Anda di halaman 1dari 9

Modul Praktikum TF-3206 Laboratorium Teknik Fisika IV

MODUL III
DASAR PENGUKURAN FOTOMETRI

3.1. Tujuan Percobaan


1. Mengenal dan mempelajari prinsip-prinsip dasar pengukuran besaran-besaran fotometri
2. Menentukan distribusi intensitas luminus luminer dengan menggunakan goniometer sesuai
standar CIE 121:1996.
3. Menentukan fluks luminus yang dihasilkan suatu luminer berdasarkan data intensitas
cahayanya

3.2. Peralatan
1. Beberapa jenis lampu dan fitting
2. Luminer dan louver
3. Luxmeter Hioki
4. Busur derajat, meteran panjang, tripod
5. Goniometer dan sistem akusisi data LMT GO-V 1920
6. Head fotometer LMT tipe L
7. Power meter digital Yokogawa WT310
8. Catu daya AC Chroma 6415
9. Komputer dengan perangkat lunak Limes 2000

3.3. Teori Dasar


Cahaya dapat didefinisikan sebagai energi radiasi yang dapat dievaluasi secara visual, atau
bagian dari spektrum radiasi elektromagnetik yang dapat dilihat (visible). Cahaya berada pada
daerah panjang gelombang 380 nm s.d. 780 nm. Di luar daerah tersebut, mata manusia tidak
sensitif. Radiasi elektromagnetik dengan panjang gelombang di bawah 380 nm disebut sinar
ultraviolet, sedangkan radiasi elektromagnetik di atas 780 nm disebut sinar inframerah.

Sumber cahaya dapat digolongkan menjadi sumber cahaya alami (misal matahari, bintang)
dan sumber cahaya buatan (non-listrik dan listrik). Sumber cahaya buatan listrik dapat dibagi lagi
menjadi incandescent (lampu pijar dan halogen), pelepasan gas (gas discharge), dan keadaan
padat (solid-state). Lampu pelepasan gas terdiri dari lampu fluoresen dan high intensity
discharge (merkuri, metal halida, natrium bertekanan tinggi, dan natrium bertekanan rendah).

3. 1
Modul III Pengukuran Distribusi Intensitas Cahaya Luminer

Retina mata manusia terdiri dari dua jenis fotoreseptor, yaitu sel batang dan kerucut. Sel
batang umumnya aktif dalam kondisi minim cahaya, di mana kondisi tersebut dikatakan sebagai
penglihatan skotopik. Sel kerucut lebih sensitif dalam membedakan warna dan umumnya aktif
dalam kondisi terang, di mana kondisi tersebut dikatakan sebagai penglihatan fotopik Untuk
setiap jenis penglihatan, respon mata manusia terhadap cahaya tidaklah sama, tergantung kepada
panjang gelombang dari cahaya yang datang. Untuk penglihatan fotopik, mata manusia paling
sensitif (respons relatifnya sama dengan 1) pada panjang gelombang 555 nm.

3.3.1. Fotometri
Fotometri adalah ilmu yang mempelajari pengukuran besaran-besaran cahaya, meliputi
aspek-aspek psikofisis energi radian yang dapat terlihat oleh mata manusia. Besaran-besaran
fotometri yang umum antara lain:
1. Fluks luminus
Fluks luminus () adalah laju aliran energi cahaya, atau energi radiasi yang telah dibebani
dengan respon sensitivitas mata manusia per satuan waktu. Fluks luminus memiliki satuan
lumen (lm). Pada panjang gelombang 555 nm, 1 watt daya radiasi suatu sumber cahaya setara
nilainya dengan fluks luminus sebesar 683 lumen.
2. Intensitas luminus
Intensitas luminus atau intensitas cahaya (I) adalah fluks luminus per satuan sudut ruang
dalam arah tertentu. Intensitas luminus memiliki satuan candela (cd), atau setara dengan
lumen/steradian.
d
I= (3.1)
d

Sudut ruang (, dalam steradian) adalah sudut yang dibentuk oleh suatu bidang pada
permukaan bola, ditinjau dari titik pusat bola. Besarnya sudut ruang ialah rasio luas bidang
(A) terhadap kuadrat radius (r) bola tersebut.

