Anda di halaman 1dari 19

BAB I

PENDAHULUAN

Pneumonia merupakan salah satu bentuk infeksi saluran pernapasan bawah

akut. Penyakit ini masih menjadi masalah utama dalam bidang kesehatan, baik di

negara berkembang maupun yang sudah maju. Berdasarkan hasil Riset Kesehatan

Dasar (Riskesdas) tahun 2007, prevalensi infeksi saluran pernapasan bawah akut

di Indonesia: 25,5%, angka kesakitan ( morbiditas ) pneumonia pada bayi: 2,2%,

balita: 3%, angka kematian ( mortalitas ) pada bayi 23,8% dan balita 15,5%. Hal

ini menunjukkan bahwa terdapat insiden angka kematian akibat pneumonia yang

masih tinggi (PDPI, 2003).

Pneumonia dalam arti umum adalah peradangan parenkim paru yang

disebabkan oleh mikroorganisme-bakteri, virus, jamur, parasit. Pneumonia juga

dapat disebabkan selain mikroorganisme (fisik, kimiawi, alergi) yang disebut

sebagai pneumonitis.Mekanisme proses infeksi menghasilkan konsolidasi rongga

udara akibat rongga udara alveolar terisi dengan eksudat inflamatori yang

disebabkan oleh adanya infeksi. Penyakit ini ditandai dengan demam yang tinggi,

napas cepat dan pendek, nyeri dada, dan batuk berdahak dengan sputum (Zafar,

2016).

1
1.1 Epidemiologi

Populasi yang rentan terserang pneumonia adalah anak-anak usia

kurang dari 2 tahun, usia lanjut lebih dari 65 tahun, atau orang yang memiliki

masalah kesehatan (malnutrisi, gangguan imunologi). Negara Indonesia

berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007,

menunjukkan, prevalensi nasional infeksi saluran pernapasan bawah akut:

25,5%, angka kesakitan ( morbiditas ) pneumonia pada bayi: 2,2%, balita: 3%,

angka kematian ( mortalitas ) pada bayi 23,8% dan balita 15,5%. Penemuan

dan penanganan penderita pneumonia pada balita di Jawa Tengah tahun 2015

sebesar 53,31 persen, meningkat cukup signifikanibandingkan capaian tahun

2014 yaitu 26,11 persen (PDPI, 203) ( DINKES Jawa Tengah, 2015).

Infeksi penyakit pneumonia tersebar luas dari satu orang ke orang lain

dengan cara percikan air liur (droplet) sewaktu batuk, sehingga infeksi terlihat

menyebar lebih mudah antara populasi yang padat, seperti di sekolah, asrama,

dan pemukiman yang padat. UNICEF memperkirakan bahwa 3 juta anak di

dunia meninggal karena penyakit pneumonia setiap tahun. Kasus pneumonia

di negara berkembang tidak hanya lebih sering didapatkan tetapi juga

lebih berat dan banyak menimbulkan kematian pada anak. Insiden puncak

pada umur 1-5 tahun dan menurun dengan bertambahnya usia anak (Aru

W. et Al, 2007).

2
1.2 Etiologi

Pneumonia dapat disebabkan oleh berbagai macam mikroorganisme,

yaitu bakteri, virus, jamur dan protozoa. Pneumonia komuniti (community-

acquired) yang diderita oleh masyarakat luar negeri banyak disebabkan

bakteri gram positif, sedangkan laporan dari beberapa kota di Indonesia

menunjukkan bahwa bakteri yang ditemukan adalah bakteri gram negatif.

Prevalensi pneumonia di rumah sakit (nosokomial-acquired)adalah infeksi

yang terjadi setelah 48 jam berada di rumah sakit, banyak disebabkan oleh

bakteri gram negatif.. (Aru W. et Al., 2007)

Berikut merupakan pathogen yang paling sering menimbulkan insiden

pneumonia:

1. Streptococcus pneumonia

2. Haemophillus influenza

3. Legionella sp.

4. Chlamidya pneumonia

5. Pseudomonas aeruginosa

Pasien dengan usia< 60 tahun juga rentan terhadap etiologi bakteri atipikal

yaitu Mycoplasma pneumonia. Etiologi akan diperberat dengan kondisi

penyakit paru lain, penyakit saraf sentral, serta kebiasaan merokok dan minum

alcohol (Ruiz M. et Al., 2000).

