Anda di halaman 1dari 140

PRESENTASI KASUS

PEREMPUAN 51 TAHUN DENGAN CHF NYHA IV, DKD STAGE V,


DM TIPE 2, ANEMIA EC PGK, HIPOKALEMIA RINGAN DAN
HIPERKALSEMIA RINGAN

Oleh:
Agil Noviar Alvirosa (G99152034)
Itsna Ulin Nuha (G99152035)
Putri Nur Kumalasari (G99152031)
Rusmita Hardinasari (G99152038)

Pembimbing

dr. Evi Nurhayatun, Sp. PD, M.Kes

KEPANITERAAN KLINIK SMF ILMU PENYAKIT DALAM


FAKULTAS KEDOKTERAN UNS/RSUD DR. MOEWARDI
SURAKARTA
2017
HALAMAN PENGESAHAN

PEREMPUAN 51 TAHUN DENGAN CHF NYHA IV, DKD STAGE V,


DM TIPE 2, ANEMIA EC PGK, HIPOKALEMIA RINGAN DAN
HIPERKALSEMIA RINGAN

Oleh :
Agil Noviar Alvirosa (G99152034)
Itsna Ulin Nuha (G99152035)
Putri Nur Kumalasari (G99152031)
Rusmita Hardinasari (G99152038)

Telah disahkan pada tanggal:

dr. Evi Nurhayatun, Sp. PD, M.Kes

2
BAB I
STATUS PASIEN

I. ANAMNESA
A. Identitas Pasien
Nama :Ny. Y
Jenis kelamin :Perempuan
Umur :51 Tahun
Alamat :Jatiroto, Wonogiri, Jawa Tengah
Suku :Jawa
Pekerjaan :Buruh Tani sejak sakit pasien tidak bekerja
Pendidikan :SMP
Agama :Islam
Status :Menikah
No. RM ; 01359XXX
Tanggal masuk RS : 25 April 2017
Tanggal pemeriksaan : 27 April 2017

B. Data Dasar
Autoanamnesis, alloanamnesis, dan pemeriksaan fisik dilakukan
pada tanggal 27 April 2017 di Bangsal Penyakit Dalam RSDM Melati I
Kamar 1A

Keluhan Utama
Sesak napas memberat sejak 2 jam SMRS

Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien datang ke IGD RSDM dengan keluhan sesak napas yang
memberat sejak 2 jam SMRS. Sesak dirasakan setelah pasein menjalani
cuci darah, makin lama semakin memberat, dada terasa tertekan dan
pasien merasa kesulitan untuk bernapas. Sesak tidak dipengaruhi oleh
perubahan cuaca dan debu, batuk disangkal. Pasien memang sering sesak
terutama saat aktivitas ringan dan istirahat, pasien mengaku lebih nyaman
berbaring sebelah kanan daripada kiri. Pasien juga mengeluh dada
berdebar-debar yang timbul bersamaan dengan sesak, muncul tiba-tiba dan
terus menerus. Berdebar-debar tidak berkurang walaupun dipakai
istirahat. Penurunan berat badan , tidak tahan panas maupun gemetar

3
disangkal. Nyeri dada kiri disangkal, nyeri menjalar ke lengan kiri atau
punggung disangkal.
Pasien juga sering merasakan lemas diseluruh tubuh terus menerus
sejak 7 bulan yang lalu, tidak berkurang dengan pemberian makan,
kadang-kadang mendadak pusing nggliyer saat perubahan posisi dari
duduk ke berdiri. Sekitar 7 bulan SMRS, pasien berobat ke RSDM dan
dokter mengatakan pasien harus menjalani cuci darah rutin 1x/minggu
(setiap hari Selasa). Saat cuci darah pasien sudah mendapatkan transfusi
darah beberapa kali.
Sekitar 2 tahun SMRS, pasien sudah sering sesak terutama bila
aktivitas dan berkurang dengan istirahat. Pasien mengaku kadang
terbangun dari tidur karena sesaknya. Bengkak juga dirasakan hilang
timbul di kedua kaki. Bengkak muncul terutama saat berdiri lama atau saat
sore hari dan berkurang saat pagi hari. Pasien nyaman tidur dengan 3
bantal. Pasien mengeluh mual muntah yang hilang timbul, diperberat
dengan Pasien punya riwayat pernah berobat ke RSDM karena keluhan
sesak yang sangat hebat, mual muntah yang memberat dan gatal-gatal
dikulit, oleh dokter didiagnosis terkena sakit ginjal. Namun, pasien tidak
mau berobat rutin.
Saat ini, pasien buang air kecil 1 3 kali sehari, sebanyak 200 cc
tiap kencing kadang kurang, berwarna kuning. BAK berwarna seperti teh
disangkal. BAK terasa panas disangkal. Nyeri saat BAK disangkal. BAK
anyang-anyangan disangkal. BAK darah disangkal. BAK berpasir
disangkal.
Pasien buang air besar 1 kali sehari, dengan konsistensi lunak, dan
berwarna kecokelatan. BAB darah disangkal. BAB berwarna hitam
disangkal. BAB berbau amis disangkal. BAB berlendir disangkal.
Pasien memiliki riwayat sakit gula dan darah tinggi 10 tahun,
Pasien mengaku tidak rutin kontrol dan minum obat jika ada keluhan.
Pasien mengaku saat cek gula darah biasanya 400 500. Untuk tensi
biasanya 150 170 (sistolik). Setengah tahun terakhir, pasien rutin minum

4
obat domperidon (jika ada mual), anemolat 1 x 1mg, amlodipin 1 x 10 mg,
acetylcystein 3 x 200 mg dan humalog mix (10-0-10 IU) .
Pada saat di IGD dan dilakukan pemeriksaan EKG ditemukan
gambaran Atrial Fibrilasi dengan respon ventrikel cepat, HR 120 bpm,
normoaxis dan LVH. Kemudian pasien diberikan tatalaksana injeksi
lanoxin 0,25 mg/4jam sampai HR< 100x/menit, setelah pemberian lanoxin
/4 jam di monitoring EKG didapatkan irama sinus rythm, HR : 105 bpm,
normoaxis,LVH dan dilanjutkan injeksi lanoxin sampai HR < 100 bpm.

Riwayat Penyakit Dahulu

Penyakit Onset/ Kronologis


Riwayat asma Disangkal
Riwayat alergi Disangkal
Riwayat operasi Disangkal
Riwayat mondok (+) 7 bulan yang lalu karena keluhan sesak
Riwayat sakit Paru Berobat > 6 bulan, 20 tahun yang lalu

RRiwayat Penyakit Keluarga


Penyakit Onset/ Kronologis
Riwayat sakit tekanan darah tinggi Disangkal
Riwayat sakit gula Disangkal
Riwayat sakit jantung Disangkal
Riwayat sakit ginjal Disangkal
Riwayat tumor Disangkal
Riwayat sakit asma Disangkal
Riwayat alergi obat/makanan Disangkal

Genogram

Ny. Y, 51 th

5
Riwayat Kebiasaan
Kebiasaan Keterangan
Merokok Disangkal
Alkohol Disangkal
Jamu-jamuan Pasien selama masih bekerja sering minum jamu-
jamuan untuk menghilangkan capek. Kebiasaan
itu muncul sudah sejak 5 tahun yang lalu.
Obat-obatan bebas Disangkal
Makan-minum Pasien makan 2-3 kali/hari dengan nasi, sayur, lauk
pauk (tahu, tempe dan jarang ikan). Minum air
putih dan teh total 5-6 gelas belimbing sehari.
Olahraga Pasien jarang berolahraga

Riwayat Sosial Ekonomi


Pasien sebelum sakit bekerja sebagai buruh, semenjak sakit (satu
tahun belakangan ini) pasien sudah tidak bekerja lagi.Pasien tinggal
bersama anaknya yang kedua. Pasien berobat di RSDM menggunakan
fasilitas BPJS Kelas III
II. PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan Umum : tampak sakit sedang, composmentis GCS:
E4V5M6, gizi kesan kurang
Tanda Vital
Tensi : 170/90 mmHg
Nadi : 100x/menit
irama reguler, isi dan tegangan cukup, equal
Frekuensi nafas : 22x/menit, thorakoabdominal
Suhu : 36.20C peraxilla
VAS :1
GDS : pukul 22.00 = 259
Pukul 05.00 = 116

Status Gizi
Berat Badan : 40 kg
Tinggi Badan : 155 cm
IMT : 16.64 kg/m2 (kesan: underweight)

6
Kulit : kering (-), turgor menurun (-), hiperpigmentasi (-),
teleangiektasis (-), petechie (-), ikterik (-), ekimosis
(-), eritem wajah (-)
Kepala : bentukmesocephal, rambut mudah rontok (-), luka
(-), atrofi m. Temporalis (-)
Wajah : Moon face (-), atrofi muskulus temporalis (-),
malar rash (-)
Mata : mata cekung (-/-), konjungtiva pucat (+/+),
skleraikterik (-/-), perdarahan subkonjungtiva (-/-),
pupil isokor dengan diameter (3 mm/3 mm),reflek
cahaya(+/+), edema palpebra (-/-), strabismus (-/-),
ptosis (-/-), exofthalmus (-)
Telinga : sekret (-), darah (-), nyeritekan mastoid (-), nyeri
tekan tragus (-)
Hidung : nafas cuping hidung (-), sekret (-), epistaksis (-)
Mulut : sianosis (-), gusi berdarah (-),papil lidah
atrofi(-),gusi berdarah (-), luka pada sudut bibir
(-), oral thrush (-)
Leher : JVP R+4, trakea ditengah,simetris, pembesaran
kelenjar tiroid (-), pembesaran limfonodi cervical
(-), distensi vena-vena leher (-)
Thorax : bentuk normochest, simetris, pengembangan
dadakanan = kiri, venektasi (-), retraksi intercostal
(-), spidernevi(-), pernafasan thorakoabdominal,
sela iga melebar(-), pembesaran KGB axilla (-/-),
atrofi m. Pectoralis (-)
Jantung
Inspeksi :ictus kordis tidak tampak
Palpasi :ictus kordis tidak kuat angkat, teraba di SIC VI 3 cm
laterallinea medioclavicularis sinistra, thrill(-)
Perkusi :
- Batas jantung kanan atas : SIC II linea sternalis dextra
- Batas jantung kanan bawah : SIC IV linea parasternalis dekstra
- Batas jantung kiri atas: SIC II linea parasternalis sinistra

7
- Batas jantung kiri bawah :SIC VI 3 cm lateral dari linea
medioklavicularis sinistra. konfigurasi batas
jantung kesan melebar ke caudolateral
Auskultasi :bunyi jantung I-II, intensitas normal, reguler, bising(-),
gallop (+)
Pulmo
a. Anterior
Inspeksi
- Statis :normochest, simetris
- Dinamis :pengembangan dada simetris kanan = kiri, tidak ada yang
tertinggal, retraksi intercostal (-)
Palpasi
- Statis :simetris
- Dinamis :pergerakan kanan = kiri,fremitus raba kanan =kiri
Perkusi
- Kanan :redup mulai dari SIC V, pekak pada batas absolut paru
hepar
- Kiri :sonor
Auskultasi
- Kanan : Suara dasar vesikuler menurun di SIC V. Suara
tambahan: wheezing (-), ronkhi basah kasar (-),ronkhi basah
halus (+)
- Kiri :Suara dasar vesikuler normal. Suara tambahan: wheezing (-),
ronkhi basah kasar (-), ronkhi basah halus (+)

b. Posterior
Inspeksi
- Statis :normochest, simetris.
- Dinamis : pengembangan dada simetris kanan=kiri, retraksi intercostal
(-)
Palpasi
- Statis :simetris
- Dinamis :pergerakan dada kanan = kiri, fremitus raba kanan =kiri
Perkusi
- Kanan : redup mulai dari SIC V
- Kiri : sonor
Auskultasi

8
- Kanan : Suara dasar vesikuler menurun di SIC V. Suara tambahan:
wheezing(-), ronkhi basah kasar (-), ronkhi basah halus (+)
- Kiri : Suara dasar vesikulernormal. Suara tambahan: wheezing (-),
ronkhi basah kasar (-), ronkhi basah halus (+)

Abdomen
Inspeksi : Dinding perutsejajar dinding thorak,distended (-),venektasi (-),
sikatrik (-), striae (-), caput medusae (-)
Auskultasi: Bising usus (+) 8x/menit normal, bruit hepar (-), bising
epigastrium (-)
Perkusi :Timpani, liver span 10 cm, pekak alih(-), undulasi (-)
Palpasi : Supel, nyeri tekan(-), hepar dan lien tidak teraba, nyeri ketok
ginjal (-)
Ekstremitas
_ _ _
Akral dingin - - Edema

III.PEMERIKSAAN PENUNJANG
A. Laboratorium Darah (25 April 2017)
Pemeriksaan Hasil Satuan Rujukan
HEMATOLOGI RUTIN
Hb 6.7 g/dl 12.0-15.6
Hct 20 % 33-45
AL 8.1 103/l 4.5-11.0
AT 324 103 /l 150-450
AE 2.46 106/l 4.50-5.90
Golongan darah B
KIMIA KLINIK
Glukosa Darah
116 mg/dl 60-140
Sewaktu
SGOT 20 u/l <35
SGPT 22 u/l <45
Albumin 3.6 g/dl 3.5 5.2
Creatinine 6.2 mg/dl 0.6 1.1
Ureum 107 mg/dl < 50

9
ELEKTROLIT
Natrium 136 mmol/L 136-145
Kalium 3.2 mmol/L 3.3-5.1
Calsium Ion 1.35 mmol/L 1.17 1.29
ANALISA GAS DARAH
PH 7.546 7.350 7.450
BE 3.8 mmol/L -2 - +3
PCO2 30.2 mmol/L 27.0 41.0
PO2 61.5 mmol/L 83.0 108.0
Hematokrit 21 % 37 50
HCO3 26.4 mmol/L 21.0 28.0
Total CO2 27.4 mmol/L 19.0 24.0
O2 Saturasi 93.6 % 94.0 98.0
Laktat arteri 1.10 mmol/L 0.36 0.75

Laboratorium Darah (27 April 2017)


KIMIA KLINIK
GDP 109 mg/dl 70-110
G2PP 184 mg/dl 80-140
Asam urat 5.9 mg/dl 2.4 6.1
Kolesterol total 121 mg/dl 50-200
LDL 74 mg/dl 79-186
HDL 33 mg/dl 34-87
Trigliserid 107 mg/dl <150

10
B. Pemeriksaan Urin (25 April 2017)

Pemeriksaan Hasil Satuan Rujukan


Makroskopis
Warna yellow
Kejernihan Clear
Kimia urin
Berat jenis 1,017 1,015-1,025
pH 6,5 4,5-8,0
Leukosit Negatif /l Negatif
Nitrit Negatif Negatif
Protein 300 mg/dl Negatif
Glukosa Normal mg/dl Normal
Keton Negatif mg/dl Negatif
Urobilinogen Normal mg/dl Normal
Bilirubin Negatif mg/dl Negatif
Eritrosit Negatif /l Negatif
Mikroskopis
Eritrosit 3,8 /l 6.4
Leukosit 0.4 /LPB 0-12
EPITEL
Epitel squamouse - /LPB Negatif
Epitel transisional - /LPB Negatif
Epitel bulat - /LPB Negatif
SILINDER
Hyline 0 /LPK 0-3
Granulated - /LPK Negatif
Leukosit - /LPK Negatif
Yeast like cell 0.0 /l 0
Sperma 0.0 /l 0
Konduktivitas 24.4 mS/cm 3-32
Lain-lain bakteri (+), eritrosit 0-1/ LPB, leukosit 0-1/ LPB.

C. EKG
25 April 2017 di IGD

11
Kesimpulan : AF respon cepat, HR : 120x/menit, normoaxis, LVH.

27 April 2017

Kesimpulan : Sinus rythm, HR : 100x/menit, normoaxis.

12
IV. RESUME

13
1. Keluhan Utama:
Sesak memberat sejak 2 jam SMRS
2. Anamnesis:
Pasien datang ke IGD RSDM dengan keluhan sesak napas
yang memberat sejak 2 jam SMRS. Sesak dirasakan setelah
pasien menjalani cuci darah, makin lama semakin memberat, dada
terasa tertekan dan pasien merasa kesulitan untuk bernapas dan
disertai keluhan dada berdebar-debar. Pasien merasa BAK semakin
berkurang, 1-3x sehari sebanyak 100 cc tiap kencing, berwarna
kuning.
Sekitar 7 bulan yang lalu, pasien harus menjalani cuci darah
rutin 1x/minggu (setiap hari Selasa) dan telah mendapat beberapa
kali transfusi darah.
Pasien memiliki riwayat sakit gula dan darah tinggi 10
tahun, tidak rutin kontrol dalam setengah tahun terakhir, pasien
rutin minum obat domperidon (jika mual), anemolat 1 x 1 mg,
amlodipin 1 x 10 mg, acetylcystein 3 x 200 mg dan humalog mix
(10-0-10 IU) .

3. Pemeriksaan Fisik:
KU pasien tampak sakit sedang, TD 170/90,konjungtiva pucat
pada kedua mata, JVP R+4, batas jantung terkesan melebar ke
caudolateral, pemeriksaan paru ditemukan suara redup mulai dari SIC
V, dan auskultasi suara dasar vesikuler yang menurun dari SIC V dan
RBH (+) kanan kiri dikedua basal paru.

4. Pemeriksaan tambahan:
a. Laboratorium darah (25 April 2017):
- Hb : 6.7 g/dl ()
-Hct : 20% ()
-AE : 2,46 106/l ()
-Cr : 6.7 mg/dl ()
-Ur : 107 mg/dl ()
-Kalium : 3.2 mmol/L ()
-Kalsium : 1.35 mmol/L ()
-Natrium : 132 mmol/L ()
- AGD : tidak layak baca
14
b. EKG (27 April 2017): Sinus rhythm, 100 bpm, normoaxis
V. PROBLEM
A. CHF NYHA IV
B. DKD stage V on HD rutin
C. DM Tipe 2
D. Anemia ec PGK
E. Hipokalemia ringan
F. Hiperkalsemia ringan

15
RENCANA AWAL

No. Diagnosis/ Pengkajian (Assesment) Rencana Awal RencanaTerapi RencanaEdu Rencana


masalah Diagnosis kasi Monitoring
1. CHF NYHA IV Anamnesis Foto thorax Diet jantung 1700 Edukasi pasien KUVS /8jam
Anatomis: AF, LVH Sesak nafas semakin AP kkal tentang
BC/24 jam
memberat 2 jam SMRS, O2 3lpm nasal penyakit dan
Etiologis: HHD
tidak berkurang dengan EKG kanul komplikasinya EKG/pagi
Fungsional: NYHA istirahat Echocardiogr Inj furosemid selama 3 hari
IV Pasien tidur dengan 3 bantal 20mg/8jam
aphy Cek
Pasien memiliki riwayat Inj. Lanoxin
darah tinggi sejak 10 tahun PT/APTT/INR /
0,25mg/ 4 jam iv
yang lalu, namun pasien sampai HR < 100 3hari
tidak rutin berobat (tanggal 26/4/17
Berdebar-debar. Saat ini HR <100)
keluhan berdebar sudah dilanjutkan
berkurang digoxin 1 tab/24
Pemeriksaan fisik: jam
HR : 100x/menit, reguler
Pemeriksaan penunjang:
EKG : sinus rythm, 100
bpm, normoaxis
(EKG sebelumnya
(25/3/2017) menunjukkan :
AF rapid,HR : 120 bpm,
normoaxis, LVH)
Komplikasi : cardiac arrest
Pemeriksaan fisik:
Tensi 170/90 mmHg
JVP R+4
RBH (+/+) basal paru
Suara dasar vesikuler paru
kanan menurun di SIC V
Batas jantung melebar ke
caudolateral
Etiologi : Cardiomyopati, HHD,
DM
Pemeriksaan penunjang:
EKG : sinus rythm, 100
bpm, normoaxis
(EKG sebelumnya
(25/3/2017) menunjukkan :
AF rapid,HR : 120 bpm,
normoaxis, LVH)

Komplikasi : efusi pleura,


cardiac arrest

17
2. DKD stage V Anamnesis: Urinalisa Bedrest tidak total Edukasi pasien BC/hari
Sekitar 7 bulan yang lalu, tentang
Profil lipid Diet ginjal rendah KUVS/8 jam
pasien didiagnosis dokter penyakit dan
Creatine garam rendah, Cek lab GDS
menderita gagal ginjal dan
Clearance rendah protein 1700 komplikasinya dan GDP/ hari
harus menjalani cuci darah
Time kkal Cek DR3,
rutin 1x/minggu (setiap hari
USG ginjal IUFD NaCl 0,9% : elektrolit/ 3 hari
Selasa).
atau biopsi Asam Amino keto = Cek Ur, Cr,
Pasien memiliki riwayat sakit
ginjal 1:1 kec. 16 tpm IV AGD post HD
gula dan darah tinggi sejak
mikro Cek profil lipid
10 tahun yang lalu, namun
Injeksi furosemide (LDL,
pasien tidak rutin berobat
20mg/8jam IV HDL,Trigliserid
Captopril 25 mg/ 8 ) dan asam urat /
Pemeriksaan fisik:
jam 3 bulan
- Konjungtiva pucat (+/+)
- HT stage II (170/90) Simvastatin 20
mg/24 jam
Pemeriksaan penunjang: NAC 200 mg/8jam
Laboratorium Darah: Hemodialisa
Hb: 6.7 g/dl
Creatinin : 6.2
Ureum : 107
LFG-EPI: 7ml/min/ 1.73 m2

18
HDL : 33 mg/dl
Urin:
Proteinuria: 300 mg/dl
3. DM Tipe 2 Anamnesis GDP Inj. Insulin Rapid TD / hari
(4-4-4 IU)
Pasien memiliki riwayat G2PP Cek GDS
sakit gula sejak 10 tahun Captopril 25 mg/ 8
Profil lipid Cek profil lipid
yang lalu, namun pasien jam
tidak rutin berobat (LDL,
Simvastatin 20
Biasanya cek gula 400 - 500 HDL,Trigliserid
Pemeriksaan fisik: mg/24 jam
) dan asam urat /
TD : 170/90 3 bulan
GDS 22.00 : 259
GDS 05.00 : 116
Pemeriksaan penunjang:
Laboratorium Darah:
HDL : 33mg/dl

Etiologi : Hipertensi
Komplikasi : KAD, HHS,
Hipoglikemi
5. Anemia ec PGK Anamnesis GDT Transfusi PRC 2 Edukasi pasien Cek Hb post HD
- Riwayat transfusi sejak sakit Cek SI, kolf saat HD tentang
TIBC,

19
ginjal Ferritin, Anemolat 1mg/hari penyakit dan
Transferrin.
Pemeriksaan Fisik: komplikasinya
- Konjungtiva pucat (+/+)
Pemeriksaan Penunjang
- Hb : 6.7 g/dl
6. Hipokalemia Pemeriksaan penunjang Cek elektrolit Edukasi pasien Cek elektrolit /
ringan Kalium : 3.2 mmol/L tentang 3 hari
penyakit dan
komplikasinya
7. Hiperkalsemia Pemeriksaan penunjang Cek elektrolit Diet rendah kalsium Edukasi pasien Cek elektrolit /
ringan Kalsium ion : 1.35 mmol/L tentang 3 hari
penyakit dan
komplikasinya

20
VI. FOLLOW UP

Tanggal Subyektif Obyektif Assesment Terapi / Plan


28/4/2017 Sesak () KU: CM, tampak sakit sedang CHF NYHA IV Bed rest tidak total
DPH-3 Berdebar- Tensi: 180/ 90 mmHg Diet ginjal 1700 kkal, Rendah
Ax : LVH, AF
debar (+) Nadi: 98 x / menit, isi cukup, reguler garam <2 gr/hari, rendah
RR: 18 x / menit Ex : HHD
protein < 40 gr
Suhu: 36,8 C Fx: NYHA IV IUFD NaCl 09% : Asam
VAS: 0 DKD stage V amino keto= 1:1 kec 16tpm
mikro
Kepala: Mesocephal, Rambut mudah rontok (-) DM Tipe 2
Injeksi furosemide 20mg /8jam
Mata: Conjungtiva pucat (+/+), sclera ikterik Anemia ec PGK iv
(-/-) Captopril 25 mg/8jam
Hipokalemi ringan ( 3.2 )
Hidung: Sekret (-/-) Digoxin 0.25mg/ 24 jam
Telinga: Sekret (-/-) Hiperkalsemia ringan (1.35)
Simvastatin 20 mg/ 24 jam
Mulut: Mukosa basah (+), Papil lidah atrofi (+)
Anemolat 1mg /24 jam peroral
Leher: JVP(R+4cm), pembesaran kelenjar
NAC 200 mg/8 jam
getah bening (-)
Plan :
Thorak: Simetris, Retraksi (-)
- Hemodialisa + transfusi PRC 2
kolf
Cor:
-DR3, elektrolit post HD
I: IC tampak
- GDP, GDS/ hari
P: IC kuat angkat
- Profil lipid / 3 bulan
P: batas jantung kesan melebar caudolateral
A:BJ I-II int normal, reguler, bising (-), gallop
(-)

21
Pulmo:
I: pengembangan dada kanan=kiri
P: fremitus raba kanan=kiri
P: sonor/sonor
A: SDV(/N), RBH(+/+)

Abdomen:
I: DP//DD
A: bising usus (+) 10x/menit
P: tympani, PS (-), PA(-), undulasi (-)
P: supel, nyeri tekan (-), hepar lien membesar

Ekstremitas:
Akral dingin Oedem
- -
- -

GDS:180
BC: +80

Pemeriksaan Foto thorax :


Efusi pleura bilateral minimal

22
Tanggal Subyektif Obyektif Assesment Terapi / Plan
29/4/2017 Sesak (-) KU: CM, tampak sakit sedang CHF NYHA IV Bed rest tidak total
DPH-4 Berdebar- Tensi: 180/ 100 mmHg Diet ginjal 1700 kkal, Rendah
Ax : LVH, AF
debar (-) Nadi: 88 x / menit, isi cukup, reguler garam <2 gr/hari, rendah
RR: 20 x / menit Ex : HHD
protein < 40 gr
Suhu: 36,8 C Fx: NYHA IV IUFD NaCl 09% : Asam
VAS: 0 DKD stage V amino keto= 1:1 kec 16tpm
mikro
Kepala: Mesocephal, Rambut mudah rontok (-) DM Tipe 2
Injeksi furosemide 20mg /8jam
Mata: Conjungtiva pucat (+/+), sclera ikterik Anemia ec PGK iv
(-/-),exofthalmus (-) Captopril 25 mg/8jam
Hipokalemi ringan ( 3.2 )
Hidung: Sekret (-/-) Bisoprolol 2,5 mg -0-0/ 24 jam
Telinga: Sekret (-/-) Hiperkalsemia ringan (1.35)
Simvastatin 20 mg/24 jam
Mulut: Mukosa basah (+), Papil lidah atrofi (+)
Anemolat 1mg /24 jam peroral
Leher: JVP(R+3cm), pembesaran kelenjar getah
NAC 200 mg/8 jam
bening (-)
Plan :
Thorak: Simetris, Retraksi (-)
- Hemodialisa + transfusi PRC 2
kolf (menunggu panggilan)
Cor:
-Echocardiography
I: IC tampak
-DR3, elektrolit post HD
P: IC kuat angkat
- GDP, GDS/ hari
P: batas jantung kesan melebar caudolateral
-Profil lipid/ 3 bulan
A:BJ I-II int normal, reguler, bising (-), gallop
(-)

23
Pulmo:
I: pengembangan dada kanan=kiri
P: fremitus raba kanan=kiri
P: sonor/sonor
A: SDV(/N), RBH(-/-)

Abdomen:
I: DP//DD
A: bising usus (+) 10x/menit
P: tympani, PS (-), PA(-), undulasi (-)
P: supel, nyeri tekan (-), hepar lien membesar

Ekstremitas:
Akral dingin Oedem
- -
- -

GDS:165
BC: +70

Tanggal Subyektif Obyektif Assesment Terapi / Plan


30/4/2017 Sesak (-) KU: CM, tampak sakit sedang CHF NYHA III Bed rest tidak total
DPH-5 Berdebar- Tensi: 170/ 90 mmHg Diet ginjal 1700 kkal, Rendah
Ax : LVH, AF
debar (-) Nadi: 92 x / menit, isi cukup, reguler garam <2 gr/hari, rendah
RR: 20 x / menit Ex : HHD
protein < 40 gr

