Anda di halaman 1dari 24

MODUL 1

KARAKTERISASI SPEKTRUM SUMBER CAHAYA


1.1 Pokok Bahasan
Spektrum elektromegnetik
Sumber-sumber cahaya
1.2 Tujuan
Setelah melakukan praktikum ini, mahasiswa diharapkan :
Dapat melakukan karakterisasi spektrum dan menentukan lebar spektral sumber cahaya.
1.3 Dasar Teori
1.3.1 Spektrum Elektromegnetik
Cahaya putih matahari yang tidak tampak berwarna ternyata dapat dipecahkan menjadi susunan
cahaya berwarna yang tampak di mata sebagai cahaya merah, jingga, kuning, hijau, biru, nila, dan
ungu, yang kemudian dikenal sebagai susunan spektrum dalam cahaya. Jika spektrum cahaya tersebut
dikumpulkan dan diloloskan kembali melalui sebuah prisma, cahaya tersebut kembali menjadi cahaya
putih. Jadi, cahaya putih (seperti cahaya matahari) sesungguhnya merupakan gabungan cahaya
berwarna dalam spektrum.

Gambar 1.1 Spektrum Warna Cahaya Tampak


Spektrum elektromagnetik adalah rentang semua radiasi elektromagnetik. Spektrum
elektromagnetik dapat dibagi dalam beberapa daerah yang terentang dari sinar gamma gelombang
pendek berenergi tinggi sampai pada gelombang mikro dan gelombang radio dengan panjang
gelombang sangat panjang[1].

Gambar 1.2 Spektrum Gelombang Elektromagnetik

1.3.2 Macam-Macam Sumber Cahaya


Pada dasarnya terdapat 2 jenis sumber cahaya, yaitu cahaya alami dan cahaya buatan (artificial
lighting). Cahaya alami merupakan cahaya yang berasal dari matahari, sedangkan cahaya buatan
berasal dari lilin, lampu gas, lampu minyak, dan lain-lain. Kedua sumber cahaya ini mempunyai
kelebihan dan kekurangan antara lain: sumber cahaya alami memiliki sifat tidak menentu, tergantung
pada iklim, musim, dan cuaca. Sinar ultraviolet (UV) yang terkandung dalam cahaya alami dapat
merusak struktur permukaan material. Sedangkan cahaya buatan membutuhkan biaya tertentu, namun
peletakan dan kestabilan cahaya dapat diatur.
Macam-macam cahaya buatan, antara lain :
a. Lampu Pijar
Saat bola lampu pijar dihidupkan, arus listrik akan mengalir dari electrical contact menuju filamen
dengan melewati kawat penghubung. Akibatnya akan terjadi pergerakan elektron bebas dari kutub
negatif ke kutub positif. Elektron di sepanjang filamen ini secara konstan akan menabrak atom pada
filamen. Energinya akan mengetarkan atom atau arus listrik memanaskan atom. Ikatan elektron dalam
atom-atom yang bergetar ini akan mendorong atom pada tingkatan tertinggi secara berkala. Saat
energinya kembali ke tingkat normal, elektron akan melepaskan energi ekstra dalam bentuk foton.
Atom-atom yang dilepaskan ini dalam bentuk foton-foton sinar infrared yang tidak mungkin dilihat
oleh mata manusia.

Gambar 1.3 Lampu Pijar


b. Light Emitting Diode (LED)
LED adalah semikonduktor p-n junction yang bekerja pada kondisi forward bias, yang dapat
memancarkan radiasi ultraviolet, visible dan infrared radiasi infrared sebanding dengan arus forward
bias LED.

Gambar 1.4 Light Emitting Diode (LED)


c. Lampu TL
Lampu TL (Fluorescent Lamp) adalah lampu listrik yang memanfaatkan gas Neon dan lapisan
fluorescent sebagai pemendar cahaya pada saat dialiri arus listrik. Tabung lampu TL ini diisi oleh gas
yang pada saat elektrodanya mendapat tegangan tinggi gas ini akan terionisasi sehingga menyebabkan
elektron-elektron pada gas bergerak dan memendarkan fluorescent pada tabung lampu TL[2].

Gambar 1.5 Lampu TL

d. LASER
LASER (Light Amplification by Stimulated Emission of Radiation) merupakan mekanisme suatu
alat yang memancarkan radiasi elektromagnetik, biasanya dalam bentuk cahaya yang tidak dapat
dilihat maupun dapat lihat dengan mata normal, melalui proses pancaran terstimulasi. Pancaran
LASER biasanya tunggal, memancarkan foton dalam pancaran koheren. Komponen yang diperlukan
adalah resonator untuk proses penguatan foton [3].

Gambar 1.6 LASER


1.4 Eksperimen : Karakterisasi Spektrum Laser He-Ne dan Laser Argon
1.4.1 Peralatan Eksperimen
Pada eksperimen ini peralatan yang dibutuhkan antara lain :
a. Sumber Cahaya :
Laser He-Ne 1 buah
Lampu Pijar 1 buah
LED (Warna Putih) 1 buah
Lampu TL 1 buah
LED (Warna Selain Putih)
b. Monokromator 1 buah
c. Adaptor DC 1 buah
d. Optical power meter Thorlabs PM100D 1 buah
e. Laptop yang sudah terinstall program PMD100D Utility

Gambar 1.7 Set Up Eksperimen Modul 1


1.4.2 Prosedur Eksperimen
Prosedur pada eksperimen ini adalah sebagai berikut :
a. Peralatan disusun seperti gambar 7
b. Optical power meter dihubungkan dengan laptop melalui kabel USB
c. Optical power meter dinyalakan dan jalankan program PMD100D Utility. Tunggu optical
power meter terhubung dengan laptop.
d. Sumber cahaya Laser He-Ne digunakan set up eksperimen pada gambar 1.7
e. Sumber cahaya dinyalakan dengan jarak 3 cm dari detektor
f. Setting wavelength optical power meter diatur pada = 400 nm.