3
Berikut merupakan tabel etiologi pneumonia:

Tabel 1.1 Penyebab pneumonia (Aru W. et Al., 2007)

Bakteri Penumonia akibat bakteri ini biasanya terjadi setelah flu,


demam, atau ISPA yang menurunkan sistem imunitas tubuh.
Sistem imunitas yang lemah menjadi keadaan yang baik untuk
bakteri berkembang biak di paru, dan menimbulkan penyakit.
Bermacam-macam bakteri dapat menyebabkan pneumonia,
yang tersering adalah Streptococcuspneumoniae
(pneumococcus) dapat disebarkan apabila orang yang terinfeksi
batuk, bersin, atau menyentuh objek dengan tangan yang
terkontaminasi. Pneumonia akibat bakteri ini dapat menjadi
lebih serius bila dibandingkan dengan pneumonia akibat virus.
Virus Bermacam-macam virus dapat menyebabkan pneumonia.
Contohnya termasuk influenza, chickenpox, herpes simplex,
and respiratory syncytial virus (RSV). Virus dapat ditularkan
antar manusia kemanusia lain melalui batuk, bersin atau
menyentuh objek dengan tangan yang terkontaminasi yang
berkontak dengan cairan dari orang yang terinfeksi.
Jamur Bermacam-macam jamur dapat menyebabkan pneumonia.
Yang paling sering adalah jamur yang terhirup dari udara luar/
lingkungan.
Aspirasi Pneumonia aspirasi terjadi apabila materi/ bahan-bahan dalam
lambung atau benda asing terhirup masuk ke saluran
pernafasan, menyebabkan cedera, infeksi atau penyumbatan.

4
1.3 Patogenesis

Kondisi tubuh yang tidak seimbang akan mempengaruhi mekanisme

pertahanan paru, sehingga mikroorganisme dapat berkembang biak dan

menimbulkan penyakit. Resiko infeksi di paru sangat tergantung pada

kemampuan mikroorganisme untuk sampai dan merusak permukaan epitel

saluran napas. Ada beberapa cara mikroorganisme mencapai permukaan :

- Inokulasi langsung

- Penyebaran melalui pembuluh darah

- Inhalasi bahan aerosol

- Kolonisasi dipermukaan mukosa

Berdasarkan keempat cara diatas yang terbanyak adalah secara

kolonisasi. Secara inhalasi terjadi pada infeksi virus, mikroorganisme atipikal,

mikrobakteria atau jamur. Kebanyakan bakteri dengan ukuran 0,5 -2,0 mm

melalui udara dapat mencapai bronkus terminal atau alveoli dan selanjutnya

terjadi proses infeksi. Proses selanjutnya terjadi kolonisasi pada saluran napas

atas (hidung, orofaring) kemudian terjadi aspirasi ke saluran napas bawah dan

terjadi inokulasi mikroorganisme, hal ini merupakan permulaan infeksi dari

sebagian besar infeksi paru. Setelah mikroba samapai ke saluran napas bawah,

maka ada empat rute masuknya mikroba tersebut ke dalam saluran napas

bagian bawah yaitu :

- Aspirasi, merupakan rute terbanyak pada kasus-kasus tertentu seperti

kasus neurologis dan usia lanjut

5
- Inhalasi, misalnya kontaminasi pada alat-alat bantu napas yang digunakan

pasien

- Hematogenik

- Penyebaran langsung

Terjadi infeksi dalam alveoli, membran paru mengalami peradangan

dan berlubang-lubang sehingga cairan dan bahkan sel darah merah dan sel

darah putih keluar dari pembuluh darah masuk ke dalam alveoli. Dengan

demikian, alveoli yang terinfeksi disebarkan oleh perpindahan bakteri dari

alveolus ke alveolus. Lobus bagian bawah paru paling sering terkena karena

mikroorganisme penyebab yang paling sering adalah bakteri anaerob sehingga

oksigenasi berkurang atau tidak terlalu dibutuhkan (Wilson, 2003).

Proses peradangan dalam alveolus terdiri dari 4 stadium:

a. Stadium I (4 12 jam pertama/kongesti)

Terdapat hyperemia, mengacu pada respon peradangan permulaan

yang berlangsung pada daerah baru yang terinfeksi. Hal ini ditandai

dengan peningkatan aliran darah dan permeabilitas kapiler di tempat

infeksi. Hiperemia ini terjadi akibat pelepasan mediator-mediator

peradangan dari sel-sel mast setelah pengaktifan sel imun dan cedera

jaringan. Mediator-mediator tersebut mencakup histamin dan

prostaglandin. Degranulasi sel mast juga mengaktifkan jalur komplemen.

