Anda di halaman 1dari 31

BAB I

PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang

Hipertensi arteri pulmonalis (HAP) merupakan penyakit serius yang

terjadi pada arteri pulmonalis kecil dan ditandai oleh peningkatan tahanan

vaskuler pulmonal yang berlangsung progresif yang dapat berakhir pada

kegagalan ventrikel kanan dan kematian. Pasien dengan HAP berkepanjangan

mempunyai morbiditas dan mortalitas yang lebih tinggi dari pada kondisi

kausatif yang menyebabkan HAP itu sendiri (Abdelwhab et al, 2009). Secara

mikroskopis HAP ditandai oleh hyperplasia intima, hipertrofi tunika media

penebalan tunika adventitia dan proliferasi endotel.

Hipertensi pulmonal arteri atau yang disebut hipertensi arteri paru,

ditandai dengan kenaikan tekanan arteri pulmonalis (PAPm) 25mmHg saat

istirahat dengan tekanan baji paru (juga dikenal sebagai oklusi arteri

pulmonalis) tekanan 15 mmHg diukur dengan catheterization. HAP jantung

adalah gangguan yang dapat terjadi baik dalam pengaturan sejumlah kondisi

medis tertentu atau sebagai penyakit yang secara unik mempengaruhi sirkulasi

paru-paru. Penyakit ini barangkali belum familiar di telinga masyarakat,

padahal ini adalah jenis penyakit fatal yang menyerang banyak orang pada usia

produktif. Dari segi angka kejadian pada perempuan dua setengah kali lipat

disbanding laki-laki. Pada kasus hipertensi pulmonal primer, penyakit ini

diturunkan, atau terkait faktor genetik.


Hipertensi pulmonal umumnya berakibat dari penyempitan, atau

pengerasan, dari arteri-arteri pulmonary yang memasok darah ke paru-paru.

Secara konsekuen, jantung menjadi lebih sulit untuk memompa darah maju

melalui paru-paru. Tekanan ini pada jantung menjurus pada pembesaran

jantung kanan dan akhirnya cairan dapat menumpuk di hati dan jaringan-

jaringan lain, seperti pada tungkai-tungkai (legs).

Meski diakui, meluasnya penyakit hipertensi arteri pulmonal saat ini

kurang diketahui, namun diperkirakan sekitar 1-2 juta orang per tahun

terdiagnosis menderita penyakit ini. Bahkan, angka yang sebenarnya diprediksi

lebih tinggi mengingat diagnosis penyakit ini masih minim.

Di Indonesia dan kawasan Asia Pasifik, hipertensi arteri pulmonal

kurang terdiagnosis dan kurang pengobatan antara lain karena faktor

kurangnya kesadaran mengenai penyakit ini. Mereka yang menderita hipertensi

paru kebanyakan tidak terobati. Bahkan penderita tidak sadar bahwa mereka

terkena penyakit berbahaya ini, tidak tahu tentang pengobatan yang dapat

meningkatkan harapan hidup dan member kualitas hidup yang lebih baik.

Atas dasar itulah, kami membahas lebih lanjut mengenai hipertensi

arteri pulmonal khususnya mengenai farmakoterapi pada klien hipertensi arteri

pulmonal. Sehingga diharapkan apoteker mampu memberikan pengobatan

yang tepat pada klien hipertensi pulmonal.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II.1 DEFINISI

Hipertensi arteri paru (HAP) atau yang biasa disebut hipertensi

pulmonal adalah suatu keadaan progresif yang ditandai dengan kenaikan

tekanan arteri pulmonal (TAP) yang mengawali terjadinya kegagalan

ventrikel kanan dan kematian yang prematur (1). Tekanan arteri pulmonal

pada hipertensi ini yaitu 25 mmHg saat istirahat atau > 30 mmHg yang

diukur dengan kateterisasi. (2)

Hipertensi arteri paru adalah jenis tekanan darah tinggi yang

mempengaruhi arteri di paru-paru dan sisi kanan jantung. Hipertensi

pulmonal dimulai ketika arteri kecil di paru-paru, yang disebut arteri

pulmonal, dan kapiler menjadi menyempit, tersumbat atau rusak. Hal ini

membuat sulit bagi darah untuk mengalir melalui paru-paru, yang

meningkatkan tekanan dalam arteri di paru-paru. Ketika tekanan meningkat,

ruang kanan bawah jantung (ventrikel kanan) harus bekerja lebih keras untuk

memompa darah melalui paru-paru, menyebabkan otot jantung melemah dan

tidak berfungsi. (3)

II.2 PATOFISIOLOGI

Pada hipertensi pulmonal ditandai dengan poliferasi vaskular dan

remodelling. Hal inilah yang menyebabkan terjadinya peningkatan resistensi


pembuluh darah yang mengakibatkan tejadinya kegagalan pada ventrikel

kanan (1).

Arteri pulmonalis membawa darah dari jantung ke paru, kemudian

darah kembali ke jantung dan dialirkan keseluruh tubuh dengan membawa

oksigen. Pada hipertensi arteri pulmonalis aliran darah dari ventrikel jantung

ke paru mengalami hambatan karena tekanan di ventrikel kanan meningkat.

Hal tersebut mengakibatkan jantung bekerja lebih keras dengan mempercepat

denyut jantung. (4)

Peningkatan afterload ventrikel kanan disebabkan karena pada HAP

terjadi obstruksi vaskular yang mengarah ke peningkatan progresif resistensi

vaskular. Intima, media poliferasi dan obstruktif vaskular paru dianggap

sebagai kunci dalam patogenesis HAP. Adapun peningkatan paru resistensi

pembuluh darah pada HAP disebabkan karena terjadinya vasokontriksi,

remodelling vaskuler dan trombosis.

