Anda di halaman 1dari 18

BAB 6:

DASAR-DASAR
FOTOMETRI

Kompetensi:
• Mampu memahami konsep cahaya, radiometri, dan fotometri
• Mampu menerapkan hukum-hukum dasar fotometri
• Mampu menganalisis nilai besaran-besaran fotometri pada berbagai
kasus pencahayaan

Subbab:
6.1. Cahaya dan radiometri
6.2. Penglihatan dan fotometri
6.3. Hukum-hukum fotometri

6. 1
6. 1
Catatan Kuliah TF3202 Fisika Bangunan
II:Termal
Bagian I: Pencahayaan
6: Perilaku
Bab 3: Dasar-dasar Fotometri
Termal Bangunan
Subbab 6.1: Cahaya dan Radiometri

Cahaya

 Cahaya dapat didefinisikan sebagai:


• Energi radiasi yang dapat dievaluasi secara visual.
• Bagian dari gelombang elektromagnetik dengan panjang gelombang λ yang
berada pada rentang 380~780 nm, yang dapat merangsang retina mata
manusia dan menimbulkan kemampuan untuk melihat.
 Masing-masing λ dari cahaya bersesuaian dengan suatu warna saturasi (jenuh)
tertentu, dari ungu (400 nm) s.d. magenta/merah bata (780 nm).
 Radiasi dengan λ < 380 nm lazim disebut sebagai sinar ultraviolet, sedangkan
radiasi dengan λ > 380 nm lazim disebut sebagai sinar inframerah.

 Menurut teori kuantum Planck, energi radiasi dipancarkan dan diserap


dalam sejumlah kuanta yang disebut foton.
 Energi yang terkandung dalam setiap kuantum (Q [Joule (J)]) adalah produk
dari konstanta Planck (h = 6,626 × 10–34 J∙s) dan frekuensi (f [Hertz (Hz)]) dari
vibrasi foton tersebut.
hc
Q=hf =

 Pada medium ruang hampa atau udara (indeks bias n = 1), cepat rambat
cahaya c ≈ 2,99793 × 108 m/s.

6. 2
Catatan Kuliah TF3202 Fisika Bangunan
II:Termal
Bagian I: Pencahayaan
6: Perilaku
Bab 3: Dasar-dasar Fotometri
Termal Bangunan
Subbab 6.1: Cahaya dan Radiometri

Benda Hitam
 Benda hitam, atau radiator benda hitam, adalah suatu benda ideal yang
bersifat menyerap seluruh radiasi elektromagnetik yang datang pada
permukaannya.
 Suatu benda hitam memancarkan spektrum cahaya kontinu, yaitu tidak
terputus pada seluruh rentang λ, serta memiliki puncak pada suatu nilai λ
tertentu yang tergantung pada temperatur benda tersebut.
 Semakin tinggi temperatur benda hitam, spektrum cahaya yang
dipancarkan semakin bergeser ke arah λ yang lebih rendah, sehingga warna
cahayanya cenderung bergeser ke warna biru.

Hukum Pergeseran Wien dan Stefan-Boltzmann

 Menurut Hukum Pergeseran Wien, kurva radiasi suatu benda hitam akan
berpuncak pada panjang gelombang λmaks [m] yang nilainya berbanding
terbalik terhadap temperatur mutlak T [K] dari benda hitam yang
bersangkutan.
b
maks =
T
b ialah konstanta pergeseran Wien
(≈ 2,897721 × 10−3 m∙K ≈ 2900 μm∙K).
 Menurut Hukum Stefan-Boltzmann,
kalor yang diradiasikan Qrad [W] per
luas permukaan A [m2] suatu benda
sebanding dengan pangkat empat dari
temperaturnya T [K], serta sebanding
dengan emisivitas ε yang bernilai antara
0 dan 1 (ε dari benda hitam = 1):
Qrad =  AT 4
σ ialah konstanta Stefan-Boltzmann
(≈ 5,670373 × 10−8 W·m–2 K–4).

