tahun 2005
menunjukkan kematian berjumlah 34% (Budimulja dalam Hashim, 2013).
2.6 Patofisiologi
Dasar utama terinfeksinya HIV adalah berkurangnya jenis Limfosit T
helper yang mengandung marker CD4 (Sel T4). Limfosit T4 adalah pusat dan
sel utama yang terlibat secara langsung maupun tidak langsung dalam
menginduksi fungsi imunologik. Menurun atau menghilangnya sistem
imunitas seluler, terjadi karena virus HIV menginfeksi sel yang berperan
membentuk antibodi pada sistem kekebalan tersebut, yaitu sel Limfosit T4.
Setelah virus HIV mengikatkan diri pada molekul CD4, virus masuk ke
dalam target dan melepaskan bungkusnya kemudian dengan enzim reverse
transkriptase virus tersebut merubah bentuk RNA (Ribonucleic Acid) agar
dapat bergabung dengan DNA (Deoxyribonucleic Acid) sel target.
Selanjutnya sel yang berkembang biak akan mengandung bahan genetik

9
virus. Infeksi HIV dengan demikian menjadi irreversibel dan berlangsung
seumur hidup (Nursalam, 2011).
Pada awal infeksi, virus HIV tidak segera menyebabkan kematian dari
sel yang diinfeksinya, tetapi terlebih dahulu mengalami replikasi sehingga
ada kesempatan untuk berkembang dalam tubuh penderita tersebut dan
lambat laun akan merusak limfosit T4 sampai pada jumlah tertentu. Masa ini
disebut dengan masa inkubasi. Masa inkubasi adalah waktu yang diperlukan
sejak seseorang terpapar virus HIV sampai menunjukkan gejala AIDS. Pada
masa inkubasi, virus HIV tidak dapat terdeteksi dengan pemeriksaan
laboratorium kurang lebih 3 bulan sejak tertular virus HIV yang dikenal
dengan masa window period. Setelah beberapa bulan sampai beberapa
tahun akan terlihat gejala klinis pada penderita sebagai dampak dari infeksi
HIV tersebut. Pada sebagian penderita memperlihatkan gejala tidak khas pada
infeksi HIV akut, 3-6 minggu setelah terinfeksi. Gejala yang terjadi adalah
demam, nyeri menelan, pembengkakan kelenjar getah bening, ruam, diare,
atau batuk. Setelah infeksi akut, dimulailah infeksi HIV asimptomatik (tanpa
gejala). Masa tanpa gejala ini umumnya berlangsung selama 8-10 tahun,
tetapi ada sekelompok kecil penderita yang memliki perjalanan penyakit amat
cepat hanya sekitar 2 tahun dan ada juga yang sangat lambat (non-progressor)
(Nursalam, 2011).
Secara bertahap sistem kekebalan tubuh yang terinfeksi oleh virus
HIV akan menyebabkan fungsi kekebalan tubuh rusak. Kekebalan tubuh yang
rusak akan mengakibatkan daya tahan tubuh berkurang bahkan hilang,
sehingga penderita akan menampakkan gejala-gejala akibat infeksi
oportunistik (Nursalam, 2011).
2.7 Respon Penderita HIV/AIDS
a. Respon pada Penderita HIV/AIDS
1. Respons biologis
Secara imunologis, sel T yang terdiri atas limfosit T-helper,
disebut limfosit CD4 akan mengalami perubahan baik secara kuantitas
maupun kualitas. HIV mnyerang CD4 baik secara langsung maupun

10
tidak langsung. Secara langsung, sampul HIV yang mempunyai efek
toksik akan menghambat fungsu sel T. Secara tidak langsung, lapisan
luar protein HIV berinteraksi dengan CD4 yang kemudian
menghambat aktivasi sel yang mempresentasikan antigen (Rosella,
(2013).
2. Respons adaptif psikososial- spritual
a) Respons adaptif psikologis (penerimaan diri)
Pengalaman mengalami suatu penyakit akan membangkitkan
berbagai perasaan dan reaksi stres, frustasi, kecemasan,
kemarahan, panyangkalan, rasa malu, berduka, dan ketidakpastian
adaptasi terhadap penyakit.
b) Respons psikologis penerimaan diri terhadap penyakit
Kubler Ross dalam Rosella (2013) menguraikan lima tahap reaksi
emosi seseorang terhadap penyakit, yaitu:
Pengingkaran (Denail)
Pada tahap pertama pasien menunjukan karakteristik perilaku
pengingkaran, mereka gagal memahami dan mengalami makna
rasional dan dampak emosil dari diagnosis. Hal ini dapat
disebabkan karena ketidaktahuan pasien terhadap penyakitnya
atau sudah mengetahuinya dan mengancam dirinya.
Pengingkaran biasanya bersifat sementara dan segera
berpindah menjadi fase lain dalam menghadapi kenyataan.
Kemarahan (Anger)
Apabila pengingkaran tidak dapat dipertahankan lagi maka
fase pertama berubah menjadi kemarahan. Prilaku pasien
secara karakteristik dihubungkan dengan marah dan rasa
bersalah. Pasien akan mengalihkan kemarahan pada sesuatu
yang ada disekitarnya. Biasanya kemarahan diarahkan kepada
dirinya sendiri dan kemudian timbul penyesalan.
Sikap tawar menawar (bergaining)

11
Setelah fase marah-marah berlalu, pasien akan berfikir dan
merasakan bahwa protesnya tidak berarti. Pasien mulai timbul
rasa bersalah dan mulai membina hubungan dengan Tuhan.
Pasien meminta, berdoa, dan berjanji pada Tuhan, tindakan
inimerupakan ciri yang jelas, yaitu pasien akan menyanggupi
menjadi lebih baik jika dia dapat sembuh.
Depresi
Selama fase ini pasien sedih/berkabung mengesampingkan
sikap marah dan pertahanannya, serta mulai mengatasi
kehilangan secara konstruktif. Pasien mulai mencoba perilaku
baru yang konsisten dengan keterbatasan baru. Tingkat
emosional adalah kesedihan, tidak berdaya , tidak ada harapan,
bersalah, penyesalan yang dalam, kesepian dan waktu untuk
menangisberguna pada saat ini. Perilaku fase ini termasuk
didalamnya adalah ketakutan akan masa depan, bertanya peran
baru dalam kekuarga intensitas depresi tergantung pada makna
dan beratnya penyakit.
Penerimaan dan partisipasi
Seiring dengan berlalunya waktu pasien mulai dapat
beradaptasi, kepedihan yang menyakitkan berkurang, dan
bergerak menuju identifikasi sebagai seseorang yang memiliki
keterbatasan karena penakitnya dan sebagai seorang yang
cacat. Pasien mampu bergantung pada orang lain jika perludan
tidak membutuhkan dorangan melebihi daya tahannya atau
terlalu memaksakan keterbatasan atau ketidak adekuatan.
c) Respons adaptif sosial
Aspek psikososial menurut Stewart dalam Nursalam (2011)
dibedakan menjadi tiga hal, yaitu :
Stigma sosial dapat memperparah depresi dan pandanga yang
negatif tentangt harga diri pasien.

12
Diskriminasi terhadap orang yang terinfeksi HIV, misalnya
penolakan bekerja dan hidup serumah juga akan berpengaruh
terhadap kondisi kesehatan. Dan kurangnya dukungan sosial
akan memperparah stres pasien.
Terjadinya waktu yang lama terhadap respons psikologis mulai
penolakan, marah-marah, tawar-menawar, dan depresi
berakibat terhadap keterlambatan upaya pencegahan dan
pengobatan.
2.8 Pemeriksaan Diagnostik
Pemeriksaan diagnostik pada penderita HIV menurut Nursalam (2011)
antara lain:
a. Tes Antibodi HIV
1. ELISA (Enzyme-Linked Immunosorbent Assay)
Tes skrining yang digunakan untuk mendiagnosis HIV adalah ELISA.
Tes ELISA sangat sensitif untuk mengidentifikasi antibodi HIV,
namun tidak selalu spesifik karena penyakit lain juga bisa
menunjukkan hasil positif. Beberapa penyakit yang bisa menyebabkan
false positif, antara lain adalah penyakit autoimun, infeksi virus, atau
keganasan hematologi, dan kehamilan. Tes ELISA tidak menegakkan
daignosis penyakit AIDS tetapi lebih menunjukkan bahwa seseorang
pernah terkena atau terinfeksi oleh virus HIV. Orang yang darahnya
mengandung antibodi untuk HIV disebut sebagai orang yang
seropositif.
2. Western Blot (WB)
Western Blot adalah tes lainnya yang dapat mengenali antibodi HIV
dan digunakan untuk memastikan seropositivitas seperti yang
teridentifikasi lewat prosedur ELISA. Western Blot Merupakan
elektroforesis gel poliakrilamid yang digunakan untuk mendeteksi
rantai protein yang spesifik terhadap DNA. Jika tidak ada rantai positif
yang ditemukan, berarti hasil tes negatif. Sedangkan bila hampir atau
semua rantai protein ditemukan berarti western Blot positif. Tes

