Anda di halaman 1dari 11

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG


Peningkatan penduduk lansia pada dasarnya merupakan dampak positif dari
pembangunan. Pembangunan meningkatkan taraf hidup masyarakat, menurunkan angka
kematian dan meningkatkan usia harapan hidup. Namun, disisi lain pembangunan secara
tidak langsung juga berdampak negatif melalui perubahan nilai-nilai dalam keluarga yang
berpengaruh kurang baik terhadap kesejahteraan lansia. Lansia sering kehilangan pertalian
keluarga yang selama ini diharapkan. Perubahan yang terjadi juga menyebabkan
berkurangnya peran dan status lansia dalam keluarga. Selain itu juga mulai terlihat hilangnya
bentuk - bentuk dukungan keluarga terhadap lansia (Junaidi, 2007). Penduduk lansia di
Indonesia tahun 2006 sebesar 19 juta jiwa, dengan usia harapan hidup 66,2 tahun, tahun 2010
diperkirakan jimlah lansia sebesar 23,9 juta jiwa dengan usia harapan hidupnya 67,4 tahun
dan pada tahun 2020 jumlah lansia diperkirakan sebesar 28,8 juta jiwa dengan usia harapan
hidup 71,1 tahun. Peningkatan jumlah penduduk lansia disebabkan oleh tingkat sosial
ekonomi masyarakat yang meningkat, kemajuan dibidang pelayanan kesehatan dan tingkat
pengetahuan masyarakat yang meningkat (MENKOKESRA, 2007).
Meningkatnya jumlah lansia membutuhkan penanganan yang serius karena secara
alamiah lansia itu mengalami kemunduran baik dari fisik, biologis, maupun mentalnya. Hal
ini tidak terlepas dari masalah ekonomi, sosial dan budaya sehingga perlu adanya peran serta
dan dukungan dari keluarga dalam penanganannya. Menurunnya fungsi berbagai organ,
lansia menjadi rentan terhadap penyakit yang bersifat akut atau kronis. Ada kecenderungan
terjadi penyakit degeneratif dan penyakit metabolik (Nugroho, 2000).
Selain penyakit degeneratif, masalah psikologis merupakan faktor penting yang dapat
mempengaruhi kehidupan lansia, diantaranya adalah: kesepian, keterasingan dari lingkungan,
ketidakberdayaan, ketergantungan, kurang percaya diri, keterlantaran terutama bagi lansia
yang miskin serta kurangnya dukungan dari anggota keluarga. Hal tersebut dapat
mengakibatkan depresi yang dapat menghilangkan kebahagiaan, hasrat, harapan, ketenangan
pikiran dan kemampuan untuk merasakan ketenangan hidup, hubungan yang bersahabat dan
bahkan menghilangkan keinginan menikmati kehidupan sehari-hari. Sedangkan pada
perubahan sosial antara lain terjadinya penurunan aktivitas, peran dan partisipasi sosial
(Partini, 2002).
Permasalahan yang dihadapi lansia memerlukan pemecahan sebagai upaya untuk
menyesuaikan diri atau beradaptasi terhadap masalah dan tekanan yang menimpa mereka.
Konsep untuk memecahkan masalah ini disebut dengan mekanisme koping. Koping
dilakukan untuk menyeimbangkan emosi individu dalam situasi yang penuh tekanan. Koping
merupakan reaksi terhadap tekanan yang dibutuhkan lansia untuk memecahkan, mengurangi,
dan menggantikan kondisi yang penuh tekanan (Hawari, 1997).
Dukungan sosial bagi lansia sangat diperlukan selama lansia masih mampu
memahami makna dukungan sosial tersebut sebagai penyokong atau penopang kehidupannya.
Namun dalam kenyataanya ada sebagian lansia yang mampu memahami dan memanfaatkan
dukungan sosial dengan optimal dan ada pula lansia yang kurang mampu memahami adanya
dukungan sosial dari orang lain, sehingga meskipun ia telah menerima dukungan sosial tetapi
masih saja menunjukkan adanya ketidakpuasan, yang ditampilkan dengan perilaku yang
maladaptif seperti, kecewa, kesal dan perilaku menyimpang lainnya (Kuntjoro, 2002).
Dukungan sosial dari keluarga merupakan segala bentuk perilaku dan sikap positif
yang diberikan keluarga kepada salah satu anggota keluarga yang lansia. Dukungan keluarga
memegang peranan penting dalam menentukan bagaimana mekanisme koping yang akan
ditunjukkan oleh lansia. Adanya dukungan dari keluarga dapat membantu lansia menghadapi
masalahnya. Dari permasalahan tersebut penyusun akan membahas dalam makalah ini
dengan batasan pengertian Sosial, peran sosial lansia, dan asuhan keperawatan terkait
masalah sosial lansia.