g. Nilai daya optik yang terbaca diamati dan dicatat di display optical power meter. Pengambilan
data sebanyak 10 kali dengan interval waktu 5 detik
h. Langkah ke-6 diulangi untuk range = 400 - 700 nm dengan increment 25 nm
i. Langkah ke-5 hingga ke-8 diulangi untuk sumber cahaya lain, yaitu lampu pijar, lampu TL,
LED warna putih dan LED warna selain putih.
j. Grafik daya optik dibuat sebagai fungsi panjang gelombang untuk semua sumber cahaya
k. Lebar spektral ditentukan pada tiap sumber cahaya
Referensi
[1] Lna, Pierre; Franois Lebrun, Franois Mignard (1998). Observational Astrophysics. SpringerVerlag. ISBN 3-540-63482-7
[2] http://elektronika-dasar.web.id/teori-elektronika/karakteristik-dan-prinsip-kerja-lampu-tlfluorescent-lamp/
[3] Conceptual physics, Paul Hewitt, 2002

MODUL 2
BENDING PADA SERAT OPTIK
2.1 Pokok Bahasan
Prinsip-prinsip transmisi sinyal laser pada serat optik.
Pengaruh lekukan (bending) pada daya sinyal keluaran serat optik.
2.2 Tujuan
Setelah melakukan praktikum ini, mahasiswa diharapkan :
Mengetahui prinsip transmisi sinyal pada serat optik.
Mengetahui pengaruh perubahan lekukan (bending) terhadap nilai daya sinyal yang
ditransmisikan pada serat optik.
2.3 Dasar Teori
2.3.1 Serat Optik
Serat optik adalah suatu pemandu gelombang dieletrik yang berbentuk silinder terbuat dari
material low-loss seperti kaca silika[6]. Bagian utama dari serat optik terdiri dari core dan cladding.
Kedua bagian utama tersebut memiliki indeks bias yang berbeda.

Gambar 2.1 Struktur Serat optik[4]


Indeks bias core lebih besar daripada indeks bias cladding. Hal ini ditujukan agar terjadi Total
Internal Reflection (TIR) yang mana merupakan suatu peristiwa dimana cahaya yang masuk kedalam
serat optik diteruskan hingga keluar dari serat optik. Cahaya yang diteruskan memantul pada batas
antara core dan cladding tanpa ada yang dibiaskan. Hal ini terjadi karena indeks bias dari cladding
lebih kecil daripada core, yang mana sesuai dengan hukum Snellius yang menjelaskan tentang
pembiasan cahaya pada dua medium dengan indeks bias berbeda seperti ilustrasi pada gambar 2.2.

Gambar 2.2 Pembiasaan Cahaya[7]

Gambar 2.2 menunjukan bahwa cahaya yang masuk kedalam medium dengan indeks bias
yang berbeda akan mengalami pembelokan dan membentuk sudut bias. Cahaya yang datang dari
medium dengan indeks bias yang kecil, kemudian masuk ke dalam indeks bias yang lebih besar akan
dibelokkan mendekati garis normal. Sudut bias dan sudut datang dihitung berdasarkan garis normal,
dengan perumusan matematis seperti pada persamaan (2.1).
(2.1)
Serat optik umumnya digunakan dalam sistem telekomunikasi, pencahayaan, sensor, dan
optik pencitraan. Kecepatan transmisi serat optik sangat tinggi sehingga sangat bagus digunakan
sebagai saluran komunikasi. Sumber cahaya yang digunakan dalam sistem telekomunikasi adalah
laser.
2.3.1.1 Total Internal Reflection (TIR)
Total internal reflection (TIR) merupakan prinsip pemanduan cahaya pada serat optik seperti
yang ditunjukkan pada gambar 2.3[8]. Cahaya dapat ditransmisikan atau dipandu pada serat optik
disebabkan karena berkas cahaya datang dari medium yang mempunyai indeks bias lebih besar ke
medium yang mempunyai indeks bias lebih kecil. Jika sudut berkas cahaya datang lebih kecil
daripada sudut kritis, maka cahaya akan dibiaskan keluar dari serat optik.

Gambar 2.3 Skema Peristiwa Total Internal Reflection[8]


Sedangkan jika sudut berkas cahaya datang lebih besar daripada sudut kritis, maka cahaya
akan dipantulkan lagi ke dalam serat optik. Sudut kritis adalah besar sudut datang yang menghasilkan
sudut bias sebesar 90. Jika dituliskan dalam persamaan matematis, persamaan sudut kritis dapat
diturunkan dari persamaan Snellius yang mempunyai sudut bias sebesar 90 menjadi persamaan (2.2).
(2.2)
c = sudut kritis
n1 = indeks bias medium yang lebih rapat (besar)
n2 = indeks bias medium cahaya yang lebih renggang (kecil)
TIR hanya terjadi pada berkas cahaya kedua dan ketiga. Berkas cahaya pertama tidak terjadi
TIR disebabkan karena sudut datangnya lebih kecil daripada sudut kritis. Oleh karena itu berkas
cahaya yang dimasukkan ke dalam core serat optik harus mempunyai sudut maksimal yang dapat
diterima agar menghasilkan sudut kritis yang minimal. Gambar 2.4 menjelaskan berkas cahaya yang
dimasukkan ke dalam core serat optik yang menghasilkan sudut kritis agar terjadi pemanduan cahaya
pada serat optik. Nilai o maksimal yang dapat diterima dapat dicari menggunakan persamaan (2.3).
(2.3)
dimana n adalah indeks bias medium di luar serat optik, n1 adalah indeks bias core, n2 adalah indeks
bias cladding, o max adalah sudut penerimaan berkas cahaya maksimal agar terjadi total internal
reflection dan c adalah sudut kritis.