13
Western Blot mungkin juga tidak bisa menyimpulkan seseorang
menderita HIV atau tidak. Oleh karena itu, tes harus diulangi lagi
setelah 2 minggu dengan sampel yang sama. Jika tes western blot tetap
tidak bisa disimpulkan, maka tes western blot harus diulangi lagi
setelah 6 bulan. Jika tes tetap negatif maka pasien tetap dianggap HIV
negatif.
3. PCR ( Polymerase Chain Reaction)
PCR untuk DNA dan RNA virus HIV sangat sensitif dan spesifik
untuk infeksi HIV. Tes ini sering digunakan bila tes yang lain tidak
jelas. Keuntungan tes ini adalah hasilnya bisa didapat hanya dalam
beberapa menit.
b. VCT
1. Definisi VCT
VCT adalah suatu pembinaan dua arah atau dialog yang berlangsung
tak terputus antara konselor dan kliennya dengan tujuan untuk
mencegah penularah HIV, memberikan dukungan moral, informasi,
serta dukungan lainnya kepada ODHA, keluarga, dan lingkungan.
2. Tujuan VCT
VCT mempunyai tujuan yaitu :
Upaya pencegahan HIV AIDS
Upaya untuk mengurangi kegelisahan meningkatkan persepsi/
pengetahuan mereka tentang faktor-faktor risiko penyebab
seseorang terinfeksi HIV.
Upaya pengembangan perubahan perilaku, sehingga secara dini
mengarahkan mereka menuju ke program pelayanan dan
dukungan termasuk akses terapi antiretroviral, serta membantu
mengurangi stigma dala masyarakat.
3. Uraian Umum VCT
Konseling adalah proses pemberian bantuan yang dilakukan oleh
seorang ahli (disebut konselor / pembimbing) kepada individu yang
mengalami sesuatu masalah (disebut konseli) yang bermuara

14
pada teratasinya masalah yang dihadapi pelanggan. Konseling
merupakan dialog yang terjaga kerahasiaan antara konselor dan
pelanggan.
HIV adalah virus yang menyeran dan merusak system
kekebalan tubuh kita sehingga kita tidak bias bertahan
terhadap penyakit-penyakit yang menyerang tubuh kita. HIV
merupakan suatu virus yang dapat menyebabkan penyakit AIDS.
Pra adalah sebelum dan post adalah setelah, status adalah keadaan
(orang, badan, dsb) dalam hubungan dengan masyarakat di
sekelilingnya.
Confidentiality atau kerahasiaan adalah pencegahan bagi mereka yang
tidak berkepen-tingan dapat mencapai informasi, berhubungan dengan
data yang diberikan kepihak lain untuk keperluan tertentu dan hanya
diperbolehkan untuk keperluan tertentu tersebut.
c. Pemeriksaan Laboratorium
Begitu pasien di diagnosis HIV, maka tingkat kerusakan kekebalan tubuh
yang dialami perlu ditentukan. Limfosit CD4 (sel T-helper) merupakan
salah satu cara untuk mengetahui kuantitas fungsi imunologi pasien. CD4
juga berguna untuk menenntukan stadium klinis HIV. Tetapi bila
pemeriksaan CD4 tidak tersedia, total hitung limfosit bisa sangat berguna.
WHO mengembangkan kriteria stadium klinis berdasarkan total limfosit.
Pasien yang mengalami HIV hampir seluruhnya mengalami gangguan
hematologi. Neutropenia (penurunan sel darah putih) bisa disebabkan
karena virus itu sendiri atau obat-obatan yang digunakan pada pasien
HIV. Bila ditemukan anemia, biasanya anemia normositik dan
normokromik. Pasien juga mengalami limfopenik (ditandai dengan
penurunan jumlah sel darah putih dalam sirkulasi).
2.9 Penatalaksanaan
Upaya penanganan medis meliputi beberapa cara pendekatan yang
mencakup penanganan infeksi yang berhubungan dengan HIV serta
malignasi, penghentian malignasi virus HIV lewat preparat antivirus, dan

15
penguatan serta pemulihan sistem imun malalui penggunaan preparat
imunomodulator. Perawatan suportif merupakan tindakan yang penting
karena terinfeksi virus HIV dan penyakit aids yang sangat menurunkan
keadaan umum pasien. Efek tersebut mencakup malnutrisi, kerusakan kulit,
kelemahan, imobilitas dan perubahan status mental (Smeltzer, Suzanne C.
Dan Bare, Brenda G., 2012).

a. Penatalaksanaan Pengobatan
Infeksi umum Trimetoprim-sulfametoksazol, yang disebut pula TMP-
SMZ (Bactrim, Septra), merupakan preparat antibakteri untuk mengatasi
berbagai mikroorganisme yang menyebabkan infeksi. Pemberian secara
IV kepada pasien dengan fungsi gastrointestinal yang normal tidak
memberikan keuntungan apa pun. Penderita AIDS yang diobati dengan
TMP-SMZ daat mengalami efek yang merugikan dengan insidensi tinggi
yang tidak lazim terjadi, seperti demam, ruam, leukopenia,
trombositopenia, dan gangguan fungsi renal. Akhir-akhir ini telah
dilakukan terapi desensitisasi dengan hasil yang baik untuk mengurangi
reaksi yang berhubungan dengan penggunaan obat TMP-SMZ (Smeltzer,
Suzanne C. Dan Bare, Brenda G., 2012).

Pneumonia pneumocystis carinii (PCP). Dalam beberapa tahun terakhir


ini terjadi banyak kemajuan dalam pengobatan PCP. Sebagai obat pilihan
untuk PCP pada pasien-pasien penyakit AIDS dan pasien-pasien yang
kekebalan tubuhnya terganggu tanpa infeksi HIV, preparat TPM-SMZ
sudah tersedia dalam bentuk suntikan IV mauun preparat oral.
Pentamidin, suatu obat antiprotozoa, digunakan sebagai preparatalternatif
untuk melawan PCP. Jika terjadi efek yang merugikan atau jika pasien
tidak memperlihatkan perbaikan klinis ketika diobati dengan TMP-SMZ,
petugas kesehatan dapat merekomendasikan pentamidin. Kombinasi
trimetoprim oral (Proloprim, Trimpex) dan dapson (Avlosulfon, DDS)
terbukti efektif untuk PCP yang ringan hingga sedang (Smeltzer, Suzanne
C. Dan Bare, Brenda G., 2012).

16
b. Terapi antiretrovirus
Saat ini terdapat emat preparat antiretrovirus yang sudah disetujui oleh
FDA untuk pengobatan infeksi HIV menurut Smeltzer, Suzanne C. Dan
Bare, Brenda G., 2012 yaitu :

1. Zidovudin
Penemuan zidovudin sangat signifikan dalam memerangi penyakit
AIDS. Zidovudin merupakan preparat yang cukup toksik bagi sumsum
tulang dengan menimbulkan anemia yang membatasi dosis
pemberiannya dan neurotopenia yang mengharuskan penghentian
emberian obat tersebut. Emberian zidovudin harus dihentikan jika
pasien memerlukan terapi oortunis, limfoma dan kelainan malignansi
lainnya karena terapi bagi semua keadaan ini dapat pula menimbulkan
toksisitas hematology.
2. Dideoksinosin
Bagi banyak pasien, dideoksinosin (didanosin [ddl]) memberikan hasil
yang menjanjikan sebagai preparat alternatif pengganti zidovudin. Efek
toksik utamayang membatasi dosis pemberian dll adalah pankreatitis
yang bisa berakibat fatal dan neuropati perifer. Efek toksis lainnya
mencakup diare, kegelisahan dan peningkatan kadar asam urat ( jika
diberikan dalam dosis yang tinggi).
3. Dideoksisitidin
Dideoksisitidin (ddC) tidak menembus cairan spinal sehingga tidak
seefektif zidovudin bila digunakan untuk mengobati ensefalopati yang
berhubungan dengan AIDS. Efek toksiknya antara lain adalah
intoleransi gastrointestinal dan ilserasi mukosa. Karena virus HIV
dapat mengadakan mutasi dengan cepat, maka resistensi obat akan
terjadi, oleh karena itu terapi kombinasi anti virus memberikan harapan
terbaik untuk pengendalian infeksi HIV.

17
4. Stavudin
Stavudin dapat dipreskripsikan bagi pasien-pasien infeksi HIV stadium
lanjut yang tidak responsif terhadap preparat antivirus lain atau yang
tidak dapat mentolerir efek sampingnya. Reaksi merugikan yang utama
mencakup neuropati perifer, supresi sumsum tulang,mialgia dan
hepatotoksisistas.

c. Imunomodulator
Untuk melawan penyakit AIDS bukan hanya diperlukan preparat yang
akan menghambat pertumbuhan virus,tetapi juga preparat yang akan
memulihkan atau menguatkan sistem imun yang rusak. Preparat oral alfa-
interferon dosis rendah (IFN-alfa) kini sedang diteliti untuk menguju
sifat-sifat antivirusnya disamping kemampuannya dalam menstimulasi
sel-sel makrofag dan limfisit sel T (Smeltzer, Suzanne C. Dan Bare,
Brenda G., 2012).
d. Vaksin
Vaksin merupakan substansi yang memicu produksi antibodi dalam upaya
untuk menghancurkan mikroorganisme penyerang. Para ahli riset sudah
dan sedang bekerja untuk mengembangkan vaksin bagi virus HIV sejak
virus itu ditemukan. Para ilmuan sepakat bahwa vaksin untuk virus HIV
masih belum tersediaena terdapat beberapa masalah hukum dan etika,
termasuk pertanggungjawaban pabrik pembuat vaksin, kemungkinan
timbulnya seropositivitas AIDS pada subjek penelitian dan munculnya
efek samping yang serius (Smeltzer, Suzanne C. Dan Bare, Brenda G.,
2012).

