Anda di halaman 1dari 2

Tugas 4 Kebijakan Iklim RAN-GRK RAD-GRK dan REDD+

Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAN-GRK)


merupakan tindaklanjut dari komitmen Indonesia dalam menghadapi permasalahan
perubahan iklim yang disampaikan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam
pidatonya di depan para pemimpin negara pada pertemuan G-20 di Pittsburgh,
Amerika Serikat, 25 September 2009. Komitmen tersebut bertujuan untuk
penanggulangan perubahan iklim dengan cara menurunkan emisi gas rumah kaca
sebesar 26% dengan usaha sendiri dari tingkat Business as Usual (BAU) dan sampai
dengan 41% dengan dukungan internasional pada tahun 2020. RAN-GRK diterbitkan
sebagai Perpes No.61/2011 menjabarkan target Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca ke
dalam lima bidang/sektor utama, yaitu : Kehutanan dan Lahan Gambut, Pertanian,
Energi dan Transportasi, Industri, serta Pengelolaan Limbah. Dalam konteks
Konvensi PBB mengenai perubahan iklim (UNFCCC), RAN-GRK dipandang sebagai
upaya sukarela dalam menurunkan emisi GRK mengingat bahwa Copenhagen Accord
yang dihasilkan dari COP 15 tahun 2009 bukan merupakan kesepakatan yang
mengikat para negara Pihak (Parties), namun mendorong komitmen sukarela dari
negara-negara di dunia. Dengan komitmen penurunan emisi GRK, Indonesia berharap
bahwa aksi sukarela Indonesia akan menjadi pendorong bagi negara-negara lain,
terutama negara maju untuk menurunkan emisi global GRK. RAN-GRK ini
merupakan bagian dari kerangka pembangunan nasional dan juga dokumen yang
mengarusutamakan penurunan emisi GRK ke dalam rencana pembangunan nasional.
Hal ini berarti, program dan aktivitas yang berkontribusi untuk mengurangi emisi
dapat dibiayai dan dilaksanakan setiap tahun oleh Kementrian terkait sebagai bagian
dari pembangunan nasional. RAN-GRK juga harus diselaraskan ke dalam Rencana
Aksi Daerah (RAD GRK) sehingga keberadaan RAN-GRK menjadi saat penting
karena RAN-GRK ini sebagai acuan pelaksanaan penurunan emisi GRK oleh bidang-
bidang prioritas di tingkat nasional dan daerah, sebagai acuan investasi terkait
penurunan emisi GRK yang terkoordinasi pada tingkat nasional dan daerah, serta
sebagai acuan pengembangan strategi dan rencana aksi penurunan emisi GRK oleh
daerah-daerah di Indonesia.
Dalam era desentralisasi, RAN-GRK hendaknya diselaraskan ke dalam
rencana aksi daerah. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional pun melakukan
pedoman tentang RAD-GRK yang kemudian dilakukan serangkaian sosialisasi
regional di 5 kota, Palembang, Denpasar, Balikpapan, Semarang, dan Makasar. Di
kota-kota tersebut akan dicari peluang-peluang untuk menekan emisi Gas Rumah
Kaca. Seperti misalnya di Palembang, yang letaknya di Pulau Sumatera, memiliki
karakteristik hutan dan perkebunan serta memiliki sumber-sumber energy yang dapat
memberikan peluang untuk menyeimbangkan hutan. Setiap provinsi memiliki
potensi-potensi pengurangan emisi GRK serta faktor-faktor penyumbang emisi GRK
yang diatur dalam Peraturan Gubernur. Misalnya saja di Jawa Barat, Emisi RAD-
GRK Jawa Barat beral dari tiga bidang : Pertanian dan Kehutanan, transportasi dan
Industri, serta Pengelolaan Limbah, dimana pada tahun 2010 emisi GRK mencapai
sekitar 259 juta ton CO2. Sehingga disusun rencana aksi mitigasi kelompok bidang
berbasis lahan seperti : pengelolaan Tahura Ir.H. Djuanda, Rehabilitasi hutan kota dan
turus jalan, pengembangan pertanian padi organic metode SRI, dll. Sedangkan di
bidang energi dilakukan beberapa upaya seperti: Audit lingkungan, kewajiban
penggunaan energi alternative dengan target substitusi sebesar 25 % pada tahun 2025,
Fasilitas audit energy, konservasi energy, dan manajemen energy, dll. Sedangkan di
bidang limbah : program minimasi sampah dengan prinsip 3R, pembangunan TPS
Terpadu, Recovery gas metan di TPA sumur batu (CDM-Project), dll. Nantinya akan
dilakukan evaluasi atau kajian ulang di tiap provinsi mengenai pedoman tentang
RAD-GRK demi tercapainya penurunan emisi RAN-GRK.
REDD (Reduction of Emissions from Deforestation and Forest Degradation)
adalah sebuah mekanisme untuk mengurangi emisi GRK dengan cara memberikan
kompensiasi kepada pihak-pihak yang melakukan pencegahan deforestasi dan
degradasi hutan. Pengurangan emisi atau deforestasi yang dihindari diperhitungkan
sebagai kredit. Jumlah kredit karbon yang diperoleh dalam waktu tertentu akan dijual
di pasar karbon. Sedangkan REDD+ merupakan perluasan dari REDD, yang
menambahkan areal peningkatan cadangan karbon hutan ke dalam cakupan awal
strategi REDD berupa peranan konservasi, pengelolaan hutan secara lestari, dan
peningkatan cadangan karbon. REDD+ berpotensi mengurangi emisi GRK dengan
biaya rendah dan waktu yang singkat, dan pada saat bersamaan membantu
mengurangi tingkat kemiskinan dan memungkinkan pembanguan berkelanjutan.
REDD+ merupakan skema pengurangan emisi yang dapat mengakomodasikan
berbagai jenis pengelolaan hutan dan lahan yang dalam konteks perundang-undangan
kehutanan Indonesia dapat mencakup hutan lindung dan konservasi, hutan produksi,
atau hutan konversi yang telah menjadi Area Penggunaan Lain (non-hutan). Di
Indonesia sendiri, strategi REDD+ bertujuan untuk mengatur sumber daya alam
secara berkelanjutan sebagai aset nasional demi kesejahteraan bangsa. Tujuan tersebut
dapat tercapai melalui implementasi di lima area fungsional pembangunan institusi
dan proses yang menjamin peningkatan tata kelola hutan dan lahan gambut,
pengkajian ulang dan peningkatan kerangka peraturan, meluncurkan program strategis
untuk manajemen lansekap, dll. Dampak dari REDD+ di Indonesia salah satunya
adalah Indonesia berhasil menjalin hubungan dengan Pemerintah Norwegia dalam
salah satu skema pembayaran berbasis pergorma untuk REDD+ terbesar dunia. Nota
kesepakatan kerjasama ini ditandatangani di bulan Mei 2010 dan Norwegia telah
berkomitmen atas USD 1 milyar nilai bagi hasil yang berbasis performa dan bagi
hasil-hasil lainnya. Indonesia menggunakan REDD+ sebagai fondasi untuk
menghijaukan ekonomi Indonesia dan untuk menuju jalan pembangunan rendah
karbon yang lebih lestari.

Anda mungkin juga menyukai