Gambar 2.4 Skema Pemanduan Cahaya Pada Serat Optik[8]


Nilai sin o maksimal dapat direpresentasikan dengan NA (Numerical Aperture), yaitu
angka yang merepresentasikan sudut penerimaan maksimal serat optik agar terjadi pemanduan cahaya
yang sempurna. Nilai NA selalu < 1. Persamaan matematis untuk mendapatkan NA dapat diturunkan
dari persamaan (2.3) menjadi persamaan (2.4).
(2.4)
dimana adalah perbedaan indeks core-cladding yang dapat dicari menggunakan persamaan (2.5).
(2.5)
dimana n1 adalah indeks bias core dan n2 adalah indeks bias cladding.
2.3.1.2 Struktur Dasar Sebuah Serat Optik
Struktur dasar dari sebuah serat optik yang terdiri dari 3 bagian :
a. Core (inti) : sebuah batang silinder terbuat dari bahan dielektrik (bahan silika (SiO2), biasanya
diberi doping dengan germanium oksida (GeO2) atau fosfor penta oksida (P2O5) untuk menaikan
indeks biasnya) yang tidak menghantarkan listrik, inti ini memiliki jari-jari, besarnya sekitar 8
200 m dan indeks bias n1, besarnya sekitar 1,5.
b. Cladding (selimut) : merupakan bagian yang membungkus core sehingga pulsa-pulsa cahaya
yang akan keluar dari core terpantul ke dalam core kembali sehingga pulsa cahaya tidak hilang di
perjalanan. Cladding mempunyai diameter yang bervariasi antara 125 m (untuk siglemode dan
multimode step index) dan 250 m (untuk multimode graded index)
c. Coating (jaket) : terbuat dari bahan plastik yang elastis, berfungsi sebagai pelindung core dan
cladding dari gangguan luar.
2.3.1.3 Jenis-Jenis Serat Optik
a. Singlemode Step Index

Gambar 2.5 Serat Optik Singlemode Step Index[2]


Serat optik singlemode memiliki diameter core antara 2 10 mm dan sangat kecil dibandingkan
dengan ukuran cladding-nya. Cahaya hanya merambat dalam satu mode saja yaitu sejajar dengan
sumbu serat optik. Memiliki redaman yang sangat kecil, memiliki lebar pita frekuensi yang sangat

lebar, Digunakan untuk jarak jauh dan mampu menyalurkan data dengan kecepatan bit rate yang
tinggi.
b. Multimode Step Index

Gambar 2.6 Serat Optik Multimode Step Index[2]


Serat optik ini pada dasarnya mempunyai diameter core yang besar (50 200 um) dibandingkan
dengan diameter cladding (125 400 um). Sama halnya dengan serat optik singlemode, pada serat
optik ini terjadi perubahan index bias dengan segera (step index) pada batas antara core dan cladding.
Diameter core yang besar (50 200 um) digunakan untuk menaikkan efisiensi coupling pada sumber
cahaya yang tidak koheren seperti LED. Karakteristik penampilan serat optik ini sangat bergantung
pada macam material/bahan yang digunakan. Berdasarkan hasil penelitian, penambahan prosentase
bahan silica pada serat optik ini akan meningkatkan penampilan (performance). Tetapi jenis serat
optik ini tidak populer karena meskipun kadar silicanya ditingkatkan, kerugian dispersi sewaktu
transmit tetap besar, sehingga hanya baik digunakan untuk menyalurkan data atau informasi dengan
kecepatan rendah dan jarak relatif dekat. Perambatan gelombang cahaya pada multimode step index
serat sebagai berikut :

[2]

Gambar 2.7 Perambatan Cahaya Pada Multimode Step Index


Dalam multimode step index mempunyai kelebihan diantaranya mudah terminasi, kopling efisien
serta tidak mahal sedangkan kerugiannya adalah dispersi lebar dan mempunyai bandwidth minimum.
c. Multimode Graded Index

Gambar 2.8 Serat optik Grade Index Singlemode[2]


Pada Graded-index multimode terdapat lapisan pada inti kacanya sehingga index sinar yang
merambat tidak menabrak lapisan cladding. Sinar yang masuk dalam inti tidak dipantulkan sepanjang
melewati inti tersebut. Cahaya merambat lurus membentuk envelope dengan kombinasi interval
biasa. Kecepatan perambatannya ditentukan oleh kerapatan index n1. Jenis serat optik ini sangat ideal
untuk menyalurkan informasi pada jarak menengah dengan menggunakan sumber cahaya LED
maupun LASER, di samping juga penyambungannya yang relatif mudah.
2.4 Lekukan (Bending) Pada Serat Optik
Bending merupakan salah satu faktor (selain absorbtion, scattering) yang menyebabkan
terjadinya redaman (atenuasi) dalam proses transmisi sinyal pada serat optik. Redaman serat optik
merupakan karakteristik penting yang harus diperhatikan mengingat kaitannya dalam menentukan