6. 3
Catatan Kuliah TF3202 Fisika Bangunan
II:Termal
Bagian I: Pencahayaan
6: Perilaku
Bab 3: Dasar-dasar Fotometri
Termal Bangunan
Subbab 6.1: Cahaya dan Radiometri

Radiometri

 Radiometri: konsep dan metode pengukuran kuantitas energi radiasi pada


seluruh rentang panjang gelombang elektromagnetik.
 Kuantitas energi radiasi yang dihasilkan suatu sumber radiasi lazimnya
dinyatakan sebagai daya radiasi atau fluks radian Φe [W] pada setiap panjang
gelombang λ [nm], atau disebut juga sebagai daya spektral Φe(λ) [W/nm].
 Dalam konteks sumber cahaya, karakteristik persebaran daya spektral yang
dipancarkan pada setiap λ pada rentang 380~780 nm, disebut sebagai distribusi
daya spektral (SPD).
 Contoh kurva SPD (ternormalisasi) dari berbagai sumber cahaya dapat
ditampilkan sebagai berikut:.

 Dari besaran daya radiasi Φe [W], dapat diturunkan sejumlah besaran lain
dalam radiometri, antara lain:
⚫ Intensitas radian Ie [W/sr], yaitu laju energi radiasi yang dipancarkan per
satuan sudut ruang.
⚫ Iradiansi Ee [W/m2], yaitu laju energi radiasi yang diterima suatu
permukaan per satuan luas permukaan tersebut.
⚫ Radiansi Le [W/(sr ∙ m2], yaitu intensitas radian dari suatu permukaan
pada suatu arah per luas proyeksi permukaan pada arah tersebut.
 Besaran-besaran radiometri menunjukkan kuntitas energi radiasi yang
secara fisis dihasilkan suatu benda, tetapi tidak menggambarkan kuantitas
energi yang dapat terindra secara visual oleh mata manusia.

6. 4
Catatan Kuliah TF3202 Fisika Bangunan
II:Termal
Bagian I: Pencahayaan
6: Perilaku
Bab 3: Dasar-dasar Fotometri
Termal Bangunan
Subbab 6.2: Penglihatan dan Fotometri

Penglihatan

 Penglihatan: proses melihat yang


melibatkan perpindahan cahaya
dari objek atau benda yang diamati
→ kornea → iris → pupil → lensa →
retina → sel-sel saraf → otak.
 Retina pada mata manusia terdiri
dari 2 sel, yaitu:
▪ Batang; aktif pada kondisi sedikit
cahaya (< 0,001 cd/m2) atau disebut
modus skotopik, tidak mampu *1)
membedakan warna.
▪ Kerucut; aktif pada kondisi banyak
cahaya (> 5 cd/m2) atau disebut
modus fotopik, terdiri dari tiga sel
peka warna: merah, hijau, dan biru.
 Kurva sensitivitas mata manusia
pada modus fotopik (V(λ)) dan
skotopik (V’(λ)) telah distandarkan
seperti pada gambar di samping
(ternormalisasi).
 Pada modus fotopik, mata manusia
paling sensitif pada λ = 555 nm,
sedangkan pada modus skotopik,
pada λ = 507 nm.
 Sensitivitas mutlak pada modus skotopik hampir tiga kali lipat sensitivitas
mutlak pada modus fotopik (1700 lm/W dibandingkan 683 lm/W), tetapi
karena kemunculan modus skotopik (minim cahaya) sangat jarang, maka
dalam aplikasi desain dan perhitungan, kurva V(λ)) lebih lazim digunakan
untuk menaksir energi radiasi yang dapat terindra secara visual oleh
manusia.
 Untuk keperluan tersebut, digunakan konsep fotometri, yaitu konsep dan
metode pengukuran kuantitas energi radiasi yang dapat terindra secara
visual oleh mata manusia, pada rentang λ 380~780 nm.

*1) https://science.howstuffworks.com/led-incapacitator1.htm

6. 5
Catatan Kuliah TF3202 Fisika Bangunan
II:Termal
Bagian I: Pencahayaan
6: Perilaku
Bab 3: Dasar-dasar Fotometri
Termal Bangunan
Subbab 6.2: Penglihatan dan Fotometri

