Anda di halaman 1dari 4

ANALISIS RANTAI NILAI PEMASARAN

KOMODITAS KUBIS (Brassica oleracea)

Noveria Sjafrina

Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura


Badan Litbang Kemtan
Jl. Raya Ragunan No.29 A Pasar Minggu

PENDAHULUAN

Komoditas hortikultura memiliki potensi yang besar karena memiliki nilai ekonomi
tinggi dan memiliki banyak potensi penciptaan nilai tambah dibandingkan dengan komoditas
lainnya. Kontribusi sektor hortikultura pada Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia
cenderung meningkat selama dekade terakhir. Bahkan selama dua dekade terakhir nilai
ekspor hortikultura bersama sektor perikanan menyumbang hingga 17% dari total nilai
ekspor bahan pangan (Irawan, 2007). Dua kontributor utama adalah buah-buahan dan
sayuran, diikuti oleh tanaman hias. Pada tahun 2003 PDB dari sektor hortikultura sebesar Rp
53,89 trilyun dan kemudian meningkat menjadi Rp 80,29 trilyun pada tahun 2008 (Ditjen
Hortikultura, 2012).
Sayuran yang dikembangkan di Indonesia jumlahnya sangat beragam, lebih dari 20
jenis sayuran yang diproduksi di 33 propinsi di Indonesia. Namun, dari 20 jenis tersebut,
produksi terbesar dibudidayakan di Jawa dan Sumatera bahkan sampai 85 persen. Provinsi-
provinsi penghasil sayuran terbesar adalahJawa Barat (35,6%), Jawa Tengah (13,3%), Jawa
Timur (11,9%), dan Sumatera Utara (10,3%). Keempat provinsi ini menghasilkan lebih dari
70% total produksi sayuran (Morey, P., Natawidjaja, R. dan Morgan, W, 2009).
Salah satu sayuran yang memiliki potensi besar untuk dikembangkan, tidak hanya
sebagai pemasok sayuran dalam negeri tetapi juga memiliki potensi ekspor adalah kubis.
Kubis merupakan komoditas sayuran yang selalu memberikan surplus perdagangan dari
tahun ke tahun dimana nilai ekspor lebih tinggi daripada nilai impornya. Hal tersebut dapat
dilihat pada Tabel 1 di mana surplus antara ekspor dan impor kubis cenderung meningkat dari
tahun 2005 sampai dengan tahun 2008.
Menurut Data Food and Agriculture Organization (FAO, 2010), Indonesia berhasil
menduduki peringkat kedelapan negara produsen utama komoditas kubis pada tahun 2001
dan 2005. Kabupaten Karo Sumatera Utara merupakan salah satu sentra produksi kubis. Pada
tahun 2010, total produksi kubis Kabupaten Karo mencapai 84.189 ton. Angka produksi ini
mengalami penurunan dibandingkan tahun-tahun sebelumnya yaitu 117.843 ton pada tahun
2008 dan 95.383 ton pada tahun 2009 (Karo dalam Angka, BPS, 2011).
Dari laporan penelitian Puslitbang Hortikultura (2011) banyak dijumpai pertanaman
kubis yang tidak dipanen dan dibiarkan membusuk di lapangan. Tidak dipanennya kubis ini
oleh petani karena harga yang sangat rendah (sekitar Rp.200 300/krop) sehingga biaya
panen lebih tinggi daripada harga jual kubis. Bahkan banyak petani yang membolehkan
kubisnya dipanen oleh siapa saja yang mau tanpa harus membayar, tetapi juga tidak ada yang
bersedia dan mau memanen. Fenomenainiperlumendapatperhatiankhusus mengingat
potensinya yang sebagai komoditas ekspor,sehubungandengankeunggulanspesifik kubis Karo
dalam hal kerenyahannya jika dibandingkan dengan kubis dari negara pesaing,misalnyakubis
dari China.Keunggulan produksi kubis di Kabupaten Karo pada saat harga domestik rendah,
akan menjadi peluang ekspor jika kualitas produk serta fasilitasi ekspor dapat ditingkatkan
karena selama ini seringkali masih belum memadai. Fasilitasi ekspor dibutuhkan karena
merupakan penyederhanaan, penyelarasan, penyamaan, dan modernisasi dari prosedur
perdagangan (Grainger, 2007).
Hasil penelitian Puslitbang Hortikultura tahun 2012 menunjukkan bahwa
aksessibilitas pelaku agribisnis kubis terhadap fasilitas ekspor berbeda antar satu pelaku