1.2 RUMUSAN MASALAH


Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas dapat dirumuskan masalah-
masalah berikut ini :
1.Apa pengertian sosial?
2.Bagaimana peran sosial lansia?
3.Apa masalah Kesehatan Jiwa Lansia?
4.Apa Faktor yang Memepengaruhi Kesehatan Jiwa Lansia?
5.Bagaimana asuhan keperawatan sosial lansia?
1.3 TUJUAN PENULISAN
1.3.1 Tujuan Umum
Untuk mengetahui asuhan keperawatan lansia dari aspek sosial
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Agar penyusun lebih mengetahui tentang peran sosial lansia.
2. Semoga makalah ini bisa dijadikan bahan referensi yang terkait mengenai askep lansia.
3. Sebagai bahan belajar dan pengetahuan tentang penanganan lansia dalam lingkungan sosial.
4. Mahasiswa lebih mengetahui masalah kesehtan jiwa kesehatan lansia.

1.4 MANFAAT
1.4.1 Bagi Institusi
1. Digunakan sebagai buku bacaan di perpustakaan agar bisa bermanfaat bagi para pembaca.
2. Sebagai bahan bandingan persepsi tentang masalah yang menyertai lansia.
1.4.2 Bagi Profesi
1. Perawat lebih mengetahui penanganan sosial lansia.
2. Perawat lebih memahami tentang penatalaksanaan dan asuhan keperawatan lansia dari aspek
sosial.
1.4.3 Bagi Penyusun
1. Sebagai ilmu pengetahuan tentang masalah yang dihadapi lansia.
2. Lebih tahu ,tentang permasalahan yang dialami lansia di lingkungan sosial.

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Sosial


2.1.1 Sosial
Sosial dapat berarti kemasyarakatan. Sosial adalah keadaan dimana terdapat
kehadiran orang lain. Kehadiran itu bisa nyata anda lihat dan anda rasakan, namun juga bisa
hanya dalam bentuk imajinasi. Setiap anda bertemu orang meskipun hanya melihat atau
mendengarnya saja, itu termasuk situasi sosial. Begitu juga ketika anda sedang menelpon,
atau chatting (ngobrol) melalui internet. Pun bahkan setiap kali anda membayangkan adanya
orang lain, misalkan melamunkan pacar, mengingat ibu bapa, menulis surat pada teman,
membayangkan bermain sepakbola bersama, mengenang tingkah laku buruk di depan orang,
semuanya itu termasuk sosial. Sekarang, coba anda ingat-ingat situasi dimana anda betul-
betul sendirian. Pada saat itu anda tidak sedang dalam pengaruh siapapun. Bisa dipastikan
anda akan mengalami kesulitan menemukan situasinya. Jadi, memang benar kata Aristoteles,
sang filsuf Yunani, tatkala mengatakan bahwa manusia adalah mahluk sosial, karena hampir
semua aspek kehidupan manusia berada dalam situasi sosial.
Sosial disini yang dimaksudkan adalah segala sesuatu yang dipakai sebagai acuan
dalam berinteraksi antar manusia dalam konteks masyarakat atau komuniti, sebagai acuan
berarti sosial bersifat abstrak yang berisi simbol-simbol berkaitan dengan pemahaman
terhadap lingkungan, dan berfungsi untuk mengatur tindakan-tindakan yang dimunculkan
oleh individu-individu sebagai anggota suatu masyarakat. Sehingga dengan demikian, sosial
haruslah mencakup lebih dari seorang individu yang terikat pada satu kesatuan interaksi,
karena lebih dari seorang individu berarti terdapat hak dan kewajiban dari masing-masing
individu yang saling berfungsi satu dengan lainnya.

2.1.2 Interaksi Sosial


Interaksi sosial adalah keadaan dimana seseorang melakukan hubungan saling
berbalas respon dengan orang lain. Aktivitas interaksinya beragam, mulai dari saling
melempar senyum, saling melambaikan tangan dan berjabat tangan, mengobrol, sampai
bersaing dalam olahraga. Termasuk dalam interaksi sosial adalah chatting di internet dan
bertelpon atau saling sms karena ada balas respon antara minimal dua orang didalamnya.
Berdasarkan sifat interaksi antara pelakunya, interaksi sosial dibedakan menjadi dua,
yakni interaksi yang bersifat akrab atau pribadi dan interaksi yang bersifat non-personal atau
tidak akrab. Dalam interaksi sosial akrab terdapat derajat keakraban yang tinggi dan adanya
ikatan erat antar pelakunya. Hal itu mencakup interaksi antara orangtua dan anaknya yang
saling menyayangi, interaksi antara sepasang kekasih, interaksi antara suami dengan istri,
atau interaksi antar teman dekat dan saudara.
Sebagian besar interaksi sosial manusia adalah interaksi sosial tidak akrab.
Umumnya interaksi dalam situasi kerja adalah interaksi tidak akrab. Termasuk juga ketika
anda mengobrol dengan orang yang baru saja anda kenal, interaksi antar sesama penonton
sepakbola di stadion, interaksi dalam wawancara kerja, interaksi antara penjual dan pembeli,
dan sebagainya.