jarak pengulang (repeater), jenis pemancar dan penerima optik yang harus digunakan[1]. Redaman
sinyal cahaya yang merambat di sepanjang serat merupakan pertimbangan penting dalam desain
sebuah sistem komunikasi optik, karena menentukan peran utama dalam menentukan jarak transmisi
maksimum antara pemancar dan penerima.
Ada dua jenis bending (pembengkokan) yaitu macrobending dan microbending. Macrobending
adalah pembengkokan serat optik dengan radius yang panjang bila dibandingkan dengan radius serat
optik. Redaman ini dapat diketahui dengan menganalisis distribusi modal pada serat optik.
Microbending adalah pembengkokan-pembengkokan kecil pada serat optik akibat ketidakseragaman
dalam pembentukan serat atau akibat adanya tekanan yang tidak seragam pada saat pengkabelan.
Salah satu cara untuk menguranginya adalah dengan menggunakan jacket yang tahan terhadap
tekanan[6].
Redaman ( ) sinyal atau rugi-rugi serat optik didefenisikan sebagai perbandingan antara daya
output optik (Pout) terhadap daya input optik (Pin) sepanjang serat L, dimana dapat ditunjukkan pada
Persamaan 2.6.
(2.6)
Dimana:
L = Panjang serat optik (km)
Pin = Daya input optik (Watt)
Pout= Daya output optik (Watt)
= Redaman
Menurut rekomendasi ITU-T, kabel serat optik harus mempunyai koefisien redaman 0.5 dB/km
untuk panjang gelombang 1310 nm dan 0.4 dB/km untuk panjang gelombang 1550 nm. Tapi besarnya
koefisien ini bukan merupakan nilai yang mutlak, karena harus mempertimbangkan proses fabrikasi,
desain komposisi serat, dan desain kabel. Untuk itu terdapat range redaman yang masih diijinkan
yaitu 0.3 - 0.4 dB/km untuk panjang gelombang 1310 nm dan 0.17 - 0.25 dB/km untuk panjang
gelombang 1550 nm.
2.5 Eksperimen : Bending Pada Serat Optik
2.5.1 Peralatan Eksperimen
Adapun peralatan yang digunakan dalam eksperimen ini adalah sebagai berikut:
a. Laser
b. Serat optik multimode
c. Serat optik singlemode
d. Penggaris
e. Optical Power Meter (OPM) Thorlabs
2.5.2 Prosedur Eksperimen
Adapun langkah-langkah dalam melakukan eksperimen adalah sebagai berikut:

Gambar 2.9 Set Up Eksperimen 1 Modul 2[5]


a. Peralatan dirancang seperti pada gambar 2.9

b. Pengukuran dilakukan pada daya cahaya LASER yang keluar dari serat optik sebelum diberi
gangguan (bending) menggunakan OPM.
c. Serat optik diberi gangguan berupa lekukan (bending) dengan kelengkungan diameter 2cm dan
diukur daya cahayanya menggunakan OPM.
d. Dilakukan variasi kelengkungan diameter serat optik antara 2 cm hingga 4 mm secara bertahap
dan diukur daya cahayanya menggunakan OPM (variasi rentang diameter serat optik sesuai
arahan asisten).
e. Dilakukan perbandingan data antara hasil keluaran cahaya laser terhadap jari-jari bending yang
diberikan menggunakan grafik.

Gambar 2.10 Set Up Eksperimen 2 Modul 2[5]


f.

Serat optik dililitkan pada silinder seperti pada gambar 2.10 dan diukur daya cahayanya
menggunakan OPM (variasi jumlah lilitan sesuai arahan asisten).
g. Dilakukan perbandingan data antara hasil keluaran cahaya LASER terhadap jumlah lilitan serat
optik menggunakan grafik.
2.5.3 Tabel Eksperimen
Dalam Eksperimen serat optik ini data yang akan diambil adalah sebagai berikut:
Tabel Eksperimen 1
Tabel 2 . 1. Hasil Eksperimen 1
Percobaan keJari-Jari (cm)
Pin
Pout
1
2
:
:
:
Dst
Tabel Eksperimen 2
Tabel 2.2 Hasil Eksperimen 2
Percobaan keJumlah Lilitan
Pout
1
2
:
:
:
Dst

Pout

Referensi:
[1] Chapter II, Serat optik. Universitas Sumatera Utara.
(repository.usu.ac.id/bitstream/.../4/Chapter%20II.pdf, diakses 24 Oktober 2014)
[2] Roychoudhuri, Chandrasekhar.Fundamental of Photonics. USA : SPIE Press. 2008.
[3] Ahmad,Imam. Sistem Transmisi Serat Optik (http://digilib.ittelkom
.ac.id/index.php?view=article&catid=11%3Asistem-komunikasi &id=681%3Asistem-transmisiserat-optik&option=com_content& Itemid=14, diakses 10 Oktober 2013)
[4] Smith,Graham.Optiks and Photonics:An Introduction. USA:John Wiley
& Sons, Ltd. 2007
[5] Wiley, John. 1990, Principles Of Optical Engineering. Departement of Electrical
Enginering The Pennslyvania University, New York.
[6] Saleh, Bahaa E., Teich, Malvin Carl, Fundamental Of Photonics. New York : John Wiley &
Sons, Inc. 1991
[7] Hukum Snellius. (http://id.wikipedia.org/wiki/Hukum_Snellius, diakses 30 Oktober 2013)
[8] Keiser, Gerd. 2000. Optical Fiber Communications Third Edition. New York : McGraw-Hill.

MODUL 3
DESAIN OPTIK
3.1 Pokok Bahasan
Dasar desain divais optika geometri
Aplikasi pengolahan menggunakan OSLO
3.2 Tujuan
Adapun tujuan pada eksperimen kali ini adalah agar mahasiswa mendesain divais berbasis
optika geometri serta melakukan optimasi untuk menurunkan aberasi pada divais.
3.3 Dasar Teori
3.3.1 Desain Optik
Desain optik adalah suatu proses yang digunakan untuk membuat rancangan divais optik,.
Divais optik yang didesain dapat berupa desain kamera, teropong, mikroskop dan lain-lain dengan
merekayasa peletakkan lensa-lensa dan komponen optik lainnya. Dengan membuat desain divais optik
maka dapat ditentukan titik fokus terbaik dalam sebuah sistem optik, dapat mengetahui aberasi aberasi berbagai titik di bidang gambar, dapat ditentukan ukuran apperture. Sehingga, kecacatankecatatan yang mungkin timbul pada suatu divais optik dapat diminimalisir dan kerja dari divais optik
juga dapat lebih optimal. Yang perlu diperhatikan dalam membuat desain divais optik adalah bahan
divais optik, bentuk surface dari komponen-komponen optik yang dipakai, panjang gelombang yang
dipakai, serta bentuk berkas yang masuk dan yang dihasilkan.
3.3.2 Prinsip Pembelokan Sinar pada Lensa
Pembelokan cahaya atau yang lebih dikenal dengan pembiasan cahaya ketika cahaya merambat
dari suatu medium ke medium lain yang memiliki indeks bias yang berbeda. Pembiasan cahaya terjadi
karena adanya perubahan kelajuan gelombang cahaya ketika gelombang cahaya tersebut merambat
diantara dua medium berbeda.