3. 2
Modul Praktikum TF-3206 Laboratorium Teknik Fisika IV

3. Iluminansi
Iluminansi (E) adalah fluks luminus yang datang pada suatu permukaan per satuan luas (A,
dalam m2) permukaan yang menerima cahaya tersebut. Iluminansi memiliki satuan lux (lx)
atau setara dengan lumen/m2.
d
E= (3.2)
dA

4. Luminansi
Luminansi (L) adalah intensitas luminus dari suatu permukaan pada arah tertentu (I, dalam
cd) per satuan luas proyeksi permukaan tersebut jika dilihat dari arah yang dimaksud (A,
dalam m2). Luminansi memiliki satuan cd/m2.
I
L= (3.3)
A

5. Reflektansi
Reflektansi atau faktor refleksi () adalah rasio fluks luminus yang dipantulkan suatu
permukaan (, dalam lumen) terhadap fluks luminus yang datang ke permukaan tersebut (,
dalam lumen). Reflektansi adalah besaran tak berdimensi dan tanpa satuan.

= (3.4)

6. Efikasi
Efikasi atau efisiensi luminus () adalah rasio antara fluks luminus yang dihasilkan suatu
sumber cahaya listrik (, dalam lumen) terhadap daya listrik yang digunakan sebagai
masukan (P, dalam watt). Efikasi memiliki satuan lumen/watt.

= (3.5)
P

3.3.2. Hukum-hukum Dasar Fotometri


1. Hukum Kuadrat Terbalik
Iluminansi adalah besaran fotometri yang paling mudah diukur, yaitu dengan menggunakan
alat fotometer/luxmeter yang terdiri dari suatu sensor dioda yang peka cahaya, dihubungkan
dengan meter pembacaan setelah terlebih dahulu dibobotkan menurut kurva sensitivitas mata
manusia.
Misalkan suatu sumber titik memancarkan cahaya dengan intensitas I cd pada arah sudut
ruang . Sebuah bidang penerima pada jarak r1 dari sumber tersebut menerima fluks luminus
sebesar lumen per satuan luas bidang A1. Demikian juga sebuah bidang penerima pada
jarak r2 dari sumber tersebut menerima menerima fluks luminus sebesar lumen per satuan
luas bidang A2.
Secara matematis, hubungan antara iluminansi, intensitas luminus, dan jarak adalah:

3. 3
Modul III Pengukuran Distribusi Intensitas Cahaya Luminer

d d
E1 = dan E2 = (3.6)
dA1 dA2
Menurut definisi sudut ruang, dA = dr2, sedangkan I = d/d menurut persamaan (3.1).
Maka:

d I d I
E1 = = 2 dan E2 = = 2 (3.7)
d r12
r1 d r22
r2

sehingga, perbandingan antara E1 dan E2 adalah:


2
E1 r2
(3.8)
E 2 r1

Persamaan (3.8) ini dikenal sebagai Hukum Kuadrat Terbalik (Inverse Square Law) untuk
cahaya. Hukum Kuadrat Terbalik hanya berlaku untuk sumber cahaya yang berbentuk titik,
atau pada jarak minimal 5 kali dimensi terbesar dari suatu sumber cahaya. Pada jarak kurang
dari 5 kali dimensi terbesar sumber, pendekatan sumber titik tidak lagi dapat digunakan, dan
untuk itu pendekatan sumber garis atau sumber bidang harus digunakan.

2. Hukum Cosinus Lambert


Misalkan suatu titik P terletak pada suatu bidang yang normalnya (N) tepat berhimpit dengan
arah datangnya cahaya, seperti pada gambar berikut.

Misalkan bidang di mana titik P berada kini diputar sebesar sudut sehingga normalnya kini
(N) membentuk sudut terhadap arah datangnya cahaya, maka iluminansi di titik P mula-
mula (EP) memiliki hubungan dengan iluminansi di titik P setelah bidangnya diputar (EP)
sebagai berikut:
EP = EP cos (3.9)

Persamaan (3.9) disebut Hukum Cosinus Lambert. Tetapi persamaan (3.7) mengisyaratkan
bahwa EP = I / r2, dengan I adalah intensitas cahaya dari sumber, [gamma] adalah sudut
arah datangnya cahaya terhadap normal dari sumber, dan r adalah jarak titik P ke sumber
cahaya. Maka:

3. 4
Modul Praktikum TF-3206 Laboratorium Teknik Fisika IV

I
EP =
cos (3.10)
r2
Persamaan (3.10) adalah gabungan dari Hukum Kuadrat Terbalik untuk cahaya dengan
Hukum Cosinus Lambert. Persamaan ini juga hanya berlaku untuk pendekatan sumber titik.
Dengan demikian, untuk I dan r yang tetap, hubungan antara EP/EP dengan sudut secara
teoritis dapat digambarkan dengan grafik sebagai berikut:

1
0,9
0,8
0,7
0,6
E P'/E P

0,5
0,4
0,3
0,2
0,1
0
0 10 20 30 40 50 60 70 80 90
(deg)

3.3.3. Distribusi Intensitas Cahaya Luminer


Untuk merencanakan suatu sistem pencahayaan yang baik, apakah itu di dalam maupun di
luar suatu bangunan, harus diperhatikan beberapa persyaratan. Salah satu persyaratan yang
penting adalah pemilihan luminer atau armatur yang sesuai dengan lokasi yang ditentukan
(fungsi ruangan, jenis aktivitas, dsb.) agar diperoleh cahaya dengan kualitas dan kuantitas yang
diinginkan pada bidang kerja.
Persyaratan lain yang perlu diperhatikan adalah faktor refleksi dari permukaan bangunan,
jenis lampu yang digunakan, dan sebagainya. Umumnya setiap jenis luminer memberikan bentuk
distribusi intensitas cahaya dan karakteristik yang berbeda, walaupun jenis lampu yang
digunakan sama.
Karakteristik distribusi intensitas cahaya umumnya dinyatakan dalam diagram polar yang
menggambarkan besarnya intensitas cahaya sebagai fungsi sudut. Untuk dapat menggambarkan
diagram tersebut, luminer ditempatkan pada pusat dari sebuah bola khayal dengan radius yang
nilainya sama dengan jarak titik ukur, yaitu sekurang-kurangnya lima kali dimensi terbesar dari
luminer. Intensitas cahaya dapat ditentukan dengan menggunakan hubungan yang serupa dengan
persamaan (3.10), yaitu:

I
E= cos (3.11)
r2

dengan
E = iluminansi pada titik ukur [lx]

3. 5
Modul III Pengukuran Distribusi Intensitas Cahaya Luminer

I = intensitas cahaya pada sudut , dengan adalah sudut antara normal luminer dengan garis
yang menghubungkan titik tengah luminer dengan titik ukur [cd]
r = jarak terhadap titik ukur [m]
= sudut antara normal sensor lux meter dengan garis yang menghubungkan titik tengah
luminer dengan titik ukur [= 0]
Pengukuran dilakukan dengan menggunakan goniometer, yaitu suatu perangkat tempat
meletakkan luminer yang dapat diputar pada berbagai bidang C dan sudut . Untuk percobaan
ini, digunakan posisi luminer vertikal (membujur, bidang C = 0), horisontal (melintang, bidang
C = 90), membentuk sudut 45 (bidang C = 45), serta membentuk sudut 45 (bidang C =
135). Kurva distribusi intensitas cahaya luminer umumnya ditampilkan berdasarkan empat
bidang C tersebut. Sudut umumnya divariasikan dari 90 s.d. 90, dengan interval 1, 2, atau
5.
Contoh skema denah dan potongan dari ruang gelap dengan goniometer ditampilkan sebagai
berikut.

Perlu diperhatikan bahwa persamaan (3.11) hanya berlaku untuk sumber titik, di mana titik
ukur sekurang-kurangnya berada pada jarak 5 kali dimensi terbesar luminer. Jika syarat tersebut
tidak terpenuhi, maka pendekatan di atas tidak dapat dilakukan; untuk itu dapat digunakan
pendekatan garis atau bidang cakram/segi empat).
Selain untuk menggambarkan kurva distribusi intensitas cahaya, data intensitas cahaya
luminer dapat pula diolah untuk menentukan fluks luminus yang dihasilkan luminer tersebut,
dengan menggunakan metoda konstanta zonal. Pada metoda ini, daerah pengukuran dibagi ke

3. 6
Modul Praktikum TF-3206 Laboratorium Teknik Fisika IV

dalam beberapa zona, yaitu zona 0 ~ 10, 10 ~ 20, 20 ~ 30, dan seterusnya sampai 80 ~
90. Fluks luminus yang dihasilkan luminer dapat ditentukan dengan menggunakan persamaan:

= 2 IN (cos 1 cos 2) (3.12)

dengan
= fluks luminus yang dihasilkan luminer [lumen]
IN = intensitas cahaya rata-rata pada zona 1 ~ 2 [candela]
1 = sudut terkecil dalam zona 1 ~ 2 [derajat]
2 = sudut terbesar dalam zona 1 ~ 2 [derajat]
Faktor 2 (cos 1 cos 2) disebut juga konstanta zonal pada zona 1 ~ 2