24
Suhu: 36,5 C Fx: NYHA III IUFD NaCl 09% : Asam
VAS: 0 DKD stage V amino keto= 1:1 kec 16tpm
mikro
Kepala: Mesocephal, Rambut mudah rontok (-) DM Tipe 2 Injeksi furosemide 20mg /8jam
Mata: Conjungtiva pucat (+/+), sclera ikterik Anemia ec PGK iv
(-/-),exofthalmus (-) Captopril 25 mg/8jam
Hipokalemi ringan ( 3.2 )
Hidung: Sekret (-/-) Bisoprolol 2,5 mg -0-0/ 24 jam
Telinga: Sekret (-/-) Hiperkalsemia ringan (1.35) Simvastatin
Mulut: Mukosa basah (+), Papil lidah atrofi (+) Anemolat 1mg /24 jam peroral
Leher: JVP(R+3cm), pembesaran kelenjar getah
NAC 200 mg/8 jam
bening (-)
Plan :
Thorak: Simetris, Retraksi (-)
- Hemodialisa + transfusi PRC 2
kolf (menunggu panggilan)
Cor:
-Echocardiography
I: IC tampak
--DR3, elektrolit post HD
P: IC kuat angkat
- GDP, GDS/ hari
P: batas jantung kesan melebar caudolateral
- Profil lipid/ 3 bulan
A:BJ I-II int normal, reguler, bising (-), gallop
(-)

Pulmo:
I: pengembangan dada kanan=kiri
P: fremitus raba kanan=kiri
P: sonor/sonor
A: SDV(/N), RBH(-/-)

25
Abdomen:
I: DP//DD
A: bising usus (+) 10x/menit
P: tympani, PS (-), PA(-), undulasi (-)
P: supel, nyeri tekan (-), hepar lien membesar

Ekstremitas:
Akral dingin Oedem
- -
- -

GDS:158
BC: -70

Tanggal Subyektif Obyektif Assesment Terapi / Plan


1/5/2017 Sesak (-) KU: CM, tampak sakit sedang CHF NYHA III Bed rest tidak total
DPH-6 Tensi: 160/ 90 mmHg Diet ginjal 1700 kkal, Rendah
Ax : LVH, AF
Nadi: 94 x / menit, isi cukup, reguler garam <2 gr/hari, rendah
RR: 20 x / menit Ex : HHD
protein < 40 gr
Suhu: 36,5 C Fx: NYHA III IUFD NaCl 09% : Asam
VAS: 0 DKD stage V amino keto= 1:1 kec 16tpm
mikro
Kepala: Mesocephal, Rambut mudah rontok (-) DM Tipe 2 Injeksi furosemide 20mg /8jam
Mata: Conjungtiva pucat (+/+), sclera ikterik Anemia ec PGK iv
(-/-),exofthalmus (-) Captopril 25 mg/8jam
Hipokalemi ringan ( 3.2 )

26
Hidung: Sekret (-/-) Hiperkalsemia ringan (1.35) Bisoprolol 2,5 mg -0-0/ 24 jam
Telinga: Sekret (-/-) Simvastatin 20 mg/ 24 jam
Mulut: Mukosa basah (+), Papil lidah atrofi (+) Anemolat 1mg /24 jam peroral
Leher: JVP(R+3cm), pembesaran kelenjar getah NAC 200 mg/8 jam
bening (-) Plan :
Thorak: Simetris, Retraksi (-) - Hemodialisa + transfusi PRC 2
kolf (menunggu panggilan)
Cor: -Echocardiography
I: IC tampak --DR3, elektrolit post HD
P: IC kuat angkat - GDP, GDS/ hari
P: batas jantung kesan melebar caudolateral - Profil lipid/ 3 bulan
A:BJ I-II int normal, reguler, bising (-), gallop
(-)

Pulmo:
I: pengembangan dada kanan=kiri
P: fremitus raba kanan=kiri
P: sonor/sonor
A: SDV(/N), RBH(-/-)

Abdomen:
I: DP//DD
A: bising usus (+) 10x/menit
P: tympani, PS (-), PA(-), undulasi (-)
P: supel, nyeri tekan (-), hepar lien membesar

27
Ekstremitas:
Akral dingin Oedem
- -
- -

GDS:125
BC: -100

Tanggal Subyektif Obyektif Assesment Terapi / Plan


2/5/2017 Sesak (-) KU: CM, tampak sakit sedang CHF NYHA III Bed rest tidak total
DPH-7 Berdebar- Tensi: 150/ 90 mmHg Diet ginjal 1700 kkal, Rendah
Ax : LVH, MR Mild
debar (-) Nadi: 86x / menit, isi cukup, reguler garam <2 gr/hari, rendah
RR: 20 x / menit Ex : HHD
protein < 40 gr
Suhu: 36,5 C Fx: NYHA III, EF : 55% IUFD NaCl 09% : Asam
VAS: 0 DKD stage V amino keto= 1:1 kec 16tpm
mikro
Kepala: Mesocephal, Rambut mudah rontok (-) DM Tipe 2
Injeksi furosemide 20mg /8jam
Mata: Conjungtiva pucat (-/-), sclera ikterik Anemia ec PGK iv
(-/-),exofthalmus (-) Captopril 25 mg/8jam
Hipokalemi ringan ( 3.2 )
Hidung: Sekret (-/-) Bisoprolol 2,5 mg -0-0/ 24 jam
Telinga: Sekret (-/-) Hiperkalsemia ringan (1.35)
Simvastatin 20 mg/24 jam
Mulut: Mukosa basah (+), Papil lidah atrofi (+)
Anemolat 1mg /24 jam peroral
Leher: JVP(R+3cm), pembesaran kelenjar getah
NAC 200 mg/8 jam
bening (-)
Plan :
Thorak: Simetris, Retraksi (-)
-DR3, elektrolit post HD

28
Cor: - GDP, GDS/ hari
I: IC tampak - Profil lipid / 3 bulan
P: IC kuat angkat
P: batas jantung kesan melebar caudolateral
A:BJ I-II int normal, reguler, bising (-), gallop
(-)

Pulmo:
I: pengembangan dada kanan=kiri
P: fremitus raba kanan=kiri
P: sonor/sonor
A: SDV(N/N), RBH(-/-)

Abdomen:
I: DP//DD
A: bising usus (+) 10x/menit
P: tympani, PS (-), PA(-), undulasi (-)
P: supel, nyeri tekan (-), hepar lien membesar

Ekstremitas:
Akral dingin Oedem
- -
- -

GDS:147
BC: -80

29
Hasil Echocardiography (2/5/2017):
LVH konsentris, disfungsi diastolik relaksasi
LV baik, EF 55% , MR mild

Tanggal Subyektif Obyektif Assesment Terapi / Plan


3/5/2017 Sesak (-) KU: CM, tampak sakit sedang CHF NYHA III Bed rest tidak total
DPH-8 Berdebar- Tensi: 140/90 mmHg Diet ginjal 1700 kkal, Rendah
Ax : LVH, MR Mild
debar (-) Nadi: 88 x / menit, isi cukup, reguler garam <2 gr/hari, rendah
RR: 20 x / menit Ex : HHD
protein < 40 gr
Suhu: 36,5 C Fx: NYHA III, EF : 55% IUFD NaCl 09% : Asam
VAS: 0

30
DKD stage V amino keto= 1:1 kec 16tpm
Kepala: Mesocephal, Rambut mudah rontok (-) mikro
DM Tipe 2
Mata: Conjungtiva pucat (-/-), sclera ikterik Injeksi furosemide 20mg /8jam
(-/-),exofthalmus (-) Anemia ec PGK iv
Hidung: Sekret (-/-) Hipokalemi ringan ( 3.2 ) Captopril 25 mg/8jam
Telinga: Sekret (-/-) Bisoprolol 2,5 mg -0-0/ 24 jam
Hiperkalsemia ringan (1.35)
Mulut: Mukosa basah (+), Papil lidah atrofi (+) Simvastatin 20 mg/24 jam
Leher: JVP(R+3cm), pembesaran kelenjar getah Anemolat 1mg /24 jam peroral
bening (-) NAC 200 mg/8 jam
Thorak: Simetris, Retraksi (-)
Plan :
Cor:
-BLPL
I: IC tampak
Obat pulang :
P: IC kuat angkat
Captopril 25 mg/8jam
P: batas jantung kesan melebar caudolateral
Anemolat 1 mg/hari
A:BJ I-II int normal, reguler, bising (-), gallop
Bisoprolol 2,5 mg/ hari
(-)
Simvastatin 20 mg/hari
NAC 200 mg/8jam
Pulmo:
-Cek profil lipid / 3 bulan
I: pengembangan dada kanan=kiri
-GDP, G2PP/ bulan
P: fremitus raba kanan=kiri
-TD/ bulan
P: sonor/sonor
A: SDV(N/N), RBH(-/-)

Abdomen:
I: DP//DD

31
A: bising usus (+) 10x/menit
P: tympani, PS (-), PA(-), undulasi (-)
P: supel, nyeri tekan (-), hepar lien membesar

Ekstremitas:
Akral dingin Oedem
- -
- -

GDS:140
BC: -50
Hasil Lab darah post HD (3/5/2107):
Hb : 10,7 ()
Hct : 34
AL : 7,0
AT : 234
AE : 4,28
PT : 41,6 ()
APTT : 36,5
INR : 4,130 ()
Cr : 7,0 ()
Ur : 118 ()
Na : 137
K :3.5
Ca2+: 1.26
VII. PROGNOSIS

32
Ad vitam : dubia ad malam

Ad sanam : dubia ad malam

Ad fungsionam: dubia ad malam

33
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

I. DKD
A. Definisi
Penyakit ginjal diabetik (PGD) merupakan salah satu komplikasi yang
sering terjadi pada penderita diabetes. Pada penyakit ini terjadi kerusakan pada
filter ginjal atau yang dikenal dengan glomerulus. Oleh karena terjadi kerusakan
glomerulus maka sejumlah protein darah diekskresikan ke dalam urin secara
abnormal. Protein utama yang diekskresikan adalah albumin. Pada keadaan
normal albumin juga diekskresikan dalam jumlah sedikit dalam urine.
Peningkatan kadar albumin dalam urine merupakan tanda awal adanya kerusakan
ginjal oleh karena diabetes. PGD dapat dibedakan menjadi dua kategori utama
berdasarkan jumlah albumin yang hilang pada ginjal, yaitu:
1. Mikroalbuminuria
Terjadi kehilangan albumin dalam urine sebesar 30-300 mg/hari.
Mikroalbuminuria juga dikenal sebagai tahapan nefropati insipien.
2. Proteinuri
Terjadi bila terjadi kehilangan albumin dalam urine lebih dari 300mg/hari.
Keadaan ini dikenal sebagai makroalbuminuria atau nefropati overt (Foster,
1998; Sundoyo, 2006)

B. Patofisiologi
Patogenesis terjadinya kelainan ginjal pada diabetes tidak dapat
diterangkan dengan pasti. Gangguan awal pada jaringan ginjal sebagai dasar
terjadinya nefropati adalah terjadinya proses hiperfiltrasi-hiperperfusi membran
basal glomeruli. Tampaknya berbagai faktor berperan dalam terjadinya kelainan
tersebut. Peningkatan glukosa yang menahun (glukotoksisitas) pada penderita
yang mempunyai predisposisi genetik merupakan faktor-faktor yang utama yang
menimbulkan nefropati. Glukotoksisitas terhadap basal membran dapat melalui 2
jalur, yaitu:
a. Alur metabolik (metabolic pathway): glukosa dapat bereaksi secara proses
non enzimatik dengan asam amino bebas menghasilkan AGEs (advance
glycosilation end-products). Peningkatan AGEs akan menimbulkan
kerusakan pada glomerulus ginjal.
b. Alur poliol (polyol pathway): terjadi peningkatan sorbitol dalam jaringan
akibat meningkatnya reduksi glukosa oleh aktivitas enzim aldose
reduktase. Peningkatan sorbitol akan mengakibatkan berkurangnya kadar
inositol yang menyebabkan gangguan osmolaritas membran basal (Roesli,
1996)
Faktor lain yang sangat berpengaruh dalam menimbulkan
komplikasi nefropati adalah terjadinya gangguan hemodinamik sistemik
dan renal pada penderita DM. diduga kelainan ini terjadi akibat
glukotoksisitas yang menimbulkan kelainan pada sel endotel pembuluh
darah. Hipotesis ini didukung dengan meningkatnya kadar prorenin,
aktivitas faktor von Willebrand dan trombomodulin sebagai penanda
terjadinya gangguan endotel kapiler. Hal ini juga yang dapat menjelaskan
mengapa pada penderita dengan mikroalbuminuria persisten, terutama
pada DM tipe 2, lebih banyak terjadi kematian akibat kardiovaskular dari
pada akibat GGT. Peran hipertensi dalam patogenesis diabetik kidney
disease masih kontroversial, terutama pada penderita DM tipe 2 dimana
pada penderita ini hipertensi dapat dijumpai pada awal malahan sebelum
diagnosis diabetes ditegakkan. Hipotesis mengatakan bahwa hipertensi
tidak berhubungan langsung dengan terjadinya nefropati tetapi
mempercepat progesivitas ke arah GGT pada penderita yang sudah
mengalami diabetik kidney disease (Roesli,1996)

C. Diagnosis dan Perjalanan Klinis


Diagnosis PGD dimulai dari dikenalinya albuminuria pada pasien DM
baik tipe I maupun tipe II. Bila jumlah protein atau albumin di dalam urin masih
sangat rendah, sehingga sulit untuk dideteksi dengan metode pemeriksaan urin

35
yang biasa, akan tetapi sudah >30 mg/24 jam ataupun >20g/menit disebut juga
sebagai mikroalbuminuria. Hal ini sudah dianggap sebagai nefropati insipien.
DIABETES Hiperglisemia + Genetik

Peningkata Kerusakan RESISTENSI aktivitas PERTUMBUHAN


n growt endotel INSULIN antiport SEL ABNORMAL
factor sintesis Na+/H+
matriks
ekstrasel

Hiperlipidemia retensi Na+

Kalsium bebas
intrasel

tonus
vaskuler
ATEROSKLEROSIS Hipertropi/hiperplsia

HIPERTENSI Hipertropi dinding arteri


LVH

Ekspansi
mesengial

PENYAKIT GINJAL DAN Hipertensi glomeruler


KARDIOVASKULER Proteinuri GLOMERULOSKLEROSIS

Gambar 2.1. Patofisiologi DKD

Derajat albuminuria atau proteinuria ini dapat juga ditentukan dengan rationya
terhadap kreatinin dalam urin yang diambil sewaktu, disebut sebagai albumin atau
kreatinin ratio (ACR). Tingginya ekskresi albumin atau protein dalam urine
aelanjutnya akan menjadi petunjuk tingkatan kerusakan ginjal seperti terlihat
dalam tabel di bawah ini:
1. Tahap I.
Pada tahap ini LFG meningkat sampai dengan 40% di atas normal
yang disertai pembesaran ukuran ginjal. Albuminuria belum nyata dan
tekanan darah biasanya normal. Tahap ini masih reversible dan
berlangsung 0 5 tahun sejak awal diagnosis DM tipe I ditegakkan.

36
Dengan pengendalian glukosa darah yang ketat, biasanya kelainan fungsi
maupun struktur ginjal akan normal kembali.
2. Tahap II
Terjadi setelah 5 -10 tahun diagnosis DM tegak, saat perubaan
struktur ginjal berlanjut, dan LFG masih tetap meningkat. Albuminuria
hanya akan meningkat setelah latihan jasmani, keadaan stress atau kendali
metabolik yang memburuk. Keadaan ini dapat berlangsung lama. Hanya
sedikit yang akan berlanjut ke tahap berikutnya. Progresivitas biasanya
terkait dengan memburuknya kendali metabolik. Tahap ini selalu disebut
sebagai tahap sepi (silent stage).

Tabel 2.1. Klasifikasi Mikroalbuminuria dan Albuminuria


Kategori Kumpulan Urin Kumpulan Urin Urin Sewaktu
24 jam(mg/24 sewaktu (g/mg
jam) (g/menit) creatinin)
Normal < 30 < 20 < 30
Mikroalbuminuria 30 299 20 199 30 299
Albuminuria 300 200 300

3. Tahap III
Ini adalah tahap awal nefropati (insipient diabetic nephropathy),
saat mikroalbuminuria telah nyata. Tahap ini biasanya terjadi 10-15 tahun
diagnosis DM tegak. Secara histopatologis, juga telah jelas penebalan
membran basalis glomerulus. LFG masih tetap tinggi dan tekanan darah
masih tetap ada dan mulai meningkat. Keadaan ini dapat bertahan
bertahun-tahun dan progresivitas masih mungkin dicegah dengan kendali
glukosa dan tekanan darah yang kuat.
4. Tahap IV
Ini merupakan tahapan saat dimana nefropati diabetik
bermanifestasi secara klinis dengan proteinuria yang nyata dengan
pemeriksaan biasa, tekanan darah sering meningkat secara LFG yang
sudah menurun di bawah normal. Ini terjadi setelah 15 20 tahun DM
tegak. Penyulit diabetes lainnya sudah pula dapat dijumpai seperti

37
retinopati, neuropati, gangguan profil lemak dan gangguan vascular
umum. Progresivitas ke arah gagal ginjal hanya dapat diperlambat dengan
pengendalian glukosa darah, lemak darah dan tekanan darah.

5. Tahap V
Ini adalah tahap gagal ginjal, saat LFG sudah sedemikian rendah
sehingga pasien menunjukkan tanda-tanda sindrom uremik, dan
memerlukan tindakan khusus yaitu terapi pengganti, dialisis maupun
cangkok ginjal.
Pada DM tipe II, pada saat diagnosis ditegakkan, sudah banyak
pasien yang mengalami mikro dan makroalbuminuria, karena sebenarnya
DM telah berlangsung bertahun-tahun sebelumnya. Lagipula keberadaan
albuminuria kurang spesifik untuk adanya nefropati diabetik. Tanpa
penanganan khusus 20-40 % dari tahap ini akan berlanjut kepada nefropati
nyata. Setelah terjadinya penurunan LFG maka laju penurunan akan
bervariasi secara individual, akan tetapi 20 tahun setelah keadaan ini,
hanya sekitar 20 % pada mereka yang berlanjut menjadi penyakit ginjal
tahap akhir (PGTA). Pada tahap ini tidak ada lagi perbedaan antara DM
tipe I dan tipe II. Begitupun karena usia pasien dengan DM tipe II lebih
tua, maka banyak pula pasien yang diiringi penyakit jantung koroner, yang
sering membuat pasien tak sampai mencapai PGTA. Akan tetapi karena
penanggulangan PJK dewasa ini telah lebih baik, maka banyak pula pasien
DM yang hidupnya cukup lama yaitu sampai mengalami gagal ginjal.

D. Terapi dan Pencegahan


Terapi dasar adalah kendali kadar gula darah, kendali tekanan darah, dan
kendali lemak darah. Disamping itu, perlu pula dilakukan mengubah gaya hidup
seperti pengaturan diet, penurunan berat badan bila berlebih, latihan fisik,
menghentikan kebiasaan merokok dll. Semua tindakan ini adalah juga tindakan
preventif terhadap penyakit kardiovaskuler. Di dalam pengelolaan penyakit ginjal
diabetik, yang dilaporkan memberikan hasil positif adalah dengan:

38
Pengendalian kadar glukosa darah secara intensif. Non farmakologis terdiri dari 3
pengelolaan penyakit ginjal diabetik yaitu:
1. Edukasi.
2. Perencanaan makan.
Perencanaan diet yang diberikan adalah diet tinggi kalori, rendah protein
dan rendah garam.
3. Latihan Jasmani.
Dilakukan teratur 3-4 kali seminggu, selama kurang lebih 30 menit.
Latihan jasmani dapat menurunkan berat badan dan memperbaiki
sensitifitas terhadap insulin, tapi tetap harus disesuaikan dengan umur
dan status kesegaran jasmani pasien. Contoh latihan jasmani yang
dimaksud adalah jalan, sepeda santai, joging, berenang. Prinsipnya
CRIPE (Continous, Rhytmical, Interval, Progressive, Endurance).
Intervensi Farmakologis yang perlu dilakukan adalah :
1. Pengendalian DM
Berbagai penelitian klinik jangka panjang (5-7 tahun) dengan
melibatkan ribuan pasien telah menunjukkan bahwa pengendalian kadar
gula darah secara intensif akan mencegah progresivitas dan mencegah
timbulnya penyulit kardiovaskuler, baik pada DM tipe I maupun tipe II.
Oleh karena itu, perlu sekali diupayakan agar terapi ini dilaksanakan
sesegera mungkin. Diabetes terkendali yang dimaksud adalah
pengendalian secara intensif kadar gula darah, lipid dan kadar HbAlc
sehingga mencapai kadar yang diharapkan. Selain itu pengendalian status
gizi dan tekanan darah juga perlu diperhatikan (Roesli,1996)
Tabel 2.2. Pengendalian Diabetes Mellitus pada pasien DKD
Indikator keberhasilan Target
Glukosa darah puasa 80-100 mg/dl
Glukosa darah 2 jam pp 80-144 mg/dl
A1C <6,5%
Kolesterol total <200
Kolesterol LDL <100

39
Kolesterol HDL >45
Trigliserida <150

2. Pengendalian Tekanan Darah


Pengendalian tekanan darah merupakan hal yang penting dalam
pencegahan dan terapi nefropati diabetik. Pengendalian tekanan darah juga
telah ditunjukkan memberi efek perlindungan yang besar, baik terhadap
ginjal, renoproteksi maupun terhadap organ kardiovaskuler. Makin rendah
tekanan darah yang dicapai, makin baik pula renoproteksi. Banyak
panduan yang menetapkan target yang seharusnya dicapai dalam
pengendalian tekanan darah pada pasien diabetes.
Pada pasien diabetes dan kelainan ginjal, target tekanan darah yang
dianjurkan oleh American Diabetes Association dan National Heart, Lung,
and Blood Institute adalah < 130/80 mmHg, akan tetapi bila proteinuria
lebih berat 1 gr/24 jam, maka target lebih rendah yaitu < 125/75 mmHg.
Pengelolaan tekanan darah dilakukan dengan dua cara, yaitu non-
farmakologis dan famakologis. Terapi non-farmakologis adalah melalui
modifikasi gaya hidup antara lain menurunkan berat badan, meningkatkan
aktivitas fisik, menghentikan merokok, serta mengurangi konsumsi garam.
Harus diingat bahwa untuk mencapai target ini tidak mudah. Sering harus
memakai kombinasi berbagai jenis obat dengan berbagai efek samping dan
harga obat yang kadang sulit dijangkau pasien. Hal terpenting yang perlu
diperhatikan adalah tercapainya tekanan darah yang ditargetkan apapun
jenis obat yag dicapai. Akan tetapi karena Angiotensin Converting Enzyme
Inhibitor (ACE-I) dan Angiotensin Reseptor blocker (ARB), dikenal
mempunyai efek antiprotein uric maupun renoproteksi yang baik, maka
selalu disukai pemakaian obat-obatan ini sebagai awal pengobatan
hipertensi pada pasien DM. Pada pasien hipertensi dengan
mikroalbuminuria atau makroalbuminuria, ACE inhibitor dan ARB
merupakan terapi utama yang paling dianjurkan. Jika salah satu tidak dapat
diterima atau memberikan hasil yang kurang maksimal maka dapat

40
dianjurkan penggunaan Non Dihydropyridine CalciumChannel Blockers
(NDCCBs).
3. Penanganan Gagal Ginjal
Dasar penatalaksanaan gagal ginjal kronik dapat dibagi menjadi
dua, yaitu:
Terapi konservatif dan terapi pengganti.
a. Terapi Konservatif
1. Memperkecil beban ginjal atau mengurangi kadar toksin uremik:
- keseimbangan cairan
- diet tinggi kalori, rendah protein, dan rendah garam bila
ditemukan adanya oedema atau hipertensi
- menghindarkan obat-obat nefrotoksik (NSAID, aminoglikosida,
tetrasiklin, dll)
2. Memperbaiki faktor-faktor yang reversible
- mengatasi anemia
- menurunkan tekanan darah
- mengatasi infeksi
3. Mengatasi hiperfosfatemia dengan memberikan Ca(CO)3 dan diet
rendah fosfat
4. Terapi penyakit dasar seperti DM
5. Terapi keluhan:
- untuk mual/muntah diberikan Metoklopramid
- untuk gatal-gatal diberikan Dipenhydramin
6. Terapi komplikasi
- payah jantung dengan Diuretik, vasodilator, dan hati-hati
terhadap pemberian digitalis
b. Terapi pengganti
1. Dialisis
- hemodialisis
- dialisis peritoneal mandiri berkesinambungan
- indikasi : bila Klirens Kreatinin kurang dari 5 cc/menit.

41
2. Cangkok ginjal

II. HEART FAILURE


A. Definisi
Gagal jantung adalah suatu sindroma klinis yang kompleks yang
disebabkan oleh kelainan struktur dan fungsional jantung sehingga terjadi
gangguan pada ejeksi dan pengisian. Pada keadaan ini jantung tidak lagi
mampu memompa darah secara cukup ke jaringan untuk memenuhi kebutuhan
metabolisme tubuh. Gagal jantung kongestif atau Congestive heart failure
(CHF) merupakan suatu keadaan patofisiologi jantung dimana terjadi
abnormalitas fungsi jantung sehingga gagal memompa darah untuk memenuhi
kebutuhan metabolisme jaringan tubuh. Gagal jantung kongestif adalah
kumpulan gejala klinis akibat kelainan struktural dan fungsional jantung
sehingga mengganggu kemampuan pengisian ventrikel dan pompa darah ke
seluruh tubuh. Tanda-tanda kardinal dari gagal jantung ialah dispnea, fatigue
yang menyebabkan pembatasan toleransi aktivitas dan retensi cairan yang
berujung pada kongesti paru dan edema perifer. Gejala ini mempengaruhi
kapasitas dan kualitas dari pasien gagal jantung (Hunt et al., 2009).
Gagal jantung kongestif adalah kumpulan gejala yang kompleks
dimana seorang pasien memiliki tampilan berupa: gejala gagal jantung ( nafas
pendek yang tipikal saat istirahat atau saat melakukan aktivitas disertai/tidak
kelelahan), tanda retensi cairan (kongesti paru atau edema pergelangan kaki),
adanya bukti objektif dari gangguan struktur atau fungsi jantung saat istirahat
(Siswanto et al., 2015).
B. Etiologi
Ada beberapa penyebab dimana fungsi jantung dapat terganggu. Yang
paling sering menyebabkan kemunduran dari fungsi jantung adalah kerusakan
atau berkurangnya kontraktilitas otot jantung, iskemik akut atau kronik,
meningkatnya resistensi vaskuler dengan hipertensi, atau adanya takiaritmia
seperti atrial fibrilasi (AF).
Tabel 2.3. Penyebab Gagal Jantung

42
Jantung kiri primer Jantung kanan primer
Penyakit jantung iskemik Gagal jantung kiri
Penyakit jantung hipertensi Penyakit pulmonari kronik
Penyakit katup aorta Stenosis katup pulmonal
Penyakit katup mitral Penyakit katup trikuspid
Miokarditis Penyakit jantung kongenital
Kardiomiopati (VSD,PDA)
Amyloidosis jantung Hipertensi pulmonal
Embolisme paru masif
Gagal output rendah Gagal output tinggi
Kelainan miokardium Inkompetensi katup
Penyakit jantung iskemik Anemia
Kardiomiopati Malformasi arteriovenous
Amyloidosis Overload volume plasma
Aritmia
Peningkatan tekanan pengisian
Hipertensi sistemik
Stenosis katup
Semua menyebabkan gagal
ventrikel kanan disebabkan
penyakit paru sekunder

Beberapa etiologi dari penyakit gagal jantung kongestif ialah :

1. Penyakit Jantung Koroner


Seseorang dengan penyakit jantung koroner (PJK) rentan untuk
menderita penyakit gagal jantung, terutama penyakit jantung koroner
dengan hipertrofi ventrikel kiri (Doughty dan White, 2007).

2. Hipertensi
Peningkatan tekanan darah yang bersifat kronis merupakan
komplikasi terjadinya gagal jantung. Hipertensi menyebabkan gagal
jantung kongestif melalui mekanisme disfungsi sistolik dan diastolik
dari ventrikel kiri. Hipertrofi ventrikel kiri menjadi predisposisi
terjadinya infark miokard, aritmia atrium dan ventrikel yang nantinya
akan berujung pada gagal jantung kongestif (Lip et al., 2001).

3. Kardiomiopati

43
Kardiomiopati merupakan kelainan pada otot jantung yang
tidak disebabkan oleh penyakit jantung koroner, hipertensi atau
kelainan kongenital. Kardiomiopati terdiri dari beberapa jenis.
Diantaranya ialah dilated cardiomiopathy yang merupakan salah satu
penyebab tersering terjadinya gagal jantung kongestif. Dilated
cardiomiopathy berupa dilatasi dari ventrikel kiri dengan atau tanpa
dilatasi ventrikel kanan. Dilatasi ini disebabkan oleh hipertrofi sel
miokardium dengan peningkatan ukuran dan penambahan jaringan
fibrosis (Lip et al., 2001; Camn et al., 2007).
Hipertrophic cardiomiopathy merupakan salah satu jenis
kardiomiopati yang bersifat herediter autosomal dominan.
Karakteristik dari jenis ini ialah abnormalitas pada serabut otot
miokardium. Tidak hanya miokardium tetapi juga menyebabkan
hipertrofi septum. Sehingga terjadi obstruksi aliran darah ke aorta
(aortic outflow). Kondisi ini menyebabkan komplians ventrikel kiri
yang buruk, peningkatan tekanan diastolik disertai aritmia atrium dan
ventrikel.
Jenis lain yaitu Restrictive and obliterative cardiomiopathy.
Karakteristik dari jenis ini ialah berupa kekakuan ventrikel dan
komplians yang buruk, tidak ditemukan adanya pembesaran dari
jantung. Kondisi ini berhubungan dengan gangguan relaksasi saat
diastolik sehingga pengisian ventrikel berkurang dari normal. Kondisi
yang dapat menyebabkan keadaan ini ialah amiloidosis, sarcoidosis,
hemokromasitomatosis dan penyakit resktriktif lainnya.