2.2 Peran pada Lansia


Sama seperti orang berusia madya harus belajar untuk memainkan peranan baru
demikian juga dengan kaum lansia. Dalam kebudayaan dewasa ini, dimana efisiensi,
kekuatan, kecepatan dan kemenarikan bentuk fisik sangat dihargai, mengakibatkan orang
lansia sering dianggap tidak ada gunanya lagi. Karena mereka tidak dapat bersaing dengan
orang-orang yang lebih muda dalam berbagai bidang tertentu dimana kriteria nilai sangat
diperlukan, dan sikap sosial terhadap mereka tidak menyenangkan.
Lebih jauh lagi, orang lansia diharapkan untuk mengurangi peran aktifnya dalam
urusan masyarakat dan sosial. Demikian juga dengan dunia usaha dan profesionalisme. Hal
ini mengakibatkan pengurangan jumlah kegiatan yang dapat dilakukan oleh lansia, dan
karenanya perlu mengubah beberapa peran yang masih dilakukannya.
Karena sikap sosial yang tidak menyenangkan bagi kaum lansia, pujian yang mereka
hasilkan dihubungkan dengan peran usia tua bukan dengan keberhasilan mereka. Perasaan
tidak berguna dan tidak diperlukan lagi bagi lansia menumbuhkan perasaan rendah diri dan
kemarahan, yaitu suatu perasaan yang tidak menunjang proses penyesuaian sosial seseorang.

2.2.1 Peran dalam Keluarga


Kehidupan dalam keluarga pada usia lanjut yang merupakan hal yang paling serius
adalah keharusan untuk melakukan perubahan peran. Mereka semakin sulit dari tahun
ketahun. Semakin radikal perubahan tersebut dan semakin radikal perubahan tersebut dan
semakin berkurang prestise peran tersebut, maka semakin besar pula penolakan terhadap
perubahan.
Pria atau wanita yang telah terbiasa dengan peran sebagai kepala keluarga akan
menemukan kesulitan untuk hidup bergantung dirumah anaknya. Seperti juga halnya dengan
pria yang memperoleh kedudukan dan prestise serta tanggung jawab dalam dunia kerjanya,
merasa akan sulit menghadapi fakta sebagai pembantu istrinya apabila sudah pensiun.Peran
ini dirasakan akan menghilangkan otoritas dan kejantanannya
2.2.2 Peran dalam Sosial Ekonomi
Walaupun mereka sudah mempersiapkan diri untuk pensiun, tetapi lansia menghadapi
masalah yang oleh Erikson disebut krisis identitas (identity crisis), yang tidak sama dengan
krisis identitas yang dihadapi dimasa dewasanya, pada waktu mereka kadang-kadang
diperlakukan sebagai anak-anak dan kadang-kadang sebagai orang dewasa. Krisis identitas
yang menimpa orang setelah pensiun adalah sebagai akibat untuk melakukan perubahan
peran yang drastis dari seseorang yang sibuk dan penuh optimis, menjadi seorang
pengngangur yang tidak menentu. dan lebih lebih lanjut lagi bahwa perubahan terhadap
kebiasaan dan pola yang sudah mantap yang telah dilakukan sepanjang hidup yang pernah
dialaminya, sering mengakibatkan perasaan yang traumatik bagi lansia.

2.2.3 Peran dalam Sosial Masyarakat


Sebagian besar tugas perkembangan usia lanjut lebih banyak berkaitan dengan
kehidupan pribadi seseorang daripada kehidupan orang lain. Orang tua diharapkan untuk
menyesuaiakan diri dengan menurunkan kekuatan, dan menurunnya kesehatan secara
bertahap. Hal ini sering diartikan sebagai perbaikan dan perubahan peran yang pernah
dilakukan didalam maupun diluar rumah. Mereka juga diharapkan untuk mencari kegiatan
untuk menganti tugas-tugas terdahulu yang menghabiskan sebagian besar waktu dikala masih
muda dahulu.
Bagi beberapa lansia berkewajiban mengikuti rapat yang meyangkut kegiatan sosial dan
kewajiban sebagai warga negara sangat sulit dilakukan karena kesehatan dan pendapatan
yang menurun setelah mereka pensiun. Akibat dari menurunnya kesehatan dan pendapatan,
maka mereka perlu menjadwalkan dan menyusun kembali pola hidup yang sesuai dengan
keadaan saat itu, yang berbeda dengan masa lalu.
2.3 Masalah Kesehatan Jiwa Lansia
Masalah kesehatan jiwa lansia termasuk juga dalam masalah kesehatan yang dibahas
pada pasien-pasien Geriatri dan Psikogeriatri yang merupakan bagian dari Gerontologi, yaitu
ilmu yang mempelajari segala aspek dan masalah lansia, meliputi aspek fisiologis, psikologis,
sosial, kultural, ekonomi dan lain-lain (Depkes.RI, 1992:6)
Peningkatan penduduk lansia pada dasarnya merupakan dampak positif dari
pembangunan. Pembangunan meningkatkan taraf hidup masyarakat, menurunkan angka
kematian dan meningkatkan usia harapan hidup. Namun, di sisi lain pembangunan secara
tidak langsung juga berdampak negatif melalui perubahan nilai-nilai dalam keluarga yang
berpengaruh kurang baik terhadap kesejahteraan lansia.
Ada tiga dampak pembangunan yang berpengaruh kurang baik terhadap
kesejahteraan lansia. Pertama, peningkatan prevalensi migrasi desa-kota. Kedua,
meningkatnya aktivitas ekonomi wanita dan yang terakhir adalah perubahan sistem
perekonomian tradisional ke perekonomian modern. Hal ini selanjutnya menyebabkan
terjadinya pemisahan/ keluarnya penduduk lansia dari struktur keluarga. Tiga bentuk
pemisahan lansia dari struktur keluarga tersebut adalah ;