2.10 Komplikasi
Penyebab utama morbiditas dan mortalitas di antara pasien dengan
stadium lanjut infeksi HIV adalah infeksi oportunistik, yaitu infeksi berat
yang diinduksi oleh agen yang jarang menyebabkan penyakit serius pada
individu yang imunokompeten. Infeksi oportunistik biasanya tidak terjadi
pada pasien yang terinfeksi HIV hingga jumlah sel T CD4 turun dari kadar

18
normal sekitar 1.000 sel/l menjadi kurang dari 200 sel/ l. Ketika
pengobatan terhadap beberapa patogen oportunistik umum terbentuk dan
penatalaksanaan pasien AIDS memungkinkan ketahanan yang lebih lama,
spektrum infeksi oportunistik mengalami perubahan (Brooks dalam Elona,
2011).
a. Penyakit kulit dan mulut
Pasien-pasien yang menderita AIDS (acquired immunodeficiency
syndrome) mengalami peningkatan risiko terjadinya sejumlah kelainan
mukokutan, yaitu (Brown dalam Elona, 2011):
1. Kandiasis mulut yang meluas ke dalam esofagus
2. leukoplakia berambut di mulutterdapat kerutan-kerutan putih
pada bagian tepi lidah yang disebabkan oleh virus Epstein-Barr.
3. Infeksi stafilokokus, herpes zoster, moluskum kontangiosum, dan
infeksi jamur dermatofit lebih mudah timbul pada pasien-pasien
AIDS.

4. Serangan herpes simpleks terjadi lebih sering dan lebih hebat, dan
lesi-lesi bisa menjadi kronis.

5. Sarkoma Kaposi: suatu tumor yang dianggap berasal dari enotel


pembuluh darah dan ada hubungannya dengan infeksi human herpes
virus type 8 (HHV-8). Lesi biasanya multipel, dan dapat timbul pada
bagian manapun di kulit, begitu pula pada bagian organ-organ dalam.
Kelainan ini jarang menyebabkan kematian pada pasien AIDS, yang
biasanya meninggal akibat terjadinya infeksi yang menyertainya.
Merupakan tumor yang radiosensitif.

6. Psoriasis yang sudah ada sebelumnya pada pasien AIDS dapat


menjadi lebih hebat dan ekstensif.
7. Angiomatosis basiler. Lesi ini disebabkan oleh basil Bartonella
henselae.

19
8. Angiomatosis basiler. Lesi ini disebabkan oleh basil Bartonella
henselae. Lesi yang seperti angioma ini terjadi pada kulit, mukosa,
dan organ dalam. Kelainan ini dapat diobati dengan eritromisin.

9. Kelainan-kelainan terkait obat. Obat-obat antiretrovirus yang saat ini


digunakan secara luas untuk mengobati infeksi HIV dapat
menyebabkan timbulnya bercak-bercak pada kulit dan terjadinya
pigmentasi pada kuku.

10. Infeksi varicella-zoster virus (VZV) dapat menjadi buruk, kronis,


dan dapat menjadi komplikasi infeksi parenkim, superinfeksi
bakterial, dan kematian. Dengan peningkatan imunodefisiensi,
infeksi VZV memiliki tampilan klinis seperti lesi verukus dermatom
kronik; satu atau lebih nyeri ulkus kronik tau lesi ektimatus, ulkus,
atau nodulmenyerupai karsinoma sel basal atau karsinoma sel
squamos. Herpes zoster dapat rekuren pada dermatom yang sama
atau dermatom-dermatom lainnya.

b. Penyakit Gastrointestinal
Penyakit terkait HIV seringkali melibatkan saluran gastrointestinal (GI).
Penurunan berat badan dan selera makan merupakan gejala umum apapun
patologinya (Mandal dalam Elona, 2011).
1. Penyakit esofagus biasanya timbul dengan keluhan nyeri saat menelan
dan disfagia. Kandidiasis merupakan penyebab 80% kasus (terjadi
pada 30% pasien dengan OCP). Plak pseudomembranosa tampak saat
pemeriksaan barium meal sebagai defek pengisian (filling defects) dan
saat endoskopi (Mandal dalam Elona, 2011).
2. Penyakit usus halus sering berhubungan dengan diare cair bervolume
banyak, nyeri perut dan malabsorpsi. Bila terdapat imunidefisiensi
sedang (100-200 CD4 sel/mm3), Cryptosporidium, mikrosporidium,
dan Giardia merupakan penyebab yang mungkin. Bila kadar CD4 <50
sel/mm3, Mycobacterium avium intercelluler (MAI) dan CMV
merupakan diagnosis alternatif (Mandal dalam Elona, 2011).

20
3. Penyakit usus besar timbul sebagai diare (sering berdarah) bervolume
sedikit yang disertai dengan nyeri perut. Suatu patogen enterik
bakterial standar mungkin berperan seperti Clostridium difficile.
Kolitis CMV merupakan diagnosis penting pada pasien dengan hitung
CD4 rendah yang terjadi pada hingga 5% pasien. Penegakan diagnosis
diakukakn melalui endoskopi yang sering memperlihatkan ulkus
dalam atau dangkal yang konfluen atau segmental, serta dengan
biopsi. Megakolon toksik, perdarahan, dan perforasi dapat
menyebabkan komplikasi pada infeksi (Mandal dalam Elona, 2011).
c. Penyakit hepatobilier
1. Penyakit bilier dapat menyebabkan komplikasi pada infeksi CMV,
Crytosporidium, atau mikrosporidium dalam bentuk kolangitis
sklerosans atau kolesistitis akalkulia. Manifestasinya adalah nyeri
kuadran kanan atas, muntah, dan demam; ikterus jarang terjadi. Pada
kolangitis sklerosans, peningkatan fosfatase alkali dan -glutamil
transferase serum biasanya mendahului timbulnya ikterus. Pencitraan
ultra sonografi memperlihatkan pelebaran saluran empedu. Akan
tetapi, endoscopic retrograde cholangiopancreatography (ERCP)
penting untuk memperlihatkan gambaran menyerupai kabut
intrahepatik dan ekstrahepatik yang khas untuk kolangitis sklerosans
(Mandal dalam Elona, 2011).
2. Penyakit hati dapat disebabkan oleh koinfeksi dengan HBV atau
HCV. Koinfeksi hepatitis B atau C menjadi masalah yang meningkat
pada HIV. Pada kedua hepatitis tersebut, viremia lebih tinggi dan
penyakit lebih agresif. Pada koinfeksi HBV, imunosupresi yang
terlihat pada penyakit tahap lanjut dapat memberikan suatu
perlindungan, karena kerusakan hepar diperantarai oleh sistem imun.
Stimulan imun (interferon) dan antivirus (3TC, tenofovir) memiliki
peran dalam pengobatan. Pada hepatitis C, respons terhadap inerferon

21
dan ribavirin tidak sebaik pada orang yang HIV-negatif (Mandal
dalam Elona, 2011).
d. Penyakit Paru
Lebih dari setengah pasien-pasien dengan HIV akan mengalami penyakit
paru pada suatu waktu tertentu. Beberapa faktor mempengaruhi
kemungkinan penyebabnya termasuk hitung CD4, etnis, dan usia,
kelompok risiko, serta riwayat profilaksis PCP.
e. Penyakit sistem saraf/mata
Penyakit sistem saraf umum terjadi pada infeksi HIV. Kategori
manifestasinya yang luas merupakan lesi desak ruang (spaceoccupying
lesion), suatu penyakit demensia global, serta penyerta saraf radiks dan
perifer (Mandal dalam Elona, 2011).
f. Dampak Sosial
Dampak sosial yang mungkin muncul pada penderita HIV/AIDS, bagi
keluarga penderita dan bagi masyarakat sekitar adalah sebagai berikut
(Agung, 2006):
Perasaan Takut Dikucilkan / Upaya Untuk Merahasiakan
Tentang Penyakitnya
Beberapa pasien dan keluarga merasa bahwa kondisi penyakit yang
dideritanya atau diderita oleh anggota keluarganya perlu untuk
dirahasiakan. Hal ini cukup beralasan mengingat bahwa pasien dan
keluarga memiliki lingkungan masyarakat yang mungkin belum
mudah untuk menerima kondisi seseorang yang menderita
HIV/AIDS (Agung, 2006).
Perasaan Tersisih / Dikucilkan Oleh Keluarga Dan Kelompok
Tertentu
Selain perasaan takut dikucilkan, ada beberapa pasien yang memang
oleh lingkungannya, keluarga atau kelompok tertentu, dikucilkan
karena dirinya diketahui telah mengidap HIV positif. Kelompok
tertentu yang memang berisiko tinggi untuk mengidap HIV/AIDS,
seperti waria, sebelum mereka pada akhirnya mengidap penyakit

22
tersebut, mereka sudah dikucilkan. Hal ini yang sering membuat
mereka enggan untuk memeriksakan diri ke pelayanan kesehatan
berkenaan dengan risiko HIV/AIDS yang mungkin dideritanya. Studi
lanjutan yang dilakukan oleh peneliti yang sama (Herek, 1999)
menunjukkan stigma yang terjadi di masyarakat Amerika
dikarenakan adanya kecurigaan yang berlebihan dan perasaan
permusuhan kepada kelompok tertentu (gay dan biseksual) yang
mereka anggap sebagai kelompok yang bertanggung jawab terjadinya
peningkatanjumlah penderita HIV/AIDS. Para penderita
HIV/AIDSpun dikucilkan dari lingkungannya, dan mereka
dipersalahkan dengan kondisi HIV/AIDS yang dideritanya (Herek
et.al., 2002). Senada dengan apa yang disampaikan oleh Herek,
pasien dengan orientasi seksual sejenis pun pada studi ini
mendapatkan perlakuan yang hampir sama seperti yang dialami oleh
kaum gay di Amerika. Proses pengucilan terhadap kelompok tertentu
yang berisiko HIV/AIDS tidak hanya dilakukan oleh masyarakat
awam, tetapi juga oleh kelompok profesi tertentu di mana sepatutnya
memberikan asuhan dan perlindungan pada pasien dengan
HIV/AIDS. Kelompok dimaksud adalah tim kesehatan di rumah
sakit, Kondisi ini pun dilaporkan oleh Fredriksson dan Canabus
(2004) di mana ada sekelompok pasien yang merasa distigma dan
dimusuhi oleh tim kesehatan karena HIV/AIDS nya. Dampaknya
adalah banyak pasien yang tidak mendapatkan terapi dengan baik dan
terus menerus karena malas untuk datang ke rumah sakit. Padahal
keberhasilan proses perawatan dan pengobatan sangat dipengaruhi
keteraturan pasien datang ke rumah sakit untuk memeriksakan diri
dan mendapat pengobatan. Sebaliknya, keteraturan kehadiran pasien
sangat dipengaruhi oleh penerimaan pihak rumah sakit terutama dari
tim kesehatan terhadap pasien HIV/AIDS dan keluarganya (Agung,
2006).