Proliferasi sel otot halus di perifer kecil arteri pulmonalis merupakan

karakteristik umum dalam semua bentuk HAP. Dalam respon rangsangan

tertentu sel-sel endotel abnormal akan berkembang biak membentuk lesi

plexiform dibeberapa bentuk HAP. Lesi plexiform ini terdiri atas endotel sel,

protein matriks dan fibrolas dimana dapat melenyapkan lumen pembuluh

darah. Rangsangan yang terjadi di endotel sel dicurigai karena beberapa

faktor yang diantaranya adalah infeksi virus dan kerentanan genetik. Selain

adanya lesi dan rangsangan, sel-sel yang berada diluar paru juga ikut dalam

berpartisipasi dalam pembuluh darah yang renovasi bertanggung jawab atas


HAP. Fibrositic dan sel C-kit yang dari sumsum tulang mengalami

diferensiasi menjadi sel-sel pembuluh darah yang akan menghasilkan faktor

proangiogenik yang akan berpengaruh pada patogenesis HAP. Tidak hanya

itu, mekanisme dari inflamasi juga berpengaruh dalam bentuk-bentuk tertentu

dari HAP seperti contoh HAP yang terkait dengan penyakit autoimum dan

infeksi HIV. (6)

II.3 KLASIFIKASI KLINIK HIPERTENSI PULMONAL MENURUT WHO

HAP diklasifikasikan menjadi hipertensi pulmonal idiopatik

(IPAH, atau hipertensi pulmonal primer) dan HAP sekunder..

1. HAP Primer

Merupakan hipertensi pulmonal yang tidak diketahui penyebabnya.

Keadaan ini paling sering terjadi pada usia 20 tahun sampai 40 tahun. Dan

biasanya fatal dalam 5 tahun diagnosis. Hipertensi pulmonal primer lebih

sering didapatkan pada perempuan dengan perbandingan 2:1, angka

kejadian pertahun sekitar 2-3 kasus per 1 juta penduduk, dengan mean

survival dari awitan penyakit sampai timbulnya gejala sekitar 2-3 tahun.

2. HAP Sekunder

Merupakan bentuk yang lebih umum dan diakibatkan oleh penyakit

paru atau jantung yang diderita oleh klien. Penyebab yang paling umum

dari hipertensi pulmonal sekunder adalah konstriksi arteri pulmonar akibat

hipoksia karena penyakit paru obstruksi kronik (PPOK), obesitas, inhalasi

asap dan kelainan neuromuskular. (3)


II.4 ETIOLOGI

Etiologi pasti HAP pada pasien PGTA masih belum diketahui.

Beberapa proses etiologi yang berbeda telah ditetapkan sebagai faktor-faktor

yang mempengaruhinya. Perubahan hormonal dan metabolik yang berkaitan

dengan

PGK dapat menyebabkan vasokonstriksi arteri pulmonalis dan meningkatnya

resistensi vaskular pulmonal. Selanjutnya, peningkatan tekanan arteri

pulmonalis juga disebabkan oleh karena peningkatan cardiac output akibat

dari akses AV fistula itu sendiri dan diperburuk oleh kondisi-kondisi umum

yang terjadi pada PGK seperti anemia dan overload cairan.

Hipertensi Arteri Pulmonal Tipe 1

Salah satu penyebab terpenting peningkatan tekanan arteri

pulmonalis pada pasien HD adalah shunting aliran darah melalui AV

fistula. Perubahan hemodinamik yang berkaitan dengan pemasangan AV

fistula dapat menyebabkan peningkatan cardiac output oleh karena

meningkatnya venous return terhadap jantung, menyebabkan aliran darah

berlebihan ke pulmonal yang akhirnya menyebabkan peningkatan

tekanan arteri pulmonal yang berperan penting terhadap perkembangan

HTP pada pasien PGTA dengan HD melalui AV fistula. Mayoritas studi

menunjukkan adanya korelasi HTP dengan derajat aliran AV fistula.

Mekanisme dimana AV fistula dapat mempengaruhi tekanan arteri

pulmonalis adalah dengan mempengaruhi resistensi vaskular pulmonal

dan cardiac output. Selain itu tindakan pemasangan AV fistula


menghasilkan peningkatan signifikan terhadap diameter end diastolik

ventrikel kiri, pemendekan fraksi dan peningkatan cardiac output

ventrikel kanan yang berpengaruh terhadap peningkatan tekanan arteri

pulmonalis. Faktor lain seperti remodeling arteri pulmonalis yang terjadi

setelah pembuatan AV fistula sistemik, menyebabkan aliran yang

memicu timbulnya HAP. Perubahan karakteristik pembuluh darah yang

disebabkan meningkatnya aliran darah pulmonal termasuk

hiperplasia/fibrosis tunika intima, hiperplasia tunika media, dan

pembentukan lesi flexiform. Perubahanperubahan ini dapat

menyebabkan terjadinya penurunan compliance vaskulatur pulmonal

Gambar 1. Lesi Flexiform arteri pulmonal pada hipertensi pulmonal

Meskipun masih kontroversial, adanya kalsifikasi yang berlebihan

pada pembuluh darah dapat diobservasi pada pasien-pasien usia muda

yang menjalani HD. Kalsifikasi vaskular merupakan tipe kalsifikasi

ekstraosseous yang paling sering terjadi pada pasien PGTA. Kalsifikasi

jarang sekali dapat di identifikasi dengan foto thoraks konvensional (Amin


et al, 2003). Kemungkinan lain adalah pada pasien PGK sering terjadi

hiperparatiroidisme sekunder yang menyebabkan kalsifikasi arteri

pulmonalis.