1. Spatial Separation
Peningkatan prevalensi migrasi desa-kota, menyebabkan banyak penduduk lansia
yang ditinggal oleh keluarganya. Meningkatnya mobilitas penduduk yang pada umumnya
dilakukan oleh penduduk usia muda menyebabkan banyak penduduk lansia tidak dapat lagi
menjadi satu dengan keluarga (spatial separation). Kondisi semacam ini jelas sangat
menyulitkan untuk tetap menyantuni orang tua mereka pada usia lanjut.
2. Cultural Separation
Pembangunan juga berdampak pada peningkatan pendidikan wanita.
Peningkatan pendidikan akan menyebabkan nilai waktu wanita di luar rumah akan lebih
tinggi. Hal tersebut menyebabkan berkurangnya alokasi waktu untuk pekerjaan-pekerjaan
kerumahtanggaan, termasuk mengurus orang tua. Selain pendidikan wanita, peningkatan
pendidikan generasi muda secara keseluruhan dan juga akibat kemajuan komunikasi
menyebabkan terjadi perbedaan nilai budaya yang cukup tajam antara penduduk usia muda
dan lanjut usia. Perbedaan tersebut akan mengakibatkan kesulitan untuk menggabungkan
keduanya dalam satu kehidupan.
Fenomena ini disertai perubahan bentuk keluarga dari keluarga luas menjadi keluarga
inti. Dalam suatu keluarga luas, beban sosial dan ekonomi keluarga dapat ditanggung
bersama antara orang tua dan anak. Sementara itu, dalam usia lanjut, tugas perawatan orang
tua dapat dilakukan oleh anak. Akan tetapi, dalam keluarga inti hal semacam itu telah
berubah sama sekali akibat terjadinya perges-eran fungsi sosial dan ekonomi. Peran anak di
bidang sosial seperti membantu pekerjaan rumah tangga, akan digantikan oleh orang lain,
biasanya pembantu. Demikian juga dalam menemani dan merawat orang tua yang lanjut usia.
Peran tersebut tidak lagi dilakukan oleh anak tetapi akan diambil alih oleh institusi atau
pemerintah. Apabila hal ini yang terjadi maka lansia pada akhirnya bukan lagi bagian dari
suatu keluarga.
3. Economic Separation
Bersamaan dengan proses pembangunan, sistem perekonomian akan mengalami
perubahan dari perekonomian tradisional ke perekonomian modern. Peranan orang tua yang
tinggi dalam ekonomi secara tradisional, akan berkurang dalam masyarakat modern. Hal ini
disebabkan angkatan kerja muda dengan pendidikan lebih baik lebih mampu menyesuaikan
diri dengan teknologi baru dan akan mempunyai penghasilan yang lebih baik dari orang
tuanya. Peningkatan mobilitas vertikal telah menyebabkan perubahan sikap perilaku dan
aspirasi mereka terhadap aspek-aspek sosial budaya dan bahkan ekonomi. Hal ini
diperkirakan telah menyebabkan berkurangnya rasa tanggung jawab untuk menyantuni
keluarga pada usia lanjut. Dilihat dari segi ekonomi, ada kecenderungan bahwa rumah tangga
sebagai a unit of production shared telah berubah. Terlihat adanya pemilahan produksi
antargenerasi, bahkan cenderung ke antarindividu. Hal ini jelas akan menyebabkan penduduk
lanjut usia akan mengalami kesulitan dalam ekonomi.
Selain itu dalam masyarakat modern peranan orang tua sebagai sumber pengetahuan
dan kebijaksanaan telah berkurang. Dalam masyarakat tradisional, peranan orang tua sangat
penting dalam meneruskan pengetahuan secara lisan kepada anaknya. Dalam era modern,
pengetahuan disalurkan melalui institusi-institusi formal seperti sekolah, perpustakaan, dan
mass media. Oleh karenanya para orang tua merasa kehilangan rasa keintiman dan hubungan
antar individu dalam keluarga, sehingga mereka merasa diasingkan.
Berkaitan dengan semua perubahan-perubahan tersebut, status orang tua juga
mengalami perubahan yang berarti. Status orang tua yang tinggi dalam masyarakat dengan
sistim keluarga luas, akan cenderung rendah pada masyarakat dengan keluarga inti. Status
penduduk tua cenderung tinggi di masyarakat pertanian, akan rendah di masyarakat industri
Berdasarkan hal tersebut terlihat perubahan yang terjadi menyebabkan berkurangnya
peran dan status lansia dalam keluarga. Selain itu juga mulai terlihat hilangnya bentuk-bentuk
dukungan sosial-ekonomi secara tradisional.