23
Terjadinya pengucilan oleh anggota keluarganya sendiri
dimungkinkan terjadi akibat minimnya informasi yang didapat oleh
pasien dan anggota keluarganya. Dengan demikian menjadi jelas di
sini, bahwa kurangnya informasi tentang HIV/AIDS dapat
menimbulkan serangkaian masalah yang justru dapat memperberat
kondisi yang dialami pasien dan keluarganya. Herek dan Glunt
(1991) melanjutkan kegiatannya dengan melakukan penelitian yang
mengidentifikasi bagaimana masyarakat Amerika melihat dan
menilai kasus HIV/AIDS. Hasil dari penelitian awal ini cukup
mengejutkan dimana opini masyarakat Amerika tentang HIV/AIDS
yang memandang penderita HIV/AIDS harus di kucilkan dan
diintimidasi agar dapat di pisahkan dari kehidupan normal.
Kelompok ini pun mempersalahkan mereka yang menderita
HIV/AIDS, mengapa mereka sampai tertular HIV/AIDS (Agung,
2006).
Intimidasi / Teror Fisik
Walaupun tidak secara spesifik disampaikan, beberapa pasien
mengalami intimidasi dan teror fisik terhadap kondisi mereka yang
telah mengidap HIV / AIDS. Intimidasi terutama pada golongan
tertentu yang diketahui memiliki risiko tinggi untuk mengidap HIV /
AIDS.
Putus Asa
Perasaan putus asa dan hilangnya harapan pada pasien dengan
HIV/AIDS dimulai sejak pencarian upaya untuk menyembuhkan
penyakitnya dan meminimalkan keluhan yang dideritanya. Adanya
respon masyarakat untuk mengucilkan pasien HIV/AIDS maka
perasaan putus asa dan hilangnya harapan yang dialami oleh pasien
dengan HIV/AIDS semakin meningkat seiring bertambahnya keluhan
yang dialaminya. Dari kondisi yang mereka alami, tidak sedikit orang
dengan HIV/AIDS ataupun yang berisiko HIV/AIDS mengalami
putus asa. Dengan keputusasaannya, pasien dan keluarga semakin

24
terisolasi dari jangkauan pelayanan kesehatan baik dalam pencegahan
maupun penanganan kondisi HIV/AIDS. Dan bukan hal yang tidak
mungkin bahwa jumlah penderita HIV/AIDS dapat cenderung
meningkat karena keterisolasian pasien dari lingkungan dan
informasi (Agung, 2006).
2.11 HIV/AIDS pada Homoseksual
Pada awal epidemi HIV/AIDS diketahui, penyakit ini lebih banyak
diidentifikasi pada laki-laki homoseksual dan aktivitas seksual laki-laki
homoseksual dituding sebagai penyebab timbulnya HIV/AIDS, akan tetapi
data saat ini menunjukkan bahwa di negara berkembang
penularan secara heteroseksual lebih banyak terjadi (Nugroho, 2010).
Secara umum terjadinya perilaku LGBT dipicu oleh dua hal, yaitu
faktor syahwat (hormone seksualitas) dan pembenaran akal (pemikiran).
Secara biologis, tubuh manusia memiliki sistem hormonal yang salah satunya
berhubungan dengan dorongan nafsu seksualitas dan orientasi ssksualnya.
Penguatan rangsangan yang masuk melalui inderawi (mata, telinga, kulit)
dapat memicu aktivitas hormonal tubuh yang mendoong aksi pemenuhan
kebutuhan biologis berupa penyaluran seksualitas. Seseorang akan memiliki
hasrat penyaluran seksualitas ketika ada pemicunya tersebut. Penyimpangan
dapat terjadi karena pengetahuan seks yang diperolehnya mengarah kepada
perilaku LSL baik secara langsung maupun tidak langsung wajar (Yudiyanto,
2016).
Di sisi lain dorongan pemikiran yang menganggap perilaku LSL
sebagai hal yang lazim akan mengarahkan penyaluran hasrat seksualitas dari
aktivitas hormonal tubuh tersebut turut menyimpang sesuai kemauan arahan
pikiran. Selain faktor hormonal, kebanyakan faktor lingkungan
mempengaruhi seseorang untuk menjadi gay. Lingkungan secara langsung
maupun tidak langsung dapat mengajarkan dan membentuk pemikiran pada
diri manusia bahwa sesuatu yang tadinya tabu atau tidak lazim menjadi
dianggap lazim (Yudiyanto, 2016).

25
Penyebab homoseksual ada beberapa hal seperti faktor genetik atau
hormon yang mempengaruhi perkembangan homoseksualitas. Psikoanalis
menyatakan bahwa kondisi atau pengaruh ibu yang dominan dan terlalu
melindungi sedangkan ayah cenderung pasif. Penyebab lain dari
homoseksualitas seseorang yaitu karena faktor belajar. Orientasi seksual
seseorang dipelajari sebagai akibat adanya reward dan punishment yang
diterima (Feldmen dalam Laksana, 2010).
Seseorang dapat berperilaku homoseksual dikarenakan keluarga yang
tidak harmonis, misalnya figur bapaksebagai laki-laki yang kejam membuat
seseorang dapat menjadi homoseksual serta faktor lingkungan (konstruksi
sosial) sangat mempengaruhi perkembangan seorang anak, termasuk
pembentukan atau pemilihan orientasi seksualnya. Pemicu penyimpangan
orientasi seks tersebut juga dapat terjadi karena adanya interaksi beberapa
faktor sekaligus, meliputi faktor lingkungan (sosiokultural), biologis, dan
faktor pribadi/persnonal (psikologis). Kenyataan ini menunjukkan bahwa
pertemanan menuju perbuatan dan permainan seksual sebenarnya merupakan
hal yang tidak wajar (Yudiyanto, 2016).
Gayle and Hill dalam Nugroho (2010) juga menyatakan bahwa
homoseksual merupakan penyebab utama penularan HIV/AIDS di Asia
Tenggara, termasuk Indonesia. Gay merupakan kata ganti untuk menyebut
perilaku homoseksual. Homoseksual adalah ketertarikan seksual terhadap
jenis kelamin yang sama (Feldmen dalam Laksana, 2010).
Homoseksual lebih berisiko tertular HIV/AIDS melalui berganti-ganti
pasangan (memiliki partner seks lebih dari satu), sedangkan laki-laki
heteroseksual cenderung memiliki risiko penularan HIV/AIDS lebih tinggi
melalui hubungan seks berisiko tanpa memakai kondom. Penelitian yang
dilakukan oleh Hounton et al pada tahun 2005 dan Nwokoji and Ajuwon pada
tahun 2004 dalam Nugroho (2010) menunjukkan bahwa partner seks yang
banyak dan tidak memakai kondom dalam melakukan aktivitas seksual yang
berisiko merupakan faktor risiko utama penularan HIV/AIDS.

26
Selain itu, faktor resiko penularan HIV/AIDS yaitu (Nugroho, 2010) :
1. Faktor risiko perilaku, yaitu perilaku seksual yang berisiko terhadap
penularan HIV/AIDS, yang meliputi partner hubungan seks lebih dari
1, seks anal, dan pemakaian kondom.
2. Faktor risiko parenteral, yaitu faktor risiko penularan HIV/AIDS yang
berkaitan dengan pemberian cairan ke dalam tubuh melalui pembuluh
darah vena. Faktor ini meliputi riwayat transfusi darah, pemakaian
narkotika dan obat-obatan terlarang (narkoba) secara suntik (injecting
drug users).
3. Faktor risiko infeksi menular seksual (IMS), yaitu riwayat penyakit
infeksi bakteri atau virus yang ditularkan melalui hubungan seksual
yang pernah diderita responden, seperti sifilis, condiloma acuminata,
dan gonorrhoea.