Berbagai studi menghubungkan terjadinya HTP sebagai

ketidakseimbangan antara vasodilator seperti prostacyclin dan nitric oxide

(NO) dan vasokonstriktor seperti thromboxane A2 dan endothelin-1 NO

dan ET-1 merupakan molekul yang dihasilkan oleh sel endotel berperan

penting dalam patogenesis HTP pada pasien PGTA dengan HD melalui

AV fistula. Respon vasodilatasi yang berkurang pada akses AV fistula

menyebabkan peningkatan cardiac output yang mungkin bisa

menerangkan terjadinya peningkatan tekanan arteri pulmonalis pada

pasien-pasien uremik, menunjukkan bahwa 48% pasien HTP mengalami

peningkatan cardiac output yang signifikan. HTP pada pasien HD

merupakan bentuk HTP yang unik, dimana peningkatan cardiac output

dan kondisi uremik timbulnya disfungsi endotel yang menetap (Nakhoul et

al, 2005). Produksi NO meningkatkan tonus pembuluh darah paru,

mengurangi kapasitas sirkulasi pulmonal dalam mempertahankan akses

AV fistula yang memediasi peningkatan cardiac output dan akhirnya

menyebabkan HTP .

Peningkatan produksi NO pada pasien PGTA dengan HD melalui

AV fistula dihubungkan dengan biocompatibility dialiser. Mekanisme

yang mempengaruhi aktifitas NO pada pasien uremia masih belum jelas.

Terjadinya disfungsi endotel pada seluruh tingkatan PGK mendukung


bahwa uremia berperan langsung terhadap gangguan ini. Menurunnya

bioavailibilitas NO terhadap substrat NO L-arginine, berkurangnya

ekspresi NO synthase pada organ yang bersangkutan, interaksi NO

dengan Reactive Oxygen Species (ROS) dan akumulasi endogen

inhibitor NO synthase seperti dimethyl arginine asimetrik dan

homosistein berperan dalam mekanisme ini .

ET-1 merupakan vasokonstriktor yang poten dan mitogen yang

sangat kuat yang dihubungkan dengan hipertensi primer dan sekunder.

Kadar ET-1 meningkat pada penderita HAP. Aktivitas ET-1 juga

meningkat pada pasien uremia. Pendapat ini didukung oleh adanya

penemuan BOSENTAN (antagonis ET-1) yang menurunkan HAP pada

PGTA secara signifikan

Hipertensi pulmonal Tipe 2

HAP tipe 2 dengan disfungsi diastolik ventrikel kiri lebih tinggi

signifikan pada HAP. Disfungsi diastolik berpengaruh terhadap

perkembangan HAP dengan menyebabkan peningkatan tekanan atrium

kiri. Pada studi yang lain kadar thromboxane B2 (TXB2) lebih tinggi

signifikan pada pasien PGTA dengan HAP . Vena pulmonalis merupakan

tempat kerja primer dari thromboxane. Meningkatnya sintesis zat zat

vasoaktif ini dapat menyebabkan kontriksi vena pulmonalis dan

meningkatkan tekanan mikrovaskular. Proses HD sendiri juga berkaitan

dengan peningkatan produksi thromboxane.


Selain itu adanya korelasi positif yang signifikan diantara pro-brain

natriuretic peptide (pro-BNP) dan HAP pada pasien PGTA. Peranan BNP

terhadap HAP pada pasien PGTA masih belum jelas dan mungkin karena

BNP adalah prediktor penting adanya kongesti kardiovaskulardan

disfungsi diastolik ventrikel kiri yang dapat meningkatkan tekanan

intravaskular pada vena pulmonalis.

Efek lain uremik terhadap tekanan arteri pulmonal telah ditetapkan

sebagai faktor etiologi HAP pada HD melalui disfungsi endotel yang

terjadi pada HAP dan uremia. Penggunaan eritropoetin (EPO) pada

pasien PGK menyebabkan peningkatan resistensi vaskular pulmonal

dimana kemungkinan tidak hanya berhubungan dengan efek vasomotor

tetapi juga remodeling vaskular disebabkan karena stimulasi reseptor

EPO

Hipertensi pulmonal Tipe 3

HAP tipe 3 merupakan tipe hipertensi yang umum terjadi pada

pasien PGK. Selain hipoksemia yang terjadi selama dialisis, sleep apnea

sindrome terjadi pada 3080% pasien dialisis, menyebabkan

hipoventilasi alveolar. Selain itu resiko obstruktif dan gangguan

respiratori sentral meningkat pada pasien PGK dan terapi dialisis. Sleep

apnea sindrome dan gangguan tidur pada pasien PGTA disebabkan oleh

efek langsung uremik ensefalopati dan sitokin somnogenik hipoksia yang

berhubungan dengan gangguan tidur dan dialisis memicu terjadinya


vasokonstriksi pulmonal dan remodelling vaskular yang dapat

menyebabkan peningkatan tekanan arteri pulmonal..

