MODUL III
DASAR PENGUKURAN FOTOMETRI
3.2. Peralatan
1. Beberapa jenis lampu dan fitting
2. Luminer dan louver
3. Luxmeter Hioki
4. Busur derajat, meteran panjang, tripod
5. Goniometer dan sistem akusisi data LMT GO-V 1920
6. Head fotometer LMT tipe L
7. Power meter digital Yokogawa WT310
8. Catu daya AC Chroma 6415
9. Komputer dengan perangkat lunak Limes 2000
Sumber cahaya dapat digolongkan menjadi sumber cahaya alami (misal matahari, bintang)
dan sumber cahaya buatan (non-listrik dan listrik). Sumber cahaya buatan listrik dapat dibagi lagi
menjadi incandescent (lampu pijar dan halogen), pelepasan gas (gas discharge), dan keadaan
padat (solid-state). Lampu pelepasan gas terdiri dari lampu fluoresen dan high intensity
discharge (merkuri, metal halida, natrium bertekanan tinggi, dan natrium bertekanan rendah).
3. 1
Modul III Pengukuran Distribusi Intensitas Cahaya Luminer
Retina mata manusia terdiri dari dua jenis fotoreseptor, yaitu sel batang dan kerucut. Sel
batang umumnya aktif dalam kondisi minim cahaya, di mana kondisi tersebut dikatakan sebagai
penglihatan skotopik. Sel kerucut lebih sensitif dalam membedakan warna dan umumnya aktif
dalam kondisi terang, di mana kondisi tersebut dikatakan sebagai penglihatan fotopik Untuk
setiap jenis penglihatan, respon mata manusia terhadap cahaya tidaklah sama, tergantung kepada
panjang gelombang dari cahaya yang datang. Untuk penglihatan fotopik, mata manusia paling
sensitif (respons relatifnya sama dengan 1) pada panjang gelombang 555 nm.
3.3.1. Fotometri
Fotometri adalah ilmu yang mempelajari pengukuran besaran-besaran cahaya, meliputi
aspek-aspek psikofisis energi radian yang dapat terlihat oleh mata manusia. Besaran-besaran
fotometri yang umum antara lain:
1. Fluks luminus
Fluks luminus () adalah laju aliran energi cahaya, atau energi radiasi yang telah dibebani
dengan respon sensitivitas mata manusia per satuan waktu. Fluks luminus memiliki satuan
lumen (lm). Pada panjang gelombang 555 nm, 1 watt daya radiasi suatu sumber cahaya setara
nilainya dengan fluks luminus sebesar 683 lumen.
2. Intensitas luminus
Intensitas luminus atau intensitas cahaya (I) adalah fluks luminus per satuan sudut ruang
dalam arah tertentu. Intensitas luminus memiliki satuan candela (cd), atau setara dengan
lumen/steradian.
d
I= (3.1)
d
Sudut ruang (, dalam steradian) adalah sudut yang dibentuk oleh suatu bidang pada
permukaan bola, ditinjau dari titik pusat bola. Besarnya sudut ruang ialah rasio luas bidang
(A) terhadap kuadrat radius (r) bola tersebut.
3. 2
Modul Praktikum TF-3206 Laboratorium Teknik Fisika IV
3. Iluminansi
Iluminansi (E) adalah fluks luminus yang datang pada suatu permukaan per satuan luas (A,
dalam m2) permukaan yang menerima cahaya tersebut. Iluminansi memiliki satuan lux (lx)
atau setara dengan lumen/m2.
d
E= (3.2)
dA
4. Luminansi
Luminansi (L) adalah intensitas luminus dari suatu permukaan pada arah tertentu (I, dalam
cd) per satuan luas proyeksi permukaan tersebut jika dilihat dari arah yang dimaksud (A,
dalam m2). Luminansi memiliki satuan cd/m2.
I
L= (3.3)
A
5. Reflektansi
Reflektansi atau faktor refleksi () adalah rasio fluks luminus yang dipantulkan suatu
permukaan (, dalam lumen) terhadap fluks luminus yang datang ke permukaan tersebut (,
dalam lumen). Reflektansi adalah besaran tak berdimensi dan tanpa satuan.
= (3.4)
6. Efikasi
Efikasi atau efisiensi luminus () adalah rasio antara fluks luminus yang dihasilkan suatu
sumber cahaya listrik (, dalam lumen) terhadap daya listrik yang digunakan sebagai
masukan (P, dalam watt). Efikasi memiliki satuan lumen/watt.
= (3.5)
P
3. 3
Modul III Pengukuran Distribusi Intensitas Cahaya Luminer
d d
E1 = dan E2 = (3.6)
dA1 dA2
Menurut definisi sudut ruang, dA = dr2, sedangkan I = d/d menurut persamaan (3.1).
Maka:
d I d I
E1 = = 2 dan E2 = = 2 (3.7)
d r12
r1 d r22
r2
Persamaan (3.8) ini dikenal sebagai Hukum Kuadrat Terbalik (Inverse Square Law) untuk
cahaya. Hukum Kuadrat Terbalik hanya berlaku untuk sumber cahaya yang berbentuk titik,
atau pada jarak minimal 5 kali dimensi terbesar dari suatu sumber cahaya. Pada jarak kurang
dari 5 kali dimensi terbesar sumber, pendekatan sumber titik tidak lagi dapat digunakan, dan
untuk itu pendekatan sumber garis atau sumber bidang harus digunakan.