Fluks Cahaya

 Besaran daya dalam konteks fotometri dinyatakan


sebagai fluks cahaya (atau fluks luminus) Ф, yaitu
energi cahaya per satuan waktu [lumen (lm)].
 Pada modus fotopik, 1 W daya radiasi dari suatu
sumber cahaya monokromatis pada λ = 555 nm
bernilai setara dengan 683 lm. Ini adalah nilai
maksimum yang mungkin tercapai, sehingga
menghasilkan konstanta Kcd = 683 lm/W.
 Secara matematis, Ф ialah produk (korelasi) dari daya spektral Фe tiap
panjang gelombang λ yang dihasilkan suatu sumber cahaya dengan kurva
sensitivitas V(λ), dikalikan dengan konstanta Kcd, sehingga:

d e (  )
 = K cd  V ( ) d
0
d
 Dalam bentuk diskret, nilai Фe lazimnya dievaluasi tiap λ sebesar 1 atau 5
nm, sehingga nilai Ф ialah jumlah diskret dari korelasi Фe dan nilai V(λ) yang
bersesuaian, dikalikan dengan Kcd, sehingga:
 = 780nm
 = K cd

 (  ( )  V ( ) )
=380nm
e

Contoh:
Misalkan suatu lampu menghasilkan tiga panjang gelombang diskret, yaitu
500, 550, dan 600 nm. Daya spektral pada ketiga panjang gelombang
tersebut berturut-turut ialah 5, 4 dan 1 mW. Taksirlah besarnya fluks cahaya
dari lampu tersebut.

Solusi:
Mengacu pada kurva V(λ), pada λ = 500, 550, dan 600 nm, nilai V(λ) yang
sesuai ialah 0,3; 1; dan 0,65.
 = 780nm
 = K cd

 (  ( ) V ( ) ) = (683 lm/W)(5  0,3+4 1+1 0,65)(10
=380nm
e
−3
W)

= 4,2 lm

6. 6
Catatan Kuliah TF3202 Fisika Bangunan
II:Termal
Bagian I: Pencahayaan
6: Perilaku
Bab 3: Dasar-dasar Fotometri
Termal Bangunan
Subbab 6.2: Penglihatan dan Fotometri

Intensitas Cahaya

 Intensitas cahaya: laju energi cahaya (atau fluks


cahaya) yang dipancarkan per satuan sudut ruang
[lumen/steradian = candela (cd)]. I Ω
d
I=
d
 Sudut ruang: rasio luas permukaan bola yang
dilingkupi suatu sudut (dihitung dari pusat bola)
terhadap kuadrat radius bola tersebut.
dA
d =
r2
 Sudut ruang yang dilingkupi oleh satu bola penuh
ialah 4πr2/r2 = 4π steradian (sr).
 Secara umum, jika diketahui intensitas cahaya
sumber pada setiap sudut ruang Ω sebesar I(Ω),
maka fluks cahaya total yang dihasilkan sumber
tersebut ialah:
=  I ( ) d 
4
 Dengan demikian, suatu sumber yang menghasilkan I konstan pada segala
arah, memiliki fluks cahaya sebesar Ф = 4πI.
 Secara sederhana, 1 cd kira-kira menunjukkan intensitas cahaya yang
dihasilkan suatu lilin ‘standar’. Nilai I pada sudut ruang yang sama tidak
akan berubah meskipun jarak titik ukur terhadap sumber berubah, selama
sudut ruang yang terbentuk tidak berubah.

Contoh:
Misalkan suatu lampu memiliki fluks cahaya sebesar 40π lm. Tentukan
intensitas cahaya lampu tersebut jika distribusi intensitas cahayanya
berbentuk (a) bola penuh, dan (b) setengah bola.

Solusi:
(a) I = dФ/dΩ = (40π lm)/(4π sr) = 10 cd
(b) I = dФ/dΩ = (40π lm)/(2π sr) = 20 cd

6. 7
Catatan Kuliah TF3202 Fisika Bangunan
II:Termal
Bagian I: Pencahayaan
6: Perilaku
Bab 3: Dasar-dasar Fotometri
Termal Bangunan
Subbab 6.2: Penglihatan dan Fotometri

Intensitas Cahaya

 Untuk mendapatkan hubungan antara sudut ruang


Ω dan sudut dua dimensi γ, tinjaulah suatu
bola khayal beradius R berikut. Misalkan
sudut bukaan atau cakupan yang terbentuk ialah
Ω (tiga dimensi) atau 2γ (dua dimensi).
 Luas elemen diferensial dari A (= dA) ialah luas
selimut ‘silinder’ dengan radius r dan tebal R dθ,
di mana θ ialah sudut dua-dimensi yang nilainya
bergerak dari 0 s.d. γ.
 Dengan demikian: dA = 2πr R dθ
Tetapi r = R sin θ, sehingga: dA = 2πR2 sin θ dθ
 Berdasarkan definisi sudut ruang:
dA 2 R 2 sin  d
d = = = 2 sin  d
R2 R2