27
BAB 3

TREND DAN ISU

3.1 Jurnal I

Estimasi dan proyeksi jumlah infeksi HIV AIDS di Indonesia tahun


2011-2016, menurut populasi berisiko oleh Kemenkes RI pada 2013, dimana
secara signifikan terjadi peningkatan dan pada populasi laki-laki yang
melakukan hubungan seks dengan laki-laki yaitu pada tahun 2011 sebesar
14.532 menjadi 28.640 di tahun 2016. Sama halnya dengan kasus HIV, tren
presentase gay yang terinfeksi HIV AIDS terus meningkat dibandingkan
tahun sebelumnya, gay juga termasuk laki-laki yang mempengaruhi
tingginya kasus HIV AIDS laki-laki. Perilaku seksual berisiko HIV AIDS
yang dilakukan gay meliputi oral dan anal karena memungkinkan terjadinya
pertukaran cairan kelamin. Seksualitas pada gay juga terdiri dari tiga bentuk
antara lain orientasi seksual yaitu ketertarikan kepada sesama jenis, perilaku
seksual yaitu pelampiasan hasrat dan nafsu kepada sesama jenis yang
berhubungan dengan fungsi reproduksi, dan identitas seksual yaitu apa yang
orang lain katakan yang berkaitan dengan orientasi seksual dan perilaku
seksual. Pernyataan diatas sesuai dengan jurnal Gambaran Perilaku Seksual
Berisiko Hiv Aids Pada Pasangan Gay pada tahun 2016 dengan hasil
penelitian bahwa semua subjek penelitian mengaku tidak bisa meninggalkan
kebiasaan melakukan seks berisiko, semua subjek merespon dengan baik
anjuran untuk menggunakan kondom, namun dalam praktiknya tidak sesuai
dengan yang diharapkan. Hanya sebagian kecil atau 2 dari 8 dari subjek
saling mengingatkan dan menggunakan kondom saat berhubungan, 1 subjek
memakai kondom atas inisiatif sendiri, dan sebagian lainnya enggan
menggunakan karena merasa tidak nyaman, walaupun telah mendapat jatah
kondom dari komunitas dan mengetahui riwayat seksual pasangannya.
Semua subjek bertemu dengan pasangannya setiap hari, namun hal itu tidak
membuat mereka lebih sering melakukan hubungan seksual berisiko, rata-

28
rata mereka melakukan hubungan seksual 2 kali seminggu. Semua subjek
biasa melakukan hubungan seksual di kamar mereka, karena aman, gratis
dan kondusif. Perilaku yang biasa dilakukan subjek meliputi kissing,
necking, petting, intercouse yang meliputi oral seks dan anal seks.

3.2 Jurnal II

Jurnal penelitian yang berjudul Faktor Risiko Kejadian HIV pada


Komunitas LSL (Lelaki Seks dengan Lelaki) Mitra Yayasan Lantera
Minangkabau Sumatera Barat bertujuan untuk mengetahui faktor risiko
kejadian HIV pada komunitas LSL (Lelaki Seks dengan Lelaki) Mitra
Yayasan Lantera Minangkabau Sumatera Barat. Penelitian ini menggunakan
metode survei analitik dan case control. Sampel penelitian adalah sampel
kasus berjumlah 24 LSL yang merupakan mitra Yayasan Lantera
Minangkabau Sumatera Barat yang teridentifikasi terinfeksi HIV dan sampel
kontrol berjumlah 24 LSL yang merupakan mitra Yayasan Lantera
Minangkabau yang tidak terinfeksi HIV. Tingkat risiko perilaku seksual LSL
dapat diukur melalui:
1. Frekuensi penggunaan kondom
Pada penelitian ini meskipun frekuensi penggunaan kondom relatif lebih
tinsggi pada kelompok kontrol, namun baru mencapai 58,6% yang artinya
lebih dari sepertiga kelompok kontrol lainnya belum menggunakan
kondom dalam berhubungan seks. Sehingga, kelompok kontrol tetap
berpeluang untuk tertular HIV karena secara teoritis risiko penularan HIV
lebih tinggi melalui hubungan seks tanpa menggunakan kondom.
2. Perilaku membersihkan organ reproduksi
Kelompok kasus memiliki perilaku buruk dalam menjaga kebersihan
organ reproduksi. Perilaku pemeliharaan organ reproduksi yang buruk
dapat menyebabkan infeksi menular seksual (IMS). IMS akan menjadi
pintu masuk bagi penularan HIV karena adanya cairan tubuh atau darah
pada luka akibat IMS. Perilaku pemeliharaan organ reproduksi yang
buruk berisiko 2,5 kali lipat terkena IMS.

29
3. Penggunaan pelumas
Meskipun penggunaan pelumas secara proporsi lebih tinggi pada kasus,
namun selisih antara kasus dan kontrol hanya 2.4%, artinya tingkat
penggunaan kondom antara kedua kelompok tidak jauh berbeda.
Penggunaan pelumas adalah untuk meminimalisir kejadian luka pada anus
saat berhubungan seks secara anal. Struktur anus yang lebih ketat
dibandingkan vagina bila mendapat tekanan yang kuat dapat
menyebabkan lecet bahkan luka (Wahyuningsih dalam Firdaus dan
Agustin, 2013).
4. Bahan dasar pelumas
Dalam hal pemilihan bahan dasar pelumas, kelompok kasus menggunakan
bahan dasar minyak sementara kelompok kontrol menggunakan bahan
dasar air. Hal ini menunjukkan kelompok kasus berisiko lebih tinggi
tertular HIV dibandingkan kelompok kontrol. Pelumas dengan bahan
dasar air adalah yang terbaik dibandingkan bahan dasar minyak dan
silikon. Ini dikarenakan pelumas dengan bahan dasar minyak dan silikon
dapat menyebakan kondom rusak atau sobek.
5. Perilaku berganti pasangan
Berdasarkan perilaku berganti pasangan, kelompok kasus cenderung
memiliki banyak pasangan seks. Jika satu di antara pasangan seks
terinfeksi HIV, maka virus tersebut akan terbawa dalam cairan vagina
atau cairan mani dan cairan pre-cum/getah penis. Terlebih lagi bila pada
organ seks terdapat luka. Dari data menunjukkan bahwa risiko tertular
HIV dari orang yang sudah terinfeksi pada kasus jauh lebih tinggi
dibandingkan pada kontrol.
6. Perilaku membeli seks dari lelaki maupun perempuan
Terdapat perbedaan perilaku antara kedua kelompok, dimana kelompok
kasus cenderung membeli seks dari laki-laki sementara kelompok kontrol
lebih cenderung membeli seks dari perempuan. Perilaku membeli seks
dari pekerja seks komersial (PSK) baik laki-laki maupun perempuan tetap
berisiko untuk tertular HIV, mengingat PSK adalah penyedia jasa seks

30
dan memiliki banyak relasi seks sehingga risiko untuk menularkan HIV
sangat tinggi darinya.
7. Perilaku menjual seks dari lelaki maupun perempuan
Tingginya tingkat perilaku menjual seks pada komunitas LSL dipengaruhi
oleh pekerjaan. Hasil penelitian menemukan hampir separuh (41,7%)
responden tidak bekerja dan terbanyak pada kelompok kasus (58,3).
Sementara itu, juga ditemukan bahwa sebanyak 8,3% responden
merupakan pekerja seks. Yang menarik adalah bahwa kelompok kasus
lebih cenderung menjual seks kepada lelaki dan kelompok kontrol
cenderung menjual seks kepada perempuan. Hal ini berbanding lurus
dengan perilaku membeli seks dari lelaki dan perempuan pada kedua
kelompok, dimana kelompok kasus cenderung membeli seks dari lelaki
dan kontrol cenderung membeli seks dari perempuan.
8. Perilaku berhubungan seks secara anal
Temuan penelitian menunjukkan faktor perilaku anal seks ternyata lebih
banyak ditemukan pada kelompok kontrol. Hal ini menandakan bahwa
kelompok kontrol lebih berisiko untuk terjadinya luka pada anus sehingga
memudahkan penularan HIV melalui jaringan yang luka. Terlebih lagi,
penggunaan pelumas pada kontrol juga relative rendah (48,6%). Perilaku
berhubungan seks secara anal sangat berisiko terinfeksi HIV. Anus tidak
dirancang untuk melakukan hubungan seks, melainkan merupakan saluran
pembuangan kotoran manusia. Selain itu, anus tidak seperti organ
reproduksi wanita atau vagina yang dapat melubrikasi (melumasi) saat
merasa teransang. Melakukan hubungan seks melalui anal berisiko
terjadinya luka atau lecet pada jaringan anus sehingga akan mudah bagi
virus HIV untuk masuk ke dalam darah.
9. Penggunaan narkoba suntik
Meskipun hasil penelitian menunjukkan tidak ada hubungan antara
penggunaan narkoba suntik dengan kejadian HIV, namun jika dilihat dari
proporsi penggunaan narkoba suntik pada kasus lebih besar dibandingkan
pada kontrol. Sehingga faktor risiko ini tetap perlu diwasapadai.

31
Penggunaan jarum suntik secara bergantian adalah risiko tinggi dari
penyakit fisik melalui darah diantaranya HIV. suntikan intravena pada
pengguna jarum suntik dan digunakan secara bergantian secara tidak
sadar telah memasukkan virus ke dalah darah (Sumiati dalam Firdaus dan
Agustin, 2013).
Berdasarkan paparan faktor-faktor di atas, LSL dikhawatirkan akan
menjadi satu di antara mata rantai penularan HV yang potensial, mengingat
bahwa mereka adalah laki-laki heteroseksual yang memiliki orientasi seks
kepada lawan jenis dan sesame jenis (biseksual). Laki-laki heteroseks inilah
yang menjembatani penyebaran HIV melalui hubungan seksual. Jika ada
LSL yang terinfeksi HIV, maka LSL itu akan menyebarkan HIV di
komunitasnya, LSL yang mempunyai istri akan menularkan ke istrinya, ke
perempuan lain atau PSK. Jika istrinya tertular HIV, maka ada pula risiko
penularan HIV pada bayi yang dikandung istrinya saat di kandungan,
persalinan atau menyusui (Harahap dalam Firdaus dan Agustin, 2013).

3.3 Jurnal III


Lesbian, gay, biseksual, dan transgender atau yang sering disingkat
dengan akronim LGBT merupakan istilah yang digunakan sejak tahun 1990-
an untuk menggantikan frasa komunitas gay. Fenomena LGBT ini
menimbulkan pro dan kontra di berbagai kalaangan. Bagi yang setuju
dengan keberadaan LGBT mengharapkan keberadaannya di hargai atas dasar
kemanusiaan, bukan lagi dipandang sebagai perilaku kelainan mental, dan
memiliki akses politik, ekonomi, dan di semua bidang lainnya yang sama
dengan kalangan heteroseksual. Bagi yang kontra dengan LGBT,
memandang perilaku ini menyimpang, berdosa, menimbulkan kerusakan
tatanan sosial kemanusiaan hingga mengarah kepada terjadinya kepunahan
spesies manusia. LGBT juga dipandang sebagai kelainan mental dan
memerlukan terapi dampingan untuk menyembuhkannya.menurut beberapa
sumber perilaku penyimpanganseks ini menunjukkan kecenderungan terus
meningkat jumlahnya di Indonesia.