Gambar 3.1 Pembiasan Cahaya


=

(3.1)
(3.2)

3.3.3 Pembentukan Bayangan pada Lensa


Untuk menganalisis pembentukan bayangan oleh lensa, dapat menggunakan konsep sinar sinar
istimewa. Dikatakan istimewa karena membentuk suatu bentuk geometri yang sederhana dan mudah
dianalisis.

Sinar-sinar istimewa untuk lensa cembung:

Gambar 3.2 Sinar Istimewa Lensa Cembung


Sinar istimewa 1: sinar yang sejajar sumbu utama lensa akan dibiaskan menuju titik fokus (f2) lensa.
Sinar istimewa 2: sinar yang menuju pusat lensa akan diteruskan
Sinar Istimewa 3: (kebalikan dari sinar istimewa 1) sinar yang melewati titik fokus lensa (f1) akan
dibiaskan sejajar sumbu utama
Sinar-sinar istimewa untuk lensa cekung:

Gambar 3.3 Sinar Istimewa Lensa Cekung


Sinar istimewa 1: sinar yang sejajar sumbu utama lensa akan dibiaskan seakan-akan dari titik fokus
(f1) lensa.
Sinar istimewa 2: sinar yang menuju pusat lensa akan diteruskan
Sinar Istimewa 3: (kebalikan dari sinar istimewa 1) sinar yang menuju titik fokus lensa (f2) akan
dibiaskan sejajar sumbu utama
3.3.4 Cacat Pembentukan Bayangan pada Lensa
Jika semua sinar dari sebuah objek titik tidak difokuskan pada sebuah titik bayangan
tunggal, bayangan buram yang dihasilkan disebut aberasi (Tippler, 2001).

Gambar 3.4 Aberasi Sferis

Gambar 3.4 menunjukkan sinar-sinar dari sebuah sumber titik pada sumbu utama yang melintasi
sebuah lensa tipis dengan permukaan melengkung. Sinar-sinar yang mengenai lensa jauh dari
sumbu utama dibelokkan lebih dari sinar-sinar yang dekat dengan sumbu utama, dengan
hasilnya bahwa tidak semua sinar difokuskan pada sebuah titik tunggal. Sebaliknya bayangan
tersebut kelihatan sebagai sebuah cakram melingkar. Lingkaran dengan kekacauan paling sedikit
berada pada titik C yang disebut sebagai circle of least confusion, dengan garis tengahnya
minimum. Jenis aberasi ini disebut aberasi sferis (Jenkins, 1976).
Aberasi yang mirip seperti ini namun lebih rumit disebut coma (koma) (comet-shaped image)
dan astigmatisma yang terjadi pada saat obyek-obyek berada diluar sumbu utama. Aberasi dalam
bentuk bayangan obyek yang memanjang yang disebabkan kenyataan bahwa perbesaran
tergantung pada jarak titik obyek dari sumbu utama disebut distorsi. Aberasi-aberasi diatas terjadi
untuk cahaya monokromatik sehingga disebut aberasi monokromatik.

Gambar 3.5 Jenis-Jenis Aberasi (a) Aberasi Sferis (b)


Aberasi Koma(c) Aberasi Astigmatis
3.3.5 Pengenalan OSLO

Gambar 3.6 Tampilan OSLO


OSLO (Optics Software for Layout Optimization) adalah software yang digunakan untuk
mendesain suatu divais optik. Umumnya layar permukaan OSLO terdiri dari dua surfaces yaitu
object surface di bagian kiri dan image surface di bagian kanan. Ada 4 parameter utama dalam
setiap surfaces yaitu jari-jari kelengkungan (ketebalan material), indeks refraksi (tipe kaca), dan jarijari apperture. Untuk lebih mudah dapat memanfaatkan graphic windows pada setiap plot parameter
sistem yang berbeda. Berikut masing-masing penjelasan dari toolbar OSLO:

a. Command : kolom yang berfungsi untuk memaksukkan nilai


b. Spreadsheet : lembar yang digunakan menampilkan data desain divais optik
c. Main Window : toolbar menu utama
d. Graphic Windows : jendela yang menampilkan visualisasi dari desain divais optik yang telah
dibuat
e. Status Bar : kolom yang menampilkan informasi operasi yang sedang dilakukan dan informasi
obyek yang sedang diaktifkan
f. Text Window : rekaman data berupa teks yang menampilkan desain divais optik
g. Slider-wheel Window : untuk menemukan bentuk optimal dari suatu desain divais optik
3.4 Eksperimen : Desain Divais Optik
3.4.1 Peralatan Eksperimen
Peralatan yang dibutuhkan untuk melakukan eksperimen desain divais optik, antara lain:
a. Laptop
b. Software OSLO
3.4.2 Langkah-Langkah Eksperimen
Pada praktikum desain optik adalah untuk mendesain beam expander (tipe galilean, dengan dua
lensa cembung) yaitu:
Desain Divais Optik Menggunakan Software
a. Ditentukan perbesaran beam, dalam percobaan kali ini digunakan perbesaran 3x, dengan lensa
pertama memiliki panjang fokus 100 mm, sehingga lensa kedua panjang fokusnya 330 mm.
Bahan kaca yang digunakan adalah BK7.
b. Pilih File kemudian New Lens dari menu OSLO

Gambar 3.7 Penamaan Desain


c. Diisikan nama Landscape pada kotak New File name. Pilih Custom lens pada File type
dan isikan 4 pada Number of Surfaces untuk jumlah permukaan lensa. Klik OK.
d. Selanjutnya akan muncul sheet baru

Gambar 3.8 Tampilan Pengaturan Entrance Beam Radius dan Field Angle
Diisikan data sebagai berikut:
Lens : Landscape
Ent beam radius : 5
Field angle : 0

e. Selanjutnya menentukan bahan lensa pertama dengan memasukkan data BK7 di kolom
GLASSS pada surface 1 (baris kedua, setelah OBJ).

