Anda di halaman 1dari 2

BATUBARA DI INDONESIA

Indonesia memiliki potensi pada sumber daya batubara. Pada tahun 2000, Direktorat Batubara,
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (Kedutaan Besar Amerika Serikat di Jakarta, 2000)
memperkirakan cadangan batubara mencapai 38,8 miliar Mt dengan potensi 21,1 miliar Mt di Kalimantan,
17,8 miliar Mt di Sumatera, dan sisanya berada di Sulawesi, Jawa, dan Papua. Tabel 1 menunjukkan rincian
antara sumber daya (resources), cadangan (reserves), dan operasional pada tahun 2000. Pada tahun 2006,
Direktorat Sumber Daya Mineral, Batubara, dan Panas Bumi memperkirakan potensi sumber daya
batubara sebesar 57 miliar Mt (Setiawan, 2006).

Pada tahun 2005 (Setiawan, 2006), distribusi operasional pertambangan batubara adalah sebagai
berikut:

1. Perusahaan milik negara (BUMN)= 2 perusahaan


2. perusahaan swasta nasional = 65 perusahaan
3. perusahaan pertambangan asing = 18 perusahaan.

Indonesia mengalami peningkatan pertumbuhan produksi batubara dan ekspor yang mengesankan dalam
20 tahun terakhir. Ekspor setara dengan enam juta Mt pada tahun 1991 sedangkan pada tahun 2005,
Indonesia mengekspor 93 juta Mt (Setiawan, 2006) dengan total produksi 134 juta Mt. Indonesia telah
mengalami perkembangan dari posisi eksportir batubara termal terbesar keenam pada tahun 1992
(Sherer, 1994) menjadi eksportir batubara termal terbesar serta eksportir batubara metalurgi dan thermal
terbesar kedua setelah Australia pada tahun 2005 (Fairhead dan lain-lain, 2006). Batubara yang diekspor
dari Indonesia memiliki komposisi lebih rendah abu dan belerang daripada batubara yang diekspor
Australia (Fairhead dan lain-lain, 2006). Indonesia terutama ke Jepang dan Taiwan, dengan jumlah yang
lebih rendah ke Korea Selatan, Filipina dan China (Hong Kong). Jumlah terminal batubara sekarang 17
dengan kapasitas antara 5.000 dan 200.000 DWT (bobot mati) dengan rencana akan ditingkatkan akses
dan potensi pengiriman seiring dengan meningkatnya ekspor batubara.

Sebagian besar deposit batubara secara geologis merupakan batubara muda (Cenozoik) yang
terlihat dalam distribusi peringkat: lignit = 58%, sub-bituminous = 27%, bitumen = 14%, dan antrasit <0,5%
(Kedutaan Besar AS di Jakarta, 2000). Sebagian besar, batubara yang ditambang untuk ekspor memiliki
nilai panas yang berkisar antara 5.000 sampai 7.000 kkal / kg, dengan kadar abu dan belerang rendah
(Kedutaan Besar Amerika Serikat di Jakarta, 2000). Batubara kelas rendah dicirikan oleh kandungan air
yang tinggi (20 sampai 40%) dan nilai kalori rendah kurang dari 5.000 kkal / kg; Batubara ini, saat ini
dianggap tidak ekonomis untuk ekspor karena kandungan airnya tinggi. Kalimantan memiliki batubara
berkualitas tinggi dan merupakan lokasi eksplorasi yang potensial walaupun daerah-daerah lain seperti
Papua yang memiliki kebutuhan energi yang mendesak, dalam tahap eksplorasi dan pengemban.

Cekungan Batubara di Indonesia


Paleogene awal terjadi rifting sepanjang tepi Sundaland, yang merupakan busur belakang
Samudera Hindia (Kusnama dan lain-lain, 1993; Cole dan Crittenden, 1997), yang kemudian menghasilkan
berbagai cekungan dangkal. Awalnya terendapkan endapan fluvial kemudian terendapkan endapan
pantai dan / atau lacustrine tergantung lokasi. Litologi yang diendapkan berupa karbonat, clastics dan
batubara yang dimulai pada Eocene awal. Batubara yang terendapkan pada Eosen merupakan cekungan
yaitu: Barito (Kalimantan Tengah), Pasir dan Asam Asam (Kalimantan Selatan dan Timur), Kutai Atas
[(Kalimantan Timur dan Tengah), Melawi dan Ketungau (Kalimantan Barat) , Tarakan (Kalimantan Timur),
Ombilin (Sumatera Barat), Cekungan Sumatera Tengah (Riau), dan lapisan tipis batubara yang berasal dari
cekungan kecil di Jawa dan Sulawesi Selatan.

Adanya kenaikan muka air laut menyebabkan berakhirnya endapan hasil rifting dan pembentukan
batubara pada paleogen awal. Setelah kenaikan muka air laut, terjadinya kompresi dan pengangkatan
yang menyebabkan terbentuknya cekungan saat Miosen Tengah. Pada Miosene (kemungkinan miosen
muda) batubara memiliki bantalan (bearing) yang ditambang dari cekungan (Kalimantan), Cekungan
Barito (Kalimantan Tengah), Cekungan Sumatera Selatan (Bengkulu Selatan), Cekungan Bengkulu
(Bengkulu), dan di Tarakan Cekungan (Kalimantan Timur). Batubara umur Miosen adalah batubara dengan
kadar abu dan belerang yang sangat rendah serta berpangkat rendah kecuali terkena aktivitas batuan
beku (magmatisme). Lingkungan formasi dimodelkan dimana gambut ombrogenous terbentuk di atas
permukaan air yang menghasilkan batubara yang bebas dari pengaruh detritus yang dibawa oleh air dan
kandungan belerang dari perairan payau, hal tersebut serupa dengan endapan gambut ombrogenous
modern di Indonesia (misalnya Cobb dan Cecil, 1993; Esterle dan Ferm, 1994).

Ekspor Batubara Paleogene dan Neogene Indonesia memiliki kadar abu dan belerang sangat
rendah. Batubara dipelajari petrogenesis untuk memahami lingkungan formasi atau lingkungan
pengendapan yang mengarah pada karakteristik cekungannya (Cobb dan Cecil, 1993) dan untuk
pembahasan lebih rinci tentang setting geologis lokal, pembaca direferensikan ke pustaka Friederich
dkk(1999) dan Soehandojo (1989). Mayoritas batubara yang saat ini ditambang di Indonesia berasal dari
umur Eosen dan Miosen yang berasal dari dua pulau, Sumatra dan Kalimantan. Sikuen bantalan batubara
(coal-bearing) yang berumur Kenozoikum terdapat juga di Jawa dan Sulawesi dan Neogene (Formasi
Steenkool) serta batubara Permian di Papua (Gambar 2).

Anda mungkin juga menyukai