Untuk menentukan harga fluks luminus yang dihasilkan luminer, terlebih dahulu ditentukan
harga rata-rata dari intensitas cahaya pada keempat bidang (C = 0, 45, 90, dan 135) untuk
setiap sudut. Kemudian ditentukan harga intensitas rata-rata dari setiap zona, di mana intensitas
rata-rata untuk zona 0 ~ 10 adalah rata-rata dari intensitas rata-rata pada sudut 0, 5, dan 10.
Demikian pula intensitas rata-rata untuk zona 10 ~ 20 adalah rata-rata dari intensitas rata-rata
pada sudut 10, 15, dan 20; dan demikian seterusnya sampai zona 80 ~ 90. Harga intensitas
rata-rata (IN) dari setiap zona kemudian dikalikan dengan konstanta zonal yang terkait (= 2(cos
1 cos 2)), sehingga menghasilkan harga fluks luminus yang dihasilkan luminer pada zona
tersebut. Harga fluks luminus total yang dihasilkan luminer adalah jumlah dari fluks luminus
yang dihasilkan pada seluruh zona, sebagaimana tercantum dalam persamaan (3.12).

3.4. Prosedur Percobaan


3.4.1. Hukum Kuadrat Terbalik
1. Nyalakan lampu pijar yang telah diletakkan pada fitting-nya di ruang gelap. Pasang sensor
luxmeter pada tripod, tempatkan pada jarak 25 cm dari lampu. Ketinggian pusat sensor
luxmeter dari lantai harus sama dengan ketinggian titik tengah lampu dari lantai.
2. Biarkan lampu menyala selama beberapa menit, supaya memberikan tingkat pencahayaan
konstan.
3. Baca dan catat hasil pengukuran iluminansi pada luxmeter, untuk jarak 25, 30, 40, 50, 60, 80,
100, 120, 160, dan 200 cm. Pastikan posisi lampu tidak berubah selama pengukuran, serta
sensor luxmeter selalu bergerak mundur dalam satu garis lurus terhadap lampu.
4. Ulangi langkah 2 dan 3 untuk beberapa lampu yang berbeda. Untuk lampu TL, pengukuran
dilakukan mulai pada jarak 1 m s.d. 5 m, dengan interval 50 cm.

3.4.2. Hukum Cosinus Lambert


1. Nyalakan lampu pijar yang telah diletakkan pada fitting-nya di ruang gelap. Pasang sensor
luxmeter pada tripod, tempatkan pada jarak 1 m dari lampu. Ketinggian pusat sensor luxmeter
dari lantai harus sama dengan ketinggian titik tengah lampu dari lantai.
2. Biarkan lampu menyala selama beberapa menit, supaya memberikan tingkat pencahayaan
konstan.
3. Putar sensor luxmeter beserta tripod pada sumbu vertikalnya, sedemikian sehingga
membentuk sudut searah putaran jarum jam, dari 0 s.d. 90 dengan interval 10. Pastikan
posisi lampu tidak berubah selama pengukuran, serta jarak pusat sensor luxmeter terhadap

3. 7
Modul III Pengukuran Distribusi Intensitas Cahaya Luminer

lampu selalu tetap.


4. Untuk setiap sudut, baca dan catat hasil pengukuran iluminansi pada luxmeter.
5. Ulangi langkah 3 dan 4 untuk arah berlawanan putaran jarum jam, dari 0 s.d. 90 dengan
interval 10.

3.4.3. Distribusi Intensitas Cahaya Luminer


1. Letakkan luminer dalam goniometer pada posisi membujur (vertikal, bidang C = 0).
2. Sebelum mulai mengukur, pastikan bahwa tombol henti darurat di depan dan belakang
goniometer tidak dalam keadaan ditekan, dan pastikan bahwa tombol indikator ON di
belakang goniometer telah ditekan dan menyala hijau. Pastikan bahwa head fotometer telah
menunjukkan angka 0,00 lx pada tampilan dari sistem akuisisi data GO-V 1920, ketika
sensor ditutup dengan penutup sensor yang berwarna hitam.
3. Buka komputer, nyalakan program Limes 2000. Nyalakan luminer dengan program tersebut,
sesuai petunjuk asisten.
4. Biarkan luminer menyala selama beberapa menit sehingga memberikan tingkat pencahayaan
yang relatif konstan, kemudian jalankan luminer melalui program Limes 2000, dengan
memasukkan nilai C dan G (sudut ) satu per satu. Mula-mula masukkan nilai C = 0. Catat
nilai intensitas cahaya [cd] yang terbaca pada tampilan program untuk setiap sudut , dari
90 s.d. 90, dengan interval 5.
5. Ulangi langkah 4 untuk nilai C = 45 dan 90. Data untuk bidang C = 135 dianggap sama
dengan data untuk bidang C = 45.
6. Untuk luminer yang memakai louver, lakukan pengukuran tanpa louver dan dengan louver.
7. Setelah selesai pengukuran, kembalikan luminer ke posisi C = 0 dan G (sudut ) = 0.
Matikan kembali luminer dengan program Limes 2000, sesuai petunjuk asisten.