dengan pelaku lainnya. Pada tingkat petani, baik secara individu maupun kelompok tidak
memiliki akses langsung terhadap fasilitas ekspor. Namun demikian, bagi petani yang ingin
mengintegrasikan diri ke pasar global maka produksi yang dihasilkan harus memenuhi
syarat-syarat tertentu untuk dapat memasok ke pasar ekspor (.............). Oleh karena itu,
petani baik secara individu maupun kelompok harus mentransformasikan sistem
usahataninya. Untuk melakukan transformasi usahatani dari usahatani tradisional yang
bersifat subsisten ke arah usahatani komersial agar dapat mengakses pasar ekspor diperlukan
beberapa syarat pokok: sistem usahatani maju yang mampu menghasilkan komoditas kubis
berkualitas, sistem pengangkutan dari lahan usahatani hingga ke gudang (coldstorage) secara
baik, pasar untuk kubis lengkap dengan infrastruktur penanganan pascapanen dan
pemasarannya, teknologi yang senantiasa berubah baik teknologi (benih/bibit, budidaya, serta
panen dan pasca panen), alat-alat dan perlengkapan pertanian (pompa air, bak penampung air,
traktor, alat panen), infrastruktur pertanian (jalan usahatani, jalan desa, dan sistem irigasi
dataran tinggi) dan adanya insentif produksi bagi petani (Arsanti, dkk, 2012). Oleh karena itu
diperlukan analisis untuk melihat posisi keuangan relatif bagipara pelaku dalam rantai nilai.
Lebihlanjutakandapat diketahui sejauh mana investasi usahatanidapatdilakukan, biaya,
penerimaan, pendapatan bersih atau keuntungan dan margin antar pelaku dalam suatu rantai
nilai ekspor kubis di Kabupaten Karo sehingga diperoleh analisis untuk mengambil
kesimpulan tentang posisi keuangan setiappelakuagribisniskubis dibandingkan dengan pelaku
lainnya di dalam rantai nilai.
METODOLOGI
Inti konsep Value Chain Analysis (VCA) adalah bagaimana mengkoordinasikan
semua pihak yang terlibat dalam suatu rantai nilai dan membagi informasi secara transparan
di dalam rantai untuk memperoleh efisiensi proses aliran produk dan keuntungan yang adil
bagi setiap pelakunya (Andri dan Stringer, 2010). Konsep value chain menggambarkan
hubungan input-output dan mengidentifikasi aktor kunci yang berperan penting dalam
mengatur rantai produksi (Slob, 2006).
Pemikiran rantai nilai belum tentu selaludapatdiartikansebagai efisiensi produksi,
namun lebih kepada bagaimana menghasilkan lebih banyak keuntungan dengan
meningkatkan nilai tambah. Peningkatan biaya produksi, biaya prosesing atau biaya
pengepakan bukan merupakan permasalahan utama sepanjang konsumen dapat memberikan
nilai dengan kemauan untuk membayarnya. Penambahan nilai suatu produk adalah semua
aktivitas yang dilakukan tentang bagaimana menghasilkan keuntungan lebih dari produk yang
dihasilkan. Beberapa tahapan dalam pelaksanaan VCA menurut Andri dan Stringer(2010)
adalah:
a. Mengindentifikasi permasalahan dan peluang pengembangan komoditas dalam rantai pasok
b. Mengetahui keinginan pasar, menentukan tujuan yang ingin dicapai, sebagai contoh: (i)
membantu produsen/petani untuk masuk pasar modern, (ii) memahami kondisi/ kebijakan
distribusi, peran pelaku dalam rantai, peluang kerja, kompetisi pasar, (iii) memahami peran
perusahaan agribisnis/agroindustri, serta (iv) memahami bentuk partisipasi dari pelaku rantai
pasok terkait dengan ukuran, standar, kualitas, dsb
c. Pemahaman preferensi pelaku pengguna kunci/pengguna komoditas unggulan terpilih.
Beberapa sumber informasi yang dapat digunakan antara lain: (i) perusahaan pengolahan, (ii)
petani/kelompok tani, (iii) agroindustri, (iv) pedagang, (v) pasar induk, (vi) pasar tradisional,
(v) penyedia input, (vi) pedagang pengecer
DAFTAR PUSTAKA