→  =  2 sin  d = 2 (1 − cos  )
0
 Secara umum, jika sudut ruang Ω yang terbentuk dibatasi oleh sudut γ1 dan
γ2, di mana γ2 > γ1, maka:
2
 =  2 sin  d = 2 (cos  1 − cos  2 )
1

Contoh:
Misalkan suatu lampu memiliki fluks cahaya sebesar 200 lm, dengan
distribusi intensitas cahaya isotropik, kecuali pada daerah yang terhalangi
oleh bagian dasar lampu seperti gambar berikut. Tentukan intensitas cahaya
yang dihasilkan pada sembarang sudut yang tidak terhalangi dasar lampu.

Solusi:
Sudut yang terhalang: 2γt = 60° → γt = 30° = π/6 rad
3
t = 2 (1 − cos  /6) = 2 (1 − )  0,84 sr
2
Sudut yang tidak terhalang: Ω ≈ (4π – 0,84) sr ≈ 11,72 sr 60°
 200 lm
Intensitas cahaya rata-rata: I = =  17 cd
 11,72 sr

6. 8
Catatan Kuliah TF3202 Fisika Bangunan
II:Termal
Bagian I: Pencahayaan
6: Perilaku
Bab 3: Dasar-dasar Fotometri
Termal Bangunan
Subbab 6.2: Penglihatan dan Fotometri

Distribusi Intensitas Cahaya

 Setiap sumber cahaya,


khususnya yang berupa
luminer (lampu + armatur),
memiliki karakteristik
distribusi intensitas cahaya
tertentu.

 Distribusi tersebut lazim


dinyatakan dalam cd atau
cd/1000 lumen lampu (cd/klm),
sebagai fungsi dari sudut γ (dua dimensi) yang terbentuk antara normal
luminer dan titik ukur; serta ditampilkan dalam bentuk diagram polar,
untuk berbagai bidang potong (C) dari luminer tersebut.
 Klasifikasi umum distribusi cahaya luminer dapat dirangkum sbb.:
Klasifikasi % bawah % atas Distribusi Contoh ilustrasi

Langsung 90 ~ 100 0 ~ 10

Semi-langsung 60 ~ 90 10 ~ 40

Merata 40 ~ 60 40 ~ 60

Semi-tidak 10 ~ 40 60 ~ 90
langsung

Tidak 0 ~ 10 90 ~ 100
langsung

 Luminer yang hampir seluruh (> 90%) intensitasnya diarahkan ke bawah


(atau ke depan), disebut sebagai luminer langsung (downlight), lazim
digunakan untuk keperluan pencahayaan umum (merata).
 Luminer yang sebagian besar intensitasnya diarahkan ke atas (atau ke
belakang), disebut sebagai luminer tidak langsung (uplight), lazim digunakan
untuk keperluan pencahayaan khusus, dekoratif, atau aksen.
 Distribusi intensitas cahaya suatu luminer dapat diukur menggunakan
perangkat goniometer di dalam ruang gelap, yang akan dibahas kemudian.

6. 9
Catatan Kuliah TF3202 Fisika Bangunan
II:Termal
Bagian I: Pencahayaan
6: Perilaku
Bab 3: Dasar-dasar Fotometri
Termal Bangunan
Subbab 6.2: Penglihatan dan Fotometri

Iluminansi
 Iluminansi atau tingkat pencahayaan: laju energi cahaya
yang diterima suatu permukaan per satuan luas
permukaan tersebut [lumen/m2 = lux (lx)].
d
E=
dA
 Nilai iluminansi tergantung pada luas permukaan
penerima, sehingga tergantung pula pada jarak antara
sumber dan permukaan penerima (titik ukur).
 Iluminansi dapat diukur dengan instrumen luxmeter
(iluminansi-meter) yang lazimnya dapat dibawa-bawa.
 Karena praktis untuk diukur, iluminansi seringkali dijadikan parameter
kecukupan cahaya yang diterima pada bidang kerja untuk berbagai
aktivitas, dalam berbagai standar nasional dan internasional.
 Kriteria iluminansi pada bidang kerja menurut SNI 03-6575-2001:

*1)

*1) BSN (2001). SNI 03-6575-2001: Tata Cara Perancangan Sistem Pencahayaan Buatan pada Bangunan Gedung .