Komplemen bekerja sama dengan histamin dan prostaglandin untuk

melemaskan otot polos vaskuler paru dan peningkatan permeabilitas

kapiler paru. Hal ini mengakibatkan perpindahan eksudat plasma ke

6
dalam ruang interstisium sehingga terjadi pembengkakan dan edema antar

kapiler dan alveolus. Penimbunan cairan di antara kapiler dan alveolus

meningkatkan jarak yang harus ditempuh oleh oksigen dan

karbondioksida maka perpindahan gas ini dalam darah paling

berpengaruh dan sering mengakibatkan penurunan saturasi oksigen

hemoglobin.

b. Stadium II (48 jam berikutnya)

Disebut hepatisasi merah, terjadi sewaktu alveolus terisi oleh sel

darah merah, eksudat dan fibrin yang dihasilkan oleh penjamu (host)

sebagai bagian dari reaksi peradangan. Lobus yang terkena menjadi padat

oleh karena adanya penumpukan leukosit, eritrosit dan cairan, sehingga

warna paru menjadi merah dan pada perabaan seperti hepar, pada stadium

ini udara alveoli tidak ada atau sangat minimal sehingga anak akan

bertambah sesak, stadium ini berlangsung sangat singkat, yaitu selama 48

jam.

c. Stadium III (3 8 hari)

Disebut hepatisasi kelabu yang terjadi sewaktu sel-sel darah putih

mengkolonisasi daerah paru yang terinfeksi. Pada saat ini endapan fibrin

terakumulasi di seluruh daerah yang cedera dan terjadi fagositosis sisa-sisa

sel. Pada stadium ini eritrosit di alveoli mulai diresorbsi, lobus masih tetap

padat karena berisi fibrin dan leukosit, warna merah menjadi pucat kelabu

dan kapiler darah tidak lagi mengalami kongesti.

7
d. Stadium IV ( 8 11 hari)

Disebut juga stadium resolusi yang terjadi sewaktu respon imun

dan peradangan mereda, sisa-sisa sel fibrin dan eksudat lisis dan diabsorsi

oleh makrofag sehingga jaringan kembali ke strukturnya semula (Wilson,

2003).

1.4 Klasifikasi

A. Berdasarkan epidemiologis dan klinis: pneumonia komuniti, pneumonia

nosokomial, pneumonia aspirasi, pneumonia pada immunocompromised.

B. Berdasarkan bakteri penyebab: pneumonia bakteri (tipikal), pneumonia

atipikal, pneumonia virus, pneumonia jamur

C. Berdasarkan predileksi infeksi:

a. Pneumonia lobaris sering pada pneumania bakterial, jarang pada bayi

dan orang tua. Pneumonia yang terjadi pada satu lobus atau segmen

kemungkinan sekunder disebabkan oleh obstruksi bronkus seperti pada

aspirasi benda asing atau proses keganasan.

b. Bronkopneumoniaditandai dengan bercak-bercak infiltrat pada

lapangan paru, disebabkan oleh bakteria maupun virus. Prevalensi

sering pada bayi dan orang tua dan jarang dihubungkan dengan

obstruksi bronkus.

c. Pneumonia interstitial (PDPI, 2003).

8
1.5 Diagnosis

A. Anamnesis

Penderita pneumonia akan mengalami dispneu, batuk berdahak

mukoid atau purulent kadang disertai darah, menggigil, nyeri pada dada,

penurunan bunyi napas, dan suhu > 37,8C (Eversten J. et al., 2010).

B. Pemeriksaan Fisik

Inspeksi dapat terlihat bagian yang sakit tertinggal waktu bernapas,

pasa palpasi fremitus dapat mengeras, pada perkusi redup, pada auskultasi

terdengar suara napas bronkovesikuler sampai bronkial yang mungkin

disertai ronki basah halus, yang kemudian menjadi ronki basah kasar pada

stadium resolusi (PDPI, 2003).

C. Pemeriksaan Penunjang

a. Laboratorium

Pada pemeriksaan labolatorium terdapat peningkatan jumlah

leukosit, biasanya lebih dari 10.000/ul kadang-kadang mencapai

30.000/ul, dan pada hitungan jenis leukosit terdapat pergeseran ke kiri

serta terjadi peningkatan LED. Untuk menentukan diagnosis etiologi

diperlukan pemeriksaan dahak, kultur darah dan serologi. Kultur darah

dapat positif pada 20- 25% penderita yang tidak diobati. Analisis gas

darah menunjukkan hipoksemia dan hikarbia, pada stadium lanjut

dapat terjadi asidosis respiratorik (PDPI, 2003).

