Anda di halaman 1dari 7

Deregulasi Ketenagalistrikan

Sebelum suatu pasar ketenagalistrikan dideregulasi, kepemilikan dan pengusahaan sistem tenaga listrik
(STL) dilakukan oleh badan usaha yang terintegrasi secara vertikal dari pembangkitan, transmisi sampai
distribusi dikuasai di satu tangan. Dalam hal ini, PLN adalah badan usaha ini, yang memegang kuasa
usaha ketenagalistrikan di Indonesia. Di dalam BUMN ini terdapat bagian yang berfungsi sebagai pusat
kendali sistem ketenagalistrikan yang mengatur sistem manajemen energi (SME), dalam hal ini adalah
P3B untuk sistem Jawa Madura Bali. SME ini berbasis SCADA (Supervisory Control and Data
Acquisition) yang mempunyai fasilitas perencanaan dan analisis fungsi-fungsi operasi ini bertujuan
mengoptimumkan sistem pembangkitan dan penyaluran energi listrik.

Fungsi-fungsi SME:

Prediksi beban dalam jangka pendek


Menetapkan komitmen unit
Dispatch (perintah) pengoperasian pembangkit listrik
Mengendalikan daya reaktif
Memperkirakan kondisi sistem
Mengendalikan pembangkit listrik secara otomatis
Pencegahan dan pengendalian keamanan kondisi darurat

Pusat kendali ini juga mengatur aliran daya antar daerah untuk meningkatkan keamanan sistem dan
cadangannya. Selain pusat kendali, biasanya juga ada badan yang menetapkan kriteria keandalan dan
perencanaan STL. Namun karena belum dideregulasi, lagi-lagi kriteria ini ditetapkan oleh PLN sendiri.

Ciri-ciri khas STL yang masih dikuasai oleh badan usaha yang terintegrasi secara vertikal:

Monopoli (secara alami terjadi karena sifat investasinya yang sangat besar), tapi diatur oleh UU
Mengandalkan prinsip biaya termurah (least cost) untuk perencanaan dan operasi
Biaya ini meliputi pembangkitan, transmisi dan distribusi sampai dengan titik sambung di
konsumen
Tarif listrik yang ditetapkan atau diatur ini terdiri dari biaya produksi ditambah laba yang
ditetapkan pemerintah, namun sering kali terjadi distorsi harga akibat intervensi politik.
Aturan rate of return tarif listrik ini bertujuan untuk memastikan produsen dapat menutup semua
biaya produksinya

Contoh tarif yang terdistorsi ini yang paling nyata terjadi di Indonesia, pada jaman Orba, tarif listrik
disubsidi sangat besar sehingga rakyat merasa menikmati listrik murah. Lebih parahnya lagi, beberapa
pemerintahan setelahnya juga tidak berani menaikkan tarif listrik jika menjelang Pemilu, meski ada
argumen naiknya tarif akan menimbulkan biaya baru, social costs berupa gejolak di masyarakat dan
tentunya incumbent yang tidak populer. Murahnya tarif ini sesungguhnya semu, karena sebenarnya negara
lah yang harus membayar subsidinya, yang notabene negara ini dibiayai rakyat dari pajak. Seandainya
negara tidak dibebani subsidi listrik, anggaran yang ada dapat dipakai untuk hal-hal lain, misalnya untuk
pendidikan, pengembangan usaha kecil dsb.

Hal lain yang sangat merugikan adalah mendidik bangsa ini untuk menganggap listrik sebagai produk
masal yang murah sehingga bisa dipakai seenaknya. Akibatnya apa? Kita menjadi bangsa yang boros
energi listrik, dari dunia industri yang boros energi dengan pemakaian alat-alat produksi yang rendah
efisiensi termalnya sampai dengan budaya pemakaian listrik di rumah tangga-rumah tangga di Indonesia.
Jika kita melihat rumah tangga di negara maju yang tarif listriknya tidak terdistorsi, kita tidak akan
melihat lampu di dalam rumah yang terang benderang, kecuali orang yang benar-benar kaya, ketika para
penghuninya sudah pergi tidur atau tidak menggunakannya lagi. Beda dengan di Indonesia, jangankan di
malam hari, kadang di siang bolong, bohlam lampu nyala kadang juga tidak dimatikan.