Hipertensi pulmonal Tipe 4

Proses HD sendiri berpengaruh terhadap peningkatan tekanan arteri

pulmonalis, tetapi penyebab pasti masih belum diketahui, mungkin

karena adanya vasokonstriktor seperti endothelin. Penyebab lain adalah

emboli microbubble. Jejas paru dengan mikrobubble yang berulang dapat

menerangkan terjadinya peningkatan tekanan arteri pulmonalis pada

pasien hemodialisis jangka panjang. Selain itu, hemodialisis

menyebabkan episode hipoksemia yang berulang disebabkan karena

blokade parsial capillary bed pulmonal oleh selsel putih atau

mikroemboli silikon. Hipoksia menyebabkan vasokonstriktor pulmonal

aktif sama seperti remodeling struktur vaskulatur arteri pulmonalis.

II.5 PATOGENESIS

Akses vaskular yang dibuat untuk terapi HD adalah artificial sering

menyebabkan terjadinya shunting yang besar dari kiri ke kanan dengan

kapasitas yang selalu meningkat seiring waktu. Pasien PGTA mempunyai

sirkulasi pulmonal yang abnormal secara fungsional. Peningkatan tekanan

arteri pulmonalis yang patologis terjadi pada pasien yang tidak mampu

mengkompensasi sirkulasi pulmonal terhadap akses AV fistula yanG

dihubungkan dengan cardiac output yang tinggi. (10)


Gambar 2. Patogenesis Hipertensi Pulmonal

II.6 MANIFESTASI KLINIS

Pada taraf awal penyakit, biasanya tanpa gejala. Gejala akan

muncul bila penyakit sudah dalam taraf lanjut. Penyakit biasanya berlangsung

progresif namun gejala yang timbul sangat bervariasi mulai dari ringan atau

tanpa gejala sampai berat. Umumnya ditemukan sesak nafas yang makin lama

makin berat, malaise, batuk tidak produktif, pingsan atau sinkop, edema

perifer (pembengkakan pada tungkai terutama tumit dan kaki) dan gejala

yang jarang timbul adalah hemoptisis. Biasanya tidak ditemukan gejala

orthopnea (sesak nafas akibat perubahan posisi) dan paroxysmalnocturnal

dyspnea (sesak nafas pada saat tidur) (4).

Tabel 1. Gejala dan Tanda Hipertensi Pulmonal

Gejala Tanda

Dispnu saat aktivitas Distensi vena jugularis

Fatique Impuls ventrikel kanan dominan

Sinkop Komponen katup paru menguat (P2)


Nyeri dada angina S3 jantung kanan

Hemoptisis Murmur trikuspid

Fenomena Raynauds Hepatomegali

Edema perifer

Sesak nafas saat aktivitas adalah gejala yang paling sering

ditemukan dihampir setiap pasien HAP. Sesak nafas sering diabaikan oleh

pasien, inilah salah satu faktor keterlambatan dalam membangun diagnosis

hipertensi pulmonal. Oleh New York Heart Association, ada empat kelas

fungsional pasien yang diklasifikasikan berdasarkan keterbatasan dalam

aktivitas fisik, dimana keterbatasan ini dalam hal pernapasan normal. (5)

Gambar 3. Tabel klasifikasi status fungsional penderita Hipertensi Pulmonal

II.7 Diagnosis

Gejala yang non-spesifik berhubungan dengan HAP berarti bahwa

diagnosis tidak dapat dilakukan pada gejala saja. Serangkaian investigasi

diperlukan untuk membuat diagnosis awal, untuk memperbaiki diagnosis

dalam hal kelas klinis hipertensi pulmonal dan untuk mengevaluasi tingkat
penurunan fungsional dan hemodinamik. Akibatnya, dapat berguna untuk

mengadopsi pendekatan empat tahap, yaitu :

1. Kecurigaan klinis hipertensi pulmonal

a. Sesak napas (dispnea) tanpa tanda-tanda yang jelas dari jantung tertentu

atau penyakit paru-paru

b. Skrining pasien dengan kondisi yang berhubungan (Penyakit jaringan

ikat, Penyakit Jantung Bawaan, HIV, penyakit Sickle Cell )

c. Temuan insidental pada pemeriksaan karena alasan klinis lainnya

2. Deteksi hipertensi pulmonal

a. EKG (echocardiogram)

b. Doppler echocardiogram

c. Rontgen dada, mungkin menunjukkan bukti kardiomegali dan arteri

paru membesar

3. Identifikasi penyebab lain dari hipertensi pulmonal

- Tes fungsi paru (PFTS) dan sampel gas darah arteri

- Ventilasi dan perfusi paru pemindaian resolusi tinggi computed

tomography (HRCT)

- Angiografi paru

4. HAP evaluasi dan klasifikasi (jenis, kapasitas fungsional, hemodinamik)

- Tes darah dan imunologi, tes HIV, USG perut pemindaian

- Tes berjalan 6 menit (6-MWT) dan puncak VO2 dan Kateterisasi

jantung kanan dan pengujian vasoreactivity. (8)


II.7.1 ELEKTROKARDIOGRAFI (EKG)

Elektrokardiografi (EKG) juga harus dilakukan pasien yang

dicurigai HPP, meskipun tidak spesifik untuk HPP. Gambaran tipikal pada

EKG berupa strain ventrikel kanan, hipertrofi ventrikel kanan dan

pergeseran aksis ke kanan dapat membantu menegakkan diagnosis

hipertensi pulmonal. (8)

Elektrokardiografi (EKG) mungkin memperlihatkan deviasi aksis

ke kanan, hipertrofi atrium kanan (RV) namun seringkali hal itu tidak

signifikan. Emfisema paru kronis dapat mengurangi voltase elektrik EKG

menutupi tanda-tanda hipertrofi. (5)