9
b. Radiologis foto toraks (PA/lateral)

Gambaran radiologis dapat berupa infiltrat sampai konsolidasi

dengan "air broncogram", penyebab bronkogenik dan interstisial serta

gambaran kaviti. Foto toraks saja tidak dapat secara khas menentukan

penyebab pneumonia, hanya merupakan petunjuk ke arah diagnosis

etiologi, seperti gambaran pneumonia lobaris tersering disebabkan oleh

Steptococcus pneumoniae, Pseudomonas aeruginosa sering

memperlihatkan infiltrat bilateral atau gambaran bronkopneumonia

sedangkan Klebsiela pneumonia sering menunjukkan konsolidasi yang

terjadi pada lobus atas kanan meskipun dapat mengenai beberapa

lobus. Pasien yang mengalami perbaikan klinis, ulangan foto toraks

dapat ditunda karena resolusi pneumonia berlangsung 4 12 minggu

(PDPI, 2003).

Gambar I.1 Pada gambar diatas tampak konsolidasi tidak homogen di


lobus atas kiri dan lobus bawah kiri (Eversten J. et Al., 2010).

10
Diagnosis pneumonia komuniti ditegakkan jika ditemukan pada

foto toraks infiltrate baru atau infiltrate progresif dengan 2 atau lebih

gejala:

a. Batuk bertambah

b. Perubahan karakteristik dahak / purulent

c. Suhu tubuh > 37,5 C

d. Pemeriksaan fisik: Ronkhi dan napas bronkial

e. Lekosit > 10.000

D. Kriteria pneumonia

Menurut (American Thoracic Society, 2001) kriteria pneumonia

berat bila dijumpai salah satu dari kriteria:

a. Kriteria minor

- Frekuensi napas > 30 x/menit

- PaO2 kurang dari 250 mmHg

- Ro paru menunjukkan kelainan bilateral

- Ro paru menunjukkan kelainan > 2 lobus

- Tekanan sistolik < 90 mmHg

- Tekanan diastolic < 60 mmHg

b. Kriteria mayor

- Membutuhkan ventilasi mekanik

- Infiltrat bertambah > 50 %

- Membutuhkan vasopressor > 4 jam

- Kreatinin serum > 2 mg/dl dan riwayat penyakit ginjal

11
Kriteria perawatan intensif apabila penderita memiki 1 dari 2 gejala

mayor tertentu yaitu (membutuhkan ventilasi mekanik dan membutuhkan

vasopressor > 4 jam) atau 2 dari gejala minor tertentu (PaO2 kurang dari

250 mmHg, Ro paru kelainan bilateral, dan tekanan sistolik <90 mmHg).

E. Penilaian derajat keparahan penyakit

Berikut merupakan skor PORT (Pneumonia Patient Outcome

Research Team) untuk menilai derajat keparahan pneumonia:

Gambar I.2 Skor PORT (PDP1, 2001)

12
Derajat skor menurut PORT

Tabel I.1 Derajat skor menurut PORT (PDPI,2001)

Resiko Kelas resiko Total skor Perawatan


Rendah I Tidak diprediksi Rawat jalan
II < 70 Rawat jalan
III 71 90 Rawat inap /
jalan
Sedang IV 91 130 Rawat inap
Berat V > 130 Rawat inap

Berdasarkan (PDPI, 2003), kriteria yang dipakai untuk indikasi rawat inap

pneumonia komuniti adalah:

1. Skor PORT > 70

2. Skor PORT < 70 ditambah kriteria:

- Frekuensi napas > 30 x/menit

- PaO2 kurang dari 250 mmHg

- Ro paru menunjukkan kelainan bilateral

- Ro paru menunjukkan kelainan > 2 lobus

- Tekanan sistolik < 90 mmHg

- Tekanan diastolic < 60 mmHg

3. Pneumonia pada penggunaan NAPZA.

13
BAB II
TATA LAKSANA

Terapi pneumonia terdiri atas antibiotik dan terapi supportif. Pemberian

antibiotik pada penderita pneumonia sebaiknya berdasarkan data mikroorganisme

dan hasil uji kepekaannya. Berikut merupakan tabel antibiotik berdasarkan

patogen penyebab:

Tabel II.1 Antibiotik berdasarkan patogen (American Thoracic Society,

2001)