Gambar 3.9 Penentuan Bahan Lensa Pertama


f.

Didesain lensa pertama dengan OSLO, yaitu lensa dengan panjang fokus 100 mm, dengan
mengisikan data sebagai berikut:
Radius (surface 1) : 105 mm
Radius (surface 2) : -100 mm
Thickness (surface 1) : 10 mm
Aperture Radius (surface 1) : 25 mm
Aperture Radius (surface 2) : 25 mm

Gambar 13.10 Pengaturan Bentuk Lensa Pertama


g. Selanjutnya menentukan bahan lensa kedua dengan memasukkan data BK7 di kolom
GLASSS pada surface 3.

Gambar 3.11 Penentuan Bahan Lensa Kedua


h. Didesain lensa kedua dengan OSLO, yaitu lensa dengan panjang fokus 330 mm, dengan
mengisikan data sebagai berikut:
Radius (surface 3) : 340 mm

Radius (surface 4) : -340 mm


Thickness (surface 3) : 5 mm
Aperture Radius (surface 3) : 25 mm
Aperture Radius (surface 4) : 25 mm

Gambar 3.12 Pengaturan Bentuk Lensa Kedua


i.

Untuk melihat hasil lensa yang didesain, pilih Draw on, sehingga muncul tampilan sebagai
berikut:

Gambar 3.13 Tampilan Draw on


j.

Untuk melihat hasil sinar yang melalui divais optik yang didesain, maka ditambahkan surface
setelah surface 4 dan menambahkan nilai thickness pada surface 4.

Gambar 14. Tampilan Insert After

k. Jarak antar dua lensa pada beam expander dirubah sehingga sinar hasil beam expander sejajar

Gambar 15. Tampilan Pengubahan Jarak Lensa


Aplikasi Desain Divais Optik
a. Lensa dipasang pada statif
b. Lensa disusun sesuai dengan desain pada software
c. Ukuran beam yang keluar dari beam expander diamati

MODUL 4
PENGOLAHAN CITRA PADA FOTOGRAFI
4.1 Pokok Bahasan
Dasar-dasar teknik fotografi digital
Aplikasi pengolahan citra sederhana
4.2 Tujuan
Setelah melakukan praktikum ini, mahasiswa diharapkan :
Memahami cara kerja dan prinsip dasar dari parameter-parameter kamera digital (image
resolution, ISO, aperture, shutter speed, focal length).
Melakukan dan menjelaskan dasar-dasar pengolahan citra digital seperti konversi citra RGB
ke citra grayscale serta menampilkan histogram citra grayscale untuk dianalisa.
4.3 Dasar Teori
4.3.1 Fotografi
Fotografi adalah suatu proses pengambilan gambar atau citra melalui bantuan cahaya yang
dipantulkan objek ke lensa kamera kemudian difokuskan kedalam film/sensor kamera. Fotografi
dibedakan menjadi dua macam, yaitu fotografi Analog dan fotografi digital.
a. Fotografi Analog
Dalam proses pengambilan gambar menggunakan film sebagai media penyimpan. Adapun
serangkaian proses yang diperlukan dalam mencetak hasil foto meliputi pemotretan, mencuci film,
mencetak foto, dan membesarkan ctakan.

Gambar 4.1 Kamera Analog[1]


b. Fotografi Digital
Fotografi digital adalah salah satu cabang fotografi yang menggunakan sensor cahaya untuk
menangkap citra yang difokuskan oleh lensa serta menggunakan file digital untuk penyimpan
gambar . Citra yang ditangkap kemudian disimpan dalam bentuk file digital kemudian diproses
melalui pengolahan citra (color correction, sizing, cropping, dan lain-lain), preview, atau
dicetak.[1]
Keunggulan menggunakan fotografi digital, adalah citra gambar yang diperoleh dapat ditampilkan,
dicetak, disimpan, dan dimanipulasi menggunakan komputer sesuai dengan keinginan tanpa melalui
proses kimia. Pada dasarnya, kamera digital adalah divais fotografi biasanya menggunakan kamera
DSLR yang terdiri dari: lightproof box dengan lensa di ujungnya, dan sensor citra digital.[1]

Gambar 4.2 Proses Pengambilan Citra pada Kamera DSLR[1]


4.3.2 Kamera Digital

Gambar 4.3 Prinsip Kerja kamera DSLR[2]


Kamera digital menggunakan sensor CCD atau CMOS untuk menangkap gambar dan sebuah
lensa tunggal untuk melihat hasil gambar serta merekam gambar. Untuk melihat hasil kira-kira
gambar yang akan difoto, kita dapat melihat di jendela bitik atau View Finder. Setelah melihat
kasil kira-kira yang diinginkan. Tekan tombol shutter, maka mirror akan terangkat dan jendela
rana terbuka. Sehingga cahaya dari lensa akan diteruskan menuju sensor. Maka hasil proyeksi
gambar ini yang nantinya diolah oleh kamera dan menjadi sebuah foto.
Adapun komponen penting didalam sebuah kamera digital meliputi:
a. Focal length
Secara teknis focal length didefinisikan sebagai jarak antara lensa dan bidang focal (sensor
kamera) dimana foto akan terbentuk. Jarak focal lenght dinyatakan dalam satuan milimeter. Dari
sudut pandang praktis, focal length merupakan nilai dari perbesaran lensa. Semakin panjang
focal lenght, maka semakin besar perbesaran objeknya. Selain perbesaran, focal length
menentukan perspektif dari objek[2]