32
Di Indonesia sendiri memang belum ada data statistik pasti tentang
jumlah LGBT, dikarenakan tidak semua kalangan LGBT terbuka dan dengan
mudah mengakui orientasinya.
Perkembangan jumlah tersebut juga diiringai dengan semakin
banyaknya organisasi-organisasi terkait komunitas tersebut. Gerakan yang
mendorong penerimaan keberadaan mereka juga semakin gencar di
kampanyekan di dunia. Saat ini beberapa kaum homoseksual sudah tidak
malu untuk membuka diri kepada masyarakat. Telah cukup banyak
perkumpulan organisasi homoseksual terbentuk dan berkembang khususnya
di Indonesia. Legalisasi homoseksual di negara-negara barat menjadi rujukan
bagi mereka untuk terus aktif dalam mewujudkan keinginan mereka untuk
melegalisasikan homoseks di Indonesia.

Fenomena LGBT
Homoseksual merupakan masalah global dan modern sekarang ini,
gayahidup atau life style merupakan hal yang sangat penting dan kerap
menjadi ajanguntuk menunjukkan identitas diri. Homoseksual sudah menjadi
suatu fenomenayang banyak dibicarakan di dalam masyarakat, baik di
berbagai negara maupundi Indonesia.
Di negara-negara barat fenomena LGBT sudah tidak lagi menjadi
suatufenomena yang dianggap tabu lagi.4 Orientasi seksual yang lazim ada
dalammasyarakat adalah heteroseksual sedangkan homoseksual oleh
masyarakatdianggap sebagai penyimpangan orientasi seksual. Orientasi
seksual disebabkanoleh interaksi yang kompleks antara faktor lingkungan,
kognitif, dan biologis.Pada sebagian besar individu, orientasi seksual
terbentuk sejak masa kecil.
Di Indonesia sendiri homoseksual masih menjadi suatu
fenomenaseksual yang tidak lazim dan dianggap aneh oleh sebagian
masyarakat. Keberadaan kaum homoseksual di Indonesia masih menjadi
kontroversi dinegara yang mayoritas muslim serta menjunjung nilai moral
yang tinggi.

33
Homoseksual masih dianggap tabu dan menakutkan oleh sebagian
besarkalangan masyarakat. Namun saat ini tak sedikit masyarakat Indonesia
yangtelah menerima kehadiran mereka sebagai salah satu dari keragaman,
bukan lagisuatu hal yang menyimpang. Tak kurang dari 1% penduduk
Indonesia adalahpelaku seks menyimpang (gay dan lesbian), jumlah itu akan
terus bertambahsejalan dengan perkembangan dan eksistensi asosiasi
homoseksual di Indonesia.
Penelitian di Inggris menyebutkan bahwa wanita yang memiliki
riwayathubungan seks dengan wanita memiliki risiko lebih tinggi mengalami
masalah kesehatan seksual, reproduksi dan umum lainya dibandingkan
dengan wanita yang melaporkan hanya berhubungan seks dengan pria. 7
Hasil survai mengatakan sebanyak 356 orang homoseksual yang
diwawancarai dan 40%diantaranya berprilaku berisiko terhadap penularan
PMS (Fritzpatrick et.al,1989).
Tahun 2009 dari laporan UNAIDS 2010 homoseksual dan
transgender merupakan kelompok berisiko terkena HIV sekitar 7,3% , PSK
sekitar 4,9% dan pengguna narkoba suntik sekitar 9,2%.
Berdasarkan estimasi Kemenkes RI pada tahun 2012 terdapat sekitar
1.095.970 gay baik yang tampak maupun tidak. Lebih dari 66.180 orang atau
sekitar 5% dari jumlah gay tersebut mengidap HIV. Padahal pada tahun
2009 populasi gay hanya sekitar 800 ribu jiwa.8 Dalam kurun waktu tahun
2009 hingga 2012 terjadi peningkatan sebesar 37%. Sementara, badan PBB
memprediksi jumlah LGBT jauh lebih banyak, yakni tiga juta jiwa pada
tahun 2011.
Data Kementerian Kesehatan Triwulan I tahun 2012 menyebutkan
dariJanuari sampai dengan Maret 2012 jumlah kasus baru AIDS yang
dilaporkansebanyak 551 kasus. Rasio kasus AIDS antara laki-laki dan
perempuan adalah2:1. Jumlah kasus AIDS tertinggi dilaporkan dari Provinsi
Bali (154), Jawa Barat(104), Jawa Timur (65), dan Sulawesi Selatan (56).
Berdasarkan cara penularan,kasus AIDS kumulatif tertinggi melalui
hubungan seks tidak aman padaheteroseksual (77%), pengguna napza suntik/

34
penasun (8,5%), dari ibu positifHIV ke anak (5,1%), dan hubungan
homoseksual (2,7%). Sampai Maret 2012jumlah kasus AIDS terbanyak
dilaporkan dari DKI Jakarta (5118), Jawa Timur(4669), Papua (4663), Jawa
Barat(4043), Bali (2582), Jawa Tengah (1630), danKalimantan Barat (1269).

Beberapa dampak negatif yang sering ditimbulkan oleh perilaku


LGBTantara lain:
1. Kesehatan; perilaku seks homo dan lesbian lebih beresiko terjangkit
virusHIV/AIDS dan penyakit kelamin yang sulit terobati. sekitar 78%
pelakuhomo seksual terjangkit penyakit kelamin menular. 10 Selain
penyakitkelami, LGBT juga menimbulkan penyakit AIDS yang belum
diketahuiobatnya. Kecenderungan rata-rata umur kaum gay dan lesbian
relatif lebih pendek.
2. Moralitas; LGBT menciderai kemanusiaan kita. Pelaku homo dan
lesbiantelah mengingkari ALLAH yang telah menciptakan manusia
berpasangpasangansebagai fitrahnya.
3. Sosial; perilaku gay dan lesbian tidak akan bisa menghasilkan
keturunan,kerusakan keluarga dan menghancurkan nasab. Jika perilaku
tersebutdilegalkan maka di masa yang akan datang akan terjadi
kepunahan spesiesmanusia.
4. Keamanan; dalam komunitas LGBT sering terjadi tindak kekerasan
seksualdan pembunuhan. Hal ini terjadi karena pelaku LGBT yang
mudahberganti pasangan, kecenderungan pemaksaan kehendak
dominanterhadap pasangan sejenis, kesenangan yang membabibuta,
atausebaliknya kekecewaan berat yang berujung pembunuhan
terhadappasangan sejenisnya. Dalam praktik pemenuhan hasrat
seksualnya tidakjarang mereka juga menempuh kekerasan terhadap anak-
anak, dan kaumwanita lemah lainnya yang diinginkannya.

35
Faktor-faktor yang berhubungan dengan penyebaran LGBT
Secara umum, terjadinya perilaku LGBT dipicu oleh dua hal, yaitu
faktorsyahwat (hormon seksualitas) dan pembenaran akal (pemikiran).
Secara biologis, tubuh manusia memiliki sistem hormonal yang salah
satunya berhubungan dengan dorongan nafsu seksualitas dan orientasi
seksualnya. Penguatan rangsangan yang masuk melalui inderawi (mata,
telinga, kulit) dapat memicu aktivitas hormonal tubuh yang mendorong aksi
pemenuhan kebutuhan biologis berupa penyaluran seksualitas. Seseorang
yang melihat, mendengar, tersentuh sesuatu terkait seks, baik tayangan
pornografi, mendengar aktivitas seks atau sentuhan kulit akibat aktivitas
seksualitas akan mendorong rangsanganseks. Seseorang akan memiliki
hasrat penyaluran seksualitas ketika ada pemicunya tersebut. dorongan
pemikiran yang menganggap perilaku LGBT (seks nonheteroseksual)
sebagai hal yang lazim akan mengarahkan penyaluran hasratseksualitas dari
aktivitas hormonal tubuh tersebut turut menyimpang sesuaikemauan arahan
pikiran. Selain faktor hormonal, kebanyakan faktor lingkungan
mempengaruhi seseorang untuk menjadi gay.
Lingkungan secara langsungmaupun tidak langsung dapat
mengajarkan dan membentuk pemikiran padadiri manusia bahwa sesuatu
yang tadinya tabu atau tidak lazim menjadidianggap lazim. Logika
pemikiran seseorang menjadi berubah yang sebelumnyatidak menganggap
LGBT sebagai hal yang lazim menjadi menganggap sesuatuyang lazim.
Pembenaran perilaku LGBT juga dapat terjadi melalui peristiwa
kehdupanyang dialaminya. Lingkungan yang tidak diharapkan juga dapat
memicupelarian kepada perilaku yang penyimpang sebagai ekspresi
penolakan.
Seseorang dapat menjadi homoseksual dikarenakan keluarga yang
tidakharmonis, misalnya figur bapak sebagai laki-laki yang kejam membuat
seseorangdapat menjadi homoseksual serta faktor lingkungan (konstruksi
sosial) sangatmempengaruhi perkembangan seorang anak, termasuk
pembentukan ataupemilihan orientasi seksualnya. Bagaimana interaksi orang

36
tua mengasuh anak,hubungan antar keluarga, lingkungan pergaulan dan
pertemanan, semuanyadapat menjadi perantara penyebaran LGBT. Ada pula
pelaku gay atau lesbian di masa lalu mendapat pengalaman yangkurang
menyenangkan dari heteroseksual ataupun keluarga sendiri yangakhirnya
menjadikan mereka trauma kecewa dan menjadi gay/lesbian. Beberapahasil
penelitian juga menyebutkan patah hati yang dialaminya juga
menjadikanpenyebab kecenderungan menjadi gay/lesbian. Para pelaku
LGBT menyebutkan bahwa pola asuh orang tua berdampakpada perilaku
menyimpang yang dia alami. Contohnya pola asuh orang tuayang sangat
memanjakan sehingga mereka merasa yang paling diperhatikan dandituruti
semua keinginannya. Penyimpangan pola asuh juga dapat terjadi
sepertikarena mempunyai hubungan yang buruk dengan ibu tirinya.
Rasa benci timbul dengan perempuan dan mengganggap perempuan
ituselalu kejam, sehingga pelaku gay menjadi nyaman dengan laki-laki
sampaidengan saat ini. Pola asuh orang tua yang keliru seperti karena
keinginanmempunyai anak perempuan atau laki-laki sehingga mendorong
penerapan polaasuh sesuai harapan tersebut. Terhadap anak perempuan
terlalu maskulin dansebaliknya.