II.7.1 EKOKARDIOGRAF

Pada pasien yang secara klinis dicurigai hipertensi pulmonal, untuk

diagnosis sebaiknya dilakukan ekokardiografi. Ekokardiografi dapat

mendeteksi kelainan katup, disfungsi ventrikel kiri, shunt jantung. Untuk

menilai tekanan sistolik ventrikel kanan dengan ekokardiografi harus ada

regurgitasi trikuspid. Bila pada pasien dengan hipertensi pulmonal tidak

ada regurgitasi trikuspid untuk menilai tekanan ventrikel kanan secara

kuantitatif, dapat dipakai nilai kualitatif. Tanda-tanda kualitatif tersebut

yaitu pembesaran atrium dan ventrikel kanan serta septum yang cembung

atau rata. Adanya efusi perikard menunjukkan beratnya penyakit dan

prognosis yang kurang baik. (8)


II.7.2 TES FUNGSI PARU

Pengukuran kapasitas vital paksa (FVC) saat istirahat, volume

ekspirasi paksa 1 detik (FEV1), ventilasi volunter maksimum (MW),

kapasitas difusi karbon monoksida, volume alveolar efektif, dan kapasitas

paru total adalah komponen penting dalam pemeriksaan Hhipertensi

pulmonal, yang dapat mengidentifikasi secara significan obstruksi saluran

atau defek mekanik sebagai faktor kontribusi hipertensi pulmonal. Tes

fungsi paru juga secara kuantitatif menilai gangguan mekanik sehubungan

dengan penurunan volume paru pada HP.(8)

II.7.3 RADIOGRAFI TORAK

Khas parenkim paru pada hipertensi pulmonal bersih. Foto torak

dapat membantu diagnosis atau membantu menemukan penyakit lain yang

mendasari hipertensi pulmonal. Gambaran khas foto toraks pada hipertensi

pulmonal ditemukan bayangan hilar, bayangan arteri pulmonalis dan pada

foto toraks lateral pembesaran ventrikel kanan. (8)

Gambar 4. Gambar RO Torak pada penderita HAP


II.8 PENATALAKSANAAN

II.8.1 TERAPI NON FARMAKOLOGI

a. Penderita dianjurkan untuk melakukan olah raga aerobik ringan yang

dilakukan bertahap, seperti berjalan sesuai toleransi pasien

b. Pasien dianjurkan menghindari aktifitas fisik isometrik dan aktifitas fisik

berat yang dapat berakibatsinkop.

c. Pasien juga dianjurkan menghindari ketinggian yang dapat

mengakibatkan vasokonstriksi-hipoksia pulmonal. (9)

II.8.2 TERAPI FARMAKOLOGI

Pengobatan hipertensi pulmonal bertujuan untuk mengoptimalkan

fungsi jantung kiri dengan menggunakan obat-obatan seperti : diuretik, beta-

bloker, kalsium bloker, golongan obat vasoaktif seperti antagonis reseptor

endotelin atau dengan cara memperbaiki katup jantung mitralatau katup

aorta (pembuluh darah utama). Pada hipertensi pulmonal pengobatan

dengan perubahan pola hidup, diuretik, antikoagulan dan terapi oksigen

merupakan suatu terapi yang lazim dilakukan, tetapi berdasar dari penelitian

terapi tersebut belum pernah dinyatakan bermanfaat dalam mengatasi

penyakit tersebut. (9)

1. Penyekat Kalsium

Penggunaan penghambat kalsium telah banyak diteliti dan

digunakan sebagai terapi HAP. Rich et al.,5 pada tahun 1992, meneliti

penggunaan penyekat Kalsium pada pasien HAP sebanyak 95% pasien

bertahan hidup selama 5 tahun. Pengunaan verapamil harus dihindari


karena efek inotropik negatifnya.Penggunaan obat diatas menyebabkan

efek samping bermakna seperti hipotensi berat yang dapat mengancam

hidup pasien, untuk itudiperlukan monitoring yang ketat terhadap

hemodinamik pasien.

Pasien Ipah yang paling mungkin untuk menanggapi

vasodilator akut dan CCB tetapi jumlah menanggapi pengobatan jangka

panjang adalah kecil (sekitar 7%). Obat yang disukai adalah CCB

dihidropiridin karena mereka tidak memiliki efek inotropik negatif

dilihat dengan verapamil. Diltiazem dapat digunakan pada pasien

dengan takikardia untuk memperlambat denyut jantung melalui

atrioventrikular simpul blokade. Jika ventrikel kiri sistolik yang

terganggu hadir, diltiazem sebaiknya tidak digunakan. Penilaian awal

untuk terapi CCB harus terjadi setelah 3 bulan dan jika perbaikan kelas

fungsional untuk kelas I atau II tidak terlihat, tambahan atau alternatif.

Terapi HAP harus dilembagakan. CCBs tidak boleh digunakan empirik

untuk mengobati HAP dalam ketiadaan menunjukkan vasoreaktif akut.

Dosis obat ini relatif tinggi yaitu, sampai dengan 120-240mg/hari untuk

nifedipine dan 240-720mg/ hari untuk diltiazem bagaimana pun, dosis

awal harus jauh lebih rendah dan dititrasi ke atas untuk respon.

2. Bosentan

Bosentan masuk golongan antagonis reseptor endotelin (ERAs).

Bosetan digunakan dalam pengobatan karena banyak bukti tentang

peran Endotelin-1 dalam patogenesis hipertensi pulmonal. Endotelin-1


adalah vasokonstriktor poten dan mitogen otot polos yang berperan

meningkatkan tonus vaskular dan hipertrofi vaskular paru yang

dihubungkan dengan hipertensi pulmonal. Pada pasien dengan HAP

didapatkan peningkatan endotelin-1 dan produknya dalam plasma.