Isu-isu lainnya dalam sistem yang terintegrasi secara vertikal ini adalah:

Konsumen tidak punya pilihan


Ketidakefisienan ekonomi dalam jangka pendek akibat tarif listrik berdasarkan harga rata-rata
seluruh pembangkit listrik. Lain halnya dalam pasar listrik yang telah direstrukturisasi, konsumen
mendapatkan tarif listrik berdasarkan biaya marginal atau harga listrik dari pembangkit listrik
terakhir yang terjual.
Insentif yang kurang kuat untuk mengurangi harga
Beban finansial berat bagi pemerintah (subsidi pemerintah untuk BBM PLN sebesar Rp 37.3
triliun pada tahun 2007)

Sebagai ilustrasi, saat ini harga listrik PLN pada dasarnya adalah harga rata-rata produksi seluruh
pembangkitnya (dikenal sebagai Biaya Pokok Produksi), dari yang paling murah, pembangkit hidro
sampai yang sangat mahal yang berbasiskan BBM (bahan bakar minyak) seperti PLTU minyak, PLTD,
PLTG minyak. Akibatnya dapat ditebak BPP PLN lebih mahal dari harga listrik di banyak negara lain,
seperti yang sering dikeluhkan oleh lembaga konsumen. Sebagai contoh RRP(regional retail price) suatu
daerah di Australia (pasar listrik deregulasi) berkisar di antara $15 $30/MWh atau sekitar Rp120
Rp300/kWh. Menurut berita di web.bisnis.com harga BPP PLN di wilayah Jawa-Bali saat ini tahun 2008
sekitar Rp831 Rp936 per kWh untuk tegangan rendah, Rp745- Rp840 untuk tegangan menengah dan
Rp704 Rp794 per kWh untuk tegangan tinggi.
Dalam pasar yang telah direstrukturisasi, konsumen hanya membayar harga listrik sebesar harga listrik
dari pembangkit listrik yang listriknya terakhir terjual (lihat gambar). Listrik dalam pasar ini dibeli dari
pembangkit yang menawarkan harga termurah. Misal daya terpasang di suatu daerah 3000 MW terdiri
dari pembangkit hidro, PLTU batubara dan PLTG minyak. Masing-masing pembangkit menawarkan
harga atau bids dengan harga seperti pada gambar. Maka jika beban atau load pada suatu saat mencapai
2000 MW maka konsumen hanya perlu membayar Rp 500/kWh.

BPP yang mahal ini juga konsekuensi logis dari struktur jenis pembangkit listrik di Indonesia yang
mempunyai pembangkit listrik berbasis BBM terlalu besar porsinya. Proyek 10000 MW dengan
mendirikan pembangkit berbahan bakar batubara, yang ber-BPP relatif rendah, pada dasarnya adalah
solusi jangka pendek juga. Solusi yang paling tepat adalah penggunaan energi nuklir yang relatif murah
dan ramah lingkungan.

Negara-negara yang belum memiliki PLTN, karena kontroversinya, seperti Australia, yang merasa
mempunyai cadangan batubara yang berlimpah, lambat laun juga mengalami masalah energi. Belum lagi
dengan tuntutan pengurangan emisi gas buang penyebab efek rumah kaca atau protokol Kyoto, seperti
yang kita tahu coal-fired power plant a.k.a. PLTU batubara ini adalah salah sumber sumber pencemar
udara terbesar. Australia adalah negara yang terakhir meratifikasinya, menjadikan Amerika (US) menjadi
satu-satunya negara yang belum menandatanganinya. Dalam KTT Perubahan Iklim di Bali, Indonesia, isu
ini telah sangat kuat, termasuk pengenaan carbon tax sebagai pengganti carbon trading bagi negara-
negara yang punya kontribusi besar sebagai pencemar udara.

Indonesia menawarkan diri sebagai negara penerima carbon trading tersebut dengan alasan uang yang
diterima bisa dipakai untuk menjaga dan merehabilitasi hutan hujan tropis yang merupakan paru-paru
dunia. Alasan yang sebenarnya masuk akal, cuma membuat kita malu sebagai bangsa, menegaskan mental
bangsa peminta-minta. Alasan lain untuk tidak setuju carbon trading adalah dengan tetap menyetujuinya,
itu sama artinya dengan menyetujui membiarkan negara-negara maju tetap mengekspor polusi udara
dan kita lah yang harus membersihkannya dengan paru-paru kita.

Bagaimana dengan reputasi kita dalam menjaga hutan? Dengan tidak mengurangi hormat kita kepada
aparat pemerintah yang banyak yang masih memiliki integritas dalam menjaga hutan-hutan kita, Walhi
memilih untuk tidak percaya dengan ingin menyewa hutan produksi dan hutan lindung. Itu lebih baik dari
pada harus jatuh ke tangan perusahaan-perusahaan pertambangan, meski harus diakui illegal logging
mulai banyak ditindak pemerintah, sesuatu yang tidak terjadi di masa Orba.