2.4 Faktor yang Mempengaruhi Kesehatan Jiwa Lansia


Ada beberapa faktor yang sangat berpengaruh terhadap kesehatan jiwa lansia.
Faktor-faktor tersebut hendaklah disikapi secara bijak sehingga para lansia dapat menikmati
hari tua mereka dengan bahagia. Adapun beberapa faktor yang dihadapi para lansia yang
sangat mempengaruhi kesehatan jiwa mereka adalah sebagai berikut:
1. Penurunan Kondisi Fisik
Setelah orang memasuki masa lansia umumnya mulai dihinggapi adanya
kondisi fisik yang bersifat patologis berganda (multiple pathology), misalnya tenaga
berkurang, enerji menurun, kulit makin keriput, gigi makin rontok, tulang makin rapuh, dsb.
Secara umum kondisi fisik seseorang yang sudah memasuki masa lansia mengalami
penurunan secara berlipat ganda. Hal ini semua dapat menimbulkan gangguan atau kelainan
fungsi fisik, psikologik maupun sosial, yang selanjutnya dapat menyebabkan suatu keadaan
ketergantungan kepada orang lain.
Dalam kehidupan lansia agar dapat tetap menjaga kondisi fisik yang sehat, maka
perlu menyelaraskan kebutuhan-kebutuhan fisik dengan kondisi psikologik maupun sosial,
sehingga mau tidak mau harus ada usaha untuk mengurangi kegiatan yang bersifat memforsir
fisiknya.Seorang lansia harus mampu mengatur cara hidupnya dengan baik, misalnya makan,
tidur, istirahat dan bekerja secara seimbang.
2. Penurunan Fungsi dan Potensi Seksual
Penurunan fungsi dan potensi seksual pada lanjut usia sering kali
berhubungan dengan berbagai gangguan fisik seperti :
1. Gangguan jantung
2. Gangguan metabolisme, misal diabetes mellitus
3. Vaginitis
4. Baru selesai operasi : misalnya prostatektom
5. Kekurangan gizi, karena pencernaan kurang sempurna atau nafsu makan sangat kurang
6. Penggunaan obat-obat tertentu, seperti antihipertensi, golongan steroid, tranquilizer, serta
7. Faktor psikologis yang menyertai lansia antara lain :
Rasa tabu atau malu bila mempertahankan kehidupan seksual pada lansia
Sikap keluarga dan masyarakat yang kurang menunjang serta diperkuat oleh tradisi dan
budaya
Kelelahan atau kebosanan karena kurang variasi dalam kehidupannya
Pasangan hidup telah meninggal
Disfungsi seksual karena perubahan hormonal atau masalah kesehatan jiwa lainnya
misalnya cemas, depresi, pikun dsb
3. Perubahan Aspek Psikososial
Pada umumnya setelah orang memasuki lansia maka ia mengalami penurunan
fungsi kognitif dan psikomotor. Fungsi kognitif meliputi proses belajar, persepsi,
pemahaman, pengertian, perhatian dan lain-lain sehingga menyebabkan reaksi dan perilaku
lansia menjadi makin lambat. Sementara fungsi psikomotorik (konatif) meliputi hal-hal yang
berhubungan dengan dorongan kehendak seperti gerakan, tindakan, koordinasi, yang
berakibat bahwa lansia menjadi kurang cekatan.
Dengan adanya penurunan kedua fungsi tersebut, lansia juga mengalami perubahan
aspek psikososial yang berkaitan dengan keadaan kepribadian lansia. Beberapa perubahan
tersebut dapat dibedakan berdasarkan 5 tipe kepribadian lansia (lihat artikel MemahamiTipe
Kperibadian Lansia)sebagai berikut:
1) Tipe Kepribadian Konstruktif (Construction personalitiy), biasanya tipe ini tidak banyak
mengalami gejolak, tenang dan mantap sampai sangat tua.
2) Tipe Kepribadian Mandiri (Independent personality), pada tipe ini ada kecenderungan
mengalami post power sindrome, apalagi jika pada masa lansia tidak diisi dengan kegiatan
yang dapat memberikan otonomi pada dirinya
3) Tipe Kepribadian Tergantung (Dependent personalitiy), pada tipe ini biasanya sangat
dipengaruhi kehidupan keluarga, apabila kehidupan keluarga selalu harmonis maka pada
masa lansia tidak bergejolak, tetapi jika pasangan hidup meninggal maka pasangan yang
ditinggalkan akan menjadi merana, apalagi jika tidak segera bangkit dari kedukaannya.
4) Tipe Kepribadian Bermusuhan (Hostility personality), pada tipe ini setelah memasuki lansia
tetap merasa tidak puas dengan kehidupannya, banyak keinginan yang kadang-kadang tidak
diperhitungkan secara seksama sehingga menyebabkan kondisi ekonominya menjadi morat-
marit.
5) Tipe Kepribadian Kritik Diri (Self Hate personalitiy), pada lansia tipe ini umumnya terlihat
sengsara, karena perilakunya sendiri sulit dibantu orang lain atau cenderung membuat susah
dirinya.
4. Perubahan yang Berkaitan Dengan Pekerjaan
Pada umumnya perubahan ini diawali ketika masa pensiun. Meskipun tujuan
ideal pensiun adalah agar para lansia dapat menikmati hari tua atau jaminan hari tua, namun
dalam kenyataannya sering diartikan sebaliknya, karena pensiun sering diartikan sebagai
kehilangan penghasilan, kedudukan, jabatan, peran, kegiatan, status dan harga diri. Reaksi
setelah orang memasuki masa pensiun lebih tergantung dari model kepribadiannya seperti
yang telah diuraikan pada point tiga di atas.
5. Perubahan Dalam Peran Sosial di Masyarakat
Akibat berkurangnya fungsi indera pendengaran, penglihatan, gerak fisik dan
sebagainya maka muncul gangguan fungsional atau bahkan kecacatan pada lansia. Misalnya
badannya menjadi bungkuk, pendengaran sangat berkurang, penglihatan kabur dan
sebagainya sehingga sering menimbulkan keterasingan. Hal itu sebaiknya dicegah dengan
selalu mengajak mereka melakukan aktivitas, selama yang bersangkutan masih sanggup, agar
tidak merasa terasing atau diasingkan. Karena jika keterasingan terjadi akan semakin
menolak untuk berkomunikasi dengan orang lain dan kadang-kadang terus muncul perilaku
regresi seperti mudah menangis, mengurung diri, mengumpulkan barang-barang tak berguna
serta merengek-rengek dan menangis bila ketemu orang lain sehingga perilakunya seperti
anak kecil.
Dalam menghadapi berbagai permasalahan di atas pada umumnya lansia yang
memiliki keluarga bagi orang-orang kita (budaya ketimuran) masih sangat beruntung karena
anggota keluarga seperti anak, cucu, cicit, sanak saudara bahkan kerabat umumnya ikut
membantu memelihara (care) dengan penuh kesabaran dan pengorbanan. Namun bagi mereka
yang tidak punya keluarga atau sanak saudara karena hidup membujang, atau punya pasangan
hidup namun tidak punya anak dan pasangannya sudah meninggal, apalagi hidup dalam
perantauan sendiri, seringkali menjadi terlantar.