Gambar 4.4 Prinsip Kerja Focal Length[2]

b. Shutter speed
Shutter speed merupakan waktu yang dibutuhkan oleh shutter kamera untuk membuka dan
menutup kembali dalam mengambil gambar objek. Expossure citra ditentukan dari kombinasi
shutter speed dan bukaan apperture. Pada user interface kamera, shutter speed ditampilkan dalam
fraksi satu detik. yaitu: 1 ; 2 ; 4 ; 8 ; 15 ; 30 ; 60 ; 125 ; 250 ; 500 ; 1000 ; 2000 ; dan B. .Angka
1 berarti shutter membuka dengan kecepatan 1/1 detik. Angka 2000 berarti shutter membuka
dengan kecepatan 1/2000 detik, dan seterusnya. B (Bulb) berarti kecepatan tanpa batas waktu
(shutter membuka selama shutter release ditekan). Fotografer menggunakan shutter speed untuk
menangkap objek bergerak. Misalnya objek mobil yang difoto akan menghasilkan citra blur
ketika menggunakan shutter speed rendah misalnya 1/8. Di sisi lain, shutter speed yang besar
(misalnya 1/1000) mampu menangkap citra baling-baling helikopter yang berputar dengan jelas[3].
c. Apperture
Apperture adalah bukaan lensa yang diatur dengan melakukan setingan iris atau diafragma
yang memungkinkan pengaturan jumlah cahaya masuk ke dalam sensor. Semakin besar apperture,
maka semakin banyak cahaya yang masuk ke dalam lensa. Ukuran apperture dinyatakan dalam satuan
f-stops. Angka-angka ini tertera pada lensa : 1,4 ; 2 ; 2,8 ; 4 ; 5,6 ; 8 ; 11 ; 16 ; 22 ; dan
seterusnya. Angka-angka tersebut menunjukkan besar kecilnya bukaan diafragma pada lensa.
Aperture 12 digunakan untuk menentukan intensitas cahaya yang masuk. Semakin besar f-stops,
semakin kecil bukaan aperture, sehingga cahaya yang masuk semakin sedikit. Sebaliknya,
semakin kecil f/angka semakin lebar bukaan diafragmanya sehingga cahaya yang masuk semakin
banyak[4].
d. ISO
ISO (International Standarts Organization) pada kamera merupakan benchmark rating yang
menunjukkan nilai kuantitatif sensitivitas dari film kamera. Semakin tinggi rating ISO, semakin
sensitif film terhadap cahaya, sehingga semakin sedikit cahaya yang diperlukan untuk
mengambil objek. Hampir semua kamera DSLR memiliki setting ISO dari 100 sampai 3200.
Pada setting ISO 400 keatas, beberapa kamera mengalami kesulitan untuk mempertahankan
konsistensi expossure tiap satuan piksel pada citra. Untuk meningkatkan sensitivitas sensor pada
kondisi tersebut, kamera meningkatkan tegangan input dari tiap elemen sensor sebelum
dikonversi menjadi sinyal digital. Pada saat sinyal elektrik dari tiap elemen diamplifikasi, terjadi
anomali pada piksel dengan warna gelap. Hasil dari piksel sporadis dengan nilai kecerahan yang
tidak sesuai disebut sebagai digital noise [5].
4.33. Pengolahan Citra Sederhana
Secara umum, istilah pengolahan citra digital menyatakan pemrosesan gambar berdimensi-dua
melalui komputer digital (Jain, 1989). Menurut Efford (2000), pengolahan citra adalah istilah umum
untuk berbagai teknik yang keberadaannya untuk memanipulasi dan memodifikasi citra dengan
berbagai cara. Foto adalah contoh gambar berdimensi dua yang bisa diolah dengan mudah. Setiap foto
dalam bentuk citra digital (misalnya berasal dari kamera digital) dapat diolah melalui perangkat-lunak
tertentu. Sebagai contoh, apabila hasil bidikan kamera terlihat agak gelap, citra dapat diolah agar
menjadi lebih terang. Dimungkinkan pula untuk memisahkan foto orang dari latar belakangnya.
Gambaran tersebut menunjukkan hal sederhana yang dapat dilakukan melalui pengolahan citra digital.
Tentu saja, banyak hal lain yang lebih pelik yang dapat dilakukan melalui pengolahan citra digital.

a. Representasi Citra Warna


Citra digital dibentuk oleh kumpulan titik yang dinamakan piksel (pixel atau picture element).
Setiap piksel digambarkan sebagai satu kotak kecil. Setiap piksel mempunyai koordinat posisi. Sistem
koordinat yang dipakai untuk menyatakan citra digital ditunjukkan pada Gambar 4.4.
0

N-1
x

Posisi sebuah piksel

y
M-1

Gambar 4.5 Sistem koordinat citra berukuran M x N


(M baris dan N kolom)
Dengan sistem koordinat yang mengikuti asas pemindaian pada layar TV standar itu, sebuah piksel
mempunyai koordinat berupa (x, y). Dalam hal ini,
x menyatakan posisi kolom;
y menyatakan posisi baris;
piksel pojok kiri-atas mempunyai koordinat (0, 0) dan piksel pada pojok kanan-bawah
mempunyai koordinat (N-1, M-1).
Sebagai contoh, citra yang berukuran 12x12 yang terdapat pada Gambar 4.5(a) memiliki susunan
data seperti terlihat pada Gambar 4.5(b). Adapun Gambar 2.3 menunjukkan contoh penotasian f(y,x).
Berdasarkan gambar tersebut maka:
f(2,1) bernilai 6
f(4,7) bernilai 237
Pada citra berskala keabuan, nilai seperti 6 atau 237 dinamakan sebagai intensitas. [7]