6. 10
Catatan Kuliah TF3202 Fisika Bangunan
II:Termal
Bagian I: Pencahayaan
6: Perilaku
Bab 3: Dasar-dasar Fotometri
Termal Bangunan
Subbab 6.2: Penglihatan dan Fotometri

Luminansi

 Luminansi: intensitas cahaya dari suatu permukaan (dapat berupa sumber


atau non-sumber) pada suatu arah per luas proyeksi permukaan pada arah
tersebut [candela/m2 (cd/m2)].
dI d 2
L=  = γ
dA dA d 
 Luas proyeksi permukaan pada suatu sudut ialah γ
luas permukaan yang bersangkutan dikali cosinus Iγ
sudut yang terbentuk (γ), sedemikian sehingga:
dI d 2
L= =
dA cos  dA cos   d 
 Luminansi dapat diukur dengan instrumen
luminansi-meter yang dapat dibawa-bawa.
 Luminansi seringkali dinyatakan secara awam sebagai ‘kecerahan’, yang
mengindikasikan cerah atau redupnya suatu permukaan jika diamati dari
suatu arah. Berbeda dengan iluminansi, luminansi permukaan pada suatu
arah belum tentu sama jika diamati dari arah yang berbeda.
 Kriteria luminansi pada L [cd/m2]
berbagai permukaan 10000
dalam ruang menurut 5000
Luminansi armatur yang diizinkan
SNI 03-6575-2001: 2000
1000
500 Luminansi dinding dengan langit-langit yang diizinkan

200
100 Luminansi bidang kerja yang diinginkan

50
Cukup dikenali
20
dengan baik
10
Profil wajah manusia
5
Hanya dikenali
2
*1)
1

*1) BSN (2001). SNI 03-6575-2001: Tata Cara Perancangan Sistem Pencahayaan Buatan pada Bangunan Gedung .

6. 11
Catatan Kuliah TF3202 Fisika Bangunan
II:Termal
Bagian I: Pencahayaan
6: Perilaku
Bab 3: Dasar-dasar Fotometri
Termal Bangunan
Subbab 6.2: Penglihatan dan Fotometri

Luminansi

 Luminansi permukaan suatu sumber cahaya terkait erat dengan distribusi


intensitas cahaya yang dihasilkan sumber tersebut.
 Pada sumber cahaya difus (disebut juga emitor Lambertian),
intensitas cahaya maksimum Imaks terdapat pada sudut γ = 0.
⚫ Intensitas cahaya pada sembarang sudut γ: :
 I cos  , 0     /2
I =  0
0,  /2    2 γ
⚫ Luminansi pada sembarang sudut 0 ≤ γ ≤ π/2:
I cos  I 0
L = 0 = = L0 = konstan I0 Iγ
A cos  A
= Imaks
⚫ Dengan kata lain, pada emitor Lambertian,
meskipun intensitas cahayanya berubah terhadap sudut, tetapi
luminansinya konstan atau tidak tergantung pada sudut (selama 0 ≤ γ ≤
π/2).

 Pada sumber cahaya merata (disebut juga isotropik),


intensitas cahaya bernilai sama pada seluruh sudut γ.
⚫ Intensitas cahaya pada sembarang sudut γ
(0 ≤ γ < 2π) ialah: γ
I = I 0 = konstan
Iγ = I0
⚫ Luminansi pada sembarang sudut γ: I0
I I
L =  = 0 2 = konstan
A  r
⚫ Sumber cahaya isotropik secara fisik lazimnya berbentuk bola. Luas
proyeksi permukaan bola diamati dari arah mana pun selalu berbentuk
lingkaran dengan radius yang sama dengan radius bola.