1. Adiyoga, W., Fuglie, K. O., and Suherman, R. 2001. Potato marketing in North
Sumatera and an Assessment of Indonesian Potato Trade. Upward Working Paper
Series No. 7. CIP-UPWARD, Los Banos, Laguna, Philippines.
2. Akman, G. and Yorur, B. 2012. Effects of Business to Business Relations on
Customer Satisfaction and Loyalty in the Context of a Developing Country. American
Journal of Industrial and Business Management, 2012, 2, 217-229
3. Andri, K,B dan R, Stringer, 2010,Panduan pedoman pelaksaan penerapan vca
(analisa rantai nilai) untuk staf peneliti BPTP dan BBP2TP, Badan Litbang
Pertanian, kementrian Pertanian, Bogor.
4. Arsanti, I,W, Y, Hilman, M, J, A, Syah, Saptana, R, S, Basuki, A, L, Sayekti, A, M,
Kiloes, Nurmalinda dan D, Kurniasih, 2012,Kajian fasilitasi ekspor dan penentuan
jumlah impor komoditas hortikultura mendukung penyusunan peraturan menteri
pertanian: studi kasus pada komoditas kubis di sentra produksi Berastagi dan
bawang merah di sentra produksi Brebes,Laporan akhir,Puslitbang Hortikultura,
Badan Litbang Pertanian, Kementan, Jakarta.
5. Biro Pusat Statistik, 2011,Karo dalam angka,Karo.
6. Dinas Perdagangan Provinsi Sumatera Utara, 2012,Realisasi ekspor dan impor buah
dan sayuran Sumatera Utara ke dunia, Medan.
7. FAO, 2010,Statistical data on agriculture, Rome.
8. Grainger, A. 2007. Customs and Trade Facilitation: From Concepts to
Implementation. World Customs Journal. Vol. 2 No. 1: 7-30.
9. Hilman, Y, M, J, A, Syah, A, L, Sayekti, A, M, Kiloes, T, Mulyadi, I, W, Arsanti, J,
Mulyono, Nurmalinda, D, Kurniasih, 2011, Analisis dan sintesis kebijakan
pembangunan agribisnis hortikultura mendukung revitalisasi pertanian, Laporan
akhir, Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Litbang Pertanian,
Jakarta.
10. Irawan, B. 2003. Membangun Agribisnis Hortikultura Terintegrasi Dengan Basis
Kawasan Pasar. Forum Penelitian Agro Ekonomi. Vol. 21 No. 1. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor.
11. Morey, P, Natawidjaja, R, dan Morgan, W, 2009,Rantai nilai sayuran di kawasan
timur Indonesia fokus pada cabe, Laporan akhir Penelitian SADI-ACIAR,
Canberra, Australia.
12. Rich, K,M,, R,B, Ross, A, D, Baker and A, Negassa, 2011,Quantifying value chain
analysis in the context of livestock systems,Food Policy, vol 36,pp 214222.
13. Slob, B, 2006,A Fair share for smallholders: a value chain analysis of coffee
sector,SOMO Centre for Reserach on Multinational Corporations, Amsterdam.

Anda mungkin juga menyukai