6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6

(a) Citra berukuran 12 x 12

6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6

6
89
89
89
89
89
6
6
89
89
89
89

6
237
237
237
237
237
6
6
237
237
237
237

6
6 6 89 237 237 237
237 237
6
6 89 237 237
237 237 237
6
6 89 237
237 237 237
6
6 89 237
237 237 237
6
6 89 237
237 237
6
6 89 237 237
6
6
6 89 237 237 237
6
6 89 237 237 237 237
237
6
6 89 237 237 237
237 237
6
6 89 237 237
237 237 237
6
6 89 237
237 237 237 237
6
6 89

(b) Data penyusun citra 12 x 12

Gambar 4.6 Citra dan Nilai Penyusun Piksel

237
237
237
237
237
237
237
237
237
237
237
237

f(2,1) = 6
1

1
2
3
4

89 237 237 237 237

10

11

12

89 237 237 237

89 237 237 237 237

89 237 237

89 237 237 237 237

89 237 237

5
6
7
8
9
10
11

89 237 237 237 237

89 237 237

89 237 237 237

89 237 237 237

89 237 237 237 237

89 237 237 237 237 237

89 237 237

89 237 237 237

89 237 237 237 237

12

89 237 237 237 237 237

89 237 237 237

89 237 237 237 237


89 237 237 237
89 237 237
6 89

237

f(4,7) = 237

Gambar 4.7 Notasi Piksel Dalam Citra[4]


b. Mengubah Citra Warna Menjadi Citra Gray-Scale
Proses awal yang banyak dilakukan dalam image processing adalah mengubah citra berwarna
menjadi citra gray-scale, hal ini digunakan untuk menyederhanakan model citra. Seperti telah
dijelaskan di depan, citra berwarna terdiri dari 3 layer matrik yaitu R-layer, G-layer dan
Blayer. Sehingga untuk melakukan proses-proses selanjutnya tetap diperhatikan tiga layer di
atas. Bila setiap proses perhitungan dilakukan menggunakan tiga layer, berarti dilakukan tiga
perhitungan yang sama. Sehingga konsep itu diubah dengan mengubah 3 layer di atas menjadi
1 layer matrik gray-scale dan hasilnya adalah citra gray-scale. Dalam citra ini tidak ada lagi
warna, yang ada adalah derajat keabuan[8]. Untuk mengubah citra berwarna yang mempunyai nilai
matrik masing-masing R, G dan B menjadi citra grayscale dengan nilai S, maka konversi dapat
dilakukan dengan mengambil rata-rata dari nilai R, G dan B sehingga dapat dituliskan menjadi:
(4.1)
c. Histogram
Histogram citra merupakan tool yang digunakan untuk mengetahui sebaran tingkat keabuan
suatu citra. Informasi sebaran tingkat keabuan tersebut sangat bermanfaat untuk memisahkan
objek dengan latar belakang dari suatu citra[9]. Misalnya suatu citra dengan ukuran matrik 8 x 8,
dengan tingkat keabuan antara 0 sampai dengan 7.

Gambar 4.8 Frekuensi Tingkat Keabuan[5]

4.4 Eksperimen : Pengolaha Citra Pada Fotografi


4.4.1 Peralatan Eksperimen
a. Kamera Digital SLR
b. Tripot
c. PC/notebook terinstall MATLAB
d. Objek fotografi
4.4.2 Prosedur Eksperimen
a. Kamera digital disiapkan beserta objek fotografi yang steady (minimal 2 objek yang berbeda).
b. Setiap pengambilan gambar dilakukan variasi pengaturan ISO, shutter speed dan aperture
,sedangkan resolusi dan focal length dikondisikan sama. (minimal 5 kali pengambilan
gambar, setiap pengambilan gambar dicatat ISO, shutter speed dan aperture-nya yang
digunakan).
c. Berdasarkan hasil gambar yang diperoleh, dipilih sebuah hasil gambar terbaik dimana nilai
ISO dan aperture-nya digunakan sebagai acuan untuk pengambilan gambar selanjutnya.
d. Langkah selanjutnya dilakukan pengolahan citra dari hasil citra gambar fotografi yang
didapatkan diubah kedalam warna grayscale menggunakan software MATLAB.
e. Setalah warna gambar diubah kedalam grayscale, citra gambar dianalisa kedalam histogram
grayscale .
e. Hasil histogram grayscale pada masing-masing citra dianalisa dengan diberi perlakuan variasi
pengaturan parameter pada DSLR.
REFERENSI
[1] Apple. Aperture Digital Photography Fundamentals. Apple Computer Inc. 2005 : 7-12
[2] Imaging Source. Calculating the Focal Length-The Parameter You Need. The Imaging
Source Technology based on Standarts. Germany. 2006 : 5
[3] Moloney Kevin. Shutter Speed. University of Colorado. 2008 [pdf] (URL:
http://www.colorado.edu/Journalism/photojournalism/tech.pdf accessed on October 27 2011)
[4] W Piston David. Choosing Objective Lenses:The Importance of Numerical Aperture and
Magnification in Digital Optical Microscopy. Department of Physiology and Biophysics.
Vandrbilt University. 1998:2-3
[5] SLR Digital Photography. What is ISO setting on your digital SLR (DSLR) camera and how do
you use it?. 2011 (html)
(http://www.slrphotographyguide.com/camera/settings/iso.shtml accessed on October 27 2011)
[6] Purnomo Mauridhi Hery dan Arif Muntasa. 2010. Konsep Pengolahan Citra Digital dan
Ekstraksi Fitur. Graha Ilmu. Halaman 29-31 (citra warna) dan 148 161 (deteksi tepi)
[7] Kadir, Abdul. Susanto, Adhi. 2012. Pengolahan Citra Teori dan Aplikasi. Penerbit Andi. Halaman
12-14
[8] Ramadijanti Nana, Achmad Basuki dan Riyanto Sigit. 2008. Modul Ajar D4 Teknologi
Informasi Praktikum Pengolahan Citra. PENS-ITS. Halaman 35-36.
[9] Dwayne Phillips, (2000), Image Processing In, C R & D Publications, Second Edition.17

Anda mungkin juga menyukai