6. 12
Catatan Kuliah TF3202 Fisika Bangunan
II:Termal
Bagian I: Pencahayaan
6: Perilaku
Bab 3: Dasar-dasar Fotometri
Termal Bangunan
Subbab 6.3: Hukum-hukum Fotometri

Hukum Kuadrat Terbalik


 Berdasarkan definisi intensitas cahaya dan
iluminansi, untuk suatu sumber titik dengan
sudut ruang yang sama, dapat ditunjukkan
bahwa iluminansi berbanding terbalik
dengan kuadrat jarak antara sumber dan titik
penerima.
d d I
E1 = = = 2
dA1 d   r12
r1
d d I
E2 = = = 2
dA2 d   r2 r2
2

E1 r22
 =
E2 r12
 Dalam bentuk grafik, hubungan
antara E/Eref dan r/rref ialah sebagai
berikut (‘ref’ menyatakan nilai
referensi atau mula-mula).

Contoh:
Suatu lampu dengan intensitas cahaya isotropik sebesar 100 cd,
menghasilkan iluminansi sebesar 20 lx pada jarak 1 m. Pada jarak berapa
dari lampu tersebut akan terukur iluminansi sebesar separuh dari yang
terukur pada jarak 1 m?

Solusi:
Iluminansi pada titik 2: E2 = 0,5(20 lx) = 10 lx
E1 r22 20 r22
= → = → r2 = 2r1 = 2 m
E2 r12 10 r12

6. 13
Catatan Kuliah TF3202 Fisika Bangunan
II:Termal
Bagian I: Pencahayaan
6: Perilaku
Bab 3: Dasar-dasar Fotometri
Termal Bangunan
Subbab 6.3: Hukum-hukum Fotometri

Hukum Cosinus
 Menurut Hukum Cosinus, iluminansi pada
suatu titik ukur P yang terletak pada bidang
penerima akan bernilai maksimum, yaitu EP(0),
Iγ S
jika normal bidang tersebut (N) tepat berimpit
dengan garis hubung antara sumber S dan titik P.
 Jika bidang kedudukan titik P kemudian diungkit
sebesar sudut α, dengan posisi titik P yang tetap,
maka iluminansi pada titik P akan berubah
menjadi:
EP( ) = EP(0) cos 
EP( )
 = cos 
EP(0)

 Hal yang sama juga akan berlaku, jika bidang P tetap tidak bergerak, tetapi
S bergerak membentuk sudut α terhadap N, dengan jarak SP yang tetap.
1
 Dalam bentuk grafik, hubungan 0.9
antara EP(α)/EP(0) dan sudut α 0.8
(0 ≤ α ≤ π/2) ialah sbb.: 0.7
EP(α) / EP(0) [-]

0.6
0.5
 Grafik tersebut, disebut juga 0.4
sebagai fungsi koreksi cosinus, 0.3

menjadi salah satu referensi 0.2


0.1
untuk memastikan akurasi
0
dari sensor cahaya pada 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90
luxmeter. α [°]

6. 14
Catatan Kuliah TF3202 Fisika Bangunan
II:Termal
Bagian I: Pencahayaan
6: Perilaku
Bab 3: Dasar-dasar Fotometri
Termal Bangunan
Subbab 6.3: Hukum-hukum Fotometri

Hukum Cosinus
 Dengan menggabungkan Hukum Kuadrat
Terbalik dan Hukum Cosinus, maka S
P
didapatkan persamaan umum untuk
γ
menentukan iluminansi pada suatu titik pada
bidang penerima, akibat sumber cahaya titik,
NS
sebagai berikut:
I
EP = 2 cos 
r
⚫ r: jarak antara sumber dan titik ukur (SP)
⚫ γ: sudut antara SP dan normal sumber (NS)
⚫ α: sudut antara SP dan normal penerima (NP)

 Perhatikan bahwa sudut γ belum tentu sama dengan α, karena Ns belum


tentu sejajar dengan NP. Nilai Iγ juga tidak konstan, melainkan bergantung
pada distribusi intensitas cahaya dari sumber yang bersangkutan.
 Dalam kasus khusus di mana γ = α, misalnya jika S ialah luminer downlight
yang dipasang pada langit-langit suatu ruang, dan P terletak pada lantai,
maka berlaku:
h h
cos  = r=
r cos 
I
→ EP = 2 cos3 
h
Contoh:
Pada instalasi seperti pada gambar di atas, anggap Ns sejajar dengan NP.
Sumber S adalah emitor Lambertian dengan intensitas cahaya maksimum
sebesar 1000 cd. Jarak S dari lantai di mana P terletak ialah 3 m. Jarak P
terhadap proyeksi S pada lantai ialah 1 m. Tentukan besarnya iluminansi
pada titik P.