Pasar Ketenagalistrikan Struktur Pasar dan Operasi (2)

Melanjutkan artikel dari bagian 1, banyak yang mulai bertanya, kenapa ide deregulasi
ketenagalistrikan banyak yang menentang. Jawabannya sederhana, merubah struktur pasar
ketenagalistrikan lebih banyak dipengaruhi oleh faktor politis sebagai konsekuensi dari negara demokrasi
yang baru berkembang, ketimbang faktor teknis. Di negara maju, yang masyarakatnya sangat kritis, ide
ini mudah dipahami. Kompetisi akan memberi insentif yang lebih besar untuk efisiensi.

Salah satu kritik terbesar akan ide ini, adalah adanya pemahaman bahwa listrik adalah hajat hidup orang
banyak (sesuai pasal 33 UUD 1945) dan masalah agama (Islam seperti yang saya anut). Dikhawatirkan
tarif listrik menjadi tidak terkontrol dan rakyat miskin tidak dapat menikmati listrik murah lagi dengan
deregulasi ini. Benarkah hal ini bisa terjadi? Bisa saja terjadi jika tidak diantisipasi, namun selalu ada cara
untuk mengatasinya. Tentu saja, saya tidak dalam berkapasitas sebagai seseorang yang dapat
mengeluarkan fatwa. Namun sudah menjadi kewajiban untuk menyampaikan kebenaran dan berbagi
pengetahuan. Prinsip ekonomi Islam diantaranya:

1. Ekonomi Islam menolak terjadinya akumulasi kekayaan yang dikuasai oleh segelintir orang saja.
2. Ekonomi Islam menjamin pemilikan masyarakat dan penggunaannya direncanakan untuk
kepentingan banyak orang

Kedua prinsip tersebut mengindikasikan Islam mengutamakan asas manfaat bagi banyak orang seperti
pasal 33 UUD. Disini sering diartikan, agar manfaat tersebut dapat dijamin digunakan bagi kepentingan
umum, maka kepentingan tersebut harus menjadi milik negara, dikuasai negara dan diusahakan oleh
negara. Dalam beberapa hal, penguasaan negara memang memberi manfaat bagi masyarakat, namun tidak
semua seperti itu, bahkan malah ada yang membebani negara dan merugikan masyarakat. Contoh aktual
adalah krisis penyediaan listrik dalam beberapa tahun terakhir ini. Dalam hal ini deregulasi pasar
ketenagalistrikan adalah salah satu jalan keluar yang sebenarnya sesuai dengan prinsip ekonomi Islam.

Deregulasi memberikan kesempatan kepada siapa saja untuk berinvestasi di bidang ketenagalistrikan.
Namun kebebasan ini bukan lah kebebasan tanpa aturan seperti yang disangka oleh banyak orang. Banyak
orang yang khawatir, dengan swasta mempunyai pembangkit listrik atau sebagai retailer yang menjual
listrik, maka mereka dapat memainkan harga jual listrik. Kekhawatiran ini sebenarnya dapat dihapuskan,
jika masyarakat memahami mekanisme yang terjadi dalam pasar listrik yang kompetitif.

Dalam pasar listrik yang kompetitif, tidak ada satu pun perusahaan pembangkit listrik yang berhak
memonopoli pangsa pasar. Jelas hal ini sesuai dengan prinsip anti monopoli
tidak boleh memperbolehkan adanya akumulasi kekayaan pada segelintir orang. Ada batas maksimum
share kapasitas daya terpasang pembangkit listrik dalam satu sistem tenaga listrik. Jika pada suatu saat
harga listrik melonjak tinggi, maka ada badan pengawas (dalam UU 20/2002 disebut sebagai
Bapeptal) yang akan memeriksa kewajarannya. Jika ada produsen yang terbukti bersekongkol melakukan
market power, atau menyembunyikan informasi, maka akan dikenai sangsi. Di badan pengawas ini lah
sebenarnya masyarakat bersatu atau berserikat untuk memastikan bahwa listrik benar-benar digunakan
untuk kesejahteraan masyarakat.

Jika harga listrik cenderung naik secara stabil, maka hal ini sebenarnya merupakan sinyal bagi investor
bahwa ada kesempatan untuk masuk berinvestasi. Masuknya pembangkit listrik baru akan membawa
keseimbangan baru dalam penentuan marginal cost. Secara sederhana, fenomena ini mirip gelombang
sinusoidal, dimana ada saat gelombang mencapai nilai maksimum, lalu turun ke nilai minimum, naik lagi
dst. Dalam jangka panjang, produsen dan konsumen akan sama posisinya, apa yang dijual sama dengan
apa yang dibeli, atau sesuai dengan prinsip keadilan, tidak ada yang dilebihkan dan yang dikurangi dalam
jual beli.