4. Kelainan Katup Jantung


Dari beberapa kasus kelainan katup jantung, yang paling sering
menyebabkan gagal jantung kongestif ialah regurgitasi mitral.
Regurgitasi mitral meningkatkan preload sehingga terjadi peningkatan
volume di jantung. Peningkatan volume jantung memaksa jantung
untuk berkontraksi lebih kuat agar darah tersebut dapat didistribusi ke

44
seluruh tubuh. Kondisi ini jika berlangsung lama dapat menyebabkan
gagal jantung kongestif (Lip et al., 2001).
5. Aritmia
Artial fibrilasi secara independen menjadi pencetus gagal
jantung tanpa perlu adanya faktor concomitant lainnya seperti PJK
atau hipertensi. Aritmia tidak hanya sebagai penyebab gagal jantung
tetapi juga memperparah prognosis dengan meningkatkan morbiditas
dan mortalitas (Camn et al., 2007).
6. Lain-lain
Merokok merupakan faktor resiko yang kuat dan independen
untuk menyebabkan penyakit gagal jantung kongestif pada laki-laki
sedangkan pada wanita belum ada fakta yang konsisten (Lip et al.,
2001).
Sementara diabetes merupakan faktor independen dalam
mortalitas dan kejadian rawat inap ulang pasien gagal jantung
kongestif melalui mekanisme perubahan struktur dan fungsi dari
miokardium. Selain itu,obesitas menyebabkan peningkatan kolesterol
yang meningkatkan resiko penyakit jantung koroner yang merupakan
penyebab utama dari gagal jantung kongestif (Lip et al., 2001; Camn et
al., 2007).

7. Faktor sistemik
Terdapat sejumlah besar faktor yang berperan dalam
perkembangan dan beratnya gagal jantung. Meningkatnya laju
metabolisme (misal : demam, tirotoksikosis ), hipoksia dan anemia
memerlukan peningkatan curah jantung untuk memenuhi kebutuhan
oksigen sistemik. Hipoksia dan anemia juga dapat menurunkan suplai
oksigen ke jantung.Asidosis respiratorik atau metabolik dan
abnormalitas elektrolit dapat menurunkan kontraktilitas jantung.

C. Klasifikasi

45
New York Heart Association (NYHA) mengklasifikasi gagal jantung
berdasarkan gejala dan aktivitas fisik.
Tabel 2.4. Klasifikasi Gagal Jantung berdasarkan NYHA
Klasifikasi Fungsional
NYHA
Kelas I Tidak ada pembatasan aktivitas fisik. Aktivitas sehari
hari tidak menyebabkan kelelahan, palpitasi atau sesak
nafas.
Kelas II Sedikit pembatasan aktivitas fisik. Berkurang dengan
istirahat, tetapi aktivitas sehari hari menyebabkan
kelelahan, palpitasi atau sesak nafas.
Kelas III Adanya pembatasan yang bermakna pada aktivitas
fisik. Berkurang dengan istirahat, tetapi aktivitas yang
lebih ringan dari aktivitas sehari hari menyebabkan
kelelahan, palpitasi atau sesak nafas.
Kelas IV Tidak dapat melakukan aktivitas sehari hari tanpa
adanya kelelahan. Gejala terjadi pada saat istirahat.
Jika melakukan aktivitas fisik, keluhan akan semakin
meningkat.

Gagal jantung secara umum juga dapat diklasifikasikan menjadi gagal


jantung akut dan gagal jantung kronik.
1. Gagal jantung akut, didefinisikan sebagai serangan cepat dari gejala atau
tanda akibat fungsi jantung yang abnormal. Dapat terjadi dengan atau tanpa
adanya penyakit jantung sebelumnya. Disfungsi jantung dapat berupa
disfungsi sistolik atau disfungsi diastolik. Irama jantung yang abnormal,
atau ketidakseimbangan preload dan afterload dan memerlukan pengobatan
segera. Gagal jantung akut dapat berupa serangan baru tanpa ada kelainan
jantung sebelumnya atau dekompensasi akut dari gagal jantung kronis.
2. Gagal jantung kronik, didefinisikan sebagai sindrom klinik yang kompleks
yang disertai keluhan gagal jantung berupa sesak nafas, lelah, baik dalam

46
keadaan istirahat atau aktivitas, edema serta tanda objektif adanya
disfungsi jantung dalam keadaan istirahat.

D. Patofisiologi
Gagal Jantung Kongestif diawali dengan gangguan otot jantung
yang tidak bisa berkontraksi secara normal seperti infark miokard,
gangguan tekanan hemodinamik, overload volume, ataupun kasus
herediter seperti kardiomiopati. Kondisi-kondisi tersebut menyebabkan
penurunan kapasitas pompa jantung. Namun, pada awal penyakit, pasien
masih menunjukkan asimptomatis ataupun gejala simptomatis yang
minimal. Hal ini disebabkan oleh mekanisme kompensasi tubuh yang
disebabkan oleh cardiac injury ataupun disfungsi ventrikel kiri. Beberapa
mekanisme yang terlibat diantaranya: (1) Aktivasi Renin- Angiotensin-
Aldosteron (RAA) dan Sistem Syaraf Adrenergik dan (2) peningkatan
kontraksi miokardium. Sistem ini menjaga agar cardiac output tetap
normal dengan cara retensi cairan dan garam (Lily et al., 2002).
Ketika terjadi penurunan cardiac output maka akan terjadi
perangsangan baroreseptor di ventrikel kiri, sinus karotikus, dan arkus
aorta, kemudian akibar rangsangan tersebut akan memberi sinyal aferen
ke sistem syaraf sentral di cardioregulatory center yang akan
menyebabkan sekresi Antidiuretik Hormon (ADH) dari hipofisis posterior.
ADH akan meningkatkan permeabilitas duktus kolektivus sehingga
reabsorbsi air meningkat.
Kemudian sinyal aferen juga mengaktivasi sistem syaraf simpatis
yang menginervasi jantung, ginjal, pembuluh darah perifer, dan otot
skeletal. Stimulasi simpatis pada ginjal menyebabkan sekresi renin.
Peningkatan renin meningkatkan kadar angiotensin II dan aldosteron.
Aktivasi RAAS menyebabkan retensi cairan dan garam melalui
vasokonstriksi pembuluh darah perifer. Beberapa mekanisme ini dapat
mengembalikan fungsi kardiovaskuler dalam batas normal, menghasilkan
pasien dengan gejala yang asimptomatik. Mekanisme kompensasi
neurohormonal ini berkontribusi dalam perubahan fungsional dan

47
struktural jantung serta retensi cairan dan garam pada gagal jantung
kongestif yang lebih lanjut. Meskipun demikian, jika tidak terdeteksi dan
berjalan seiring waktu akan menyebabkan kerusakan ventrikel dengan
suatu keadaan remodeling sehingga akan menimbulkan gagal jantung yang
simtomatik (Crawford et al., 2012).
Tubuh memiliki beberapa mekanisme kompensasi untuk mengatasi
gagal jantung seperti (1) mekanisme Frank-Starling , (2) neurohormonal
(3)ventricular hipertrofi dan remodeling. Penurunan stroke volume akan
meningkatkan end sistolic volume (ESV) sehingga volume dalam ventrikel
kiri meningkat. Peningkatan volume ini akan meregangkan ventrikel kiri
sehingga otot jantung akan berkontraksi dengan lebih kuat untuk
meningkatkan stroke volume (Frank-Starling mechanism) dan cardiac
output (CO) untuk memenuhi kebutuhan metabolik tubuh. Mekanisme
kompensasi ini mempunyai batas. Pada kasus CHF dengan penurunan
kontraktilitas yang berat, ventrikel tidak mampu memompa semua darah
sehingga end diastolic volume (EDV) meningkat dan tekanan ventrikel kiri
juga meningkat dimana tekanan yang ini akan ditransmisi ke atrium kiri,
vena pulmonal dan kapiler pulmonal dan ini akan menyebabkan edema
paru (Crawford et al., 2012).
Penurunan CO akan merangsang sistem simpatis sehingga
meningkatkan kontraksi jantung sehingga stroke volume meningkat dan
CO meningkat. Penurunan CO juga merangsang renin angiotensin sistem
dan merangsang vasokonstriksi vena dan menyebabkan venous return
meningkat (preload increase) dan akhirnya stroke volume meningkat dan
CO tercapai. Penurunan CO juga meningkatkan ADH dan merangsang
retensi garam dan air untuk memenuhi stroke volume dan CO. Hormon
aldosterone juga meningkat untuk meningkatkan retensi garam dan cairan
untuk meningkatkan venous return tubuh. Tetapi stimulasi neurohormonal
yang kronik akan menyebabkan efek yang tidak diinginkan seperti edema
(Lily et al., 2002).

48
Gambar 2.2. Patofisiologi Gagal Jantung

Peningkatan beban jantung juga akan meningkatkan wall stress


menyebabkan dilatasi ventrikel kiri dan peningkatan tekanan sistolik
untuk mengatasi afterload yang meningkat. Maka otot ventrikel akan
menebal sebagai kompensasi untuk menurunkan wall stress namun
peningkatan kekakuan dinding hipertrofi menyebabkan tekanan
diastolik ventrikular yang tinggi dimana tekanan ini akan ditransmisi ke
atrium kiri, vaskular pulmonal. Chronic volume overload seperti pada
mitral regurgitasi atau aorta regurgitasi akan merangsang miosit
memanjang. Maka radius chamber ventrikel meningkat dan dinamakan
eccentric hipertrofi. Chronic pressure overload seperti hipertensi atau
aorta stenosis akan merangsang miosit menebal yang dinamakan
concentric hypertrophy. Hipertrofi dan remodeling ini membantu untuk
menurunkan wall stress tetapi pada waktuyang lama, fungsi ventrikel akan
menurun dan dilatasi ventrikel akan terjadi. Apabila ini terjadi, beban
hemodinamik pada otot jantung akan menurunkan fungsi jantung sehingga
gejala gagal jantung yang progresif akan timbul.

49
Ketika beban kerja yang berlebihan dikenakan pada jantung
dengan tekanan darah sistolik meningkat (kelebihan tekanan), peningkatan
volume diastolik (volume overload), atau kehilangan miokardium,
normalnya sel-sel miokard akan hipertrofi dalam upaya untuk
meningkatkan kekuatan kontraktil daerah normal. Pada perubahan
berikutnya dalam biokimia, elektrofisiologi, dan fungsi kontraktil
mengakibatkan perubahan mekanis fungsi miokard. Laju kontraksi
melambat, waktu untuk mengembangkan ketegangan meningkat puncak,
dan relaksasi miokard tertunda. Penebalan dinding ventrikel membatasi
tingkat pengisian ventrikel (disfungsi diastolik), yang diperparah dengan
peningkatan denyut jantung karena memperpendek durasi pengisian
ventrikel. Kekuatan kontraksi miokard pada akhirnya berkurang karena
hilangnya sel dan berlanjutnya hipertrofi, yang menyebabkan perubahan
ventrikel dan volume. Proses dilatasi ruang atau hipertrofi dikenal sebagai
remodeling jantung.
Setelah fase kompensasi awal, peningkatan volume Intracavitary
biasanya dikaitkan dengan pengurangan lebih lanjut dalam fraksi ejeksi
ventrikel (progresif disfungsi sistolik) dan akhirnya dengan kelainan pada
sirkulasi perifer dari aktivasi berbagai mekanisme kompensasi
neurohormonal. CHF berikutnya ditandai dengan berkurangnya respon
kontraksi untuk meningkatkan volume (rata Frank-Starling kurva) dan
berkurangnya fraksi ejeksi ventrikel kiri (LVEF). Respon neurohormonal
yang abnormal menyebabkan peningkatan tonus simpatik sistemik dan
aktivasi sistem renin-angiotensin. Produksi angiotensin meningkat,
menyebabkan vasokonstriksi perifer. Peningkatan resistensi arteri perifer
membatasi curah jantung selama latihan. Peningkatan kadar angiotensin II
juga menstimulasi pelepasan aldosteron oleh kelenjar adrenal,
meningkatkan retensi natrium dan sehingga menyebabkan retensi cairan
dan edema perifer.
Kegagalan pompa miokard dan CHF tidak selalu terkait erat pada
waktunya. Pasien seringkali awalnya asimtomatik, dengan tanda dan

50
gejala CHF berkembang hanya setelah beberapa bulan kegagalan miokard
dan penurunan fraksi ejeksi. Curah jantung tidak meningkatkan cukup
selama latihan, tapi bisa normal saat istirahat selama periode ini. Walaupun
pasien mungkin tanpa gejala atau sedikit gejala saat istirahat, dengan fraksi
ejeksi tidak berubah, perubahan dalam pembuluh darah perifer terjadi
dengan perlahan-lahan naik resistensi perifer saat berolahraga. Kinerja
Latihan perlahan-lahan menjadi terbatas karena pembuluh darah perifer
tidak dapat memenuhi kebutuhan metabolisme meningkat dari melatih
otot-otot rangka.
Meskipun mekanisme yang tepat dimana respon hemodinamik dan
faktor neurohormonal berinteraksi untuk menyebabkan pemburukan klinis
progresif dalam CHF tidak diketahui, kelainan hemodinamik dan
neurohormonal yang meningkatkan stres dinding jantung dapat
menyebabkan morfologi perubahan sel miokard, dan remodeling struktural
jantung. Dilatasi rongga ventrikel dan perubahan bentuknya akhirnya
dapat menyebabkan regurgitasi mitral. Peningkatan tekanan jantung dan
volume juga dapat memicu iskemia miokard, terutama pada pasien dengan
penyakit arteri koroner yang mendasarinya (CAD). Pada hipertrofi
miokard dapat meningkatkan kebutuhan metabolik jantung dan dapat
meningkatkan risiko iskemia pada pasien dengan CAD. Konsentrasi tinggi
dari norepinefrin dan angiotensin II dapat memberi efek toksik langsung
pada sel miokard. Aktivitas tinggi dari saraf dan sistem renin-angiotensin
simpatik dapat memiliki efek elektropsikologi merugikan dan dapat
menyebabkan aritmia jantung-khususnya mematikan pada pasien dengan
ketidakseimbangan elektrolit (Crawford et al., 2012).
Telah diketahui bahwa peningkatan aktivitas saraf simpatik dapat
meningkatkan kontraksi miokardium dan heartrate. Hal ini untuk memicu
peningkatan cardiac output. Aktivasi saraf simpatik juga akan
menyebabkan pelapasan renin, retensi natrium, dan vasokontriksi sehingga
akan meningkatkan preload dan aktivasi mekanisme frank starling.
Respon ini memiliki pengaruh yang baik terhadap tubuh dalam rentang

51
waktu yang singkat, namun akan menyebabkan pengaruh yang buruk
dalam rentang waktu yang lama. Hal ini disebabkan karena peningkatan
afterload karena konstriksi pembuluh darah akan menyebabkan kegagalan
stroke volume. Sistem simpatik akan menyebabkan perubahan
metabolisme miokardium dan katekolamin mungkin merupakan suatu hal
yang bersifat toksis terhadap cardiomyocyte. Peningkatan aktivitas
adrenergic dan penurunan aktivitas vagal dapat meningkatkan aktivitas
listrik yang tidak stabil pada jantung.selain itu, aktivasi sistem simpatik
juga dapat menyebabkan redistribusi aliran darah regional dan
menyebabkan perubahan struktur pembuluh darah (Camn et al., 2007).

Gambar 2.3. Proses patofisiologi gagal jantung sebagai akibat dari disfungsi sistolik
ventrikel kiri. Kerusakan pada myocyte dan matriks ekstraseluler akan menyebabkan
perubahan ukuran dan fungsi ventrikel kiri dan terjadi remodeling. Perubahan ini akan
menyebabkan instabilitas elektrik dan proses sistemik sehingga mengakibatkan efek
terhadap jaringan dan organ serta kerusakan lebih parah pada jantung (Camn et al., 2007).

Beberapa mekanisme kompensasi alami terjadi pada pasien gagal jantung


untuk membantu mempertahankan tekanan darah yang adekuat untuk
memompakan darah ke organ organ vital. Mekanisme tersebut adalah (1)
mekanisme Frank-Straling, (2) neurohormonal, dan (3) remodeling dan
hipertrofi ventrikular.
1. Mekanisme Frank-Starling

52
Meningkatkan stroke volume berarti terjadi peningkatan volume
ventricular end-diastolik.Bila terjadi peningkatan pengisian diastolik,
berarti ada peningkatan peregangan dari serat otot jantung, lebih optimal
pada filamen aktin dan miosin, dan resultannya meningkatkan tekanan
pada kontraksi berikutnya. Pada keadaan normal, mekanisme Frank-
Starling mencocokan output dari dua ventrikel.
Pada gagal jantung, mekanisme Frank-Starling membantu
mendukung cardiac output. Cardiac output mungkin akan normal pada
penderita gagal jantung yang sedang beristirahat, dikarenakan terjadinya
peningkatan volume ventricular end-diastolic dan mekanisme Frank-
Starling. Mekanisme ini menjadi tidak efektif ketika jantung mengalami
pengisian yang berlebihan dan serat otot mengalami peregangan yang
berlebihan. Hal penting yang menentukan konsumsi energi otot jantung
adalah ketegangan dari dinding ventrikular.Pengisian ventrikel yang
berlebihan menurunkan ketebalan dinding pembuluh darah dan
meningkatkan ketegangan dinding pembuluh darah. Peningkatan
ketegangan dinding pembuluh darah akan meningkatkan kebutuhan
oksigen otot jantung yang menyebabkan iskemia dan lebih lanjut lagi
adanya gangguan fungsi jantung.
2. Neurohumeral
a. Sistem saraf adrenergic
Pasien dengan gagal jantung terjadi penurunan curah
jantung dikenali oleh baroreseptor di sinus caroticus dan arcus
aorta, kemudian dihantarkan ke medulla melalui nervus IX dan
X, kemudian mengaktivasi sistem saraf simpatis, aktivasi sistem
saraf simpatis ini akan menaikkan kadar norepinefrin (NE). Hal
ini akan meningkatkan frekuensi denyut jantung, meningkatkan
kontraksi jantung serta vasokonstriksi arteri dan vena sistemik.
b. Sistem renin angiotensin aldosterone
Curah jantung yang menurun, akan terjadi aktivasi
system renin-angiotensin aldosteron berkurangnya natrium

53
terfiltrasi yang mencapai macula densa tubulus distal, dan
meningkatnya stimulasi simpatis ginjal, memicu peningkatan
pelepasan renin dari apparatus juxtaglomerular. Renin
memecah empat asam amino dari angiotensinogen I, dan
Angiotensin-converting enzyme akan melepaskan dua asam
amino dari angiotensin I menjadi angiotensin II. Angiotensin II
berikatan dengan 2 protein G menjadi angiotensin tipe1, aktivasi
reseptor angiotensin I aka nmengakibatkan vasokonstriksi,
pertumbuhan sel, sekresi aldosterone dan pelepasan katekolamin,
sementara AT2 akan menyebabkan vasodilatasi, inhibisi
pertumbuhan sel, natriuresis dan pelepasan bradikinin.
c. Stres oksidatif
Pada pasien gagal jantung terdapat peningkatan kadar
reactive oxygen species (ROS).Peningkatan ini dapat diakibatkan
oleh rangsangan dari ketegangan miokardium, stimulasi
neurohormonal (angiotensin II, aldosteron, agonis alfa
adrenergik, endothelin-1) maupun sitokin inflamasi (tumor
necrosis factor, interleukin-1). Efek ROS ini memicu stimulasi
hipertrofi miosit, proliferasi fibroblast dan sintesis collagen.
ROS juga akan mempengaruhi sirkulasi perifer dengan cara
menurunkan bioavailabilitas NO.

Remodelling dan hipertrofi ventrikular

Model neurohormonal yang telah dijelaskan diatas gagal
menjelaskan progresivitas gagal jantung. Remodeling
ventrikel kiri yang progresif berhubungan langsung dengan
bertambah buruknya kemampuan ventrikel kiri di
kemudian hari. Proses remodeling mempunyai efek
penting pada miosit jantung, perubahan volume miosit
dan komponen nonmiosit pada miokard serta geometri dan
arsitektur ruangan ventrikel kiri.

Remodeling berawal dari adanya beban jantung yang

54
mengakibatkan meningkatkan rangsangan pada otot
jantung. Keadaan jantung yang overload dengan tekanan yang
tinggi, misalnya pada hipertensi atau stenosis aorta,
mengakibatkan peningkatan tekanan sistolik yang secara
parallel menigkatkan tekanan pada sarkomer dan pelebaran
pada miosit jantung, yang menghasilkan hipertrofi
konsentrik.

Jika beban jantung didominasi dengan peningkatan volume
ventrikel, sehingga meningkatkan tekanan pada diastolik,
yang kemudian secara seri pada sarkomer dan kemudian
terjadi pemanjangan pada miosit jantung dan dilatasi
ventrikel kiri yang mengakibatkan hipertrofi eksentrik.
Homeostasis kalsium merupakan hal yang penting
dalam perkembangan gagal jantung. Hal ini diperlukan
dalam kontraksi dan relaksasi jantung.

E. Manifestasi klinis
Tempat kongestif tergantung dari ventrikel yang terlibat :
1. Disfungsi ventrikel kiri atau gagal jantung kiri
Gagal jantung kiri atau gagal jantung ventrikel kiri terjadi karena
adanya gangguan pemompaan darah oleh ventrikel kiri sehingga curah
jantung kiri menurun dengan akibat tekanan akhir diastolik dalam
ventrikel kiri dan volume akhir diastolik dalam ventrikel kiri meningkat.
Tanda dan gejala:
Dyspneu: akibat penimbunan cairan dalam alveoli yang mengganggu
pertukaran gas, dapat terjadi saat istirahat atau dicetuskan oleh gerakan
yang minimal atau sedang.
Ortopnea: kesulitan bernapas saat berbaring
Paroximal nokturna dyspneu (terjadi bila pasien sebelumnya duduk
lama dengan posisi kaki dan tangan dibawah, pergi berbaring ke
tempat tidur)

55
Batuk: biasa batuk kering dan basah yang menghasilkan sputum
berbusa dalam jumlah banyak kadang disertai banyak darah.
Mudah lelah: akibat cairan jantung yang kurang, yang menghambat
cairan dari sirkulasi normal dan oksigen serta menurunnya
pembuangan sisa hasil katabolisme.
Kegelisahan: akibat gangguan oksigenasi jaringan, stress akibat
kesakitan
bernafas, dan pengetahuan bahwa jantung tidak berfungsi dengan baik.

Gambar 2.4. Pola Remodeling Ventrikel


2. Disfungsi ventrikel kanan atau gagal jantung kanan

56
Gagal jantung kanan karena gangguan atau hambatan pada daya
pompa ventrikel kanan sehingga isi sekuncup ventrikel kanan menurun
tanpa didahului oleh adanya gagal jantung kiri. Tanda dan gejala:
Edema ekstremitas bawah atau edema dependen.
Hepatomegali dan nyeri tekan pada kuadran kanan batas abdomen.
Anoreksia dan mual terjadi akibat pembesaran vena dan status vena
didalam rongga abdomen.
Nokturna: rasa ingin kencing pada malam hari, terjadi karena perfusi
renal didukung oleh posisi penderita pada saat berbaring.
Lemah: akibat menurunnya curah jantung, gangguan sirkulasi dan
pembuangan produk sampah katabolisme yang tidak adekuat dari
jaringan.
Bendungan pada vena perifer (jugularis)
Gangguan gastrointestinal (perut kembung, anoreksia dan nausea) dan
asites.
Perasaan tidak enak pada epigastrium.

3. Gagal Jantung Kongestif


Bila gangguan jantung kiri dan jantung kanan terjadi
bersamaan.Dalam keadaan gagal jantung kongestif, curah jantung
menurun sedemikian rupa sehingga terjadi bendungan sistemik bersama
dengan bendungan paru. Tanda dan gejala: Kumpulan gejala gagal jantung
kiri dan kanan.

F. Diagnosis
Diagnosis dibuat berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
penunjang.
1. Anamnesis
Kriteria Framingham adalah kriteriaepidemiologi yang telah
digunakan secara luas. Diagnosis gagal jantung kongestif
mensyaratkan minimal dua kriteria mayor atau satu kriteria mayor
disertai dua kriteria minor, kriteria minor dapat diterima jika kriteria

57
minor tersebut tidak berhubungan dengan kondisi medis yang lain
seperti hipertensi pulmonal, PPOK, sirosis hati,atau sindroma nefrotik.

Kriteria mayor Kriteria minor


a. Paroksismal nokturnal dyspnea a. Edema ekstremitas
b. Distensi vena leher b. Batuk malam hari
c. Ronki paru c. Dyspneu deffort
d. Kardiomegali d. Hepatomegali
e. Edema paru akut e. Efusi pleura
f. Gallop S3 f. Penurunan kapasitas vital 1/3
g. Peninggian tekanan vena jugularis
dari normal
h. Refluks hepatojugular
g. Takikardi (>120/menit)

2. Pemeriksaan Fisik
a. Tekanan darah dan Nadi
Tekanan darahsistolik dapat normal atau tinggi pada HF ringan,
namun biasanya berkurang pada HF berat, karena adanya disfungsi LV
berat. Tekanan nadi dapat berkurang atau menghilang, menandakan
adanya penurunan stroke volume.Sinus takikardi merupakan tanda
nonspesifik disebabkan oleh peningkatan aktivitas adrenergik.
Vasokonstriksi perifer menyebabkan dinginnya ekstremitas bagian
perifer dan sianosis pada bibir dan kuku juga disebabkan oleh aktivitas
adrenergik berlebih.Pernapasan Cheyne-Stokes disebabkan oleh
berkurangnya sensitivitas pada pusat respirasi terhadap tekanan
PCO2.Terdapat fase apneu, dimana terjadi pada saat penurunan
PO2 arterial dan PCO2 arterial meningkat.Hal ini merubah komposisi gas
darah arterial dan memicu depresi pusat pernapasan, mengakibatkan
hiperventilasi dan hipokapnia, diikuti rekurensi fase apnea.

b. Jugular Vein Pressure


Pemeriksaan vena jugularis memberikan informasi mengenai
tekanan atrium kanan. Pada HF stadium dini, tekanan vena jugularis
dapat normal pada waktu istirahat namun dapat meningkat secara

58
abnormal seiring dengan peningkatan tekanan abdomen
(abdominojugular reflux positif).
c. Ictus cordis
Jika kardiomegali ditemukan, maka apex cordis biasanya
berubah lokasi dibawah ICS V (interkostal V) dan/atau sebelah lateral
dari midclavicular line, dan denyut dapat dipalpasi hingga 2 interkosta
dari apex.
d. Suara jantung tambahan
Pada beberapa pasien suara jantung ketiga (S3) dapat terdengar
dan dipalpasi pada apex. Pasien dengan pembesaran atau hypertrophy
ventrikel kanan dapat memiliki denyut parasternal yang berkepanjangan
meluas hingga systole. S3 (atau prodiastolic gallop) paling sering
ditemukan pada pasien dengan volume overload yang juga mengalami
takikardi dan takipneu, dan seringkali menandakan gangguan
hemodinamika. Suara jantung keempat (S4) bukan indicator spesifik
namun biasa ditemukan pada pasien dengan disfungsi diastolic.Bising
pada regurgitasi mitral dan tricuspid biasa ditemukan pada pasien.
e. Pemeriksaan paru
Ronchi pulmoner (rales atau krepitasi) merupakan akibat dari
transudasi cairan dari ruang intravaskuler kedalam alveoli.Pada pasien
dengan edema pulmoner, rales dapat terdengar jelas pada kedua
lapangan paru dan dapat pula diikuti dengan wheezing pada ekspirasi
(cardiac asthma).Jika ditemukan pada pasien yang tidak memiliki
penyakit paru sebelumnya, rales tersebut spesifik untuk CHF. Perlu
diketahui bahwa rales seringkali tidak ditemukan pada pasien dengan
CHF kronis, bahkan dengan tekanan pengisian ventrikel kiri yang
meningkat, hal ini disebabkan adanya peningkatan drainase limfatik
dari cairan alveolar. Efusi pleura terjadi karena adanya peningkatan
tekanan kapiler pleura dan mengakibatkan transudasi cairan kedalam
rongga pleura. Karena vena pleura mengalir ke vena sistemik dan
pulmoner, efusi pleura paling sering terjadi dengan kegagalan

59
biventrikuler. Walaupun pada efusi pleura seringkali bilateral, namun
pada efusi pleura unilateral yang sering terkena adalah rongga pleura
kanan.
f. Pemeriksaan hepar dan hepatojugular reflux
Hepatomegali merupakan tanda penting pada pasien CHF.Jika
ditemukan, pembesaran hati biasanya nyeri pada perabaan dan dapat
berdenyut selama systole jika regurgitasi trikuspida terjadi.Ascites
sebagai tanda lajut, terjadi sebagai konsekuensi peningkatan tekanan
pada vena hepatica dan drainase vena pada peritoneum.Jaundice, juga
merupakan tanda lanjut pada CHF, diakibatkan dari gangguan fungsi
hepatic akibat kongesti hepatic dan hypoxia hepatoseluler, dan terkait
dengan peningkatan bilirubin direct dan indirect.
g. Edema tungkai
Edema perifer merupakan manifestasi cardinal pada CHF, namun
namun tidak spesifik dan biasanya tidak ditemukan pada pasien yang
diterapi dengan diuretic.Edema perifer biasanya sistemik dan dependen
pada CHF dan terjadi terutama pada daerah Achilles dan pretibial pada
pasien yang mampu berjalan.Pada pasien yang melakukan tirah baring,
edema dapat ditemukan pada daerah sacral (edema presacral) dan
skrotum.Edema berkepanjangan dapat menyebabkan indurasi dan
pigmentasi ada kulit.

3. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium dibutuhkan untuk mengetahui sejauh mana
gagal jantung telah mengganggu fungsi-fungsi organ lain seperti : hati,ginjal
dan lain-lain.Pemeriksaan hitung darah dapat menunjukan anemia, karena
anemia ini merupakan suatu penyebab gagal jantung output tinggi dan
sebagai faktor eksaserbasi untuk bentuk disfungsi jantung lainnya.
4. Pemeriksaan Penunjang
a. Radiologi/Rontgen.

60
Pemeriksaan foto thoraks dada juga direkomendasikan sebagai
pilihan pemeriksaan diagnostik lini pertama. Pemeriksaan ini dapat
memberikan informasi mengenai ukuran dan ketajaman jantung. Namun
pemeriksaan ini memiliki keterbatasan. Tidak adanya kardiomegali tidak
dapat menyingkirkan adanya kemungkinan penyakit katub atau disfungsi
sistolik ventrikel kiri (Camn et al., 2007). Pada pemeriksaan rontgen
dada ini biasanya yang didapatkan bayangan hilus paru yang tebal dan
melebar, kepadatan makin ke pinggir berkurang, lapangan paru bercak-
bercak karena edema paru, pembesaran jantung, cardio-thoragic ratio
(CTR) meningkat, distensi vena paru.
b. Pemeriksaan EKG.

Dari hasil rekaman EKG ini dapat ditemukan kelainan primer


jantung (iskemik, hipertrofi ventrikel, gangguan irama ) dan tanda-tanda
faktor pencetus akut ( infark miocard, emboli paru ). Beberapa pola EKG
abnormal mungkin didapatkan pada penderita CHF seperti gelombang Q
abnormal, left bundle branch block, gangguan konduksi lain, hipertrofi
ventrikel atau atrium kiri, aritmia ventrikel atau atrium dimana hal ini
dapat dijadikan bahan investigasi untuk menentukan penyakit dasar yang
mendasari terjadinya CHF (Camn et al., 2007).

c. Pemeriksaan Hematologi dan Biokimia

Beberapa pemeriksaan laboratorium direkomendasikan guideline


ESC sebagai bagian dari rutinitas diagnosis pada pasien yang dicurigai
menderita CHF. Pemeriksaan tersebut diantaranya yaitu hitung darah
lengkap, elektrolit, glukosa, ureum, kreatinin, enzim hepar, dan urinalisis.
Biomarker miokardium seperti troponin T atau I merupakan pemeriksaan
penting selama fase akut infark miokard. Pemeriksaan lain yang penting
yaitu asam urat, C-reactive protein, dan thyroidstimulatinghormone.
Beberapa pemeriksaan yang penting saat followup dan setelah pemberian

61
pengobatan tertentu yaitu ureum, kreatinin, dan potassium (Camn et al.,
2007).

d. Ekhokardiografi.

Pemeriksaan ini untuk mendeteksi gangguan fungsional serta


anatomis yang menjadi penyebab gagal jantung. Ekokardiografi telah
digunakan secara luas, cepat, dengan teknik non-invasif, dan aman dimana
pemeriksaan ini dapat memberikan informasi mengenai dimensi jantung,
ketebalan dinding jantung dan pengukuran fungsi sistolik dan
diastolik.Penentuan LVEF merupakan kunci untuk mengukur fungsi
sistolik ventrikel kiri. Fungsi sistolik dinyatakan menurun jika didapatkan
LVEF < 0,40 (Camn et al., 2007).

G. Penatalaksanaan

1. Terapi non farmakologi

a. Diet: Pasien gagal jantung dengan diabetes, dislipidemia atau obesitas


harus diberi diet yang sesuai untuk menurunkan gula darah, lipid
darah, dan berat badannya. Asupan NaCl harus dibatasi menjadi 2-3 g
Na/hari, atau < 2 g/hari untuk gagal jantung sedang sampai berat.
Restriksi cairan menjadi 1,5-2 L/hari hanya untuk gagal jantung berat.
b. Merokok : Harus dihentikan.
c. Aktivitas fisik olahraga yang teratur seperti berjalan atau bersepeda
dianjurkan untuk pasien gagal jantung yang stabil (NYHA kelas II-III)
dengan intensitas yang nyaman bagi pasien.
d. Istirahat :dianjurkan untuk gagal jantung akut atau tidak stabil.
e. Bepergian : hindari tempat-tempat tinggi dan tempat-tempat yang
sangat panas atau lembab

62
2. Terapi farmakologi

a. Algoritma

Tabel 2.5. Terapi Obat menurut status fungsional pasien

b. Jenis dan tempat obat

Tujuan diagnosis dan terapi gagal jantung yaitu untuk


mengurangi morbiditas dan mortalitas .Tindakan preventif dan
pencegahan perburukan penyakit jantung tetap merupakan bagian
penting dalam tata laksana penyakit jantung. Sangatlah penting untuk
mendeteksi dan mempertimbangkan pengobatan terhadap kormorbid
kardiovaskular dan non kardiovaskular yang sering dijumpai
(Mansjoer et al., 2015).
Tindakan dan pengobatan pada gagal jantung ditujukan pada
beberapa aspek, yaitu; 1)mengurangi beban kerja, 2)memperkuat
kontraktilitas miokard, 3) mengurangi kelebihan cairan, 4)melakukan
tindakan dan pengobatan khusus terhadap penyebab, faktor-faktor
pencetus dan kelainan yang mendasari (Lily et al., 2002)

63
Menurunkan preload
- Diuretik
- Nitrat
Obat inotropik
Tidak semua CHF terjadi gangguan kontraktilitas. Obat
inotropik hanya diberikan pada pasien yang terbukti ada gangguan
kontraktilitas misalnya pada pemeriksaan fisis atau pada foto
toraks tampak pembesaran jantung, atau hasil ECHO menunjukkan
ejection fraction (EF) <40%.
- Digitalis (digoksin)
- -blocker
Menurunkan after-load
- Angiotensin converting enzyme (ACE)- inhibitors
- Angiotensin Resepror Blockers (ARB)
- Calcium Channel Blockers (CCB)
Mencegah remodeling
Obat yang memiliki efek mencegah remodeling seperti
ACE-inhibitors dan ARB bermanfaat menghambat progresivitas
CHF. Namun dosis yang diberikan harus maksimal. Sebenarnya
hampir semua obat antihipertensi memiliki efek mencegah
remodeling termasuk CCB, blockers dan diuretik.
Intervensi khusus
- Revaskularisasi melalui PTCA atau cABGS
Penyakit jantung Koroner masih merupakan penyebab
utama CHF. Apabila pada angiografi koroner ditemukan lesi
yang cocok, maka PTCA dan cABGS, akan memperbaiki
simptom dan menghambat progresivitas. cABGS lebih unggul
daripada PTCA karena operasi bypass memberi revaskularisasi
yang lebih sempurna.
- Intervensi lain: transplantasi jantung,, Cardiomyoplasty dan
ventricular Reduction surgery semuanya merupakan prosedur

64
operasi jantung untuk memperbaiki prognosis pasien CHF,
namun prosedur tersebut masih memiliki risiko tinggi dan
harganya mahal (Kabo, 2010).
a. Angiotensin-converting enzyme inhibitors
Kecuali kontraindikasi, ACEI harus diberikan pada semua
pasien gagal jantung simtomatik dan fraksi ejeksi ventrikel kiri
40 %. ACEI memperbaiki fungsi ventrikel dan kualitas hidup,
mengurangi perawatan rumah sakit karena perburukan gagal
jantung, dan meningkatkan angka kelangsungan hidup (Siswanto et
al., 2015).
ACEI kadang-kadang menyebabkan perburukan fungsi
ginjal, hiperkalemia, hipotensi simtomatik, batuk dan angioedema
(jarang), oleh sebab itu ACEI hanya diberikan pada pasien dengan
fungsi ginjal adekuat dan kadar kalium normal.
Indikasi pemberian ACEI
Fraksi ejeksi ventrikel kiri 40 %, dengan atau tanpa gejala
Kontraindikasi pemberian ACEI
Riwayat angioedema
Stenosis renal bilateral
Kadar kalium serum > 5,0 mmol/L
Serum kreatinin > 2,5 mg/dL
Stenosis aorta berat (Ganiswama, 2003; Siswanto et al., 2015)

b. Penyekat
Kecuali kontraindikasi, penyekat harus diberikan pada
semua pasien gagal jantung simtomatik dan fraksi ejeksi ventrikel
kiri 40 %. Penyekat memperbaiki fungsi ventrikel dan kualitas
hidup, mengurangi perawatan rumah sakit karena perburukan gagal
jantung, dan meningkatkan kelangsungan hidup.
Indikasi pemberian penyekat
Fraksi ejeksi ventrikel kiri 40 %

65
Gejala ringan sampai berat (kelas fungsional II - IV NYHA)
ACEI / ARB (dan antagonis aldosteron jika indikasi
Kontraindikasi pemberian penyekat
Asma
Blok AV (atrioventrikular) derajat 2 dan 3, sindroma sinus sakit
(tanpa pacu jantung permanen), sinus bradikardia (nadi < 50
x/menit) (Ganiswama, 2003; Siswanto et al., 2015)

c. Antagonis aldosteron
Kecuali kontraindikasi, penambahan obat antagonis
aldosteron dosis kecil harus dipertimbangkan pada semua pasien
dengan fraksi ejeksi 35 % dan gagal jantung simtomatik berat
(kelas fungsional III - IV NYHA) tanpa hiperkalemia dan
gangguan fungsi ginjal berat. Antagonis aldosteron mengurangi
perawatan rumah sakit karena perburukan gagal jantung dan
meningkatkan kelangsungan hidup.
Indikasi pemberian antagonis aldosteron
Fraksi ejeksi ventrikel kiri 40 %
Gejala sedang sampai berat (kelas fungsional III- IV NYHA)
Dosis optimal penyekat dan ACEI atau ARB (tetapi tidak
ACEI dan ARB)
Kontraindikasi pemberian antagonis aldosteron
Konsentrasi serum kalium > 5,0 mmol/L
Serum kreatinin> 2,5 mg/dL
Bersamaan dengan diuretik hemat kalium atau suplemen
kalium
Kombinasi ACEI dan ARB (Ganiswama, 2003; Siswanto et al.,
2015)
d. Angiotensin receptor blocker (ARB)
Kecuali kontraindikasi, ARB direkomendasikan pada pasien
gagal jantung dengan fraksi ejeksi ventrikel kiri 40 % yang tetap

66
simtomatik walaupun sudah diberikan ACEI dan penyekat dosis
optimal, kecuali juga mendapat antagonis aldosteron. Terapi
dengan ARB memperbaiki fungsi ventrikel dan kualitas hidup,
mengurangi angka perawatan rumah sakit karena perburukan gagal
jantung ARB direkomedasikan sebagai alternative pada pasien
intoleran ACEI. Pada pasien ini, ARB mengurangi angka kematian
karena penyebab kardiovaskular (Siswanto et al., 2015).
Indikasi pemberian ARB
Fraksi ejeksi ventrikel kiri 40 %
Sebagai pilihan alternatif pada pasien dengan gejala ringan
sampai berat (kelas fungsional II - IV NYHA) yang intoleran
ACEI
ARB dapat menyebabkan perburukan fungsi ginjal,
hiperkalemia, dan hipotensi simtomatik sama sepert ACEI,
tetapi ARB tidak menyebabkan batuk
Kontraindikasi pemberian ARB
Sama seperti ACEI, kecuali angioedema
Pasien yang diterapi ACEI dan antagonis aldosteron bersamaan
Monitor fungsi ginjal dan serum elektrolit serial ketika ARB
digunakan bersama ACEI

e. Hydralazine dan isosorbid dinitrat


Pada pasien gagal jantung dengan fraksi ejeksi ventrikel kiri
40 %, kombinasi H-ISDN digunakan sebagai alternatif jika
pasien intoleran terhadap ACEI dan ARB (kelas rekomendasi IIa,
tingkatan bukti B).
Indikasi pemberian kombinasi H-ISDN
Pengganti ACEI dan ARB dimana keduanya tidak dapat
ditoleransi
Sebagai terapi tambahan ACEI jika ARB atau antagonis
aldosteron tidak dapat ditoleransi

67
Jika gejala pasien menetap walaupun sudah diterapi dengan
ACEI, penyekat dan ARB atau antagonis aldosteron
Kontraindikasi pemberian kombinasi H-ISDN
Hipotensi simtomatik
Sindroma lupus
Gagal ginjal berat

f. Digoksin
Pada pasien gagal jantung dengan fibrilasi atrial, digoksin
dapat digunakan untuk memperlambat laju ventrikel yang cepat,
walaupun obat lain (seperti penyekat beta) lebih diutamakan. Pada
pasien gagal jantung simtomatik fraksi ejeksi ventrikel kiri 40 %
dengan irama sinus, digoksin dapat mengurangi gejala,
menurunkan angka perawatan rumah sakit karena perburukan gagal
jantung,tetapi tidak mempunyai efek terhadap angka kelangsungan
hidup (Siswanto et al., 2015).

g. Diuretik
Diuretik direkomendasikan pada pasien gagal jantung
dengan tanda klinis atau gejala kongesti. Tujuan dari pemberian
diuretik adalah untuk mencapai status euvolemia (kering dan
hangat) dengan dosis yang serendah mungkin, yaitu harus diatur
sesuai kebutuhan pasien, untuk menghindari dehidrasi atau reistensi
(Ganiswama, 2003; Siswanto et al., 2015).

H. Prognosis
Tabel 2.6. Prognosis Klasifikasi New York Heart Association
CLASS SYMPTOMS 1-YEAR MORTALITY*
I None, asymptomatic left ventricular 5%
dysfunction
II Dyspnoea or fatigue on moderate 10 %
physical exertion

68
III Dyspneoea or fatigue on normal 10 % - 20 %
daily activities
IV Dyspnoea or fatigue at rest 40 % - 50 %.

III. Atrial Fibrilasi

A. Definisi Atrial Fibrilasi

Atrial fibrilasi (AF) adalah aritmia jantung menetap yang paling


umum didapatkan. Ditandai dengan ketidakteraturan irama dan peningkatan
frekuensi atrium sebesar 350-650 x/menit sehingga atrium menghantarkan
implus terus menerus ke nodus AV.10 Konduksi ke ventrikel dibatasi oleh
periode refrakter dari nodus AV dan terjadi tanpa diduga sehingga
menimbulkan respon ventrikel yang sangat ireguler (Devay, 2006). Atrial
fibrilasi dapat terjadi secara episodic maupun permanen. Jika terjadi secara
permanen, kasus tersebut sulit untuk dikontrol (Philip dan Jeremy, 2010).
Atrial fibrilasi terjadi karena meningkatnya kecepatan dan tidak
terorganisirnya sinyal-sinyal listrik di atrium, sehingga menyebabkan
kontraksi yang sangat cepat dan tidak teratur (fibrilasi). Sebagai akibatnya,
darah terkumpul di atrium dan tidak benar-benar dipompa ke ventrikel. Ini
ditandai dengan heart rate yang sangat cepat sehingga gelombang P di
dalam EKG tidak dapat dilihat.Ketika ini terjadi, atrium dan ventrikel tidak
bekerja sama sebagaimana mestinya. Gambaran elektrokardiogram atrial
fibrilasi adalah irama yang tidak teratur dengan frekuensi laju jantung
bervariasi (bisa normal/lambat/cepat). Jika laju jantung kurang dari 60 kali
permenit disebut atrial fibrilasi dengan respon ventrikel lambat (SVR), jika
laju jantung 60-100 kali permenit disebut atrial fibrilasi respon ventrikel
normal (NVR) sedangkan jika laju jantung lebih dari 100 kali permenit
disebut atrial fibrilasi dengan respon ventrikel cepat (RVR). Kecepatan QRS
biasanya normal atau cepat dengan gelombang P tidak ada atau jikapun ada

69
menunjukkan depolarisasi cepat dan kecil sehingga bentuknya tidak dapat
didefinisikan (Churcum, 2010).
Pada dasarnya, jantung dapat melakukan kontraksi karena terdapat
adanya sistem konduksi sinyal elektrik yang berasal dari nodus sino-atrial
(SA). Pada atrial fibriasi, nodus SA tidak mampu melakukan fungsinya
secara normal, hal ini menyebabkan tidak teraturnya konduksi sinyal
elektrik dari atrium ke ventrikel. Akibatnya, detak jantung menjadi tidak
teratur dan terjadi peningkatan denyut jantung. Keadaan ini dapat terjadi dan
berlangsung dalam menit ke 8 minggu bahkan dapat terjadi bertahun-tahun.
Kecenderungan dari atrial fibrilasi sendiri adalah kecenderungan untuk
menjadi kronis dan menyebabkan komplikasi lain.

Gambar 2.5. Gambaran irama jantung normal dan atrial fibrilasi

Pada tahun 2001, jumlah pasien dengan atrial fibrilasi mencapai


2,3 juta di Amerika dan 4,5 juta pasien di Eropa. Pada populasi umum
prevalensi atrial fibrilasi terdapat sekitar1-2% dan diperkirakan kejadian
atrial fibrilasi akan terus meningkat 0,1% setiap tahunnya pada populasi
umur 40 tahun ke atas. Pada umur di bawah 50 tahun prevalensi atrial
fibrilasi berkurang dari 1% dan meningkat menjadi lebih dari 9% pada usia
80 tahun. Sedangkan prosentase stroke yang berasal dari atrial fibrilasi
berkisar 6-24% dari semua stroke iskemik, sedangkan 3-11% dari pasien
yang secara struktural terdiagnosis atrial fibrilasi memiliki jantung yang
normal.Pada manifestasi klinik, atrial fibrilasi dapat simptomatik dan dapat

70
pula asimptomatik. Gejala-gejala atrial fibrilasi sangat bervariasi
tergantung dari kecepatan laju irama ventrikel, lamanya atrial fibrilasi, dan
penyakit yang mendasarinya. Gejala-gejala yang dialami terutama saat
beraktivitas, sesak nafas, cepat lelah, sinkop atau gejala tromboemboli.
Atrial fibrilasi dapat mencetuskan gejala iskemik dengan dasar penyakit
jantung koroner.Fungsi kontraksi atrial yang sangat berkurang pada atrial
fibrilasi akan menurunkan curah jantung dan dapat menyebabkan gagal
jantung kongestif pada pasien dengan disfungsi ventrikel kiri (Aru, 2006)

B. Klasifikasi Atrial Fibriasi

Banyak tipe atau klasifikasi atrial fibrilasi yang umum dibahas.


Beberapa hal antaranya berdasarkan waktu timbulnya dan keberhasilan
intervensi, berdasarkan ada tidaknya penyakit lain yang mendasari, dan
terakhir berdasarkan bentuk gelombang P. Beberapa keperpustakaan
tertulis ada beberapa sistem klasifikasi atrial fibrilasi yang telah
dikemukanakan, seperti (Aru, 2006) :
1. Berdasarkan laju respon ventrikel, atrial fibrilasi dibagi menjadi :
AF respon cepat (rapid response) dimana laju ventrikel lebih dari
100 kali permenit
AF respon lambat (slow response) dimana laju ventrikel lebih
kurang dari 60 kali permenit
AF respon normal (normo response) dimana laju ventrikel antara
60-100 kali permenit.
2. Berdasarkan keadaan Hemodinamik saat AF muncul, maka dapat
diklasifikasikan menjadi :
AF dengan hemodinamik tidak stabil (gagal jantung, angina atau
infark miokard akut)
AF dengan hemodinamik stabil
3. Klasifikasi menurut American Heart Assoiation (AHA), atrial
fibriasi (AF) dibedakan menjadi 4 jenis, yaitu22 :
AF deteksi pertama yaitu tahap dimana belum pernah terdeteksi
AF sebelumnya dan baru pertama kali terdeteksi.

71
AF paroksimal bila atrial fibrilasi berlangsung kurang dari 7 hari.
Lebih kurang 50% atrial fibrilasi paroksimal akan kembali ke
irama sinus secara spontan dalam waktu 24 jam. Atrium fibrilasi
yang episode pertamanya kurang dari 48 jam juga disebut AF
Paroksimal.
AF persisten bila atrial fibrilasi menetap lebih dari 48 jam tetapi
kurang dari 7 hari. Pada AF persisten diperlukan kardioversi
untuk mengembalikan ke irama sinus.
AF kronik atau permanen bila atrial fibrilasi berlangsung lebih
dari 7 hari. Biasanya dengan kardioversi pun sulit untuk
mengembalikan ke irama sinus (resisten).

Disamping klasifikasi menurut AHA (American Heart


Association), atrial fibrilasi juga sering diklasifikasikan menurut lama
waktu berlangsungnya, yaitu AF akut dan AF kronik. AF akut
dikategorikan menurut waktu berlangsungnya atau onset yang kurang dari
48 jam, sedangkan AF kronik sebaliknya, yaitu atrial fibrilasi yang
berlangsung lebih dari 48 jam. Selain itu, klasifikasi atrial fibrilasi
berdasarkan ada tidaknya penyakit lain yang mendasari yaitu AF primer
dan AF sekunder. Disebut AF primer jika tidak disertai penyakit jantung
lain atau penyakit sistemik lainnya. AF sekunder jika disertai dengan
penyakit jantung lain atau penyakit sistemik lain seperti diabetes,
hipertensi, gangguan katub mitral dan lain-lain. Sedangkan klasifikasi lain
adalah berdasarkan bentuk gelombang P yaitu dibedakan atas Coarse AF
dan Fine AF. Coarse AF jika bentuk gelombang P nya kasar dan masih
bisa dikenali. Sedangkan Fine AF jika bentuk gelombang P halus hampir
seperti garis lurus (AHA, 2011).

C. Epidemiologi Atrial Fibriasi

Pada dasarnya, prevalensi atrial fibrilasi dengan umur dibawah 50


tahun kurang dari 1% dan meningkat lebih dari 9% pada usia 80 tahun.
Atrial fibrilasi lebih banyak dijumpai pada laki-laki dibandingkan wanita

72
dan atrial fibrilasi merupakan faktor resiko independen yang kuat terhadap
kejadian stroke emboli. Kejadian stroke iskemik pada pasien AF non
valvular ditemukan sebanyak 5% per tahun, 2-7 kali lebih banyak
dibanding pasien tanpa atrial fibrilasi. Pada studi Framingham resiko
terjadinya stroke emboli 5,6 kali lebih banyak pada AF non valvular dan
17,6 kali lebih banyak pada AF valvular dibandingkan dengan kontrol
(Aru, 2006).

D. Etiologi Atrial Fibrilasi

Pada dasarnya etiologi yang terkait dengan atrial fibrilasi terbagi


menjadi beberapa faktor, diantaranya yaitu (Aru, 2006; AHA, 2011) :
a. Peningkatan tekanan atau resistensi atrium
Peningkatan katub jantung
Kelainan pengisian dan pengosongan ruang atrium
Hipertrofi jantung
Kardiomiopati
Hipertensi pulmo (chronic obstructive purmonary disease dan cor
pulmonary chronic)
Tumor intracardiac
b. Proses Infiltratif dan Inflamasi
Pericarditis atau miocarditis
Amiloidosis dan sarcoidosis
Faktor peningkatan usia
c. Proses Infeksi
Demam dan segala macam infeksi
d. Kelainan Endokrin
Hipertiroid, Feokromotisoma
e. Neurogenik
Stroke, Perdarahan Subarachnoid
f. Iskemik Atrium
Infark miocardial
g. Obat-obatan
Alkohol, Kafein
h. Keturunan atau Genetik

E. Patofisiologi Atrial Fibrilasi

73
Pada dasarnya mekanisme atrial fibriasi terdiri dari 2 proses, yaitu
proses aktivasi fokal dan multiple wavelet reentry. Pada proses aktivasi
fokal bisa melibatkan proses depolarisasi tunggal atau depolarisasi
berulang. Pada proses aktivasi fokal, fokus ektopik yang dominan adalah
berasal dari vena pulmonalis superior. Selain itu, fokus ektopik bisa juga
berasal dari atrium kanan, vena cava superior dan sinus coronarius. Fokus
ektopik ini menimbulkan sinyal elektrik yang dapat mempengaruhi
potensial aksi pada atrium dan menggangu potensial aksi yang dicetuskan
oleh nodus sino-atrial (SA) (AHA, 2011). Sedangkan multiple wavelet
reentry, merupakan proses potensial aksi yang berulang dan melibatkan
sirkuit atau jalur depolarisasi. Mekanisme multiple wavelet reentry tidak
tergantung pada adanya fokus ektopik seperti pada proses aktivasi fokal,
tetapi lebih tergantung pada sedikit banyaknya sinyal elektrik yang
mempengaruhi depolarisasi. Timbulnya gelombang yang menetap dari
depolarisasi atrial atau wavelet yang dipicu oleh depolarisasi atrial
prematur atau aktivas aritmogenik dari fokus yang tercetus secara cepat.
Pada multiple wavelet reentry, sedikit banyaknya sinyal elektrik
dipengaruhi oleh 3 faktor, yaitu periode refractory, besarnya ruang atrium
dan kecepatan konduksi. Hal ini bisa dianalogikan, bahwa pada
pembesaran atrium biasanya akan disertai dengan pemendekan periode
refractory dan terjadi penurunan kecepatan konduksi. Ketiga faktor
tersebut yang akan peningkatkan sinyal elektrik dan menimbulkan
peningkatan depolarisasi serta mencetuskan terjadinya atrial fibrilasi
(AHA, 2011; Aru, 2006).

74
Gambar 2.6. A. Proses aktivasi fokal atrial fibrilasi dan B. Proses Multiple
Wavelet ReentryAtrial Fibrilasi

Mekanisme fibrilasi atrium identik dengan mekanisme fibrilasi


ventrikel kecuali bila prosesnya ternyata hanya di massa otot atrium dan
bukan di massa otot ventrikel. Penyebab yang sering menimbulkan
fibrilasi atrium adalah pembesaran atrium akibat lesi katup jantung yang
mencegah atrium mengosongkan isinya secara adekuat ke dalam ventrikel,
atau akibat kegagalan ventrikel dengan pembendungan darah yang banyak
di dalam atrium. Dinding atrium yang berdilatasi akan menyediakan
kondisi yang tepat untuk sebuah jalur konduksi yang panjang demikian
juga konduksi lambat, yang keduanya merupakan faktor predisposisi bagi
fibrilasi atrium (Guyton dan Hall, 1997).
Atrium tidak akan memompa darah selama AF berlangsung. Oleh
karena itu atrium tidak berguna sebagai pompa primer bagi ventrikel.
Walaupun demikian, darah akan mengalir secara pasif melalui atrium ke
dalam ventrikel, dan efisiensi pompa ventrikel akan menurun hanya
sebanyak 20 30 %. Oleh karena itu, dibanding dengan sifat yang
mematikan dari fibrilasi ventrikel, orang dapat hidup selama beberapa
bulan bahkan bertahun-tahun dengan atrial fibrilasi, walaupun timbul
penurunan efisiensi dari seluruh daya pompa jantung (Guyton dan Hall,
2007).
Pada AF aktivitas sitolik pada atrium kiri tidak teratur, terjadi
penurunan atrial flow velocities yang menyebabkan statis pada atrium kiri

75
dan memudahkan terbentuknya trombus. Pada pemeriksaan TEE
(Ekokardiogram Transesophageal), trombus pada atrium kiri lebih banyak
dijumpai pada pasien AF dengan stroke emboli dibandingkan dengan AF
tanpa stroke emboli. 2/3 sampai stroke iskemik yang terjadi pada pasien
dengan AF non valvular karena stroke emboli. Beberapa penelitian
menghubungkan AF dengan gangguan hemostasis dan thrombosis.
Kelainan tersebut mungkin akibat dari statis atrial tetapi mungkin juga
sebagai kofaktor terjadinya tromboemboli pada AF. Kelainan-kelainan
tersebut adalah peningkatan faktor von Willebrand (faktor VII), fibrinogen,
D-dimer, dan fragmen protrombin. Sohaya melaporkan AF akan
meningkatkan agregasi trombosit, koagulasi dan hal ini dipengaruhi oleh
lamanya AF (Aru, 2006).