Kadar itu berhubungan dengan berat ringan penyakit. Penelitian

pertama yang dilakukan secara random, double-blind, placebo-

controlled, dan multisenter dengan bosentan 62,5 mg dua kali sehari

selama empat minggu pertama, dilanjutkan sampai dosis 125 mg dua

kali sehari. Pasien pada penelitian tersebut adalah HAP idiopatik berat

atau HAP dengan skleroderma yang mengalami gagal jantung sesuai

dengan kategori fungsional kelas III & IV menurut NYHA. Penggunaan

bosentan, memperlihatkan perbaikan indeks jantung, menurunkan nilai

median tekanan arteri pulmonalis dan memperbaiki kategori gagal

jantung menurut NYHA. (4)

3. Sildenafil

Sildenafil termasuk golongan penghambat fosfodiesterase,

merupakan phosphodieterase type 5 inhibitor yang spesifik.

Sebelumnya dikenal sebagai obat yang digunakan untuk gangguan

fungsi ereksi. Penelitian pada 278 pasien dengan HAP idiopatik dan

HAP dengan kelainan jaringan ikat atau dengan kelainan kongenital

jantung yang telah dikoreksi dengan jembatan pulmonary shunt

menggunakan placebo atau sildenafil (20,40 dan 80 mg) yang diberikan

per-oral tiga kali sehari untuk 12 minggu. Padakelompok yang


menggunakan sindenafil terjadi penurunan mean artery pulmonary

pressure (mPAP). FDA menyetujui sildenafil untuk menurunkan

tekanan arteri pulmonalis pada HAP dengan dosis 20 mg tiga kali

sehari. Dosis yang lebih tinggi dapat menurunkan mPAP, namun dosis

tinggi dalam jangka panjang menyebabkan efek samping pusing, sakit

kepala, epistaksis mual sampai muntah. (9)

II.8.3 TERAPI BEDAH

Pembedahan sekat antar serambi jantung (atrial septostomy) yang

dapat menghubungkan antara serambi kanan dan serambi kiri dapat

mengurangi tekanan pada jantung kanan tetapi kerugian dari terapi ini dapat

mengurangi kadar oksigen dalam darah (hipoksia). Transplantasi paru dapat

menyembuhkan hipertensi pulmonal namun komplikasi terapi ini cukup

banyak dan angka harapan hidupnya kurang lebih selama 5 tahun.

Atrial septosotomi

Blade ballon atrial septostomy dilakukan pada pasien dengan

tekanan ventrikel kanan yang berat. Tujuan prosedur ini adalah dekompresi

overload jantung kanan dan perbaikan output sistemik ventrikel kiri.

Septastotomi atrial harus dilakukan pada. fasilitas yang memadai dan

operator yang berpengalaman

Thromboenarterectomy pulmonary

Menjadi pilihan pengobatan pada pasien hipertensi pulmonal yang

berhubungan dengan penyakit tromboembolik kronik. Dilakukan melalui


median stertonomi pada cardiopulmonary baypass. Secara keseluruhan

angka kematian terus membaik dan kini kirang dari 5%. (9)

Transplantasi Paru

Transplantasi paru dan transplantasi jantung-paru digunakna sebagai

terapi bedah pada pasien dengan penyakt parenkim paru dan gangguan

pembuluh darah paru. Pasien dipertimbangkan untuk transplantasi jika

berada pada kelas NYHA III atau IV.


BAB III

KASUS

I. RIWAYAT PASIEN

Pasien bernama Cindy Price berumur 32 tahun datang dengan keluhan

utama merasa sangat pusing, nafas pendek, dan tiba-tiba pingsan di kamar

mandi dan juga mengeluh mengalami dyspnea. Ia terjatuh di kamar mandi

dan kepalanya terbentur dan segera dibawa ke rumah sakit. Ketika

beristirahat, gejala-gejala seperti dyspnea, pusing, dan kelelahan tidak

dialaminya, melainkan hanya saat beraktivitas dan hal ini sudah dialami

selama 6 bulan. Selama 2-3 bulan lalu terdapat pembengkakan di bagian

pergelangan kakinya. Dan 9 bulan lalu, ia mengalami nafas pendek dan

gejala ini oleh dokter terkait dengan asma sehingga pasien diberikan

albuterol, namun penggunaan albuterol tidak mengatasi gejala nafas

pendeknya tersebut. Pasien menyangkal merokok dan mengonsumsi

alkohol, mengaku pengguna kokain berat di usia 20 tahun, dan pernah

mengonsumsi amfetamin.

II. RIWAYAT KELUARGA

Ayah meninggal akibat gagal jantung di usia 62 tahun. Ibu berusia 57

tahun didiagnosis menderita hipertensi pulmonary 4 tahun lalu. Belum

menikah dan tinggal bersama saudara perempuannya.