2.5 Permasalahan Sosial terkait Kesejahteraan Lansia


Berbagai permasalahan sosial yang berkaitan dengan pencapaian kesejahteraan Lanjut
Usia, antara lain sebagai berikut :
1. Permasalahan Umum

a. Masih besarnya jumlah Lajut Usia yang berada dibawah garis kemiskinan.
b. Makin melemahnya nilai kekerabatan, sehingga anggota keluarga yang berusia
lanjut kurang diperhatikan, dihargai dan dan dihormati, berhubung terjadi perkembangan pola
kehidupan keluarga yang secara fisik lebih mengarah pada bentuk keluarga kecil.
c. Lahirnya kelompok masyarakat industri, yang memiliki ciri kehidupan yang lebih
bertumpu kepada individu dan menjalankan kehidupan berdasarkan perhitungan untung rugi,
lugas dan efisien, yang secara tidak langsung merugikan kesejahteraan lanjut usia.
d. Masih rendahnya kuantitas dan kualitas tenaga profesional pelayanan lanjut usia dan
masih terbatasnnya sarana pelayanan dan fasilitas khusus bagi lanjut usia dengan berbagai
bidang pelayanan pembinaan kesejahteraan lanjut usia.
e. Belum membudaya dam melembaganya kegiatan pembinaan kesejateraan lanjut usia
2. Permasalahan Khusus
Menurut Departemen Sosial Republik Indonesia (1998), berbagai permasalahan khusus
yang berkaitan dengan kesejahteraan lanjut usia adalah sebagai berikut:
a. Berlangsungnya proses menjadi tua, yang berakibat timbulnya masalah baik fisik,
mental maupun sosial. Mundurnya keadaan fisik yang menyebabkan penuaan peran sosialnya
dan dapat menjadikan mereka lebih tergantung kepada pihak lain.
b. Berkurangnya integrasi sosial Lanjut Usia, akibat produktivitas dan kegiatan Lanjut
Usia menurun. Hal ini berpengaruh negatif pada kondisi sosial psikologis mereka yang
merasa sudah tidak diperlukan lagi oleh masyarakat lingkungan sekitarnya.
c. Rendahnya produktivitas kerja lanjut usia dibandingkan dengan tenaga kerja muda
dan tingkat pendidikan serta ketrampilan yang rendah, menyebabkan mereka tidak dapat
mengisi lowongan kerja yang ada, dan terpaksa menganggur.
d. Banyaknya lanjut usia yang miskin, terlantar dan cacat, sehingga diperlukan bantuan
dari berbagai pihak agar mereka tetap mandiri serta mempunyai penghasilan cukup.
e. Berubahnya nilai sosial masyarakat yang mengarah kepada tatanan masyarakat
individualistik, sehingga Lanjut Usia kurang dihargai dan dihormati serta mereka tersisih dari
kehidupan masyarakat dan bisa menjadi terlantar.
f. Adanya dampak negatif dari proses pembangunan seperti dampak lingkungan,
polusi dan urbanisasiyang dapat mengganggu kesehatan fisik lanjut usia
2.6 Asuhan Keperawatan Lansia
A. Pengkajian Keperawatan
1. Identitas Klien
Meliputi nama klien , umur , jenis kelamin , status perkawinan, agama, tangggal MRS ,
informan, tangggal pengkajian, No Rumah klien dan alamat klien.
2. Orang-orang terdekat
Status perkawinan, kebiasaan pasien di dalam tugas-tugas keluarga dan fungsi-
fungsinya, pengaruh orang terdekat, proses interaksi dalam keluarga.
3. Kultural
Latar belakang etnis, tingkah laku mengusahakan kesehatan (sistem rujukan penyakit),
nilai-nilai yang berhubungan dengan kesehatan dan keperawatan, faktor-faktor kultural yang
dihubungkan dengan penyakit secara umum dan respons terhadap rasa sakit, kepercayaan
mengenai perawatan dan pengobatan.
4. Keluhan Utama
Keluhan biasanya berupa menyediri (menghindar dari orang lain) komunikasi kurang
atau tidak ada , berdiam diri dikamar ,menolak interaksi dengan orang lain, tidak melakukan
kegiatan sehari hari , dependen.
5. Faktor predisposisi
Kehilangan, perpisahan ,harapan orang tua yang tidak realistis ,kegagalan /frustasi
berulang, tekanan dari kelompok sebaya; perubahan struktur sosial. Terjadi trauma yang tiba