F. Tanda dan Gejala Atrial Fibrilasi

Pada dasarnya, atrial fibrilasi tidak memberikan tanda dan gejala


yang khas dan spesifik pada perjalanan penyakitnya. Umumnya gejala dari
atrial fibrilasi adalah peningkatan denyut jantung, ketidakteraturan irama
jantung dan ketidakstabilan hemodinamik. Disamping itu, atrial fibrilasi
juga memberikan gejala lain yang diakibatkan oleh penurunan oksigenisasi
darah ke jaringan, seperti pusing, kelemahan, kelelahan, sesak nafas dan
nyeri dada. Akan tetapi, lebih dari 90% episode dari atrial fibrilasi tidak
menimbulkan gejalagejala tersebut (Wattigney 2002). Tanda dan gejala
lain pada atrial fibrilasi seperti palpitasi. Palpitasi merupakan salah satu
gejala yang sering muncul pada pasien dengan atrial fibrilasi akibat respon
ventrikel yang ireguler. Namun gejala palpitasi dapat juga terjadi pada
pasien dengan penyakit jantung lainnya. Palpitasi belum menjadi gejala
yang spesifik untuk mendasari pasien mengalami atrial fibrilasi. Untuk
menunjukkan adanya atrial fibrilasi, pasien biasanya disertai dengan
keluhan kesulitan bernafas seperti sesak, syncope, pusing dan
ketidaknyamanan pada dada. Gejala tersebut di atas dialami oleh pasien

76
dimana pasien juga mengeluh dadanya terasa seperti diikat, sesak nafas
dan lemas. Sering pada pasien yang berjalan, pasien merasakan sakit
kepala seperti berputar-putar dan melayang tetapi tidak sampai pingsan.
Serta nadi tidak teratur, cepat, dengan denyut sekitar 140x/menit. Atrial
fibrilasi dapat disertai dengan pingsan (syncope) ataupun dengan pusing
yang tak terkendali. Kondisi ini akibat menurunnya suplai darah ke
sitemik dan ke otak (Camm et al, 2010)

G. Faktor Risiko Atrial Fibrilasi

Faktor usia berpengaruh terhadap atrial fibrilasi karena dengan


bertambahnya umur maka semakin tinggi resiko terjadinya atrial fibrilasi.
Usia merupakan salah satu faktor terkuat dalam kejadian atrial fibrilasi.
Sebuah studi di Framingham menyebutkan bahwa meningkatnya kejadian
atrial fibrilasi pada beberapa kondisi yaitu usia di atas 50 tahun (Aru,
2006). Selain itu, untuk mengetahui faktor risiko yang berhubungan
dengan kejadian atrial fibrilasi tersebut harus dicari kondisi yang
berhubungan dengan kelainan jantung maupun kelainan di luar jantung.
Kondisi-kondisi yang berhubungan dengan atrial fibrilasi dibagi
berdasarkan:
Kelainan Jantung yang berhubungan dengan AF :
Penyakit Jantung Koroner
Kardiomiopati Dilatasi
Kardiomiopati Hipertrofik
Penyakit Katup Jantung : reumatik maupun non-reumatik
Aritmia Jantung : takikardia atrial, fluter atrial, AVNRT, sindrom WPW,
sick sinus syndrome.
Perikarditis

Kelainan di luar Jantung yang berhubungan dengan AF :


Diabetes militus
Hipertiroidisme
Penyakit paru : penyakit paru obstruktif kronik, hipertensi pulmonal
primer, emboli paru akut.

77
Neurogenik : sistem saraf autonom dapat mencetuskan AF pada
pasien sensitif melalui peninggian tonus vagal atau adrenergik (Aru,
2006).

H. Diagnosis Atrial Fibrilasi


Diagnosis fibrilasi atrium memerlukan dokumentasi
yang memadai. Dokumentasi tersebut harus memenuhi
beberapa karakteristik yang dimiliki oleh fibrilasi atrium,
antara lain: adanya interval R-R ireguler pada EKG, tidak
ditemukan gelombang P pada EKG, dan interval antara 2
aktivasi atrium jika terlihat >200 ms atau >300 laju per
menit (200 ms = 5 kotak kecil pada hasil pemeriksaan
EKG) (Lip et al, 2012). Klasifikasi fibrilasi atrium yaitu
fibrilasi atrium paroksismal, fibrilasi atrium persisten, dan
fibrilasi atrium permanen. Fibrilasi atrium paroksismal
mempunyai karakteristik episode fibrilasi atrium muncul
dan hilang spontan yang biasanya dicetuskan oleh fokus di
otot atrium di sekitar vena pulmonal. Fibrilasi atrium
persisten memiliki durasi lebih panjang biasanya lebih dari
7 hari dan akan terus muncul kecuali dilakukan kardioversi.
Fibrilasi atrium persisten memiliki durasi >1 tahun, pada
umumnya telah terjadi perubahan struktur atrium,
sehingga memungkinkan terjadinya proses reentry ataupun
automatisasi (Kasper et al, 2015).

I. Penatalaksanaan Atrial Fibrilasi


Prinsip terapi fibrilasi atrium yaitu: antitrombotik
untuk pencegahan stroke, pengendalian laju jantung,
pengendalian ritme jantung, dan terapi tambahan (upstream
therapy).
Anti-trombotik

78
Anti-trombotik direkomendasikan untuk pasien
fibrilasi atrium dengan riwayat stroke, atau transient ischemic
attack (TIA). Pilihan obat anti-trombotik yang dapat
digunakan adalah warfarin dengan target INR 2.0 3.0,
dabigatran, rivaroxaban, atau apixaban. Pasien yang mendapat
warfarin harus memeriksakan INR setiap minggu pada awal
pengobatan dan disarankan memeriksa INR setiap bulan
jika target INR telah tercapai dan stabil. Dabigatran,
rivaroxaban, atau apixaban dapat diberikan apabila target INR
tidak tercapai dengan warfarin, namun sebelumnya
diperlukan pemeriksaan fungsi ginjal dan berkala. Dabigatran
dan rivaroxaban tidak direkomendasikan pada pasien fibrilasi
atrium dengan penyerta gagal ginjal kronis tahap akhir
atau dalam terapi dialisis karena belum ada penelitiannya;
warfarin merupakan anti-trombotik pilihan utama untuk
pasien kelompok tersebut. Dabigatran dan rivaroxaban dapat
diberikan pada penderita gagal ginjal kronis, namun
dengan dosis dimodifikasi (January et al, 2014).

Pengendalian Laju Jantung


Pengendalian laju jantung menggunakan obat golongan beta bloker
atau penghambat kanal kalsium golongan non-dihydropyridine
direkomendasikan untuk pasien fibrilasi atrium jenis paroksismal,
persisten, ataupun permanen. Beta bloker atau penghambat kanal kalsium
dapat diberikan secara intravena pada keadaan akut tanpa disertai pre-
eksitasi (January et al, 2014). Kendali laju dipertimbangkan sebagai
terapi awal pada pasien usia tua dan keluhan minimal. Kendali irama
direkomendasikan pada pasien yang masih simptomatik meskipun telah
dilakukan kendali laju optimal. Kendali laju sendiri dibagi menjadi 2
bagian, yaitu kendali laju longgar dan kendali laju ketat. Pada permulaan
kendali laju longgar dapat dipilih dengan target laju jantung <110 kali per

79
menit saat istirahat. Apabila tetap didapatkan gejala, kendali laju ketat
dapat dilakukan dengan target laju jantung < 80 kali per menit saat
istirahat. Penyekat beta direkomendasikan sebagai terapi pilihan pertama
pada pasien fibrilasi atrium dengan gagal jantung dan fraksi ejeksi yang
rendah atau pasien dengan riwayat infark miokard. Apabila monoterapi
tidak cukup, dapat ditambahkan digoksin untuk kendali laju. Fibrilasi
atrium dengan respons irama ventrikel yang lambat, biasanya membaik
dengan pemberian atropin (mulai 0,5 mg intravena). Bila dengan atropin
masih simptomatik, dapat dilakukan tindakan kardioversi atau pemasangan
pacu jantung sementara (Yuniadi et al, 2014).

Pengendalian Irama Jantung


Tujuan utama strategi kendali irama adalah mengurangi gejala.
Pengendalian irama jantung dipilih pada pasien yang masih bergejala
meskipun pengendalian laju jantung telah optimal. Pengubahan irama
fibrilasi atrium ke irama sinus (kardioversi) menggunakan obat paling
efektif dilakukan dalam 7 hari setelah terjadi fibrilasi atrium. Kardioversi
farmakologis kurang efektif pada penderita fibrilasi atrium persisten.
Terapi pengembalian irama ke sinus mempunyai kelebihan
mengurangi risiko tromboemboli, memperbaiki
hemodinamik, serta mencegah remodelling atrium yang
dapat meningkatkan ukuran atrium dan menyebabkan
kardiomiopati atrium. Kendali irama harus dipertimbangkan
pada pasien gagal jantung akibat fibrilasi atrium untuk
memperbaiki keluhan, pasien muda yang simptomatik,
atau fibrilasi atrium sekunder akibat kelainan yang telah
dikoreksi (iskemia, hipertiroid). Kondisi klinis yang dapat
mempengaruhi tingginya rekurensi antara lain ukuran
atrium kiri >50 mm, durasi >6 bulan, gagal jantung
dengan NYHA >II, gangguan fungsi sistolik ventrikel kiri

80
(ejection fraction (EF) <40%, dan riwayat kardioversi
sebelumnya (1-2 kali dalam 2 tahun sebelumnya).
Untuk penderita fibrilasi atrium dengan durasi 48 jam
atau tidak diketahui, direkomendasikan pemberian
antikoagulan warfarin dengan target INR 2.0 3.0 untuk 3
minggu sebelum kardioversi dan dilanjutkan sampai 4
minggu setelah kardioversi. Untuk pasien yang tidak stabil,
kardioversi dapat segera dilakukan tanpa pemberian
antikoagulan terlebih dahulu dan tetap diberikan
antikoagulan setelahnya selama 4 minggu. Untuk penderita
fibrilasi atrium dengan durasi < 48 jam dan memiliki risiko
tinggi stroke, heparin intravena, atau LMWH (low molecular
weight heparin) dapat direkomendasikan segera diberikan
sebelum atau sesaat setelah dilakukan kardioversi, diikuti
dengan pemberian antikoagulan oral.
Tabel 2.7. Dosis Pengendali Laju Jantung untuk AF

Untuk pasien fibrilasi atrium dengan durasi >48 jam atau


durasi aktual tak diketahui, dan belum mendapatkan terapi
antikoagulan selama 3 minggu perlu dipertimbangkan

81
echocardiography transesophageal sebelum kardioversi untuk
memastikan tidak ada trombus di atrium kiri.2 Kardioversi
dapat secara elektrik atau farmakologis. Kardioversi
dengan agen farmakologi kurang berhasil jika durasi
fibrilasi atrium >7 hari (Yuniadi et al, 2014).

IV. ANEMIA PADA GAGAL GINJAL KRONIK


A. Definisi Anemia
World Health Organization (WHO) mendefinisikan anemia dengan
konsentrasi hemoglobin < 13,0 mg/dl pada laki-laki dan wanita postmenopause
dan < 12,0 gr/dl pada wanita lainnya. The European Best Practice Guidelines
untuk penatalaksanaan anemia pada pasien-pasien penyakit ginjal kronik
mengatakan bahwa batas bawah hemoglobin normal adalah 11,5 gr/dl pada
wanita, 13,5 gr/dl pada laki-laki dibawah atau sama dengan 70 tahun dan 12,0
gr/dl pada laki-laki diatas 70 tahun (National Kidney Foundation, 2011).
The National Kidney Foundations Kidney Dialysis Outcomes Quality
Initiative (K/DOQI) merekomendasikan anemia pada pasien penyakit ginjal
kronik jika kadar hemoglobin < 11,0 gr/dl (hematokrit <33%) pada wanita
premenopause dan pasien prepubertas, dan < 12,0 gr/dl (hematokrit <37%) pada
laki-laki dewasa dan wanita postmenopause (National Kidney Foundation, 2011;
Tarif, 2002). Dan berdasarkan PERNEFRI 2011, dikatakan anemia pada penyakit
ginjal kronik jika Hb 10 gr/dl dan Ht 30%.
Anemia sering terjadi pada pasien-pasien dengan penyakit ginjal kronis.
Klinisi harus memikirkan keadaan anemia jika tingkat Laju Filtrasi Glomerulus
(LFG) pasien menurun ke 60 ml/menit/1,73 m2 atau lebih rendah (National
Kidney Foundation, 2011; Marsden, 2009).

B. Etiologi Anemia pada Penyakit Ginjal Kronik


Faktor-faktor yang berkaitan dengan anemia pada penyakit ginjal kronik
termasuk kehilangan darah, pemendekan masa hidup sel darah merah, defisiensi
vitamin, uremic milieu, defisiensi eritropoetin, defisiensi besi dan inflamasi.

82
Kehilangan Darah (National Kidney Foundation, 2011; Tarif, 2002;
Marsden, 2009).
Pasien-pasien dengan penyakit ginjal kronis memiliki risiko
kehilangan darah oleh karena terjadinya disfungsi platelet. Penyebab
utama kehilangan darah pada pasien-pasien ini adalah dari dialisis,
terutama hemodialisis dan nantinya menyebabkan defisiensi besi juga.
Pasien-pasien hemodialisis dapat kehilangan 3 -5 gr besi per tahun.
Normalnya, kita kehilangan besi 1-2 mg per hari (Gambar 1), sehingga
kehilangan besi pada pasien-pasien dialisis 10-20 kali lebih banyak.
Pemendekan masa hidup eritrosit (Nurko, 2006)

Masa hidup eritrosit berkurang sekitar sepertiga pasien-pasien


hemodialisis
Defisiensi Eritropoetin (National Kidney Foundation, 2011; Tarif, 2002;
Marsden, 2009)
Defisiensi eritropoetin merupakan penyebab utama anemia pada
pasien-pasien penyakit ginjal kronik. Para peneliti mengatakan bahwa sel-
sel peritubular yang menghasilkan eritropoetin rusak sebagian atau
seluruhnya seiring dengan progresivitas penyakit ginjalnya, sehingga
produksi eritropoetin tidak serendah sesuai dengan derajat anemianya.
Donelly mengatakan bahwa defisiensi eritropoetin relatif pada penyakit
ginjal kronik dapat berespon terhadap penurunan fungsi glomerulus. Satu
studi mengatakan bahwa untuk mempertahankan kemampuan untuk
meningkatkan kadar eritropoetin dengan cara tinggal pada daerah yang
tinggi.

Defisiensi Besi (National Kidney Foundation, 2011)


Homeostasis besi tampaknya terganggu pada penyakit ginjal kronik.
Untuk alasan yang masih belum diketahui (kemungkinan karena
malnutrisi), kadar transferin pada penyakit ginjal kronik setengah atau
sepertiga dari kadar normal, menghilangkan kapasitas sistem transport
besi. Situasi ini yang kemudian mengganggu kemampuan untuk

83
mengeluarkan cadangan besi dari makrofag dan hepatosit pada penyakit
ginjal kronik.

Inflamasi (National Kidney Foundation, 2011; Tarif, 2002; Marsden,


2009)
Anemia pada inflamasi juga ditandai dengan kadar besi serum
yang rendah, saturasi transferin yang rendah dan gangguan pengeluaran
cadangan besi yang bermanifestasi dengan tingginya serum feritin.
Peningkatan jumlah sitokin-sitokin inflamasi di sirkulasi seperti
interleukin 6 berhubungan dengan respon yang buruk terhadap pemberian
eritropoetin pada pasien-pasien gagal ginjal terminal.

C. Diagnosis
Pada penyakit ginjal kronik, keadaan anemia yang terjadi tidak
sepenuhnya
berkaitan dengan penyakit ginjalnya. Anemia pada penyakit ginjal kronik dapat
dijadikan diagnosis setelah mengeksklusikan adanya defisiensi besi dan kelainan
eritrosit lainnya (National Kidney Foundation, 2011; Tarif, 2002).
Beberapa poin harus diperiksa dahulu sebelum dilakukan pemberian terapi
penambah eritrosit, yaitu :
Darah lengkap
Pemeriksaan darah tepi
Hitung retikulosit
Pemeriksaan besi (serum iron, total iron binding capacity, saturasi transferin,
serum feritin)
Pemeriksaan darah tersamar pada tinja
Kadar vitamin B12
Hormon paratiroid

D. Terapi
Tujuan penatalaksanaan anemia pada GGK adlah mencapai target Hb > 10
g/dl dan Ht >30%. Target Hb tersebut dapat dicapai dengan pengelolaan
konservatif atau dengan pemberian terapi eritropoietin (EPO). Jika dengan terapi

84
konservatif Hb tak tercapai, dapat dimulai terapi pemberian EPO (National
Kidney Foundation, 2011).
Terapi EPO diindikasikan untuk pengobatan anemia pada GGK.
Pemberian EPO dilakukan jika penyebab anemia adalah defisiensi eritropoietin.
Penggunaan EPO juga dapat mengurangi kebutuhan transfusi pada pasien GGK.
Menurut rekomendasi KDIGO, EPO diberikan jika Hb <10 g/dl dan Ht <30%,
selain itu harus disingkirkan juga penyebab lain anemia. EPO diberikan pada
pasien GGK dengan syarat kadar feritrin serum >100 mcg/dL dan saturasi
transferin > 20%, dan tanpa sedang mengalami infeksi berat. EPO diberikan
dalam 2 fase yaitu fase koreksi dan fase pemeliharaan. Fase koreksi bertujuan
mengoreksi anemia renal hingga target Hb dan Ht tercapai.

Gambar 2.7 Pemberian EPO pada pasien GGK

85
Terapi EPO fase koreksi diberikan 2000-3000 IU subcutan, dan diulang 2-3 kali
seminggu selama 4 minggu. Respon yang diharapkan adalah kenaikan Hb 1-2
mg/dl dan Ht 2-4% selama 4 minggu. Apabila tercapai, maka dosis EPO
dipertahankan hingga target Hb tercapai (> 10 mg/dl). Namun jika masih belum
tercapai, dosis EPO ditingkatkan 50%. Setelah kenaikan dosis itu jika Hb naik >
2,5 g/d; atau Ht naik 8% dalam 4 minggu maka dosis EPO diturunkan 25%.
Sedangkan fase pemeliharaan diberikan apabila Hb sudah mencapai targt > 10
g/dl. Fase pemeliharaan dimulai dengan dosis 2000 IU/minggu. Pemantauan Hb
dan Ht dilakukan tiap bulan sedangkan status besi diperiksa 3 bulan sekali. Jika
pada fase pemeliharaan Hb mencapai >12 g/dl maka dosis EPO diturunkan 25%.
Pasien perlu diberikan terapi transfusi jika Hb <7 g/dl dan tidak memungkinkan
pemberian EPO. Target Hb pada pasien trasnfusi adalah 7-9 d/dl. Pemberian
transfusi sampai Hb 12 g/dl tidak direkomendasikan karena tidak terbukti
bermanfaat (National Kidney Foundation, 2011).

V. Hipokalemia
A. Definisi
Hipokalemia (kadar kalium yang rendah dalam darah) adalah suatu
keadaan dimana konsentrasi kalium dalam darah kurang dari 3.8 mEq/L darah.
(The College of Emergency Medicine & Doctors.net.uk, 2008)

B. Penyebab
Ginjal yang normal dapat menahan kalium dengan baik. Jika konsentrasi
kalium darah terlalu rendah, biasanya disebabkan oleh ginjal yang tidak
berfungsi secara normal atau terlalu banyak kalium yang hilang melalui saluran
pencernaan (karena diare, muntah, penggunaan obat pencahar dalam waktu
yang lama atau polip usus besar). Hipokalemia jarang disebabkan oleh asupan
yang kurang karena kalium banyak ditemukan dalam makanan sehari-hari.
Kalium bisa hilang lewat air kemih karena beberapa sebab, yang paling sering
adalah akibat penggunaan obat diuretik tertentu yang menyebabkan ginjal
membuang natrium, air dan kalium dalam jumlah yang berlebihan. Pada

86
sindroma Cushing, kelenjar adrenal menghasilkan sejumlah besar hormon
kostikosteroid termasuk aldosteron. Aldosteron adalah hormon yang
menyebabkan ginjal mengeluarkan kalium dalam jumlah besar. Ginjal juga
mengeluarkan kalium dalam jumlah yang banyak pada orang-orang yang
mengkonsumsi sejumlah besar kayu manis atau mengunyah tembakau tertentu.
Penderita sindroma Liddle, sindroma Bartter dan sindroma Fanconi terlahir
dengan penyakit ginjal bawaan dimana mekanisme ginjal untuk menahan
kalium terganggu. Obat-obatan tertentu seperti insulin dan obat-obatan asma
(albuterol,terbutalin dan teofilin), meningkatkan perpindahan kalium ke dalam
sel dan mengakibatkan hipokalemia. Tetapi pemakaian obat-obatan ini jarang
menjadi penyebab tunggal terjadinya hipokalemia. The College of Emergency
Medicine & Doctors.net.uk, 2008).

C.Gejala Klinis
Hipokalemia ringan biasanya tidak menyebabkan gejala sama sekali.
Hipokalemia yang lebih berat (kurang dari 3 mEq/L darah) bisa menyebabkan
kelemahan otot, kejang otot dan bahkan kelumpuhan. Irama jantung menjadi
tidak normal, terutama pada penderita penyakit jantung. (Dawodu S, 2004)

D. Klasifikasi
1. Hipokalemia ringan : 3,0 3,4 mEq/l
2. Hipokalemia moderat : 2,5 2,9 mEq/l
3. Hipokalemia berat : < 2,5 mEq/l

E. Pengobatan
Kadar serum kalium diatas 3.0 mEq/liter tidak dipertimbangkan bahaya
atau sangat mengkhawatirkan; mereka dapat dirawat dengan penggantian
kalium melalui oral. Pengobatan biasanya dimulai dengan 10-20 mEq/L kalium
klorida diberikan 2 4 kali perhari (20-80 mEq/hari), tergantung kepada
keberatan hipoklaemia dan juga apakah akut atau kronik. Kadar yang lebih
rendah dari 3.0 mEq/liter mungkin memerlukan penggantian intravena. Terapi
pasien hipokalemia adalah spesifik pasien dan tergantung pada diagnosis,
keadaan-keadaan dari penyakit, dan kemampuan pasien untuk mentolerir

87
cairan dan obat melalui mulut.. Koreksi kalium dengan intravena dapat
dihitung dengan rumus koreksi kalium.
(D-A) x BB x 0,4) + maintenance (1-2 mEq/KgBB/24 jam) =
Keterangan:
D : kalium yang diinginkan
A : kalium saat ini
BB : berat badan

1. Jika kadar kalium serum >2 mEq/l maka diberikan KCl dengan kecepatan
10-20 mEq tiap jam.
2. Pada aritmia dapat diberikan KCl 20-30 mEq tiap jam melalui CVC dalam
100 ml cairan sambil dilakukan monitoring.
3. Anak-anak dapat diberikan 0,5-1 mEq/KgBB/dosis dewasa dalam 1 jam.

Pada pasien-pasien yang meminum diuretik, seringkali jumlah yang kecil


dari kalium oral mungkin diresepkan karena kehilangan akan berlanjut selama
obat diresepkan. Suplemen-suplemen oral mungkin dalam bentuk pil atau cairan,
dan dosis-dosisnya diukur dalam mEq. Dosis-dosis yang umum adalah 10-20mEq
per hari. Secara alternatif, konsumsi dari makanan-makanan yang tinggi dalam
kalium mungkin disarankan untuk penggantian. Pisang-pisang, apricot-aprocit,
jeruk-jeruk, dan tomat-tomat adalah tinggi dalam kandungan kaliumnya. Karena
kalium diekskresikan (dikeluarkan) di ginjal, tes-tes darah yang
memonitor fungsi ginjal mungkin diperintahkan untuk memprediksi dan
mencegah naiknya kadar kalium yang terlalu tinggi. Ketika kalium perlu diberikan
secara intravena, ia harus diberikan secara perlahan-lahan. Kalium mengiritasi
vena dan harus diberikan pada kecepatan dari kira-kira 10 mEq per jam. Begitu
juga, menginfus kalium terlalu cepat dapat menyebabkan iritasi jantung dan
memajukan irama-irama yang berpotensi berbahaya seperti ventricular
tachycardia (Malluche, 1999).

VI. Hiperkalsemia
A. Definisi hiperkalsemia
Hiperkalsemia adalah keadaan di mana kadar kalsium serum >10,5 mg/dl atau
kadar ion kalsium >1,33 mmol/L.

88
1. Penyebab hiperkalsemia
Terdapat tiga dasar mekanisme patofisiologi yang
berkontribusi terhadap kejadian hiperkalsemia yaitu :
peningkatan absorpsi kalsium dari traktus gastrointestinal,
penurunan ekskresi kalsium ginjal, dan peningkatan resorpsi
kalsium tulang (Carroll dan Schade, 2003).

Hiperkalsemia akibat gagal ginjal akut terjadi


terutama pada penderita dengan rhabdomiolisis. Awalnya,
hiperfosfatemia menyebabkan deposisi kalsium pada
jaringan lunak, mengakibatkan hipokalsemia dan HPT
sekunder. Selanjutnya ginjal mulai melindungi dengan
reentri/ masuknya kembali garam kalsium ke dalam
sirkulasi yang dihubungkan dengan kadar PTH tinggi
sehingga menyebabkan transien hiperkalsemia.
Pada penderita gagal ginjal kronik khususnya yang
menjalani hemodialisis, sering dijumpai hiperkalsemia
disebabkan oleh kelebihan vitamin D, imobilisasi,
penggunaan antasid kalsium, sekresi PTH otonom, atau
kombinasi di antaranya (Penfield dan Reilly, 2005).

2. Manifestasi klinis hiperkalsemia

Gejala hiperkalsemia tidak spesifik, manifestasi klinis


bervariasi tergantung beratnya serta saat perubahan
kalsium serum. Gejala-gejala lebih berat didapatkan pada
perubahan akut dibandingkan peningkatan kadar kalsium
yang kronik. Penderita dengan kadar kalsium antar 10,5
dan 12 mg/dL dapat asimptomatik; apabila melebihi kadar
tersebut, manifestasi multiorgan dapat terjadi dan
mengancam jiwa. Hiperkalsemia berperan dalam
hiperpolarisasi membran sel. Manifestasi klinis dapat

89
bersifat neurologik, kardiovaskuler, gastro-intestinal, ginjal
dan tulang (Carrol dan Schade, 2003).
Ion kalsium mempunyai peran utama pada
neurotransmiter. Peningkatan kadar kalsium menurunkan
eksitabilitas neuromuskular, yang berperan pada
hipotonisitas otot lurik. Gejala neuromuskuler termasuk
lemas dan menurunnya refleks tendon. Regangan otot
terganggu dan kemampuan otot pernapasan menurun.
Gangguan sistem saraf pusat dapat bermanifestasi sebagai
delirium, disfungsi kognitif, disorientasi, inkoherensia, dan
gejala psikotik seperti halusinasi dan delusi. Obtundasi
karena progresivitas peningkatan konsentrasi kalsium
serum memicu stupor atau koma (Carrol dan Schade,
2003).
Hiperkalsemia dihubungkan dengan peningkatan
iritabilitas kontraktilitas miokard. Perubahan
elektrokardiografi ditandai dengan konduksi yang lambat:
P-R memanjang, kompleks QRS melebar, interval Q-T
memendek, dan segmen S-T memendek atau tidak ada
(Carrol dan Schade, 2003). Apabila kadar kalsium mencapai
16 mg/dL (>8,0 mEq/L atau 3,99 mmol/L), T wave melebar,
peningkatan sekunder interval Q-T. Peningkatan
konsentrasi kalsium, meningkatkan bradiaritmia dan bundle
branch block. AV block komplit atau inkomplit dapat terjadi
jika konsentrasi kalsium serum sekitar 18 mg/dL (9,0 mEq/L
atau 4,49 mmol/L) dan memicu complete heart block, asistole,
dan cardiac arrest (Cancer Mail, 2008). Hiperkalsemia
mengakibatkan peningkatan sensitivitas efek farmakologik
dari digitalis, seperti digoksin.