3.5. Tugas Analisis


3.5.1. Hukum Kuadrat Terbalik
1. Gambarkan kurva iluminansi terhadap jarak, serta iluminansi terhadap kebalikan kuadrat
jarak, untuk setiap lampu yang diukur!
2. Tentukan intensitas luminus yang dipancarkan setiap lampu, berdasarkan kurva iluminansi
terhadap jarak dan kebalikan kuadrat jarak!
3. Berdasarkan harga intensitas luminus yang didapat, perkirakan harga iluminansi yang
diakibatkan setiap lampu pada jarak 75 cm, 150 cm, 240 cm, dan 320 cm!
4. Jika intensitas luminus masing-masing lampu dianggap sama ke segala arah (isotropik),
perkirakan fluks luminus yang dipancarkan setiap lampu!

3.5.2. Hukum Cosinus Lambert


1. Lakukan normalisasi, yaitu dengan cara membagi iluminansi pada setiap sudut (E) dengan
iluminansi pada sudut = 0 (E0).
2. Gambarkan kurva hubungan antara E/E0 terhadap sudut !
3. Gambarkan pula diagram polar dari E/E0 terhadap sudut !
4. Bandingkan kurva hubungan antara E/E0 terhadap sudut , dengan kurva secara teoritis!

3.5.3. Distribusi Intensitas Cahaya Luminer


1. Dari data yang diperoleh, carilah intensitas cahaya untuk setiap sudut dengan menggunakan
pendekatan titik!

3. 8
Modul Praktikum TF-3206 Laboratorium Teknik Fisika IV

2. Gambarkan kurva distribusi intensitas cahaya untuk setiap jenis luminer yang diukur
(menggunakan program komputer seperti MS Excel/MATLAB)! Bandingkan hasilnya dengan
bentuk distribusi intensitas standar untuk luminer yang sama.
3. Dengan menggunakan data intensitas cahaya yang diperoleh, tentukan besarnya fluks
luminus yang dihasilkan oleh setiap jenis luminer!

3.6. Tugas Pendahuluan


1. Jelaskan secara singkat tentang proses melihat!
2. Gambarkan diagram blok dari luxmeter dan jelaskan prinsip kerjanya! Jelaskan pula kriteria
luxmeter yang baik!
3. Jelaskan hubungan antara fluks luminus dan intensitas luminus dari suatu sumber cahaya
titik, serta iluminansi yang ditimbulkannya pada suatu bidang!
4. Jelaskan tentang Hukum Kuadrat Terbalik dan Hukum Cosinus Lambert beserta syarat-syarat
berlakunya!
5. Jelaskan apa yang dimaksud dengan
a) Luminer
b) Intensitas cahaya
c) Efikasi lampu
d) Efisiensi luminer
e) Metode lumen dan prinsipnya
6. Mengapa percobaan ini harus dilakukan pada ruang gelap dan praktikan harus pula
menggunakan baju berwarna gelap? Jelaskan!
7. Sebutkan dan jelaskan klasifikasi luminer menurut CIE, dan gambarkan bentuk distribusi
intensitas cahayanya!
8. Apa tujuan pengendalian cahaya pada luminer? Sebutkan beberapa cara pengendalian cahaya
yang umum digunakan pada luminer dan jelaskan secara singkat!

3.7. Daftar Pustaka


Commission Internationale de Lclairage. CIE 121:1996 The photometry and
goniophotometry of luminaires. CIE, Vienna, 1996.
Lindsey, J.L. Applied Illumination Engineering, 2nd Edition. Fairmont Press, Lilburn, 1997.
Murdoch, J.B. Illumination Engineering: From Edisons Lamp to the Laser. Macmillan Pub.,
London, 1985.
Rea, M.S. (editor). The IESNA Lighting Handbook: Reference & Application, 9th Edition.
Illuminating Engineering Society of North America, New York, 2000.
Simons, R.H., Bean, A.R. Lighting Engineering: Applied Calculation. Architectural Press,
Oxford, 2001.

3. 9

Anda mungkin juga menyukai