III. PENYAKIT YANG PERNAH DIDERITA

Hipertensi selama 4 tahun

GERD selama 6 tahun

Kemungkinan asma

IV. PENGOBATAN YANG DITERIMA

Hidroklortiazid 12,5 mg po Q AM

Albuterol MDI 1-2 Q 4-6 jam PRN SOB

Famotidin 10 mg po PRN sekali sehari

V. PEMERIKSAAN FISIK

VS

BP 130/84, P 120, RR 26, T 37 C; Wt 128 kg, Ht 5'6 '', O2 duduk

88% pada ruang udara

Kulit

Ada diaforesis

HEENT

PERRLA; EOMI; membran mukosa kering; TM utuh

Leher / Kelenjar Getah Bening

(+) JVD; tidak ada limfa denopati; tidak tiromegali; tidak ada bising

Paru-paru / Thorax

Jelas tanpa mengi, ronki, atau rales

Payudara

Ditangguhkan
CV

Berpisah S2, P2 keras, S3 gallop

Abd

Lunak; (+) HJR; hati sedikit diperbesar; usus normal suara

Genit / Rect

Ditangguhkan

MS / Ext

Berbagai gerak; 2+ edema untuk kedua ekstremitas bawah; tidak

clubbing atau sianosis; pulsa teraba

Neuro

A & O 3; DTR yang normal bilateral

Hasil Labs

Na 138 mEq / L Hb 14 g / dL WBC 8,8 103 / mm3 Mg 2.1 mg / dL

K 3,8 mEq / L Ht 40% Neutros 62% Ca 8,4 mg / dL

Cl 98 mEq / L RBC 5.1 106 / mm3 Band 2% BNP 60 pg / mL

CO2 28 mEq / Plt 311 103 / mm3 Eos 1% L

BUN 12 mg / dL MCV 84 m3 Lymphs 32%

SCr 0,9 mg / dL MCHC 34 g / dL Monos 3%

Glu 88 mg / dL

EKG
Sinus takikardia (tingkat 120 bpm); RAD yang; ST-segmen depresi

pada sadapan prekordial kanan; gelombang P tinggi di lead 2, 3, dan

Avf.
Dada X-Ray

Kardiomegali; arteri pulmonalis utama menonjol; tidak jelas edema

paru

Ekokardiografi Dua Dimensi

Ventrikel kanan dan hipertrofi atrium; regurgitasi trikuspid;

Diperkirakan mPAP 55 mm Hg

Ventilasi / perfusi Pindai

Negatif untuk emboli paru

Tes Fungsi Paru

FEV1 = 1.87 L (61% dari prediksi)

FVC = 2.10 L (57% dari prediksi)

FEV1 / FVC = 0.89

Penilaian

A 32 yo menyajikan dengan tanda-tanda / gejala arteri paru

hipertensi (mungkin familial).

VI. IDENTIFIKASI MASALAH

1.a. Apa faktor risiko potensial yang dimiliki pasien sehingga berkembang

menjadi hipertensi arteri paru?

Jawab :

Faktor resiko yang potensial sehingga pasien ini mengidap HAP

adalah faktor genetik dari ibunya yang juga mengidap HAP. Selain

itu, pasien pernah mengonsumsi amfetamin dan kokain sewaktu muda.


1.b. Apa bukti klinis subyektif dan obyektif hipertensi arteri paru?

Jawab :

Bukti subjektif pasien mengidap HAP yaitu : pasien mengalami

nafas pendek, sering pusing dan lelah saat beraktivitas dan sampai

pingsan di kamar mandi. Terdapat pembengkakan di bagian

kakinya serta pasien juga mengalami hipertensi.

Bukti objektif pasien mengidap HAP yaitu : berdasarkan hasil lab

yang dan hasil dari X-Ray dada yang menunjukkan adanya arteri

pulmonari hipertensi.

VII. HASIL YANG DIINGINKAN

2. Apa tujuan awal dan jangka panjang dari terapi dalam kasus ini?

Jawab :

Tujuan pengobatan yaitu untuk mengatasi gejala yang mengganggu

aktivitas, menurunkan hipertensi, dan memperbaiki kualitas hidup

pasien.

3.a. Apa alternatif farmakologis yang tersedia untuk pengobatan hipertensi

arteri paru? Sertakan setiap obat ini peran dalam pengelolaan

penyakit / indikasi, mekanisme tindakan, dosis, efek samping

potensial, kontraindikasi, signifikan interaksi obat, dan parameter

pemantauan.
Jawab :

Alternatif farmakologi dari HAP adalah obat-obat calcium channel

blockers (seperti Diltiazem, Nifedipine, Amlodipine); terapi

konvensional (warfarin, suplemen oksigen, diuretic, digoksin);

prostaglandin analog (Epoprostenol, treprostinil); antagonis endotelin

(Bosentan, Sitaxsentan, Ambrisentan), fosfodiesterase 5-inhibtor

(Sildenafil), inhalasi NO.

a. Antikoagulan direkomendasikan untuk pasien dengan Ipah, Diuretik

digunakan pada pasien dengan dekompensasi gagal jantung kanan dan

dengan temuan terkait peningkatan tekanan vena sentral, kemacetan

organ perut, edema perifer dan asites.

b. Digoxin dapat digunakan untuk pasien PAH dengan gagal jantung

kanan sebagai terapi tambahan bersama dengan diuretik untuk

mengontrol gejala.

c. Terapi Kalsium Channel Blocker

Diltiazem dapat digunakan pada pasien dengan takikardia untuk

memperlambat denyut jantung melalui atrioventrikular simpul

blokade. Jika ventrikel kiri sistolik yang terganggu hadir, diltiazem

sebaiknya tidak digunakan. Dosis obat ini relatif tinggi yaitu, sampai

dengan120-240mg/hari untuk nifedipine dan 240-720mg/ hari untuk

diltiazem- bagaimanapun, dosis awal harus jauh lebih rendah dan

dititrasi ke atas untuk respon.


d. Inhibitor Phosphodiesterase (Sildenafil)

Sildenafil memberikan efek farmakologis dengan meningkatkan

konsentrasi intraselular siklik guanosin monofosfat, menyebabkan

vasorelaxation dan efek antiproliferatif pada selotot polos pembuluh

darah. Dalam uji coba terakhir, sildenafil di induksi penurunan yang

signifikan pada tekanan rata-rata arteri pulmonalis dan resistensi

arteriol, dan kapasitas fungsional meningkat (rata-rata 37m). Dosis

yang dianjurkan adalah 20mg tiga kali per hari, dosis yang lebih tinggi

telah digunakan. Efek samping yang umum termasuk sakit kepala,

ingflush epistaksis, dispepsia, dan diare. Perubahan dalam visitelah

Ipah, idiopatik hipertensi arteri paru.