90
Gejala-gejala gastrointestinal dihubungkan dengan
aksi depresi sistem saraf otonom dan akibat hipotoni otot.
Peningkatan sekresi asam lambung sering terjadi pada
hiperkalsemia dan meningkatkan manifestasi
gastrointestinal. Anoreksia, nausea, dan muntah meningkat
dengan peningkatan volume residual lambung. Konstipasi
dipicu oleh dehidrasi yang sering bersama-sama
hiperkalsemia. Nyeri perut mungkin memicu obstipasi
(Cancer Mail, 2008).
Hiperkalsemia menyebabkan defek tubular ginjal
reversibel yang mengakibatkan hilangnya kemampuan
pemekatan urin dan poliuria. Penurunan asupan cairan dan
poliuria berperan pada gejala yang dihubungkan dengan
dehidrasi. Penurunan reabsorpsi pada tubulus proksimal
terhadap natrium, magnesium, dan kalium terjadi akibat
deplesi garam dan air yang disebabkan oleh dehidrasi
seluler dan hipotensi. Insufisiensi renal mungkin terjadi
akibat penurunan filtrasi glomeruler, suatu komplikasi yang
paling sering pada mieloma (Cancer Mail, 2008; Penfield
dan Reilly, 2005). Meskipun nefrolitiasis dan
nefrokalsinosis biasanya tidak dihubungkan dengan
hiperkalsemia pada keganasan, kristal kalsium fosfat dapat
memicu menipisnya tubulus ginjal menjadi bentuk batu
ginjal akibat hiperkalsiuria berkepanjangan (Cancer Mail,
2008).
Hiperkalsemia pada keganasan merupakan akibat
metastasis osteolitik atau humerallymediated bone resorption
dengan fraktur sekunder, deformitas tulang dan nyeri.5
Osteoporosis tulang kortikal, seperti pergelangan tangan,
terutama dihubungkan dengan hiperparatiroidisme primer.

91
Peningkatan PTH dapat pula mengakibatkan resorpsi
subperiosteal, osteitis fibrosa cystica dengan kista tulang,
dan brown tumors pada tulang-tulang panjang (Carrol dan
Schade, 2003).

3. Klasifikasi hiperkalsemia

Hiperkalsemia ringan adalah jika kadar kalsium


serum total 10,5 - 12 mg/dL (2,63 - 3 mmol/L) atau kadar
ion kalsium 5,78 mg/dL (1,432 mmol/L), umumnya
asimptomatik. Pada hiperkalsemia sedang, manifestasi
multiorgan dapat terjadi. Kadar kalsium >14 mg/dL (3,5
mmol/L) dapat mengancam jiwa (Carrol dan Schade, 2003).

2. Terapi hiperkalsemia

Penatalaksanaan tergantung kadar kalsium darah


dan ada tidaknya gejala. Jika kadar kalsium <12 mg/dL,
tanpa gejala, biasanya tidak perlu tindakan terapeutik. Jika
kadar kalsium 12-14 mg/dL disertai gejala hiperkalsemia,
diperlukan terapi agresif, tetapi jika tidak disertai gejala,
cukup diterapi dengan hidrasi adekuat 3000 6000 mL
cairan NaCl 0,9% pada 24 jam pertama. Perbaikan volume
cairan ekstraseluler ke normal akan meningkatkan ekskresi
kalsium urin sebesar 100-300mg/hari. Perbaikan gejala
klinis, seperti status mental dan mual muntah tampak < 24
jam pertama. Namun rehidrasi merupakan terapi intervensi
sementara dan jarang mencapai kadar normal jika
digunakan sendiri. Jika terapi sitoreduktif definitif (operasi,
radiasi, atau kemoterapi) terhadap penyakit dasar tidak
dilakukan, terapi hipokalsemik seharusnya digunakan

92
dalam jangka lama untuk mencapai kontrol (Skugor dan
Millas, 2005; Penfield dan Reilly, 2005).
Setelah hidrasi tercapai, dengan kadar kalsium masih
tinggi, dapat diberi loop diuretic (furosemide 20-40 mg/IV/2
jam). Loop diuretic akan bekerja menghambat reabsorpsi
kalsium dan natrium di ansa Henle, meningkatkan ekskresi
kalsium urin, juga natrium, kalium, klorida, magnesium,
dan air. Penting memantau status hemodinamik secara
intensif untuk mencegah kelebihan cairan dan
dekompensasi jantung, dengan mengukur volume urin
secara serial dan pemeriksaan elektrolit untuk mencegah
kondisi yang dapat mengancam jiwa, seperti
hipofosfatemia, hipokalemia, dan hipomagnesemia (Skugor
dan Millas, 2005; Cancer Mail, 2008).
Bisfosfonat merupakan terapi farmakologi paling
efektif mengontrol hiperkalsemia; merupakan analog
pirofosfat anorganik yang menghambat resorpsi tulang.
Onsetnya lambat (2-3 hari) dengan durasi lama (beberapa
minggu).11 Etidronat adalah bisfosfonat pertama yang
dianjurkan pada terapi hiperkalsemia. Konsentrasi kalsium
mulai turun setelah dua hari dan mencapai nadir pada hari
ke tujuh. Efek hipokalsemik mungkin berlangsung lama
sampai beberapa minggu. Jika kalsium serum cepat turun
dalam 48 jam pertama, sebaiknya obat dihentikan untuk
mencegah hipokalsemia. Dapat diberikan secara intravena
dengan dosis 7,5mg/kgBB lebih dari 4 jam selama 3 hari
berturut-turut. Pemberian intravena dengan dosis
30mg/kgBB dalam NaCl 0,9% selama 24 jam mungkin lebih
efektif (Penfield dan Reilly, 2005). Asam zolendronat acid
merupakan bisfosfonat paling umum saat ini, karena dapat

93
diberikan intravena sehingga mencegah kerusakan
esofagus pada dosis oral dan mungkin efeknya lebih lama
dibandingkan pamidronat. Dosis harus disesuaikan pada
penderita disfungsi ginjal berdasarkan laju filtrasi
glomerulus (LFG)nya. Jika LFG > 60 mL/mnt diberikan 4
mg, 50 - 60 mL/ mnt : 3,5 mg, 40 - 45 mL/mnt : 3,3 mg, 30
- 39 mL/ mnt : 3 mg, dan jika <30 mL/mnt belum ada data.
Dianjurkan menghentikan obat apabila terjadi peningkatan konsentrasi
kreatinin serum 0,5 mg/dL di atas nilai normal atau > 1 mg/dL pada
penderita dengan kreatinin serum 1,4 mg/dL. Bisfosfonat dihubungkan
dengan toksisitas yang bermakna, meliputi sklerosis glomerulus fokal
dengan pamidronat dan acute kidney injury dengan asam zolendronat.
Toksisitas paling banyak pada penderita chronic kidney diseases
sebelumnya atau melebihi dosis yang dianjurkan. Pemberian bisfosfonat
jangka lama pada penderita keganasan khususnya multipel mieloma dan
kanker payudara, dihubungkan dengan osteosklerosis rahang (Penfield
dan Reilly, 2005).
Merupakan hormon peptida yang disekresikan oleh
sel-sel parafolikuler C tiroid dan paratiroid. Kalsitonin
menghambat reabsorpsi tulang osteoklastik dan
meningkatkan ekskresi kalsium renal (Penfield dan Reilly,
2005). Derivat kalsitonin dari salmon jauh lebih poten dan
mempunyai durasi aktivitas lebih lama daripada hormon
manusia. Dosis awal 4 IU/kgBB/ 12 jam subkutan atau
intramuskuler; dapat ditingkatkan setelah satu atau dua
hari sampai 8 IU/kgBB/12 jam; dapat diberikan 8 IU/kgBB/6
jam jika respon dengan dosis rendah tidak memuaskan.
Biasanya ditoleransi baik, namun dapat memberikan efek
samping berupa nausea, nyeri perut dan cutaneous flushing.
Kombinasi dengan bisfosfonat pada penderita yang

94
berespon dengan kalsitonin dapat menghasilkan onset
serta durasi yang cepat (Cancer Mail, 2008).
Dialisis diindikasikan pada hiperkalsemia dengan
gangguan fungsi ginjal atau yang mengancam jiwa, yang
tidak respon dengan rehidrasi, kalsitonin dan diuresis.
Dialisis dapat menurunkan konsentrasi kalsium serum 3-12
mg/dL. Hemodialisis dengan dialisat rendah kalsium lebih
efektif dibandingkan peritoneal dialisis (Cancer Mail, 2008;
(Carrol dan Schade, 2003).

VII. Diabetes Mellitus Tipe 2


A. Definisi dan Etiologi
Diabetes Melitus (DM) tipe 2 disebut juga Non Insulin Dependent
Diabetes Mellitus (NIDDM) disebabkan oleh kegagalan relatif sel dan
resistensi insulin. Resistensi insulin adalah turunnya kemampuan insulin
untuk merangsang pengambilan glukosa oleh jaringan perifer dan untuk
menghambat produksi glukosa oleh hati. Sel tidak mengimbangi
resistensi insulin ini sepenuhnya, artinya terjadi defisiensi relatif insulin.
Ketidakmampuan ini terlihat dari berkurangnya sekresi insulin pada
rangsangan glukosa, maupun pada rangsangan glukosa bersama bahan
perangsang sekresi insulin lain. Berarti sel pankreas mengalami
desensitisasi terhadap glukosa (Gustaviani, 2006).
Pada awalnya resistensi insulin belum menyebabkan klinis
Diabetes Melitus (DM). Sel pankreas masih dapat mengkompensasi,
sehingga terjadi hiperinsulinemia, kadar glukosa darah masih normal atau
baru sedikit meningkat. Kemudian setelah terjadi kelelahan sel pankreas,
baru terjadi diabetes melitus klinis, yang ditandai dengan adanya kadar
glukosa darah yang meningkat, memenuhi kriteria diagnosis diabetes
melitus (Gustaviani, 2006).
B. Patogenesis

95
Resistensi insulin pada otot dan liver serta kegagalan sel beta
pankreas telah dikenal sebagai patofisiologi kerusakan sentral dari DM
tipe-2. Belakangan diketahui bahwa kegagalan sel beta terjadi lebih dini
dan lebih berat daripada yang diperkirakan sebelumnya. Selain otot, liver
dan sel beta, organ lain seperti jaringan lemak (meningkatnya lipolisis),
gastrointestinal (defisiensi incretin), sel alpha pancreas
(hiperglukagonemia), ginjal(peningkatan absorpsi glukosa), dan otak
(resistensi insulin), kesemuanya ikut berperan dalam menimburkan
terjadinyagangguan toleransi glukosa pada DM tipe-2 (PERKENI, 2015).
Delapan organ penting dalam gangguan toleransi glukosa ini
(ominous octet) penting dipahami karena dasar patofisiologi ini
memberikan konsep tentang (PERKENI, 2015):
1. Pengobatan harus ditujukan guna memperbaiki gangguan
patogenesis, bukan hanya untuk menurunkan HbAlc saja
2. Pengobatan kombinasi yang diperlukan harus didasari atas kinerja
obat pada gangguan multipel dari patofisiologi DM tipe 2.
3. Pengobatan harus dimulai sedini mungkin untuk mencegah atau
memperlambat progresivitas kegagalan sel beta yang sudah terjadi
pada penyandang gangguan toleransi glukosa.

96
Gambar 2.8. The ominous octet, delapan organ yang berperan dalampatogenesis
hiperglikemia pada DM tipe 2

Secara garis besar patogenesis DM tipe-2 disebabkan oleh delapan


hal (omnious octet) berikut (PERKENI, 2015):
a. Kegagalan sel beta pancreas:
Pada saat diagnosis DM tipe-2 ditegakkan, fungsi sel beta
sudah sangat berkurang. Obat anti diabetik yang bekerja melalui jalur
ini adalah sulfonilurea, meglitinid, GLP-1 agonis dan DPP-4inhibitor.
b. Liver:
Pada penderita DM tipe-2 terjadi resistensi insulin yang berat
dan memicu glukoneogenesis sehingga produksi glukosa
dalamkeadaan basal oleh liver (HGP= hepotic grucose production)
meningkat. Obat yang bekerja melalui jalur ini adalah metformin,yang
menekan proses gluconeogenesis.
c. Otot:
Pada penderita DM tipe-2 didapatkan gangguan kinerja insulin
yang multiple di intramioselular, akibat gangguan fosforilasi tirosin
sehingga timbul gangguan transport glukosa dalam sel otot,penurunan
sintesis glikogen, dan penurunan oksidasi glukosa.Obat yang bekerja di
jalur ini adalah metformin, dan tiazolidindion.
d. Sel lemak:
Sel lemak yang resisten terhadap efek anti lipolisis dari
insulin,menyebabkan peningkatan proses lipolysis dan kadar
asamlemak bebas (FFA=Free Fatty Acid) dalam plasma. Penigkatan
FFA akan merangsang proses glukoneogenesis, dan mencetuskan
resistensi insulin di liver dan otot. FFA juga akan mengganggu sekresi
insulin. Gangguan yang disebabkan oleh FFA ini disebut sebagai
lipotoxocity. obat yang bekerja dijalur ini adalah tiazolidindion.
e. Usus:

97
Glukosa yang ditelan memicu respon insulin jauh lebih besar
dibanding kalau diberikan secara intravena. Efek yang dikenal sebagai
efek incretin ini diperankan oleh 2 hormon GLP-1(glucagon-like
polypeptide-1) dan GLP (glucose-dependent insulinotrophic
polypeptide atau disebut juga gastric inhibitory polypeptide). Pada
penderita DM tipe-2 didapatkan defisiensi GLP-1 dan resisten terhadap
GLP. Disamping hal tersebut incretin segera dipecah oleh keberadaan
ensim DPP-4, sehingga hanya bekerja dalam beberapa menit. Obat
yang bekerja dalam menghambat kinerja DPP-4 adalah kelompok
DPP-4 inhibitor.Saluran pencernaan juga mempunyai peran dalam
penyerapan karbohidrat melalui kinerja ensim alfa-glukokinase yang
memecah polisakarida menjadi monosakarida yang kemudian diserap
oleh usus dan berakibat meningkatkan glukosa darah setelah makan.
Obat yang bekerja untuk menghambat kinerjaensim alfa-glukokinase
adalah akarbosa.
f. Sel Alpha Pancreas:
Sel- pancreas merupakan organ ke-6 yang berperan dalam
hiperglikemia dan sudah diketahui sejak 1970. Sel- berfungsi dalam
sintesis glukagon yang dalam keadaan puasa kadarnya didalam plasma
penderita meningkat. Peningkatan ini menyebabkan HGP dalam
keadaan basal meningkat secara signifikan dibanding individu yang
normal. Obat yang menghambat sekresi glukagon atau menghambat
reseptor glukagon meliputi GLP-1 agonis, DPP-4 inhibitor dan amylin.
g. Ginjal
Ginjal merupakan organ yang diketahui berperan dalam
pathogenesis DM tipe-2. Ginjal memfiltrasi sekitar 163 g glukosa
sehari. Sembilan puluh persen dari glukosa terfiltrasi ini akan diserap
kembali melalui peran SGLT-2 (Sodium Glucose co-Transporter) pada
bagian convuloted tubulus proksimal. Sedang10% sisanya akan di
absorbsi melalui peran SGLT-L pada tubulus desenden dan asenden,
sehingga akhirnya tidak ada glukosa dalam urine. Pada penderita DM

98
terjadi peningkatan ekspresi gen SGLT-2. Obat yang menghambat
kinerja SGLT-2 ini akan menghambat penyerapan kembali glukosa di
tubulus ginjal sehingga glukosa akan dikeluarkan lewat urine. Obat
yang bekerja di jalur ini adalah SGLT-2 inhibitor. Dapaglifozin adalah
salah satunya.
h. Otak:
lnsulin merupakan penekan nafsu makan yang kuat. Pada
individu yang obese baik yang DM maupun non-DM, didapatkan
hiperinsulinemia yang merupakan mekanisme kompehsasi dari
resistensi insulin. Pada golongan ini asupan makanan justru meningkat
mengacu akibat adanya resistensi insulin yang juga terjadi di otak.
Obat yang bekerja dijalur lni adalah GLP-1 agonis,amylin dan
bromokriptin.

C. Patofisiologi
Tubuh memerlukan bahan untuk membentuk sel baru dan
mengganti sel yang rusak. Di samping itu tubuh juga memerlukan energi
supaya sel tubuh berfungsi dengan baik. Energi pada mesin tubuh
manusia berasal dari bahan makanan yang dimakan sehari-hari, yang
terdiri dari karbohidrat, protein dan lemak (Suyono, 2007).
Supaya dapat berfungsi sebagai bahan bakar, zat makanan harus
masuk dulu ke dalam sel untuk dapat diolah. Di dalam sel, zat makanan
terutama glukosa dibakar melalui proses kimia yang rumit, yang hasil
akhirnya adalah timbulnya energi. Proses ini disebut metabolisme. Dalam
proses metabolisme itu insulin memegang peranan yang sangat penting
yaitu bertugas memasukkan glukosa ke dalam sel, untuk selanjutnya dapat
digunakan sebagai bahan bakar. Insulin ini adalah suatu zat atau hormon
yang dikeluarkan oleh sel beta pankreas (Suyono, 2007).
Pada Diabetes Melitus (DM) tipe 2 jumlah insulin normal, malah
mungkin lebih banyak tetapi jumlah reseptor insulin yang terdapat pada
permukaan sel yang kurang. Reseptor insulin ini dapat diibaratkan sebagai

99
lubang kunci pintu masuk ke dalam sel. Pada keadaan tadi jumlah lubang
kuncinya yang kurang, hingga meskipun anak kuncinya (insulin) banyak,
tetapi karena lubang kuncinya (reseptor) kurang, maka glukosa yang
masuk akan sedikit, sehingga sel akan kekurangan bahan bakar (glukosa)
dan glukosa dalam pembuluh darah meningkat. Keadaan ini disebut
sebagai resistensi insulin (Suyono, 2007).
Penyebab resistensi insulin pada NIDDM sebenarnya tidak begitu
jelas tetapi faktor-faktor di bahwa ini banyak berperan (Suyono, 2007):
Obesitas terutama yang berbentuk sentral
Diet tinggi lemak dan rendah karbohidrat
Kurang gerak badan
Faktor keturunan (herediter)

D. Manifestasi klinik
Gejala klasik Diabetes Melitus (DM) adalah rasa haus yang
berlebihan (polidipsi), sering kencing terutama pada malam hari (poliuri),
banyak makan (polifagi), serta berat badan yang turun dengan cepat. Di
samping itu kadang-kadang ada keluhan lemah, kesemutan pada jari
tangan dan kaki, cepat lapar, gatal-gatal, penglihatan kabur, gairah seks
menurun, luka sukar sembuh, dan pada ibu-ibu sering melahirkan bayi di
atas 4 kg (Suyono, 2007).
Perjalan penyakit antara Diabetes Melitus (DM) tipe 1 dan DM tipe
2 tidak sama. Demikian juga pengobatannya. Oleh karena itu ada baiknya
bila diketahui sedikit tentang perbedaannya, karena ada dampaknya pada
rencana pengobatan.

Tabel 2.9. Perbandingan antara DM tipe 1 dan DM tipe 2


DM Tipe 1 DM Tipe 2
Onset (umur) Biasanya < 40 tahun Biasanya > 40 tahun

100
Keadaan klinis saat Berat Ringan
diagnosis
Kadar Insulin Tak ada insulin Insulin normal atau
tinggi
Berat badan Biasanya kurus Biasanya gemuk atau
normal
Pengobatan Insulin, diet, olahraga Diet, olahraga, tablet,
insulin
Sumber : Suyono S, 2007

E. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan untuk diagnosa Diabetes Melitus (DM), melalui
pemeriksaan kadar glukosa darah (gula darah puasa, gula darah 2 jam
setelah makan/post prandial/PP) dan setelah pemberian glukosa per-oral
(TTGO) (Gustaviani, 2006).
1. Pemeriksaan kadar glukosa darah.
Bahan untuk pemeriksaan gula darah puasa, pasien harus
berpuasa 6 12 jam sebelum diambil darahnya. Setelah diambil
darahnya, penderita diminta makan makanan seperti yang biasa dia
makan/minum glukosa per oral (75 gr) untuk TTGO, dan harus
dihabiskan dalam waktu 15 20 menit. Dua jam kemudian diambil
darahnya untuk pemeriksaan glukosa 2 jam PP (Gustaviani, 2006).
2. Pemeriksaan lainnya untuk mendiagnosa Diabetes Melitus (DM)
Antibody marker adanya proses autoimun pada sel beta adalah
islet cellcytoplasmic antibodies (ICA), insulin autoantibodies (IAA),
dan antibody terhadap glutomic acid decarboxylase (anti-GAD)
(Gustaviani, 2006).
Untuk membedakan Diabetes Melitus (DM) tipe 1 dengan
Diabetes Melitus (DM) tipe 2 digunakan pemeriksaan C-peptide.
Konsentrasi C-peptide merupakan indikator yang baik untuk fungsi sel
beta, selain itu juga bisa digunakan untuk memonitor respons
individual setelah operasi pankreas. Konsentrasi C-peptida akan

101
meningkat pada transplantasi pancreas atau transplantasi sel-sel pulau
pancreas (Gustaviani, 2006).
3. Pemeriksaan HbA1C
Tes hemoglobin terglikosilasi/ glikohemoglobin/ hemoglobin
glikosilasi (HbA1C) adalah cara yang digunakan untuk menilai efek
perubahan terapi 8- 12minggu sebelumnya. Untuk melihat hasil terapi
dan rencana perubahan terapi, HbA1C diperiksa setiap 3 bulan, atau
tiap bulan pada keadaan HbA1C yang sangat tinggi (>10%). Pada
pasien yang telah mencapai sasaran terapi disertai kendali glikemik
yang stabil,HbA1C diperiksa paling sedikit 2 kali dalam 1 tahun
(PERKENI, 2015).
4. Pemeriksaan untuk Pemantauan Diabetes Melitus (DM)
Untuk pemantauan pengelolaan Diabetes Melitus (DM), yang
digunakan adalah kadar gula darah puasa, 2 jam PP, dan pemeriksaan
glycated hemoglobin, khususnya HbA1C, serta pemeriksaan
fruktosamin (Gustaviani, 2006). Pemeriksaan fruktosamin saat ini
jarang dilakukan karena pemeriksaan ini memerlukan prosedur yang
memakan waktu lama. Pemeriksaan lain yang bisa dilakukan ialah
urinalisa rutin. Pemeriksaan ini bisa dilakukan sebagai self-assessment
untuk memantau terkontrolnya glukosa melalui reduksi urin
(Gustaviani, 2006).

F. Diagnosis
Diagnosis DM ditegakkan atas dasar pemeriksaan kadar glukosa
darah. Pemeriksaan glukosa darah yang dianjurkan adalah pemeriksaan
glukosa secara enzimatik dengan bahan plasma darah vena. Pemantauan
hasil pengobatan dapat dilakukan dengan menggunakan pemeriksaan
glukosa darah kapiler dengan glukometer. Diagnosis tidak dapat
ditegakkan atas dasar adanya glukosuria. Kecurigaan adanya DM perlu
dipikirkan apabila terdapat keluhan seperti (PERKENI, 2015):

102
1. Keluhan klasik DM: poliuria, polidipsia, polifagia dan penurunanberat
badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya.
2. Keluhan lain: lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur, dan
disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus vulva pada wanita.
Kriteria Diagnosis DM menurut PERKENI 2015 antara lain;

Hasil pemeriksaan yang tidak memenuhi kriteria normal atau


kriteria DM digolongkan ke dalam kelompok prediabetes yang meliputi:
Toleransi glukosa terganggu (TGT) dan glukosa darah puasa terganggu
(GDPT)
Glukosa Darah Puasa Terganggu (GDPT): Hasil pemeriksaan glukosa
plasma puasa antara 100-125 mg/dl dan pemeriksaanTTGO glukosa
plasma 2-jam <14O mg/dl;
Toleransi Glukosa Terganggu (TGT): Hasil pemeriksaan
glukosaplasma 2 jam setelah TTGO antara 140-199 mg/dl dan
glukosaplasma puasa <100 mg/dl.
Bersama-sama didapatkan GDPT dan TGT
Diagnosis prediabetes dapat juga ditegakkan berdasarkan hasil
pemeriksaan HbA1C yang menunjukkan angka 5.7- 6.4%.

103
Gambar 2.7 Langkah diagnosis Diabetes Mellitus dan Gangguan Toleransi
Glukosa
Keterangan :
GDP = Glukosa Darah Puasa
GDS = Glukosa Darah Sewaktu
GDPT = Glukosa Darah Puasa Terganggu
TGT = Toleransi Glukosa Terganggu

G. Pemeriksaan penyaringan
Pemeriksaan penyaring ditujukan pada mereka yang mempunyai
risiko Diabetes Melitus(DM) namun tidak menunjukkan adanya gejala
DM. Pemeriksaan ini bertujuan untuk menemukan pasien dengan DM,
TGT (Toleransi Glukosa Terganggu) maupun GDPT (Glukosa Darah
Puasa Terganggu), sehingga dapat ditangani lebih dini secara tepat. Pasien
dengan TGT dan GDPT juga disebut sebagai prediabetes, merupakan

104
tahapan sementara menuju DM. Kedua keadaan tersebut merupakan faktor
risiko untuk terjadinya DM dan penyakit kardiovaskular di kemudian hari.

Tabel 2.10. Kadar glukosa darah sewaktu dan puasa sebagai patokan penyaring
dan diagnosis DM (mg/dl)

Bukan Belum DM
DM pasti DM
Kadar glukosa darah Plasma vena < 110 110-199 > 200
sewaktu (mg/dl)
Darah kapiler < 90 90-199 > 200
Kadar glukosa darah Plasma vena < 110 110-125 > 126
puasa (mg/dl)
Darah kapiler < 90 90-199 > 110
Sumber : Soegondo S (2006)
Catatan :
Untuk kelompok risiko tinggi yang tidak menunjukkan kelainan hasil, dilakukan
pemeriksaan ulangan tiap tahun. Bagi mereka yang berusia > 45 tahun tanpa
faktor risiko lain, pemeriksaan penyaring dapat dilakukan setiap 3 tahun.

H. Langkah-langkah Menegakkan Diagnosis Diabetes Melitus dan Gangguan


Tolerangi Glukosa
Diagnosis klinis Diabetes Melitus(DM) umumnya akan dipikirkan
bila ada keluhan khas DM berupa poliuria, polidipsia, polifagia, dan
penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya. Keluhan lain
yang mungkin dikemukakan pasien adalah lemah, kesemutan, gatal, mata
kabur dan disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus vulvae pada pasien
wanita. Jika keluhan khas, pemeriksaan glukosa darah sewaktu 200
mg/dl sudah cukup untuk menegakkan diagnosis DM. Hasil pemeriksaan
kadar glukosa darah puasa 126 mg/dl juga digunakan utnuk patokan
diagnosis DM (Sudoyo et al., 2006).
Untuk kelompok tanpa keluhan khas Diabetes Melitus(DM), hasil
pemeriksaan glukosa darah yang baru satu kali saja abnormal, belum
cukup kuat untuk menegakkan diagnosis DM. Diperlukan pemastian lebih

105
lanjut dengan mendapat sekali lagi angka abnormal, baik kadar glukosa
darah puasa 126 mg/dl, kadar glukosa darah sewaktu 200 mg/dl pada
hari yang lain, atau dari hasil tes toleransi glukosa oral (TTGO) didapatkan
kadar glukosa darah pasca pembebanan 200 mg/dl (Sudoyo et al., 2006).
Cara Pelaksanaan TTGO (PERKENI, 2015) :
3 (tiga) hari sebelum pemeriksaan makan seperti biasa (karbohidrat
cukup)
Kegiatan jasmani seperti yang biasa dilakukan
Puasa paling sedikit 8 jam mulai malam hari sebelum pemeriksaan,
minum air putih diperbolehkan
Diperiksa kadar glukosa darah puasa
Diberikan glukosa 75 gram (orang dewasa), atau 1,75 gram/kgBB
(anak-anak), dilarutkan dalam air 250 ml dan diminum dalam waktu
15 menit
Diperiksa kadar glukosa darah dua jam sesudah beban glukosa
Selama proses pemeriksaan subyek yang dipeiksa tetap istirahat dan
tidak merokok

Gambar 2.8 TTGO

Tabel 2.11. Kriteria diagnostik diabetes melitus* dan gangguan toleransi glukosa
1. Kadar glukosa darah sewaktu (plasma vena) 200 mg/dl

106
Atau
2. Kadar glukosa darah puasa (plasma vena) 126 mg/dl
Atau
3. Kadar glukosa plasma 200 mg/dl pada dua jam sesudah beban glukosa
75 gram pada TTGO**
Sumber :PERKENI, 2015

Kriteria diagnostik tersebut harus dikonfirmasi ulang pada hari


yang lain, kecuali untuk keadaan khas hiperglikemia dengan dekompensasi
metabolik berat, seperti ketoasidosis, gejala klasik : poliuri, polidipsi,
polifagi dan berat badan menurun cepat.
Cara Diagnosis dengan kriteria ini tidak dipakai rutin di klinik,
untuk penelitian epidemiologis pada penduduk dianjurkan memakai
kriteria diagnostik kadar glukosa darah puasa dan dua jam pasca
pembebanan. Untuk DM gestasional juga dianjurkan kriteria diagnostik
yang sama.