Misalkan bidang di mana titik P berada kini diputar sebesar sudut sehingga normalnya kini
(N) membentuk sudut terhadap arah datangnya cahaya, maka iluminansi di titik P mula-
mula (EP) memiliki hubungan dengan iluminansi di titik P setelah bidangnya diputar (EP)
sebagai berikut:
EP = EP cos (3.9)
Persamaan (3.9) disebut Hukum Cosinus Lambert. Tetapi persamaan (3.7) mengisyaratkan
bahwa EP = I / r2, dengan I adalah intensitas cahaya dari sumber, [gamma] adalah sudut
arah datangnya cahaya terhadap normal dari sumber, dan r adalah jarak titik P ke sumber
cahaya. Maka:
3. 4
Modul Praktikum TF-3206 Laboratorium Teknik Fisika IV
I
EP =
cos (3.10)
r2
Persamaan (3.10) adalah gabungan dari Hukum Kuadrat Terbalik untuk cahaya dengan
Hukum Cosinus Lambert. Persamaan ini juga hanya berlaku untuk pendekatan sumber titik.
Dengan demikian, untuk I dan r yang tetap, hubungan antara EP/EP dengan sudut secara
teoritis dapat digambarkan dengan grafik sebagai berikut:
1
0,9
0,8
0,7
0,6
E P'/E P
0,5
0,4
0,3
0,2
0,1
0
0 10 20 30 40 50 60 70 80 90
(deg)
I
E= cos (3.11)
r2
dengan
E = iluminansi pada titik ukur [lx]
3. 5
Modul III Pengukuran Distribusi Intensitas Cahaya Luminer
I = intensitas cahaya pada sudut , dengan adalah sudut antara normal luminer dengan garis
yang menghubungkan titik tengah luminer dengan titik ukur [cd]
r = jarak terhadap titik ukur [m]
= sudut antara normal sensor lux meter dengan garis yang menghubungkan titik tengah
luminer dengan titik ukur [= 0]
Pengukuran dilakukan dengan menggunakan goniometer, yaitu suatu perangkat tempat
meletakkan luminer yang dapat diputar pada berbagai bidang C dan sudut . Untuk percobaan
ini, digunakan posisi luminer vertikal (membujur, bidang C = 0), horisontal (melintang, bidang
C = 90), membentuk sudut 45 (bidang C = 45), serta membentuk sudut 45 (bidang C =
135). Kurva distribusi intensitas cahaya luminer umumnya ditampilkan berdasarkan empat
bidang C tersebut. Sudut umumnya divariasikan dari 90 s.d. 90, dengan interval 1, 2, atau
5.
Contoh skema denah dan potongan dari ruang gelap dengan goniometer ditampilkan sebagai
berikut.
Perlu diperhatikan bahwa persamaan (3.11) hanya berlaku untuk sumber titik, di mana titik
ukur sekurang-kurangnya berada pada jarak 5 kali dimensi terbesar luminer. Jika syarat tersebut
tidak terpenuhi, maka pendekatan di atas tidak dapat dilakukan; untuk itu dapat digunakan
pendekatan garis atau bidang cakram/segi empat).
Selain untuk menggambarkan kurva distribusi intensitas cahaya, data intensitas cahaya
luminer dapat pula diolah untuk menentukan fluks luminus yang dihasilkan luminer tersebut,
dengan menggunakan metoda konstanta zonal. Pada metoda ini, daerah pengukuran dibagi ke
3. 6
Modul Praktikum TF-3206 Laboratorium Teknik Fisika IV
dalam beberapa zona, yaitu zona 0 ~ 10, 10 ~ 20, 20 ~ 30, dan seterusnya sampai 80 ~
90. Fluks luminus yang dihasilkan luminer dapat ditentukan dengan menggunakan persamaan:
dengan
= fluks luminus yang dihasilkan luminer [lumen]
IN = intensitas cahaya rata-rata pada zona 1 ~ 2 [candela]
1 = sudut terkecil dalam zona 1 ~ 2 [derajat]
2 = sudut terbesar dalam zona 1 ~ 2 [derajat]
Faktor 2 (cos 1 cos 2) disebut juga konstanta zonal pada zona 1 ~ 2
Untuk menentukan harga fluks luminus yang dihasilkan luminer, terlebih dahulu ditentukan
harga rata-rata dari intensitas cahaya pada keempat bidang (C = 0, 45, 90, dan 135) untuk
setiap sudut. Kemudian ditentukan harga intensitas rata-rata dari setiap zona, di mana intensitas
rata-rata untuk zona 0 ~ 10 adalah rata-rata dari intensitas rata-rata pada sudut 0, 5, dan 10.
Demikian pula intensitas rata-rata untuk zona 10 ~ 20 adalah rata-rata dari intensitas rata-rata
pada sudut 10, 15, dan 20; dan demikian seterusnya sampai zona 80 ~ 90. Harga intensitas
rata-rata (IN) dari setiap zona kemudian dikalikan dengan konstanta zonal yang terkait (= 2(cos
1 cos 2)), sehingga menghasilkan harga fluks luminus yang dihasilkan luminer pada zona
tersebut. Harga fluks luminus total yang dihasilkan luminer adalah jumlah dari fluks luminus
yang dihasilkan pada seluruh zona, sebagaimana tercantum dalam persamaan (3.12).
3. 7
Modul III Pengukuran Distribusi Intensitas Cahaya Luminer
3. 8
Modul Praktikum TF-3206 Laboratorium Teknik Fisika IV
2. Gambarkan kurva distribusi intensitas cahaya untuk setiap jenis luminer yang diukur
(menggunakan program komputer seperti MS Excel/MATLAB)! Bandingkan hasilnya dengan
bentuk distribusi intensitas standar untuk luminer yang sama.
3. Dengan menggunakan data intensitas cahaya yang diperoleh, tentukan besarnya fluks
luminus yang dihasilkan oleh setiap jenis luminer!
3. 9