Rentanitas Anak dan Remaja Terhadap Perilaku LGBT


Adanya kecenderungan timbulnya permasalahan penyimpangan
perilaku seks dapat terjadi di saat usia anak dan remaja. Hal ini sesuai
dengan karakteranak dan remaja yang masih mudah terpengaruh oleh
lingkungan sekitarnya.Berdasarkan beberapa penelitian sebelumnya,
penyimpangan perilkau seks atau disorientasi seks tersebut terjadi akibat
kelainan yang bersifat psikologis ataukejiwaan. Seorang individu anak tidak
akan tahu tentang praktik perilaku LGBTjika tidak dicontohkan atau
dikenalkan oleh orang lain.
Maka awal perilaku penyimpangan tersebut dapat melalui
faktorlingkungan pergaulannya, juga dapat terjadi akibat faktor genetik
atauketurunan, dan dapat pula terjadi karena keinginan individu itu sendiri

37
untukmencoba sesuatu yang baru yang belum pernah mereka rasakan.
Gayakan berperilaku terbuka hanya terhadap teman terdekat dan
pasangannya saja.
Perilaku terbuka terhadap teman terdekatnya yang juga sesama gay
hanya untuksekedar saling mencurahkan apa yang mereka alami pada
pasangannya ataupunhanya sekedar mencari pasangan baru.Sedangkan
perilaku tertutup gay pada masyarakat luas disebabkan karenaprivasi.

Penyebaran dan upaya pencegahan LGBT


Beberapa peristiwa tindak penyimpangan orientasi seksual dilakukan
oleh kalangan LGBT melalui praktik pornografi dan adopsi anak.
Merekamenyebarkan perilaku LGBT tersebut melalui media internet
sehinggadiharapkan menjadi sesuatu yang lazim dan legal di tengah
masyarakat.
Semakin banyaknya pornografi penyebaran LGBT tersebut jika tidak
dicegahakan menimbulkan efek penyebaran LGBT yang cepat. Melalui
kamuflaseadopsi anak, para pelaku LGBT juga leluasa mempraktikkan
perilaku LGBT.Untuk mencegah hal tersebut, negara telah menetapkan
pencegahanpenyimpangan orientasi seksual dan menjelaskannya dalam
Undang-undangNo. 44 tahun 2008 tentang pornografi dan telah
memasukkan istilah persenggamaan yang menyimpang sebagai salah satu
unsur pornografi.Dalam penjelasan pengertian istilah ini mencakup antara
lain persenggamaanatau aktivitas seksual lainnya dengan mayat, binatang,
oral seks, anal seks,lesbian, dan homoseksual.
Dalam pencegahan penyimpangan LGBT melalui praktik adopsi
anak,negara juga telah mengantisipasi motif perbuatan tersebut melalui
PeraturanPemerintah No. 54 tahun 2007 tentang Adopsi yang secara secara
tegasmenetapkan bahwa orang tua yang mengadopsi tidak boleh
pasanganhomoseksual. Demikian pula adopsi oleh orang yang belum
menikah tidakdiperkenankan.

38
Peran Keluarga dan Pendidikan seks bagi anak
Sebagai manusia, karakter positif dan negatif, potensi menjadi baik
dan buruk telah ada pada setiap individu. Masing-masing sifat tersebut
dapatberkembang dan terbentuk dari pengaruh internal diri maupun
lingkungannya.Pada anak-anak dan remaja, pengaruh lingkungan sangat
besar dalammembentuk karakter dirinya. Lingkungan keluarga, sekolah,
teman bermaindan masyarakat sekitar menjadi penting untuk diperhatikan
serta dikelola agarmenciptakan kondisi lingkungan yang baik bagi tumbuh
kembang anak danremaja. Dalam upaya pencegahan penularan perilaku
LGBT, ketahanankeluarga, keharmonisan di tengah keluarga, pola asuh yang
tepat, danpemberian pendidikan yang baik menjadi penting. Selain itu
pengajaran dariorang tua dan lingkungan terdekat akan bagaimana
pendidikan seks untukmenumbuhkan rasa tanggungjawab diri atas nilai seks
biologis, gender danorientasi gender menjadi penting untuk diberikan kepada
anak dan remaja.
Islam telah mengatur bagaimana mengajarkan tentang seks dan
gendersehingga menumbuhkan rasa tanggung jawab anak sejak dini untuk
kehormatandiri dan kemanusiaannya. Anak-anak dan remaja membutuhkan
pendidikanseksual yang mengajarkan betapa berharganya tubuh dan cara
menjaganya.
Pola pendidikan seksual dalam Islam yang relatif praktis dapat
berikanoleh orang tua kepada anaknya tidaklah melalui metode pembahasan
lisan yangmenghilangkan rasa malu manusia. Metode pendidikan kenabian
tersebutsejalan dengan fitrah manusia yang malu membicarakan hal-hal yang
seronok,karena dapat berdampak menggusur secara bertahap kepekaan
terhadap nilainilaiakhlak yang luhur. Hal ini berbeda dengan metode barat
yang penuhdengan muatan seronok dalam pendidikan seksual. Karena
rangsangan seksualitu tidak memerlukan pembicaraan, Namun timbul karena
terlihatnya bagianbagianyang merangsang dari lawan jenisnya. Karena itulah
Islam melakukanpencegahan sedini mungkin agar rangsangan yang bersifat
naluriah itu tidak mengakibatkan bahaya bagi anak-anak.

39
Cara-cara pengajaran pendidikan seksual Islami yang diajarkan
Rasulullah SAW antara lain:
1. Pemisahan Tempat Tidur
Rasulullah SAW bersabda:
Suruhlah anak-anakmu shalat ketika mereka berumur tujuh tahun, dan
pukullahmereka (tanpa menyakitkan jika tidak mau shalat) ketika mereka
berumur sepuluhtahun; dan pisahkanlah tempat tidur mereka. (HR. Abu
Dawud)Pada usia sekitar 10 tahun, umumnya anak-anak telah
mempunyaikesanggupan untuk menyadari perbedaan kelamin. Maka
sesuai hadisttersebut dianjurkan untuk melakukan pemisahan tempat
tidur. Hal inisecara praktis membangkitkan kesadaran pada anak-anak
tentang statusperbedaan kelamin. Cara semacam ini di samping
memelihara nilai akhlaqsekaligus mendidik anak mengetahui batas
pergaulan antara laki-laki danperempuan.
2. Menanamkan Rasa Malu Pada Anak
Rasa malu harus ditanamkan kepada anak sejak dini. Jangan
biasakananak-anak, walau masih kecil, bertelanjang di depan orang lain;
misalnyaketika keluar kamar mandi, berganti pakaian, dan sebagainya.
Terkadangorang tua atau orang dewasa di sekitar anak-anak memberikan
respon yangkurang tepat dalam menanamkan rasa malu. Contohnya ketika
anak-anakkeluar dari kamar mandi bertelanjang tanpa kita sadari respon
orangdewasa disekitarnya justru menertawakan kelucuan tersebut. Hal ini
tanpasadar justru akan dimaknai oleh anak-anak bahwa tidak menutup
auratsebagai sesuatu yang baik dan menyenangkan orang banyak.
3. Menanamkan Jiwa Maskulinitas dan Feminitas
Orang tua perlu selalu memberikan pakaian yang sesuai dengan
jeniskelamin anak, sehingga mereka terbiasa untuk berperilaku sesuai
denganfitrahnya. Anak-anak juga harus selalu diperlakukan sesuai dengan
jeniskelaminnya. Hal ini sesuai aturan islam:

40
Ibnu Abbas ra. berkata: Rasulullah SAW melaknat laki-laki yang
berperilakumenyerupai wanita dan wanita yang berperilaku penyerupai
laki-laki. (HR al-Bukhari).
Adapun peranan orang tua terhadap pendidikan seks yang Islami
bagianak-anak menurut pemikiran Abdullah Nashih Ulwan terbagi dalam
duaaspek, yaitu internal (ke dalam) dan eksternal (ke luar). Tanggung
jawabpendidikan seks secara internal antara lain:
1. Mengajarkan etika meminta izin masuk rumah
2. Mengajarkan etika memandang
3.Menjauhkan anak-anak dari rangsangan seksual dengan upaya preventif,
yaitu pengawasan baik kedalam (internal) maupun keluar (eksternal).
4. Mengajarkan hukum agama pada anak usia puber dan akhil baligh
5. Menjelaskan seluk beluk seks kepada anak.