tiba misalnya harus dioperasi , kecelakaan dicerai suami ,putus sekolah ,PHK, perasaan malu
karena sesuatu yang terjadi ( korban perkosaan ,dituduh KKN, dipenjara tiba tiba)
perlakuan orang lain yang tidak menghargai klien/ perasaan negatif terhadap diri sendiri yang
berlangsung lama.
6. Aspek fisik / biologis
Hasil pengukuran tada vital (TD, Nadi, suhu, Pernapasan , TB, BB) dan keluhafisik
yang dialami oleh klien
7. Aspek Psikososial
a. Genogram yang menggambarkan tiga generasi
b. Konsep diri;
1) Citra tubuh :
2) Menolak melihat dan menyentuh bagian tubuh yang berubah atau tidak menerima
perubahan tubuh yang telah terjadi atau yang akan terjadi. Menolak penjelasan perubahan
tubuh , persepsi negatip tentang tubuh. Preokupasi dengan bagia tubuh yang hilang ,
mengungkapkan keputus asaan, mengungkapkan ketakutan.
3) Identitas diri
Ketidakpastian memandang diri , sukar menetapkan keinginan dan tidak mampu mengambil
keputusan
4) Peran
Berubah atau berhenti fungsi peran yang disebabkan penyakit , proses menua , putus sekolah,
PHK.
5) Ideal diri
Mengungkapkan keputus asaan karena penyakitnya : mengungkapkan keinginan yang terlalu
tinggi.
6) Harga diri
Perasaan malu terhadap diri sendiri , rasa bersalah terhadap diri sendiri , gangguan hubungan
sosial , merendahkan martabat , mencederai diri, dan kurang percaya diri.
c. Klien mempunyai gangguan / hambatan dalam melakukan hubunga sosialdengan orang
lain terdekat dalam kehidupan, kelempok yang diikuti dalam masyarakat.
d. Keyakinan klien terhadap tuhan dan kegiatan untuk ibadah ( spritual)
8. Status Mental
Kontak mata klien kurang /tidak dapat mepertahankan kontak mata , kurang dapat
memulai pembicaraan , klien suka menyendiri dan kurang mampu berhubungan dengan orang
lain , Adanya perasaan keputusasaan dan kurang berharga dalam hidup.
9. Mekanisme Koping
Klien apabila mendapat masalah takut atau tidak mau menceritakan nya pada orang orang
lain ( lebih sering menggunakan koping menarik diri)
10. Aspek Medik
Terapi yang diterima klien bisa berupa therapy farmakologi ECT, Psikomotor,therapy
okopasional, TAK , dan rehabilitas.
B. Diagnosa Keperawatan
1. Harga diri rendah berhubungan dengan merasakan/mengantisipasi kegagalan pada
peristiwa-peristiwa kehidupan.
2. Koping individu tidak efektif berhubungan dengan ketidakseimbangan sistem saraf;
kehilangan memori; ketidakseimbangan tingkah laku adaptif dan kemampuan memecahkan
masalah.
3. Ansietas berhubungan dengan krisis situasional/maturasional.
4. Ketidakpatuhan berhubungan dengan sistem penghargaan pasien; keyakinan kesehatan,nilai
spiritual, pengaruh kultural.
C. Rencana Keperawatan
1. Intervensi Diagnosa 1:
a. Dorong pengungkapan perasaan, menerima apa yang dikatakannya.
Rasionalnya: membantu pasien/orang terdekat untuk memulai menerima perubahan dan
mengurangi ansietas mengenai perubahan fungsi/gaya hidup.
b. Bantu pasien dengan menjelaskan hal-hal yang diharapkan dan hal-hal tersebut
mungkin di perlukan untuk dilepaskan atau dirubah.
Rasionalnya: memberi kesempatan untuk mengidentifikasi kesalahan konsep dan mulai
melihat pilihan-pilihan; meningkatkan orientasi realita.
c. Berikan informasi dan penyerahan ke sumber-sumber komunitas.
Rasionalnya: memungkinkan pasien untuk berhubungan dengan grup yang diminati
dengan cara yang membantu dan perlengkapan pendukung, pelayanan dan konseling.
2. Intervensi Diagnosa 2:
a. Kaji munculnya kemampuan koping positif, misalnya penggunaan teknik
relaksasi keinginan untuk mengekspresikan perasaan.
Rasionalnya: jika individu memiliki kemampuan koping yang berhasil dilakukan dimasa
lampau, mungkin dapat digunakan sekarang untuk mengatasi tegangan dan memelihara rasa
kontrol individu.