I. Penatalaksanaan
Tujuan penatalaksanaan secara umum adalah meningkatnya
kualitas hidupDiabetes Melitus (DM)
Jangka pendek : hilangnya keluhan dan tanda DM, mempertahankan
rasa nyaman dan tercapainya target pengendalian glukosa darah.
Jangka panjang : tercegah dan terhambatnya progresivitas penyulit
mikroangiopati, makroangiopati, dan neuropati. Tujuan akhir
pengelolaan adalah turunnya morbiditas dan maortalitas dini DM.
Pengelolaan Diabetes Melitus (DM) dimulai dengan terapi gizi
medis dan latihan jasmani selama beberapa waktu (2 4 minggu). Apabila
kadar glukosa darah belum mencapai sasaran, dilakukan intervensi
farmakologis dengan obat hipoglikemik oral (OHO) dan atau suntikan
insulin. Pada keadaan tertentu, OHO dapat segera diberikan secara tunggal
atau langsung kombinasi, sesuai indikasi. Dalam keadaan dekompensasi
metabolik berat, misalnya ketoasidosis berat, stres berat, berat adan yang
menurun dengan cepat, adanya ketonuria, insulin dapat segera diberikan.

107
Pengetahuan tentang pemantauan mandiri tanda dan gejala hipoglikemia
dan cara mengatasinya harus diberikan pada pasien, sedangkan
pemantauan kadar glukosa darah dapat dilakukan secara mandiri, setelah
mendapat pelatihan khusus (PERKENI, 2015). Intervesi farmakologis
ditambahkan jika sasaran glukosa darah belum tercapai dengan TGM dan
latihan jasmani (Sudoyo et al., 2006).
Pilar penatalaksanaan Diabetes Melitus (PERKENI, 2015):
1. Edukasi
Edukasi yang diberikan kepada pasien meliputi pemahaman
tentang :
- Perjalanan penyakit DM
- Makna dan perlunya pengendalian dan pemantauan DM
- Penyulit DM dan risikonya
- Intervensi farmakologis dan non-farmakologis serta target
perawatan
- Interaksi antara asupan makanan, aktifitas fisik, dan obat
hipoglikemik oral atau insulin serta obat-obatan lain
- Cara pemantauan glukosa darah dan pemahaman hasil glukosa
darah atau urin mandiri (hanya jika pemantauan glukosa darah
mandiri tidak tersedia)
- Mengatasi sementara keadaan gawat darurat seperti rasa sakit,
atau hipoglikemia
- Pentingnya latihan jasmani yang teratur
- Masalah khusus yang dihadapi ( missal : hiperglikemia pada
kehamilan)
- Pentingnya perawatan diri
- Cara mempergunakan fasilitas perawatan kesehatan
2. Terapi gizi medis
Setiap diabetisi sebaiknya mendapat TGM sesuai dengan
kebutuhannya guna mencapai target terapi. Prinsip pengaturan
makan pada diabetisi hampir sama dengan anjuran makan untuk

108
masyarakat umum, yaitu makanan yang seimbang dan sesuai
dengan kebutuhan kalori dan zat gizi masing-masing individu. Pada
diabetisi perlu ditekankan pentingnya keteraturan makan dalam hal
jadwal makan, jenis dan jumlah makanan, terutama pada mereka
yang menggunakan obat penurun glukosa darah atau insulin.
Komposisi makanan yang dianjurkan terdiri dari :
a. Karbohidrat
- Dianjurkan sebesar 45-65 % total asupan energi
- Pembatasan karbohidrat total < 130 g/hari tidak dianjurkan
- Makanan harus mengandung lebih banyak karbohidrat terutama
yang berserat tinggi
- Sukrosa todak boleh lebih dari 10% total asupan energi
- Sedikit gula dapat dikonsumsi sebagai bagian dari perencanaan
makan yang sehat dan pemanis non-nutrisi dapat digunakan
sebagai pengganti jumlah besar gula misalnya pada minuman
ringan dan permen
- Makan tiga kali sehari untuk mendistribusikan asupan
karbohidrat dalam sehari
b. Lemak
- Dianjurkan sekitar 20 25% kebutuhan kalori
- Lemak jenuh < 7% kebutuhan kalori
- Lemak tidak jenuh ganda < 10 %, selebihnya dari lemak tidak
jenuhtunggal
- Bahan makanan yang perlu dibatasi adalah yang banyak
mengandung lemak jenuh dan lemak trans antara lain : daging
berlemak dan susu penuh (whole milk)
- Anjuran konsumsi kolesterol < 300 mg/hari. Diusahakan lemak
berasal dari sumber asam lemak tidak jenuh (MUFA / Mono
Unsaturated Fatty Acid), membatasi PUFA (Poly Unsaturated
Acid) dan asam lemak jenuh
c. Protein

109
- Dibutuhkan sebesar 15 20% total asupan energi
- Sumber protein yang baik adalah ikan, seafood, daging tanpa
lemak, ayam tanpa kulit, produk susu rendah lemak, kacang
dan kacang-kacangan, tahu, tempe
- Pada pasien dengan nefropati perlu penurunan asupan protein
menjadi 0,8 g/kg BB/hari atau 10% dari kebutuhan energi dan
65% hendaknya bernilai biologik tinggi
d. Garam
- Sama dengan anjuran untuk masyarakat umum yaitu tidak lebih
dari 3000 mg atau sama dengan 6 7 g (1 sendok teh) garam
dapur
- Pembatasan natrium sampai 2400 mg atau sama dengan 6g/hari
terutama pada mereka yang hipertensi
e. Serat
Anjuran konsumsi serat adalah 25 g/hari, diutamakan serat
larut
f. Pemanis
- Batasi penggunaan pemanis bergizi
- Fruktosa tidak dianjurkan karena efek samping pada lipid
plasma
- Pemanis aman digunakan sepanjang tidak melebihi batas aman
g. Kebutuhan kalori
Ada beberapa cara untuk menentukan jumlah kalori yang
dibutuhkan diabetisi. Diantaranya adalah dengan perhitungan
berdasarkan kebutuhan kalori basal sebesar 25-30 kalori / kg BB
ideal, ditambah dan dikurangi bergantung pada beberapa faktor,
yaitu jenis kelamin, umur, aktifitas, berat badan, dll.
Perhitungan berat badan ideal ( BBI ) menurut Broca yang
dimodifikasi adalah sebagai berikut :
Berat badan ideal = 90 % x ( TB dalam cm - 100) x 1 kg

110
Bagi pria dengan tinggi badan di bawah 160 cm dan wanita di
bawah 150 cm, rumus modifikasi menjadi : ( TB dalam cm
100) x 1 kg BB)
Normal : BB ideal 10 %
Kurus : < BBI 10 %
Gemuk : > BBI + 10 %
Penentuan status gizi dapat digunakan :
BMI / Body Mass Index = IMT / Indeks Masa Tubuh dan Rumus
Broca.

IMT = BB ( Kg )
TB ( m2 )

Klasifikasi IMT :
BB Kurang < 18,5
BB Normal 18,5 22,9
BB lebih 23,0
Dengan risiko 23,0 24,9
Obes I 25,0 29,9
Obes II 30

Faktor-faktor yang menentukan kebutuhan kalori antara lain :


a. Jenis kelamin
Kebutuhan kalori pada wanita lebih kecil dari pada pria.
Kebutuhan kalori wanita sebesar 25 kal / kg BB dan untuk pria
sebesar 30 kal / kg BB
b. Umur
Untuk pasien usia di atas 40 tahun, kebutuhan kalori
dikurangi 5 % untuk dekade antara 40 an 59 tahun, dikurangi 10

111
% untuk usia 60 s/d 69 tahun, dan dikurangi 20 % untuk usia
diatas 70 tahun
c. Aktifitas fisik atau pekerjaan
Penambahan 10 % dari kebutuhan basal diberikan pada
keadaan istirahat, 20 % pada pasien dengan aktifitas ringan, 30
% dengan aktifitas sedang, dan 50 % dengan aktifitas sangat
berat
d. Berat badan
Bila kegemukan dikurangi 20 30 % bergantung pada
tingkat kegemukan. Bila kurus ditambah 20 30 % sesuai
dengan kebutuhan untuk meningkatkan BB. Untuk tujuan
penurunan BB jumlah kalori yang diberikan paling sedikit 1000
1200 kkal / hari untukwanita dan 1200 1600 kkal / hari
untuk pria.
Makanan sejumlah kalori terhitung dengan komposisi
tersebut di atas dibagi dalam 3 porsi besar untuk makan pagi( 20
% ), siang ( 30 % )dan sore ( 25 % ) serta 2 3 porsi makan
ringan ( 10 15 % ) diantaranya. Untuk meningkatkan
kepatuhan pasien, sejauh mungkin perubahan dilakukan secara
bertahap disesuaikan dengan kebiasaan. Untuk diabetisi yang
mengidap penyakit lain, pola pengaturan makan disesuaikan
dengan penyakit penyertanya.

3. Latihan jasmani
Dianjurkan latihan jasmani teratur 3-4 kali tiap minggu
selama + 30 menit yang sifatnya CRIPE ( Continous Rhytmical
Interval Progressive Endurace training ).
a. Continous
Latihan harus berkesinambungan dan dilakukan terus-
menerus tanpa henti. Contoh : bila dipilih jogging 30 menit,
maka selama 30 menit pasien melakukan jogging tanpa istirahat.

112
b. Rytmical
Latihan olah raga harus dipilih yang berirama, yaitu otot-
otot berkontraksi dan berelaksasi secara teratur.
c. Interval
Latihan dilakukan selang-seling antara gerak cepat dan
lambat. Contoh : jalan cepat diselingi dengan jalan lambat, dsb
d. Progressive
Latihan dilakukan secara bertahap sesuai kemampuan
dari intensitas ringan sampai hingga mencapai 30-60 menit.
Sasaran Heart Rate = 75-85 % dari Maksimum Heart Rate
Maksimum Heart Rate = 220-umur
e. Endurance
Latihan daya tahan untuk meningkatkan kemampuan
kardiorespirasi, seperti jalan (jalan santai/cepat, sesuai umur),
jogging, berenang dan bersepeda.Hal yang perlu diperhatikan
dalam latihan jasmani ini adalah jangan sampai memulai olah
raga sebelum makan, harus menggunakan sepatu yang pas,
didampingi oleh orang yang tahu bagaimana cara mengatasi
hipoglikemia, harus membawa permen, membawa tanda
pengenal sebagai pasien DM dalam pengobatan, dan memeriksa
kaki dengan cermat setelah berolahraga.Sedapat mungkin
mencapai zona sasaran atau zona latihan yaitu 75-85% denyut
nadi maksimal yang dapat dihitung dengan cara sbb :

DNM = 220 Umur ( dalam Tahun )

Kegiatan jasmani sehari hari dan latihan jasmani secara


teratur ( 3 4 kali seminggu selama 30 menit ) merupakan salah
satu pilar dalam pengelolaan DM tipe 2. Latihan jasmani selain
untuk menjaga kebugaran juga dapat menurunkan berat badan dan
memperbaiki sensitifitas insulin, sehingga akan memperbaiki

113
kendali glukosa darah. Latihan jasmani yang dianjurkan berupa
latihan jasmani aerobik seperti jalan kaki, bersepeda santai,
jogging, dan berenang. Latihan jasmani sebaiknya disesuaikan
dengan umur dan status kesegaran jasmani. Hindarkan kebiasaan
hidup yang kurang gerak atau bermalas malasan.

4. Intervensi farmakologis
Obat Hipoglikemik Oral ( OHO )
Berdasarkan cara kerjanya, OHO dibagi menjadi 4 golongan
(Sudoyo, 2006) :
- Pemicu sekresi insulin (insuline secretagogue):
sulfonilurea dan glinid
- Penambah sensitifitas terhadap insulin : metformin,
tiazolidindion
- Penghambat glukoneogenesis : metformin
- Pengambat absorpsi glukosa : penghambat glukosidase
a. Golongan Insulin Secretagogues
Insulin secretagogues mempunyai efek hipoglikemik
dengan cara stimulasi sekresi insulin oleh sel beta pankreas.
1) Sulfonilurea
Digunakan untuk pengobatan Diabetes Melitus
(DM) tipe 2 sejak tahun 1950-an. Obat ini digunakan
sebagai terapi farmakologis pada awal pengobatan diabetes
dimulai, terutama bila konsentrasi glukosa tinggi dan sudah
terjadi gangguan pada sekresi insulin. Sulfonilurea sering
digunakan sebagai terapi kombinasi karena kemampuannya
untuk meningkatkan atau mempertahankan sekresi insulin.
Mekanisme kerja efek hipoglikemia sulfonilurea
adalah dengan merangsang channel K yang tergantung pada
ATP dari sel beta pankreas. Bila sulfonilurea terikat pada
reseptor (SUR) pada channel tersebut maka akan terjadi

114
penutupan. Keadaan ini menyebabkan penurunan
permeabilitas K pada membran dan membuka channel Ca
tergantung voltase, dan menyebabkan peningkatan Ca
intrasel. Ion Ca akan terikat pada Calmodilun dan
menyebabkan eksositosis granul yang mengandung insulin.
Golongan obat ini bekerja dengan merangsang sel
beta pankreas untuk melepaskan insulin yang tersimpan.
Oleh karena itu hanya bermanfaat untuk pasien yang masih
mempunyai kemampuan untuk sekresi insulin. Golongan
obat ini tidak dapat dipakai pada diabetes mellitus tipe 1.
Pemakaian sulfonilurea umumnya selalu dimulai
dengan dosis rendah, untuk menghindari kemungkinan
hipoglikemia. Pada keadaan tertentu dimana kadar glukosa
darah sangat tinggi, dapat diberikan sulfonilurea dengan
dosis yang lebih besar dengan perhatian khusus bahwa
dalam beberapa hari sudah dapat diperoleh efek klinis yang
jelas dan dalam 1 minggu sudah terjadi penurunan kadar
glukosa darah yang cukup bermakna.
Bila konsentrasi glukosa puasa < 200mg/dl,
Sulfonilurea sebaiknya dimulai dengan pemberian dosis
kecil dan titrasi secara bertahap setelah 1-2 minggu
sehingga tercapai glukosa darah puasa 90-130mg/dl. Bila
glukosa darah puasa > 200mg/dl dapat diberikan dosis awal
yang lebih besar. Obat sebaiknya diberikan setengah jam
sebelum makan karena diserap dengan lebih baik. Pada
obat yang diberikan satu kali sehari sebaiknya diberikan
pada waktu makan pagi atau pada makan makanan porsi
terbesar.
2) Glinid

115
Kerjanya juga melalui reseptor sulfonilurea (SUR)
dan mempunyai struktur yang mirip dengan sulfonilurea
tetapi tidak mempunyai efek sepertinya.
Repaglinid (derivat asam benzoat) dan nateglinid
(derivat fenilalanin)kedua-duanya diabsorbsi dengan cepat
setelah pemberian secara oral dan cepat dikeluarkan melalui
metabolisme dalam hati sehingga diberikan 2 sampai 3 kali
sehari.
a. Golongan Insulin Sensitizing
1) Biguanid
Saat ini golongan biguanid yang banyak dipakai
adalah metformin. Metformin terdapat dalam konsentrasi
yang tinggi didalam usus dan hati, tidak dimetabolisme
tetapi secara cepat dikeluarkan melalui ginjal. Oleh karena
itu metformin biasanya diberikan dua sampai tiga kali
sehari kecuali dalam bentuk extended release.
Efek samping yang dapat terjadi adalah asidosis
laktat, dan untuk menghindarinya sebaiknya tidak diberikan
pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal (kreatinin
>1,3mg/dl pada perempuan dan >1,5mg/dl pada laki-laki)
atau pada gangguan fungsi hati dan gagal jantung serta
harus diberikan dengan hati-hati pada orang usia lanjut.
Mekanisme kerja metformin menurunkan glukosa
darah melalui pengaruhnya terhadap kerja insulin pada
tingkat seluler, distal reseptor insulin dan menurunkan
produksi glukosa hati. Metformin meningkatkan pemakaian
glukosa oleh usus sehigga menurunkan glukosa darah dan
menghambat absorpsi glukosa di usus sesudah asupan
makan. Setelah diberikan secara oral, metformin akan
mencapai kadar tertingi dalam darah setelah 2 jam dan

116
diekskresi lewat urin dalam keadaan utuh dengan waktu
paruh 2,5 jam.
Metformin dapat menurunkan glukosa darah tetapi
tidak akan menyebabkan hipoglikemia sehingga tidak
dianggap sebagai obat hipoglikemik, tetapi obat
antihiperglikemik. Metformin tidak meyebabkan kenaikan
berat badan.
Kombinasi sulfonilurea dengan metformin saat ini
merupakan kombinasi yang rasional karena mempunyai
cara kerja sinergis sehingga kombinasi ini dapat
menurunkan glukosa darah lebih banyak daripada
pengobatan tuggal masing-masing, baik pada dosis
maksimal keduanya maupun pada kombinasi dosis rendah.
Pemakaian kombinasi dengan sulfonilurea sudah
dapat dianjurkan sejak awal pengelolaan diabetes,
berdasarkan hasil penelitian UKPDS (United Kingdom
Prospective Diabetes Study) dan hanya 50 persen pasien
DM tipe 2 yang kemudian dapat dikendalikan dengan
pengobatan tungal metformin atau sulfonylurea sampai
dosis maksimal.
Kombinasi metformin dan insulin juga dapat
dipertimbangkan pada pasien gemuk dengan glikemia yang
sukar dikendalikan. Kombinasi insulin dengan sulfonilurea
lebih baik daripada kombinasi insulin dengan metformin.
Penelitian lain ada yang mendapatkan kombinasi metformin
dan insulin lebih baik dibanding dengan insulin saja.
Karena kemampuannya mengurangi resistensi
insulin, mencegah penambahan berat badan dan
memperbaiki profil lipid maka metformin sebagai
monoterapi pada awal pengelolaan diabetes pada orang
gemuk dengan dislipidemia dan resistensi insulin berat

117
merupakan pilihan pertama. Bila dengan monoterapi tidak
berhasil maka dapat dilakukan kombinasi dengan SU atau
obat anti diabetik lain.
2) Glitazone
Merupakan obat yang juga mempunyai efek
farmakologis untuk meningkatkan sensitivitas
insulin.Mekanisme kerja Glitazone (Thiazolindione)
merupakan agonist peroxisome proliferators-activated
receptor gamma (PPAR) yang sangat selektif dan poten.
Reseptor PPAR gamma terdapat di jaringan target kerja
insulin seperti jaringan adiposa, otot skelet dan hati, sedang
reseptor pada organ tersebut merupakan regulator
homeostasis lipid, diferensiasi adiposit dan kerja insulin.
Glitazone diabsorbsi dengan cepat dan konsentrasi
tertinggi ter jadi setelah 1-2 jam dan makanan tidak
mempengaruhi farmakokinetik obat ini. Waktu paruh
berkisar antara 3-4 jam bagi rosiglitazone dan 3-7 jam bagi
pioglitazone.
Secara klinik rosiglitazone dengan dosis 4 dan 8
mg/hari (dosis tunggal atau dosis terbagi 2 kali sehari)
memperbaiki konsentrasi glukosa puasa sampai 55 mg/dl
dan A1C sampai 1,5% dibandingkan dengan placebo.
Sedang pioglitazone juga mempunyai kemampuan
menurunkan glukosa darah bila digunakan sebagai
monoterapi atau sebagai terapi kombinasi dengan dosis
sampai 45 mg/dl dosis tunggal. Tiazolidindion
dikontraindikasikan pada pasien dengan gagal jantung kelas
I IV karena dapat memperberat udem / retensi cairan dan
juga pada gangguan faal hati. Pada pasien yang
menggunakan tiazolidindion perlu dilakukan pemantauan

118
faal hati secara berkala. Saat ini tiazolidindion
tidakdigunakan sebagai obat tunggal.
b. Penghambat Glukoneogenesis
1) Metformin
Obat ini mempunyai efek utama mengurangi
produksi glukosa hati (glukoneogenesis), disamping juga
memperbaiki ambilan perifer. Terutama dipakai pada
diabetisi gemuk. Metformin dikontraindikasikan pada
pasien dengan gangguan fungsi ginjal (kreatinin serum >
1,5) dan hati, serta pasien pasiendengan kecenderungan
hipoksemia (misalnya penyakit serebrovaskular, sepsis,
syok, gagal jantung). Metformin dapat memberikan efek
samping mual. Untuk mengurangi efek samping tersebut
dapat diberikan pada saat atau sesudah makan.
c. Penghambat Alfa Glukosidase( acarbose )
Obat ini bekerja secara kompetitif menghambat kerja
enzim alfa glukosidase di dalam saluran cerna sehingga dengan
demikian dapat menurunkan penyerapan glukosa dan
menurunkan hiperglikemia postprandial. Obat ini bekerja di
lumen usus dan tidak menyebabkan hipoglikemia dan juga
tidak berpengaruh pada kadar insulin. Efek samping yang
paling sering ditemukan ialah kembung dan flatulen.
Acarbose hampir tidak diabsorbsi dan bekerja local
pada saluran pencernaan. Acarbose mengalami metabolisme di
dalam saluran pencernaan, metabolisme terutama oleh flora
mikrobiologis, hidrolisis intestinal dan aktifitas enzim
pencernaan. Waktu paruh eliminasi plasma kira-kira 2 jam pada
orang sehat dan sebagian besar diekskresi melalui feses.

Hal-Hal Yang Perlu Diperhatikan Dalam Memilih Obat


Hipoglikemi Oral:

119
- Dosis selalu harus dimulai dengan dosis rendah yang kemudian
dinaikkan secara bertahap.
- Harus diketahui betul bagaimana cara kerja, lama kerja dan efek
samping obat-obat tersebut (misalnya klorpropamid jangan
diberikan 3 kali 1 tablet, karena lama kerjanya 24 jam).
- Bila memberikannya bersama obat lain, pikirkan kemungkinan
adanya interaksi obat.
- Pada kegagalan sekunder terhadap obat hipoglikemik oral,
usahakanlah menggunakan obat oral golongan lain, bila gagal baru
beralih kepada insulin.
- Usahakan agar harga obat terjangkau oleh pasien.

120
Tabel 2.11. Mekanisme kerja, efek samping utama dan pengaruh OHO
terhadap penurunan A1C ( Hb-glikosilat )
Efeksamping
Golongan Cara kerja utama Penurunan A1C
utama
Meningkatkan BB naik,
Sulfonilurea sekresi insulin hipoglikemia 1,5 2 %
Meningkatkan BB naik,
Glinid sekresi insulin hipoglikemia 1,5 2 %
Menekan produksi
glukosa hati &
Diare, dyspepsia,
menambah
asidosis laktat
Metformin sensitifitas 1,5 2 %
terhadap insulin
Penghambat Menghambat Flatulens, tinja
glukosidase absorpsi glukosa lembek 0,5 1,0 %
Menambah
Tiazolidindion sensitifitas Edema
1,3%
terhadap insulin
Menekan produksi
glukosa hati,
Hipoglikemia, BB
stimulasi Potensial
Insulin naik
pemanfaatan sampai normal
glukosa
Sumber : Perkumpulan Endokrinologi Indonesia, 2015

Cara pemberian OHO terdiri dari(PERKENI, 2015) :


- OHO dimulai dengan dosis kecil dan ditingkatkan secara bertahap
sesuai respon kadar glukosa darah, dapat diberikan sampai dosis
hampir maksimal
- Sulfonilurea generasi I & II : 15 30 menit sebelum makan
- Glimepiride : sebelum / sesaat sebelum makan
- Repaglinid, Nateglinid : sebelum / sesaat sebelum makan
- Metformin : sebelum / pada saat / sesudah makan karbohidrat

121
- Acarbose : bersama suapan pertama makan
- Tiazolidindion : tidak bergantung pada jadwal makan

Insulin
Insulin diperlukan pada keadaan :
- Penurunan berat badan yang cepat
- Hiperglikemia berat yang disertai ketosis
- Ketoasidosis diabetic
- Hiperglikemia hiperosmolar nonketotik
- Hiperglikemia dengan asidosis laktat
- Gagal dengan kombinasi OHO dosis hampir maksimal
- Stres berat ( infeksi sistemik, operasi besar, IMA, stroke )
- Diabetes melitus gestasional yang tidak trkendali dengan TGM
- Gangguan fungsi ginjal atau hati yang berat
- Kontraindikasi dan atau alergi terhadap OHO
Berdasar lama kerja, insulin terbagi menjadi empat jenis, yaitu :
- Insulin kerja cepat ( rapid acting insulin )
- Insulin kerja pendek ( short acting insulin )
- Insulin kerja menengah ( intermediate acting insulin )
- Insulin kerja panjang ( long acting insulin )
- Insuln campuran tetap ( premixed insulin )
Efek samping terapi insulin :
- Efek samping utama adalah terjadinya hipoglikemia
- Efek samping yang lain berupa reaksi imun terhadap insulin yang
dapat menimbulkan alergi insulin atau resistensi insulin

Tabel 2.12. Sediaan insulin di Indonesia


Nama Buatan Efek puncak Lama kerja

122
Cepat 2-4 jam 6-8 jam
Actrapid Novo Nordisk (U-40&U-100)
Humulin-R Eli Lilly (U-100)
Menengah 4-12 jam 18-24 jam
Insulatard Novo Nordisk (U-40&U-100)
Monotard Human Novo Nordisk (U-40&U-100)
Humulin-N Eli Lilly (U-100)
Campuran 1-8 14-15
Mixtard 30 Novo Nordisk (U-40&U-100)
Humulin-30/70 Eli Lilly (U-100)
Panjang
Lantus Aventis Tidak ada 24 am
Bentuk Penfill untuk Novopen 3 adalah :
Actrapid Human 100
Insulatard Human 100
Maxtard 30 Human 100
Bentuk Penfill untuk Humapen Ergo adalah :
Humulin-R 100
Humulin-N 100
Humulin-30/70
Bentuk Penfill untuk Optipen adalah :
Lantus
Sumber : PERKENI, 2015

Terapi kombinasi
Pemberian OHO maupun insulin selalu dimulai dengan dosis
rendah, untuk kemudian dinaikkan secara bertahap sesuai dengan
respon kadar glukosa darah. Bersamaan dengan pengaturan diet dan
kegiatan jasmani, bila diperlukan dapat dilakukan pemberian OHO
tunggal atau kombinasi. Terapi OHO dengan kombinasi harus dipilih
dua macam obat dari kelompok yang mempunyai mekanisme kerja
berbeda. Bila sasaran kadar glukosa darah belum tercapai, dapat pula
diberikan kombinasi tiga OHO dari kelompok yang berbeda atau
kombinasi OHO dengan insulin. Pada pasien yang disertai alasan
klinik dimana insulin tidak memungkinkan untuk dipakai, dipilih
terapi kombinasi dengan tiga OHO (Mansjoer et al., 2015).

123
Untuk kombinasi OHO dengan insulin, yang banyak
dipergunakan adalah kombinasi OHO dan insulin basal (insulin kerja
sedang / panjang) yang diberikan pada malam hari menjelang tidur.
Dengan pendekatan terapi tersebut pada umumnya dapat diperoleh
kendali glukosa darah yang baik dengan dosis insulin yang cukup
kecil. Dosis awal insulin kerja menengah / panjang adalah 10 unit
yang diberikan sekitar jam 22.00, kemudian dilakukan evaluasi dosis
tersebut dengan menilai kadar glukosa darah puasa keesokan harinya.
Bila dengan cara seperti di atas kadar glukosa darah sepanjang hari
masih tidak terkendali, maka obat hipoglikemik oral dihentikan dan
diberikan insulin saja (PERKENI, 2015).

J. Komplikasi
Dalam perjalanan penyakit DM, dapat terjadi penyulit akut dan
menahun (Sudoyo et al., 2006).
1. Penyulit akut
Penyulit akut DM sampai saat ini masih merupakan kegawatan
yang harus ditangani dengan tepat dan benar karena hanya dengan cara
itulah angka kematiannya dapat ditekan serendah mungkin.
Ketoasidosis diabetik
Hiperosmolar nonketotik
Hipoglikemia
2. Penyulit menahun
a. Makroangiopati, yang melibatkan :
Pembuluh darah jantung
Pembuluh darah tepi
Pembuluh darah otak
b. Mikroangiopati:
Retinopati diabetik
Nefropati diabetik

124
Neuropati

K. Pengendalian DM
Parameter Sasaran
IMT (kg/m2) 18.5- <23
Tekanan darah sistolik (mmHg) <140
Tekanan darah diastolik (mmHg) <90
Glukosa darah preprandial kapiler 80- 130
(mg/dl)
Glukosa darah 1-2 jam PP kapiler < 180
(mg/dl)
HbA1C <7 (atau individual)
Kolesterol LDL (mg/dl) <100 (<70 bila risiko
kardiovaskular sangat tinggi)
Kolesterol HDL (mg/dl) Laki- laki >40; Perempuan >50
Trigliserida (mg/dl <150
Tabel 2.13. Kriteria pengendalian DM (PERKENI, 2015)

L. Prognosis
Sekitar 60% pasien DM yang mendapat insulin dapat bertahan
hidup seperti orang normal, sisanya dapat mengalami kebutaan, gagal
ginjal kronis, dan kemungkinan untuk meninggal lebih cepat ( Mansjoer et
al., 2015).