Lain halnya dengan kondisi saat ini. Masing-masing pihak, baik produsen, konsumen dan
regulator(pemerintah) sama-sama dirugikan. Produsen listrik dipaksa membangkitkan listrik dan
diharuskan menjual di bawah biaya produksinya. Jelas hal ini tidak adil. Kekurangan biaya tsb ditutup
pemerintah dengan subsidi yang tetap tidak sepadan dengan prinsip keekonomian. Akibatnya semakin
lama, produsen akan semakin terpuruk, dan semakin tidak bisa mengembangkan perusahaan dan melayani
kebutuhan listrik yang semakin meningkat.

Konsumen juga dirugikan dengan kurangnya listrik yang dihasilkan produsen, ditambah tidak adanya
pilihan lain selain membeli listrik dari produsen yang monopolistik. Belum lagi konsumen terus menerus
merasa curiga dengan harga listrik yang dibayarkannya, karena selalu merasa overpriced akibat ketiadaan
produsen pembanding. Pemerintah pun juga rugi karena dianggap tidak kapabel dalam menangani
permasalahan ini, ditambah lagi setiap tahun harus dipusingkan memikirkan besaran subsidi yang
diperlukan. Jelas asas manfaat bagi masyarakat, banyak yang tidak terpenuhi.

Lalu bagaimana kah dengan rakyat miskin? Apakah mereka harus membayar listrik dengan harga pasar?
Jawabannya tentu saja tidak. Rakyat miskin tetap akan menikmati listrik dengan harga subsidi. Lalu siapa
kah yang harus membayar dengan harga pasar? Tentu saja rakyat selain rakyat miskin :). Pada dasarnya,
dengan model monopoli atau tidak, rakyat miskin tetap mendapatkan bantuan subsidi listrik. Dengan
sistem pasar listrik monopoli yang sekarang ada, selain rakyat miskin, seperti industri, golongan
menengah dan mampu pun juga menikmati subsidi dari negara. Tentu saja hal ini tidak pada tempatnya.

Bagaimana kah model pasar listrik itu sendiri?

Pasar listrik di berbagai negara dapat dikelompokkan menjadi 3 model:

1. Model Power pool / PoolCo


2. Model Kontrak Bilateral
3. Model Hybrid

Model PoolCo mempertemukan jumlah dan harga penawaran (bids) penjual dan pembeli. Dalam hal ini
yang memutuskan adalah Independent System Operator (ISO) atau Power Exchanger (pelaksana pasar).
ISO/PX ini menentukan spot price / market clearing price (MCP) dan penentuan pembangkit yang
beroperasi (economic dispatch). Dalam kompetisi yang ideal, MCP akan sama dengan marginal cost.
Contoh pasar yang menggunakan model ini adalah Pennsylvania-New Jersey-Maryland Interconnection
(PJM)

New York Independent System Operator (NYISO)

ISO New England (ISO-NE)

,
Chile, Argentina, Inggris dan Wales.

Dalam model kontrak bilateral, produsen dan konsumen dipertemukan langsung dan lebih bersifat
desentralisasi. Peran ISO disini hanyak memastikan bahwa transaksi dapat dipenuhi dengan
memperhitungkan kapasitas security sistem transmisi. Contoh negara yang menganutnya adalah
Norwegia.

Model kontrak hybrid menggabungkan kedua model tsb. Penggunaan power pool tidak diwajibkan.
Power pool melayani partisipan pasar yang tidak memiliki kontrak bilateral. Contoh pasar ini adalah
California ISO (CAISO).

Berikut adalah wholesale electricity markets dari Wikipedia,

Australia NEMMCO the Australian Market Administrator


Canada Independent Electricity System Operator (IESO) Ontario Market and Alberta Electric
System Operator (AESO)
Chile
Scandinavia Nord Pool[2]
France, Powernext[3]
Germany European Energy ExchangeEEX
Great Britain Elexon
India
New Zealand see New Zealand Electricity Market
Philippines see Philippine Wholesale Electricity Spot Market
USA see ERCOT Market, PJM Market, New York Market, Midwest Market, and California
ISO
Singapore see Energy Market Authority, Singapore and Energy Market Company (EMC)

Apa yang dimaksud dengan ISO?

ISO adalah organisasi non-profit independen yang anggotanya berasal dari pelaku pasar
ketenagalistrikan, mulai dari wakil perusahaan pembangkit, transmisi, distribusi dan konsumen akhir,
yang tugas utamanya menjaga agar sistem selalu dalam keadaan setimbang. ISO mengendalikan operasi
jaringan dan memastikan akses terbuka bagi seluruh pengguna sistem transmisi. ISO berhak
menggunakan sumber daya atau melepas beban untuk menjaga keamanan dan kestabilan sistem. ISO juga
mengkoordinasikan penjadualan pemeliharaan pembangkit, saluran transmisi dan elemen2 lainnya.

Anda mungkin juga menyukai