3.b. Apa alternatif non farmakologis yang tersedia untuk pengobatan

hipertensi arteri paru?

Jawab :

a. Penderita dianjurkan untuk melakukan olah raga aerobik ringan

yang dilakukan bertahap, seperti berjalan sesuai toleransi pasien.

b. Pasien dianjurkan menghindari aktifitas fisik isometrik dan aktifitas

fisik berat yang dapat berakibat sinkop.

c. Pasien juga dianjurkan menghindari ketinggian yang dapat

mengakibatkan vasokonstriksi-hipoksia pulmonal.


VIII. RENCANA OPTIMAL

4.a. Merancang rencana perawatan untuk pengelolaan awal ini hipertensi

arteri paru pasien. Sertakan pasien tertentu informasi, termasuk bentuk

sediaan, dosis, dan jadwal?

Jawab :

Pengobatan untuk HAP menggunakan golongan obat CCB (Nifedipin)

mekanisme kerja obat ini yaitu dengan memblok influks kalsium

ekstra seluler sehingga menyebabkan vasodilatasi, dimana

vasodilatornya lebih berpotensi dibandingkan Diltiazem. Dosis awal

yang digunakan 5 mg sekali sehari. Efek sampingnya yaitu palpitasi,

edema periferal, sakit kepala, pusing, dan konstipasi.

Penggunaan HCT tetap dilanjutkan untuk mencegah terjadinya edema.

Albuterol dihentikan.

Untuk penyakit GERD penggunaan famotidin dilanjutkan 20 mg dua

kali sehari dosis untuk pemeliharaannya ditingkatkan.

4.b. Apa alternatif akan sesuai jika terapi awal gagal atau tidak dapat

digunakan?

Jawab :

Terapi non farmakologi dari HAP adalah memperbaiki pola hidup,

olahraga ringan (berjalan kaki), istirahat yang banyak, makan dan

minum yang bergizi, buah-buahan, sayur-sayuran dan gandum utuh.


IX. EVALUASI HASIL

5. Bagaimana seharusnya terapi yang direkomendasikan dipantau untuk

keberhasilan dan efek samping?

Jawab:

Monitoring obat dilakukan dengan melihat efektivitas obat, apabila

keadaan hipertensi membaik, gejala teratasi, dan aktivitas tidak

terganggu, maka pengobatan dilanjutkan dan bila terjadi efek samping

yang tidak dapat ditolerir segera mengganti terapi pengobatan. Jangan

mengganti obat yang dapat memperparah edema pada kaki, seperti

Diltiazem.

6. Informasi apa yang harus diberikan kepada pasien untuk meningkatkan

kepatuhan, memastikan terapi sukses, dan meminimalkan merugikan

efek?

Jawab:

Edukasi pasien yang penting adalah dengan memberi tahu pasien agar

tetap beraktivitas seperti biasa, membiasakan diri berolahraga ringan

seperti berjalan kaki, dan perbanyak istirahat dan buah,sayur, dan

gandum utuh.
DAFTARPUSTAKA

1. Muh.A Sungkar. Pendekatan Diagnosis Dan Tata Laksana Hipertensi


Pulmonal. Divisi Kardiologi, Departemen Penyakit Dalam Fakultas
Kedokteran Undip. Semarang. 2010

2. Dipiro, dkk. 2008. Pharmacotherapy Hanbook. (E-book).

3. Sudoyo, Aru W Dkk. 2007. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta :
Fakultas Kedokteran Ui.

4. Frits Rw Suling. Hipertensi Arteri Pulmonalis. Bagian Penyakit Dalam


Fakultas Kedokteran Universitas Kristen. Jakarta. 2012

5. McGoon M, Fuster V, Freeman W, Edwards W, Scott J. Pulmonary


hypertension In: Giuliani E, et al., editors. Mayo Clinic practice of
cardiology. St. Louis, MO Mosby, 1996.

6. Montani David. Pulmonary Arterial Hypertension.(Diakses 12 Juni 2013).


Diunduh Dari Url : Http://Www.Ojrd.Com

7. Abdelwhabs S. Pulmonary Hypertension In Renal Failure Patients Kidney.


Amj Nephrol. 2009

8. Oudiz Rj. Pulmonary Hypertension, Secondary. (Diakses12 Maret


2007). Diunduh Dari: Url: Www.Medicine.Com/Med/Topic2946.Html

9. Gali N, Torbicki A, Barst R, Dartevellep, Haworth S, Higenbottam T Et


Al.Guidelines On Diagnosis And Treatment Ofpulmonary Arterial
Hypertension. The Taskforce On Diagnosis And Treatment
Ofpulmonary Arterial Hypertension Of Theeuropean Society Of
Cardiology. Eurheart J 2004

10. Abdelwhab S, Abdelwhab M (2009). Pulmonary hypertension in renal


failure patients. Kidney, 18:68-73

Anda mungkin juga menyukai