125
BAB III
ANALISIS KASUS

A. CHF
Pasien datang dengan keluhan sesak napas yang memberat sejak 2 jam
SMRS. Sesak nafas dirasakan setelah pasien menjalani cuci darah, semakin lama
semakin memberat, dada terasa tertekan dan pasien merasa kesulitan untuk
bernapas. Pasien juga mengeluh keringat dingin. Nyeri dada kiri disangkal, nyeri
menjalar ke lengan kiri atau punggung disangkal. Pasien memang sering sesak
terutama saat aktivitas ringan dan istirahat, pasien mengaku lebih nyaman
berbaring sebelah kanan daripada kiri.
Sekitar 2 tahun SMRS, pasien sudah sering sesak terutama bila aktivitas
dan berkurang dengan istirahat. Saat ini pasien berjalan ke kamar mandi juga
sesak, kadang dengan istirahat sesak tidak berkurang. Pasien mengaku kadang
terbangun dari tidur karena sesaknya. Pasien nyaman tidur dengan 3 bantal.
Penggunaan bantal yang tinggi dapat meringankan sesak napas pada pasien
menunjukkan adanya orthopneu. Sesak tidak dipengaruhi cuaca ataupun debu
menunjukkan penyebab sesak bukan karena alergi. Pasien juga mengaku kadang
muncul bengkak pada kedua kaki yang sifatnya hilang timbul
Pasien memiliki riwayat sakit gula dan darah tinggi 10 tahun, Pasien
mengaku tidak rutin kontrol dan minum obat jika ada keluhan. Untuk tensi
biasanya 150 170 (sistolik). Setengah tahun terakhir, pasien rutin minum obat
amlodipine 1x10mg.
Pada saat pemeriksaan, vital sign pasien ditemukan takipneu (frekuensi
napas 22 x/menit) akibat usaha lebih pasien untuk mencukupi pasokan oksigen.
Didapatkan pula peningkatan JVP R+4. Selain itu, ditemukan pelebaran batas
jantung ke caudolateral dan hasil perkusi thorax kanan redup mulai SIC V ke
bawah. Pada pemeriksaan rontgen thoraks, didapatkan adanya kardiomegali dan
efusi pleura. Dari hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa pada pasien ditemukan
gejala tipikal gagal jantung, yaitu sesak napas, ortopneu (sesak napas yang
berkurang saat posisi tegak), paroxysmal nocyurnal dypsneu, dan cepat lelah.

126
Pasien terdiagnosis sebagai gagal jantung berdasarkan kriteria Framingham, yaitu
3 kriteria mayor (PND, peningkatan JVP, dan cardiomegaly) dan 2 kriteria minor
(dyspneu d effort, dan efusi pleura).
Pada kasus ini pasien mengatakan sesak terus menerus bahkan ketika
istirahat dan bertambah berat dengan aktivitas seperti berjalan 50 meter. Hal ini
menandakan pasien masuk dalam klasifikasi NYHA IV dimana pasien tidak dapat
melakukan aktifitas fisik tanpa keluhan dan terdapat gejala saat istirahat serta
meningkat saat melakukan aktivitas.
Ketidakmampuan kontraksi ventrikel kiri yang adekuat akan menimbulkan
pulmonary congestion (backward failure) dimana darah akan kembali dari
ventrikel kiri ke atrium kiri dan lama-kelamaan akan terakumulasi pada pembuluh
darah pulmo. Tekanan yang tinggi pada pulmo lama kelamaan akan membuat
ventrikel kanan mengalami gangguan kontraksi. Kongesti pada pembuluh darah
paru akan menyebabkan darah dari ventrikel kanan akan tertahan dan
menyebabkan aliran balik darah sistemik tertahan. Ketidakmampuan kontraksi
adekuat dari ventrikel kanan maka akan menyebabkan akumulasi darah pada vena
sebelum atrium kanan dan menyebabkan peningkatan pengukuran tekanan vena
jugularis.
Mekanisme serupa juga menyebabkan pasien gagal jantung ditemukan
edema paru dan efusi pleura. Akibat terjadinya pulmonary congestion, maka
terjadi peningkatan tekanan hidrostatik pembuluh darah pulmo yang akhirnya
menyebabkan cairan pembuluh darah terpaksa keluar melalui kapiler ke dalam
alveoli (edema pulmo transudat) maupun cavum pleura.
Keluhan sesak memberat sejak 2 hari SMRS dimana sesak 2 hari terakhir
tidak membaik dengan istirahat ataupun perubahan posisi. Pasien juga
mengatakan ada batuk malam hari dengan dahak berwarna putih berbuih yang
baru muncul sejak 2 hari SMRS. Hal ini menunjukkan tanda awal adanya oedem
pulmo pada pasien. Oedem pulmo adalah keadaan patologi dimana cairan
intravaskuler keluar ke ruang ekstravaskuler, jaringan interstisisal dan alveoli.
Edema paru mudah timbul jika terjadi peningkatan tekanan hidrostatik dalam
kapiler paru, penurunan tekanan osmotik koloid seperti pada nefritis, atau

127
kerusakan dinding kapiler. Penyebab yang tersering dari edema paru adalah
kegagalan ventrikel kiri. Gejala paling umum dari edema paru adalah sesak napas
yang terus menerus. Pada pasien ini juga ditunjang dari temuan hasil pemeriksaan
fisik terdapat suara RBH pada basal paru serta perkusi redup pada thorax kanan
mulai SIC V ke bawah dan penurunan suara dasar vesikuler pada daerah yang
sama. Dari foto thorax ditemukan efusi pleuran bilateral (kiri minimal).
Pada pasien ini diberikan injeksi furosemid 20 mg/8 jam yang berfungsi
sebagai diuretik dimana pada pasien ini ditemukan tanda overload cairan (efusi
pleura, oedem pulmo, RBH (+/+)). Selain itu, pasien juga diberikan obat
antihipertensi berupa golongan ACEi, captopril. Pemberian ACEi ini merupakan
pilihan utama pada pasien ini karena ditemukan hipertensi stage 2 dan juga
berfungsi sebagai antiremodeling jantung. Selain itu karena pasien memiliki DM
yang mengarah ke gangguan ginjal, pemberian ACEi sangat bermanfaat karena
dapat menghambat RAAS dimana akan menghambat progresifitas dari penyakit.
Pada pasien ini juga diberikan obat golongan diuretic kuat. Pemberian obat
diuretic ini direkomendasikan pada pasien gagal jantung dengan tanda klinis atau
gejala kongesti agar dapat mencapai status euvolemia (kering dan hangat).
Pemberian diuretik ini harus secara hati-hati dengan dosis serendah mungkin,
yaitu sesuai kebutuhan pasien agar tidak terjadi resistensi ataupun dehidrasi.
Pasien diberikan diet jantung 1700 kkal berupa pembatasan garam < 6mg/
hari agar tidak memperparah hipertensi. Diberi infuse NaCl 0,9% 16 tpm,
pemberian infus ini sebenarnya hanya bertujuan untuk mempermudah pemasukan
obat ke dalam tubuh, pasien tidak butuh cairan tambahan karena pada pasien
sendiri sudah tampak tanda overload cairan. Pasien juga dilakukan pemasangan
kateter untuk memantau balance cairan pasien.

Selain sesak, saat di IGD pasien juga mengeluh dada terasa berdebar-debar
yang timbul bersamaan dengan sesak. Keluhan tersebut muncul tiba-tiba dan terus
menerus serta tidak berkurang walaupun pasien istirahat. Saat ini keluhan
berdebar-debar sudah berkurang. Nyeri dada kiri disangkal, nyeri menjalar ke

128
lengan kiri atau punggung disangkal. Pasien mengaku mengalami penurunan berat
badan, tidak tahan panas, maupun gemetar disangkal.
Saat di IGD didapatakan HR 120 bpm dan ireguler namun saat ini sudah
mengalami perbaikan menjadi HR 100x/menit, reguler. Pada pemeriksaan kepala
dan leher tidak ditemukan eksoftalmos maupun pembesaran tiroid. Dari
pemeriksaan EKG didapatkan hasil sinus rythm, 100 bpm, normoaxis. Hasil EKG
sebelumnya saat di IGD (25/3/2017) menunjukkan : AF rapid ventricular rhythm,
120 bpm, normoaxis, LVH.
Pada pasien ini termasuk AF paroksismal karena berlangsung kurang dari
7 hari dan kembali ke irama sinus secara spontan dalam waktu 24 jam.
Berdasarkan skor simtom yang disebut skor EHRA (European Heart
Rhythm Association) untuk memperhitungkan derajat gejala yang disebabkan AF,
dan diharapkan skor tersebut dapat berkurang seiring dengan konversi ke irama
sinus atau dengan kendali laju yang efektif. Pada pasien ini memiliki gejala
berdebar-debar ringan sehingga termasuk EHRA II.
Tabel 3.1. klasifikasi simtom terkait AF (skor EHRA)

Prinsip terapi fibrilasi atrium yaitu: antitrombotik untuk pencegahan


stroke, pengendalian laju jantung dan pengendalian irama jantung (jika
hemodinamik tidak stabil karena AF).
Penggunaan antitrombotik didasarkan pada pasien yang memiliki risiko
tinggi stroke dan tromboemboli. Skor CHA2DS2-VASc mencakup faktor-faktor
risiko umum yang sering ditemukan pada praktik klinik sehari-hari, yang masing-
masing hurufnya merupakan awal dari kata tertentu yaitu Congestive heart failure,
Hypertension, Age75 tahun (skor 2), Diabetes mellitus, Stroke history (skor 2),
peripheral Vascular disease, Age between 65-74 tahun, Sex Category (female)

129
pasien ini memiliki CHF, hipertensi, DM, dan jenis kelamin perempuan sehingga
mempunyai skor 4. Skor 2 direkomendasikan menggunakan antitrombotik
dimana salah satunya antagonis vitamin K yaitu warfarin. Keputusan pemberian
tromboprofilaksis perlu diseimbangkan dengan risiko perdarahan akibat
antikoagulan, khususnya perdarahan intracranial yang berakibat fatal atau
menimbulkan disabilitas. Menurut skor HAS-BLED yang merupakan
kepanjangan dari Hypertension, Abnormal liver and renal function, history of
Stroke, history of Bleeding, Labile INR, Elderly, dan antitrombotic Drugs and
alcohol, pasien ini memiliki skor 3. Jika skor HAS-BLED 3 maka perlu
perhatian khusus. Upaya pengaturan dosis yang terus-menerus harus dilakukan
untuk memperoleh nilai target INR 2-3.
Pasien ini tidak mendapatkan terapi antikoagulan atas pertimbangan pasien
sudah mendapatkan antikoagulan heparin saat proses hemodialisa. Untuk
mengurangi risiko perdarahan maka tidak diberikan antikoagulan tambahan.
Pada pasien dengan hemodinamik stabil dapat diberikan obat yang dapat
mengontrol respon ventrikel. Obat intravena mempunyai respon yang lebih cepat
untuk mengontrol respon irama ventrikel. Digoksin atau amiodaron
direkomendasikan untuk mengontrol laju ventrikel pada pasien dengan AF dan
gagal jantung atau adanya hipotensi. Pada fase akut target laju jantung 80-100
bpm. Pengendalian laju fase akut paada pasien ini menggunakan injeksi Lanoxin
0,25mg/ 4 jam iv sampai HR < 100, setelah itu dilanjutkan digoxin 1 tab/24 jam.
Untuk monitoring, dilakukan pemeriksaan EKG/hari selama 3 hari berturut-turut.

B. DIABETIC KIDNEY DISEASE

Selain sesak, pasien juga sering merasakan lemas diseluruh tubuh terus
menerus sejak yang memberat sejak 7 bulan yang lalu, kadang-kadang mendadak
pusing nggliyer saat perubahan posisi dari duduk ke berdiri. Pasien buang air
kecil 1-3 kali dalam sehari, 100 cc setiap kali BAK. 2 tahun yang lalu, pasien
punya riwayat pernah berobat ke RSDM karena keluhan sesak yang sangat hebat,
mual muntah yang memberat dan gatal-gatal dikulit, oleh dokter didiagnosis
terkena sakit ginjal. Namun, pasien tidak mau berobat rutin. Baru sekitar 7 bulan

130
SMRS setelah keluhan semakin memberat, pasien menjalani cuci darah rutin
1x/minggu (setiap hari Selasa). Pasien memiliki riwayat sakit gula dan darah
tinggi sejak 10 tahun yang lalu, setengah tahun terakhir menggunakan insulin
humalog mix (10-0-10 IU) dan amlodipin 1 x 10 mg.
Pada PGK stadium lanjut (uremia) dapat ditemukan tanda dan gejala
berupa:
1. Umum (kelesuan, kelelahan, tekanan darah tinggi, tanda-tanda overload
cairan, penurunan status mental, cegukan parah, bau uremia)
2. Kulit (penampilan pucat, uremia frost, ekskoriasi pruritus)
3. Paru (dyspnea, efusi pleura, edema paru, uremia paru)
4. Kardiovaskular (pericardial friction rub, gagal jantung kongestif)
5. Gastrointestinal (anoreksia, mual, muntah, penurunan berat badan,
stomatitis, rasa tidak enak di mulut)
6. Neuromuskuler (kedutan otot, neuropati perifer sensorik dan motorik,
kram otot, kaki gelisah, gangguan tidur, hiperrefleks, kejang, ensefalopati,
koma)
7. Endokrin-metabolik (penurunan libido, amenore, impotensi)
8. Hematologi (anemia, perdarahan diatesis) (Arici, 2014)

Hasil laboratorium kimia klinik menunjukkan peningkatan kadar ureum


107 mg/dl dan kreatinin 6.2 mg/dl dengan GFR 7.97 mL/min/ 1.73 m2. Penyakit
ginjal kronis harus ditegakkan berdasarkan adanya bukti kerusakan ginjal dan
level fungsi ginjal (laju filtrasi glomerulus [GFR]). Berdasarkan kriteria KDOQI,
pasien didiagnosis dengan CKD stage V karena GFR <15 mL/min/1.73 m 2.
Kemudian, dengan riwayat diabetes mellitus tipe 2 sejak 10 tahun, maka perlu
mempertimbangkan adanya DKD (Diabetic kidney disease / Diabetic
nephropathy). Dengan menggunakan tabel Kecenderungan DKD berdasarkan
stage CKD dan adanya proteinuria sebesar 300 mg/dL, didapatkan pasien
menderita DKD. Pada kebanyakan pasien dengan diabetes, CKD harus
disebabkan diabetes jika:
1. terdapat makroalbuminuria (B) atau
2. terdapat mikroalbuminuria,
a. dengan adanya retinopati diabetik, (B)
b. pada diabetes tipe 1 durasi minimal 10 tahun. (A) (NKF-KDOQI, 2007)

131
Pada penyakit ginjal kronis pada pasien ini, perlu dipertimbangkan apakah
riwayat hipertensi atau diabetes mellitus merupakan penyebabnya. Perlu
dilakukan biopsy ginjal untuk mengetahui perubahan histologis pada ginjal.
Pasien dengan diabetes tipe 2 sering hadir dengan gambaran bervariasi berupa
perubahan ginjal aterosklerotik bertepatan dengan temuan histologis diabetes.
Penentuan apakah hipertensi atau diabetes adalah lesi yang dominan, dengan tidak
adanya biopsi ginjal, biasanya didasarkan pada apakah ultrasonogram ginjal
menggambarkan ukuran ginjal kecil (angiosklerosis hipertensi) atau normal
sampai besar (DKD) (Yee, 2008).

Tabel 3.2 Perbedaan nefropati diabetikum dengan diagnosis lain.

Pasien ini memerlukan hemodialisis, hal ini diindikasikan pada pasien


PGK jika perkiraan laju filtrasi glomerulus (eGFR) turun menjadi 6 mL / menit /
1,73 m2 atau sampai timbulnya pertama indikasi klinis (yang meliputi gejala
uremia, kelebihan cairan, yang hiperkalemia refrakter atau asidemia) (Harrison,
2014).
Pasien mendapat diet rendah garam <5g/hari dan protein 0,6-0,8
g/kgBB/hari~40g/hari, infus NaCl , dan infus asam amino keto. Pedoman CKD
tidak menyatakan apa-apa tentang manajemen cairan iv pada setiap pasien dengan
CKD. Lebih lanjut, pasien rentan terhadap kelebihan volume cairan yang dapat
menyebabkan edema paru (NICE, 2011). Infus asam amino keto adalah larutan
asam amino dengan asam amino total 69 g/L, nitrogen 8,3 g/L, xylitol 10 g/L
diberikan untuk mengganti kehilangan protein melalui urin. Selain itu, diberikan
furosemide 20mg/8jam IV dan captopril 25 mg/ 8 jam untuk menurunkan tekanan

132
darah untuk mencapai target <140/90mmHg. Asam folat dan NAC diberikan
sebagai antioksidan karena pada penyakit DM dan CKD terjadi low grade
inflammation.

Tabel 3.3 Staging CKD KDOQI

(Renal Association, 2013)

Tabel 3.4 Kecenderungan DKD berdasarkan stage CKD dan albuminuria

C. ANEMIA
Berdasarkan data-data di atas, kondisi lemas pada pasien ini karena
anemia. Anemia merupakan suatu kumpulan gejala yang disebabkan oleh
bermacam penyebab. Pada dasarnya anemia disebabkan oleh karena:
1. Gangguan pembentukan eritrosit oleh sumsum tulang.
2. Kehilangan darah (perdarahan).
3. Proses penghancuran eritrosit dalam tubuh sebelum waktunya (hemolisis)
(Bakta, 2009)

133
Secara praktis anemia ditunjukkan oleh penurunan kadar hemoglobin,
hematokrit, atau hitung eritrosit. Akibatnya fungsi untuk membawa oksigen yang
cukup ke bagian perifer berkurang, sehingga proses metabolisme terganggu dan
pasien merasakan lemas (Baldy, 2006). Dari pemeriksaan laboratorium pasien ini,
didapatkan Hb: 6.7 g/dl, Hct 20%, Eritrosit 2.46x106/l.
Kemungkinan penyebab anemia berasal dari kelainan ginjal kronik
didasarkan pada kondisi penurunan laju filtrasi glomerulus (LFG) dan azotemia
yang dialami pasien. Berdasarkan LFG pasien yang < 15 mL/mnt/1,73m2, maka
pasien tersebut termasuk dalam kelompok gagal ginjal end stage dan memerlukan
terapi pengganti ginjal, seperti; hemodialisa, peritoneal dialisis, atau transplantasi
ginjal (Suwitra, 2009).
Anemia pada penyakit ginjal kronik terutama disebabkan oleh defisiensi
eritropoetin. Hal-hal lain yang ikut berperan dalam terjadinya anemia adalah,
defisiensi besi, kehilangan darah (missal, perdarahan saluran cerna, hematuria),
massa hidup eritrosit, penekanan sumsum tulang oleh substansi uremik, proses
inflamasi akut atau kronik. Evaluasi terhadap anemia dimulai saat kadar
hemoglobin 10 g% atau hematocrit 30%, meliputi pemeriksaan gambaran
darah tepi, retikulosit, mencari sumber perdarahan, pemeriksaan status besi.
Penatalaksanaan terutama ditujukan pada penyebab utamanya, disamping
penyebab lainnya bila ditemukan. Pemberian eritropoetin (EPO) merupakan hal
yang dianjurkan. Dalam pemberian EPO ini, status besi harus selalu mendapat
perhatian karena EPO memerlukan besi dalam mekanisme kerjanya. Pemberian
tranfusi pada penyakit ginal kronik harus diberikan secara hati-hati, berdasarkan
indikasi yang tepat dan cermat. Tranfusi darah yang dilakukan secara tidak cermat
dapat mengakibatkan kelebihan cairan tubuh, hyperkalemia dan pemburukan
fungsi ginjal. Pada orang dewasa, 1 unit PRC akan meningkatkan Hb sekitar
1g/dL atau hematocrit 3-4%.

D. DM TIPE 2
Pasien ini juga terdiagnosis dengan diabetes mellitus tipe 2 non-obese.
Pasien menyebutkan bahwa ia memiliki riwayat DM sejak 10 tahun yang lalu.

134
Dari anamnesis diketahui pasien menggunakan insulin humalog mix (10-0-10 IU)
sekitar bulan terakhir.
Dari hasil pemeriksaan fisik didapatkan IMT: 16.64 kg/m2. Berdasarkan
GDS awal masuk, pasien memiliki GDS sebesar 259 mg/dl, tetapi hal ini belum
bisa menegakkan DM pada pasien. Selanjutnya pasien dilakukan pemeriksaan
penunjang berupa HbA1cGDP dan GD2PP. GDP pasien sebesar 109 mg/dl dan
GD2PP sebesar 184 mg/dl serta HbA1c 5.3% yang menunjukkan bahwa DM
sudah terkontrol.

Pada pemilihan obat, pasien ini, dipilh menggunakan insulin karena


penggunaan OAD dengan pasien gangguan ginjal tidak lagi efektif. Kemudian
pasien di cek gula darah malam hari dan sebelum makan, hal ini berfungsi untuk
monitor penggunaan insulin apakah sudah mencukupi kebutuhan tubuh. Cara
penggunaan menggunakan rumus dosis insulin harian total (IHT) ialah 0,5U x BB
(Kg). Pada pasien ini digunakan insulin rapid dengan dosis 4-4-4 IU. Pasien ini
tidak menggunakan insulin long acting karena pasien memiliki gagal ginjal
dimana fungsi klirens kreatinin nya sudah menurun. Dikhawatirkan jika
mengunakan insulin kerja lama akan terjadi risiko hipoglikemia.

E. HIPOKALEMIA DAN HIPERKALSEMIA RINGAN


Berdasarkan hasil pemeriksaan laboratorium juga didapatkan adanya
penurunan kadar kalium yaitu sebesar 3.2 mmol/L, tergolong hypokalemia ringan.
Pemberian kalium tidak perlu segera pada hypokalemia ringan. Pada pasien ini
juga terjadi peningkatan kadar kalsium yaitu sebesar 1.35 mmol/L, tergolong
hiperkalsemia ringan. Pada penderita gagal ginjal kronik khususnya yang
menjalani hemodialysis, serin diumpai hiperkalsemia disebabkan oleh kelebihan
vitamin D, imobilisasi, penggunaan antacid kalsium, sekresi PTH otonom, atau
kombinasi diantaranya (Penfield dan Reilly, 2005). Pasien juga tidak mendapat
terapi khusus untuk hiperkalsemia ringan. Perlu dilakukan cek ulang elektrolit 3
hari kemudian untuk evaluasi.

135
Gambar 3.1 Alur Pemikiran Kasus

136
DAFTAR PUSTAKA

ACCF/AHA Pocket Guidelne. (2011). Management of Patients With Atrial


Fibrillation . American: American College of Cardiology Foundation and
American Heart Association. www.heart.org

Camn AJ, Luscher TF, dan Serruys PW. 2007. The ESC Textbook of
Cardiovascular Medicine. London: Blackwell Publishing.

Camm, A. J., Kirchhof, P., Lip, G. Y., Schotten, U., Irene , S., Ernst, S., Gelder, I.
C. V., et al. (2010). Guidelines for the management of atrial fibrillation:
The Task Force For The Management of Atrial Fibrillation of The
European Society of Cardiology. Europen Heart Journal. 31, 2369-2429

Cancer Mail. Hypercalcemia. Cancer web, National cancer


Institute. 2008:1-17

Carroll ME, Schade DS, . A Practical Approach to Hypercalcemia.


Am Fam Physician. 2003;67:1959 -66.

Chuchum S. (2010). Cara Praktis Membaca Elektrokardiogram EKG. Jakarta:


Surya Gemilang.

Crawford MH, Abdulla C, Richard WA, Nitish B, Andrew JB. 2012. Current
Diagnosis & Treatment. Congestive Heart Failure.Cardiology update, 3rd
Edition. Chapter 18:The McGraw-Hill.Companies

Doughty RM, White HD.2007. Epidemiology of Heart Failure. University of


Auckland New Zealand. Available from:
http://spinger.com/cda/content/document/cda_downloaddocument/978184
8001015-c2.pdf

Foster, D.W., Unger, R.H., (1998), DM, in: Williams Textbook of Endocrinology,
9th ed, WB Saunders, Philadelphia, Pg 973-1039.

Ganiswarna SG. 2003. Famakologi dan Terapi. Jakarta: Bagian Farmakologi


FKUI.

Gustaviani R. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam 4th. Departemen Ilmu
Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta, pp:
1857-9.

137
Hunt SA, Baker DW, Chin MH,.et al. 2001. American College of
Cardiology/American Heart Association Task Force on Practice
Guidelines. Circulation;104(24):2996-3007

January CT, Wann LS, Alpert JS, Calkins H, Cigarroa JE, Cleveland JC, et al.
AHA/ACC/HRS guideline for the management of patients with atrial
fbrilation. Circulation 2014;129:1-124.

Kabo P. 2010. Bagaimana menggunakan obat-obat kardiovaskuler secara rasional.


Balai penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta.

Kasper DL, Hauser SL, Jameson JL, Faucy AS, Longo DL, Loscalzo J. Harrisons
principles of internal medicine. 19th ed. New York: McGraw-Hill
Education; 2015.

Lily IR, Faisal B, Santoso KK, Poppy SR. 2002. Buku ajar Kardiologi. Balai
Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta.

Lip GYH, Tse HF, Lane DA. Atrial fbrillation. Lancet 2012;379: 64861\

Lip GYH, Gibbs CR, Beevers DG. 2001. Aetiology. BMJ;320(7227);104-107

Malluche et.al. Hyperkalemia, hypokalemia and metabolic alkalosis. In Clinical


Nephrology,Dialysis and Transplantation Ch.I-2, Lexington, 1999, pp. 1-
44.

Mansjoer A, et al. 2015. Kapita selekta kedokteran jilid I.Jakarta: Media


Aesculapius Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Marsden PA MD. Treatment of Anemia in Chronic Kidney DiseaseStrategies


Based on Evidence. N Engl J Med 2009 ; 361 : 2089-2090

National Kidney Foundation. IV. NKF-K/DOQI Clinical Practice Guidelines for


Anemia of Chronic Kidney Disease: update 2000. Am J Kidney Dis 2001;
37(suppl 1):182238.

Nurko S. Anemia in chronic kidney disease : Causes, diagnosis, treatment.


Cleveland Clinic Journal pf Medicine. 2006; 73 : 289-297

Patrick Davey. (2006). At a Glance Madicine. Jakarta: Penerbit Erlangga.

138
Penfield JG, Reilly RF. The Patient with Disorders of serum Calcium
and phosphate. In: RW S, ed. Manual of Nephrology. 7th ed.
Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2005:62-80

Perhimpunan Nefrologi Indonesia. Pengkajian Status Besi dan Terapi Besi.


Konsensus Manajemen Anemia Pada Penyakit Ginjal Kronik. Ed II. 2011 :
11-16

Perkumpulan Endokrinologi Indonesia. 2015. Konsensus Pengelelolaan Diabetes


Melitus Tipe 2 di Indonesia. Jakarta: PB Perkeni.

Philip, I. A., and Jeremy, P. T. W,. (2010). At Glance Sistem Kardiovaskular.


Jakarta: Penerbit Erlangga.

Roesli R, Endang S,Djaafar J. Nefropati Diabetik. In: Buku ajar ilmu penyakit
dalam . 3rd ed. Jakarta: Gaya Baru; 1996; II: 356-365

Siswanto BB, Hersunanti N, Erwinanto, Barack R et al. 2015. Pedoman


Tatalaksana Gagal Jantung. Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular
Indonesia.Jakarta:1-56

Skugor M, Milas M. Hypercalcemia. Clev Clin J Med. 2004:1-38.

Soegondo S. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam ed 4 jilid 2. Jakarta:


Perhimpunan Spesialis Penyakit Dalam Indonesia, pp: 1974-80.

Sudoyo Aru W, Setiyohadi B, Alwi I, et al . 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit


Dalam. Jilid II. Edisi V. FKUI. Jakarta, Hal 1583-1679

Sundoyo, Ari W, dkk. (Juni 2006), Penyakit Ginjal Diabetik, dalam: Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam Edisi IV Jilid II, Pusat Penerbitan Departemen Ilmu
Penyakit Dalam, FKUI, Jakarta, Hal. 545-547

Suyono S. 2007. Penatalaksanaan Diabetes Mellitus Terpadu. Jakarta: Penerbit


Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, pp: 7-14.

Tarif N. Anemia Management in Patients with Chronic Renal Disease : Current


Recommendations. Saudi J Kidney Dis Transplant 2002 ; 13 : 331- 335

The College of Emergency Medicine & Doctors.net.uk. (2008). Management of


Electrolyte Imbalance due to Sodium, The College of Emergency
Medicine.

139
Wattigney WA, Mensah GA, Croft JB (2002). Increased atrial fibrillation
mortality: United States, 1980-1998. Am. J. Epidemiol. 155 (9): 819-26.

Yuniadi Y, Tondas AE, Hanafy DA, Hermanto DY, Maharani E, Munawar M, et


al. Pedoman tatalaksana fbrilasi atrium. 1st ed. Centra Communications:
PERKI; 2014 .p.1-82.

140

Anda mungkin juga menyukai