Solusi:
3 3
Diketahui Ns sejajar dengan NP → γ = α. cos  = cos  = =
I I 0 cos  I0 1 +3
2 2
10
→ EP = 2 cos  =
3
cos  = 2 cos 
3 4

h h2 h
4
1000 cd  3 
= = 90 lx
(3 m) 2  10 
6. 15
Catatan Kuliah TF3202 Fisika Bangunan
II:Termal
Bagian I: Pencahayaan
6: Perilaku
Bab 3: Dasar-dasar Fotometri
Termal Bangunan
Subbab 6.3: Hukum-hukum Fotometri

Efikasi
 Efikasi atau efisiensi cahaya (η [lm/W]): perbandingan antara fluks cahaya
Φ [lm] yang dihasilkan suatu sumber cahaya dan daya radiasi Φe [W] atau
daya elektrik Pel [W] yang diperlukan.
 
= atau
e Pel
 Dalam hal sumber cahaya non-elektrik (seperti matahari), digunakan
definisi η = Φ/Φe. Matahari memiliki efikasi sekitar 98 lm/W.
 Dalam hal sumber cahaya elektrik Sumber η [lm/W]
(lampu), digunakan definisi η = Φ/Pel.
Lampu pijar 6 ~ 17
Tipikal nilai efikasi untuk berbagai
Lampu TL 53 ~ 89
sumber cahaya elektrik ialah sebagai
Lampu CFL 33 ~ 65
berikut:
Lampu merkuri 35 ~ 60
Lampu metal halida 80 ~ 91
Lampu Na tekanan tinggi 70 ~ 130
Lampu Na tekanan rendah 100 ~ 200
Contoh:
Suatu lampu berdaya elektrik 100 W dengan efikasi 40 lm/W, digantung
pada suatu ruang tanpa pantulan sbb. Jika lampu tersebut dapat dianggap
sumber titik dan isotropik, tentukan iluminansi pada titik A, B, dan C!
Solusi:
Φ = (40 lm/W)(100 W) = 4000 lm
dΦ (4000 lm)
I= = = 318,5 cd (konstan)
2m

dΩ (4 sr)
rA = 3 m → rA2 = 9 m 2 C
1m

rB2 = (32 + 12 ) m 2 = 10 m 2
A B
rC2 = (22 + 22 ) m 2 = 8 m 2
2m 1m 1m
I 318,5 cd
 A = 0 → cos  A = 1 EA = 2 = = 35,4 lx
rA 9 m2
3 3
cos  B = = I 318,5 cd 3
3 + 12
2 10 EB = 2 cos  B =  = 30,2 lx
rB 10 m 2 10
2 2 1
cos C = 2 2 = = I
EC = 2 cos  C =
318,5 cd 1
 = 28,2 lx
2 +2 8 2 rC 8 m2 2

6. 16
Catatan Kuliah TF3202 Fisika Bangunan
II:Termal
Bagian I: Pencahayaan
6: Perilaku
Bab 3: Dasar-dasar Fotometri
Termal Bangunan
Subbab 6.3: Hukum-hukum Fotometri

Efikasi
Contoh:
Suatu lampu difus dengan intensitas maksimum 100 cd, berpenampang
persegi dengan sisi 10 cm, digantung pada suatu ruang tanpa pantulan
sbb. Tentukan iluminansi pada titik A, B, C, serta luminansi dari lampu
tersebut!
Solusi:

Difus → I  = I 0 cos 
γC
3 3

2m
cos  B = = γB
32 + 12 10 αC
2 1 αB C

1m
cos  C = =
2 +2
2 2
2 A B

I 0 100 cd 2m 1m 1m
EA = = = 11,1 lx
rA2 9 m2
I cos  100 cd 3 3
EB = 0 2 B cos  B =  = 9 lx
rB 10 m 2 10 10
I cos  100 cd 1 1
EC = 0 2 C cos  C =  = 6, 25 lx
rC 8 m2 2 2
I0 100 cd
L (konstan) = = = 10 000 cd/m 2
A (0,1 m)(0,1 m)

6. 17
Catatan Kuliah TF3202 Fisika Bangunan
Bagian I: Termal
Bab 3: Perilaku Termal Bangunan

Anda mungkin juga menyukai