Selanjutnya beberapa bentuk tanggung jawab dari para orang tua


secaraeksternal antara lain:
1. Mencegah kerusakan akibat fenomena kejahatan di masyarakat
2. Memilihkan teman bergaul yang baik
3. Pengawasan terhadap pengaruh pergaulan yang berlainan jenis
4. Memilihkan sekolah yang baik
5. Bekerjasama dengan media informasi,LSM (Lembaga Sosial
Masyarakat), dan sebagainya.

3.4 Jurnal IV
Homoseksual merupakan suatu ketertarikan romantis dan seksual atau
perilaku antara individu berjenis kelamin atau gender yang sama. Sebagai
orientasi seksual, homoseksualitas mengacu kepada "pola berkelanjutan atau
disposisi untuk pengalaman seksual, kasih sayang, atau ketertarikan romantis"
terutama pada orang dari jenis kelamin sama, "Homoseksualitas juga
mengacu pada pandangan individu tentang identitas pribadi dan sosial
berdasarkan pada ketertarikan, perilaku ekspresi, dan keanggotaan dalam

41
komunitas lain yang berbagi itu. Gaya hidup seksual (sexual lifestyle)
homoseksual merupakan perilaku seksual homoseks yang melekat dalam
dirinya yang yang dipengaruhi oleh lingkungan sosial dan budaya yang
berada disekitarnya serta berdampak pada kesehatannya. Kegiatan dengan
berganti-ganti pasangan termasuk kegiatan seks berisiko serta tidak
menggunakan kondom dapat menyebabkan penyebaran atau penularan
Infeksi Menular Seksual (IMS). Perilaku seksual yang dilakukan adalah
dengan cara hubungan seksual dengan seks oral dan seks anal (lewat dubur)
paling berisiko menularkan HIV pada orang yang menerima penis, di mana
epitel mukosa (selaput lendir) pada anus relatif lebih tipis dan lebih mudah
terluka dibandingkan dengan epitel dinding vagina, sehingga HIV lebih
gampang masuk ke dalam aliran darah
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan faktor yang
mempengaruhi laki-laki menjadi homoseksual dan risiko penularan IMS dan
HIV/AIDS. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kuantitatif, bersifat
observasional dan menggunakan rancangan cross sectional. Populasi dalam
penelitian ini adalah seluruh kaum homoseksual di Kabupaten Jember.
Dari hasil penelitian dibuktikan pula dengan gaya seksual responden
yang tidak aman (88%) seperti berganti-ganti pasangan, oral seks, anal seks,
maupun ketidak konsistenan dalam pemakaian kondom dan pelicin. Sehingga
perilaku seksual yang tidak aman dapat berisiko terhadap penularan IMS
maupun HIV/AIDS. Kondisi seperti ini juga ditemukan pada 3 responden
yang sudah terindikasi positif tertular HIV/AIDS. Oleh karena itu bagi
responden diharapkan lebih meningkatkan kesadaran terhadap risiko
penularan IMS dan HIV/AIDS dengan cara memanfaatkan waktu pada
pengembangan karir dan pendidikan.

42
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Hiv adalah sebuah virus yang menyerang sistem kekebalan tubuh
manusia. HIV/AIDS merupakan satu diantara penyebab kematian terbesar
didunia. Pada tahun 2015 terjadi peningkatan jumlah penderita HIV
/AIDS di seluruh dunia, untuk negara yang mengalami laju inveksi
tertinggi satu diantaranya adalah indonesia. Penyebaran HIV ini
disebabkan dari beberapa faktor dan untuk faktor yang tertinggi yaitu
hubungan seks heteroseksual yang tidak aman.
4.2 Saran
Saran yang dapat disampaikan dari makalah ini yaitu bahwa
HIV/AIDS ini dapat dihindari dengan menghindari faktor pencetus dari
timbulnya penyakit tersebut diantaranya dengan menjauhi seks bebas ,
penggunaan obat-obat terlarang serta dapat menerapkan pola hidup yang
sehat.

43
DAFTAR PUSTAKA

Agung, Waluyo. 2006. Persepsi Pasien dengan HIV / AIDS dan Keluarganya
Tentang HIV / AIDS dan Stigma Masyarakat Terhadap Pasien HIV /
AIDS. Jurnal Keperawatan Indonesia. Volume 10, No.2, hal 61-69. edition
Philadelphia : Saunders Elsevier.
Elona, Uli. 2011. Proporsi Infeksi Opportunistik Pada Penderita HIV/AIDS Di
RSUP Haji Adam Malik. Medan : Universitas Sumatra Utara.
Firdaus, Said dan Helfi Agustin. 2013. Faktor Risiko Kejadian HIV pada
Komunitas LSL (Lelaki Seks dengan Lelaki) Mitra Yayasan Lantera
Minangkabau Sumatera Barat. Vol. 2, No. 2. Padang: FKM Biturrahmah.
Jurnal Kesehatan Komunitas.
Handoko, A. V., & Sofro, M. A. 2012. Hubungan Antara Hitung Sel CD4
Dengan Kejadian Retinitis Pada Pasien HIV Di RSUP Dr. Kariadi
Semarang (Doctoral Dissertation, Fakultas Kedokteran).
Harisson, KM. 2009. Life Expectancy Still Shorter For People With HIV
Hashim, Muhammad Faiz Bin. 2013. Gambaran Karakteristik Kejadian Erupsi
Obat Alergi Pada Penderita HIV/AIDS Di Pusyansus Rumah Sakit Umum
Pusat Haji Adam Malik Tahun 2010-2012. Medan : Fakultas Kedokteran
Universitas Sumatra Utara
Herlani, Nirmala dkk. 2016. Gambaran Perilaku Seksual Berisiko Hiv Aids Pada
Pasangan Gay. Volume 4, Nomor 3, Juli 2016 (ISSN: 2356-3346).
Semarang : FKM Universitas Diponegoro. Jurnal Kesehatan Masyarakat
diakses 20 september 2017
http://download.portalgaruda.org/article.php?article=24849&val=1533
http://jki.ui.ac.id/index.php/jki/article/viewFile/175/pdf_84
Http://Repository.Usu.Ac.Id/Bitstream/123456789/58971/4/Chapter%20II
.Pdf

44
https://media.neliti.com/media/publications/105739-ID-gambaran-
perilaku-seksual-berisiko-hiv-a.pdf
JW Mellors, A Munoz, JV Giorgi, JB Margolick, CJ Tassoni, P Gupta Et Al.
1997. Plasma Viral Load And CD4+ Lymphocytes As Prognostic
Markers Of HIV-1 Infection. Ann Intern Med; 126(12):945-54
Kummar, V., Abbas, AK., Aster JC .2015. Robbins and Cotran; Pathologic Basic
of Disease Ninth.
Laksana, Agung Saprasetya Dwi Dan Diyah Woro Dwi Lestari. 2010. Faktor-
Faktor Risiko Penularan Hiv/Aids Pada Laki-Laki Dengan Orientasi Seks
Heteroseksual Dan Homoseksual Di Purwokerto. Volume 4, Nomor 2,
Mei 2010. Purwokerto: Mandala Of Health.
Maartens, G., Celum, C., dan Lewin, SR. 2014. HIV infection: epidemiology,
pathogenesis, treatment, dan prevention. Lancer. 384, pp.258-327.
Nugroho, Sigit Cahyo. 2010. Pengambilan Keputusan Menjadi Homoseksual
PadaLaki-Laki Usia Dewasa Awal. Semarang: Fakultas Psikologi
Universitas Diponegoro.
Nursalam. 2011. Asuhan Keperawatan Pada Pasien Terinfeksi HIV/AIDS
Jakarta: Salemba Medika.
Rossella, M., & Sofro, M. A. U. 2013. Faktor-Faktor Yang Berpengaruh
Terhadap Harapan Hidup 5 Tahun Pasien Human Immunodeficiency
Virus (HIV)/Acquired Immune Deficiency Syndrome (Aids) Di RSUP
Dr. Kariadi Semarang (Doctoral Dissertation, Faculty Of Medicine
Diponegoro University).
Smeltzer, Suzanne C., Bare, Brenda G.2012. Buku Ajar Keperawatan Medikal
Bedah. Edisi 8, Vol.3. Jakarta : EGC.
Sterling TR, Vlahov D, Astemborski J, Hoover DR, Margolick JB, Quinn TC.
2001. Initial Plasma HIV-1 RNA Level And Progression To AIDS In
Women And Men. N Engl J Med; 344(10):720-5.
Surahma, Wahyu. 2012. Konsep Diri dan Masalah yang Dialami Orang
Terinfeksi HIV/AIDS. Jurnal Ilmiah Konseling. Volume 1, Nomor 1,
Halaman 1 12.

45
Tiva, Merlita Andres. 2013. Gambaran Faktor Yang Mempengaruhi Laki-Laki
Menjadi Homoseksual Dan Risiko Terhadap Penularan Ims Dan Hiv/Aids
(Studi Survei Di Komunitas Homoseksual Di Kabupaten Jember). Jember
: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Jember.
Wainberg MA, Zaharatos GJ, Brenner BG. 2011. Development Of
Antiretroviral Drug Resistance. N Engl J Med; 365:637-46.
Yudiyanto. 2016. Fenomena Lesbian, Daya, Biseksual dan Transgender (LGBT)
di Indonesia serta Upaya Pencegahannya, Vol. 05, No. 01 Januari-Juni.
Lampung: STAIN Jurai Siwo Metro Lampung diakses pada 20 september
2017 http://www.primarytraumacare.org/

46

Anda mungkin juga menyukai