b. Perbaiki kesalahan konsep yang mungkin dimiliki pasien


Rasionalnya: membantu mengidentifikasi dan membenarkan persepsi realita dan
memungkinkan dimulainya usaha pemecahan masalah.
3. Intervensi diagnosa 3:
a. Pahami rasa takut/ansietas
Rasionalnya: perasaan adalah nyata dan membantu pasien untuk terbuka sehingga dapat
mendiskusikan dan menghadapinya.
b. Kaji tingkat realita bahaya bagi pasien dan tingkat ansietas.
Rasionalnya: respon individu dapat bervariasi tergantung pada pola kultural yang
dipelajari. Persepsi yang menyimpang dari situasi mungkin dapat memperbesar perasaan.
c. Dorong pasien untuk berbicara mengenai apa yang terjadi saat ini dan apa
yang telah terjadi untuk mengantisipasi perasaan tidak tertolong dan ansietas.
Rasionalnya: menyediakan petunjuk untuk membantu pasien dalam mengembangkan
kemampuan koping dan memperbaiki ekuilibrium.
4. Intervensi diagnosa 4:
a. Tentukan kepercayaan kultural, spiritual dan kesehatan.
Rasionalnya: memberikan wawasan mengenai pemikiran/faktor-faktor yang berhubungan
dengan situasi individu.
b. Kepercayaan akan meningkatkan persepsi pasien tentang situasi dan
partisipasi dalam regimen keperawatan.
c. Kaji sistem pendukung yang tersedia bagi pasien.
Rasionalnya: adanya keluarga/orang terdekat yang memperhatikan/peduli dapat membantu
pasien dalam proses penyembuhan.
D. Implementasi
1. Intervensi Diagnosa 1:
a. Mendorong pasien untuk mengungkapkan perasaannya..
b. Membantu untuk menjelaskan pada pasien hal-hal yang mungkin perlu dirubah.
c. Memberikan informasi dan penyerahan ke sumber-sumber komunitas.
2. Intervensi Diagnosa 2:
c. Melakukan tindakan untuk memunculkan mekanisme koping.

d. Memperbaiki konsep yang dimiliki pasien ke arah yang benar.


3. Intervensi diagnosa 3:
d. Memahami rasa takut/ansietas pasien.
e. Melakukan tindakan tingkat realita bahaya bagi pasien dan tingkat
ansietas.
f. Memotivasi pasien untuk berbicara mengenai apa yang terjadi saat ini dan apa
yang telah terjadi untuk mengantisipasi perasaan tidak tertolong dan ansietas.
4. Intervensi diagnosa 4:
d. Mengarahkan ketentuan kepercayaan kultural, spiritual dan kesehatan.
e. Meningkatkan kepercayaan akan meningkatkan persepsi pasien tentang situasi
dan partisipasi dalam regimen keperawatan.
f. Mengkaji sistem pendukung yang tersedia bagi pasien.
E. Evaluasi
1. Pasien mampu mengidentifikasi adanya kekuatan dan pandangan diri sebagai orang yang
mampu mengatasi masalahnya.
2. Pasien mampu menunjukkan kewaspadaan dari koping pribadi/kemampuan memecahkan
maslah.
3. Pasien mampu melakukan relaksasi dan melaporkan berkurangnya ansietas ke tingkat yang
dapat diatasi.
Pasien dapat menunjukkan pengetahuan yang akurat akan penyakit dan pemahaman regimen
pengobatan

Anda mungkin juga menyukai