Kategori Keterangan Kuman Penyebab Obat Pilihan I Obat Pilihan


II
Kategori I Usia S.pneumonia - Makrolid - Klaritromisi
penderita M.pneumonia generasi baru n
< 65 tahun C.pneumonia oral 2x250 mg
-Penyakit H.influenzae - Azitromisin
Penyerta (-) Legionale sp 1x500mg
-Dapat S.aureus - Rositromisi
berobat jalan M,tuberculosis n 2x150 mg
Batang Gram (-) atau 1x300
mg
Kategori II -Usia - Beta lactam -Makrolid
penderita > S.pneumoniaH.infl oral: -Levofloksasin
65 tahun uenzae Batang Cefpodoxime/ -Gatifloksasin
- Peny. gram(-)Aerob Cefuroxime/ -
Penyerta (+) S.auresM.catarrhal Ceftriaxone Moxyf
-Dapat isLegionalle sp diikuti loksasi
berobat jalan cefpodoxime n
oral
+ Makrolid

14
Kategori -Pneumonia S.pneumoniae Beta lactam iv: -Piperasilin +
III berat. H.influenzae Cefotaxime / tazobaktam
- Perlu Polimikroba Ceftriaxone -Sulferason
dirawat di termasuk Aerob + Makrolid IV
RS,tapi tidak Batang Gram (-) atau oral
perlu di ICU Legionalla sp
S.aureus
M.pneumoniae
Kategori -Pneumonia S.pneumonia - Sefalosporin -Carbapenem/
IV berat Legionella sp generasi 3 meropenem
-Perlu dirawat Batang Gram (-) (anti -Vankomicin
di ICU aerob pseudomonas) -Linesolid
M.pneumonia + makrolid -Teikoplanin
Virus - Sefalosporin
H.influenzae generasi 4
M.tuberculosis - Sefalosporin
Jamur endemic generasi 3 +
kuinolon

Terapi suportif dapat berupa :

1. Terapi O2 untuk mencapai PaO2 80-100 mmHg atau saturasi 95-96%


berdasarkan pemeriksaan analisis gas darah
2. Fisioterapi dada untuk pengeluaran dahak, khususnya anjuran untuk batuk
dan napas dalam.
3. Pengaturan Cairan. Keutuhan kapiler paru sering terganggu pada
pneumonia, dan paru lebih sensitive pada pembebanan cairan terutama bila
terdapat pneumonia bilateral. Pemberian cairan pada pasien harus diatur
dengan baik, termasuk pada keadaan gangguan sirkulasi dan gagal ginjal
(PDPI, 2003).

15
BAB III
KOMPLIKASI DAN PROGNOSIS

A. Komplikasi

1. Efusi pleura dan empyema

2. Meningitis disertai dehidrasi dan hiponatremia

3. Hipoksemia akibat gangguan difusi

4. Abses paru akibat eksudat di alveolus paru

5. Pneumonia kronik berlangsung lebih dari 4- 6 minggu

6. Bronkiektasis (Aru W.et Al., 2007)

B. Prognosis

Morbiditas dan mortalitas insiden penyakit pneumonia telah

menurun sejak ditemukannya antibiotik. Faktor yang berperan adalah

patogenitas kuman, usia, penyakit dasar dan kondisi pasien. Secara umum

angka kematian pneumonia pneumokokus adalah sebesar 5%, namun

dapat meningkat menjadi 60% pada orang tua dengan kondisi yang buruk

misalnya gangguan imunologis, sirosis hepatis, penyakit paru obstruktif

kronik, atau kanker. Adanya leukopenia, ikterus, terkenanya 3 atau lebih

lobus dan komplikasi ekstraparu merupakan petanda prognosis yang

buruk. Bakteri gram negatif menimbulkan prognosis yang lebih jelek

(Niederman MS., 2007).

16
BAB IV
PENCEGAHAN

a. Pola hidup sehat dengan menghidari asap rokok dan tidak merokok.

b. Vaksinasi (vaksin pneumokokal dan vaksin influenza) sampai saat ini

masih perlu dilakukan penelitian tentang efektivitinya. Pemberian vaksin

tersebut diutamakan untuk golongan risiko tinggi misalnya usia lanjut,

penyakit kronik diabetes, penyakit jantung koroner, PPOK, HIV.

Vaksinasi ulang direkomendasikan setelah > 2 tahun (PDPI, 2003).

17
BAB V
KESIMPULAN

Pneumonia adalah peradangan parenkim paru yang disebabkan oleh

mikroorganisme-bakteri, virus, jamur, parasit. Kondisi tubuh yang lemah akan

memicu terjadinya mikroorganisme infeksius yang masuk dan menginfeksi

alveoli, membran paru mengalami peradangan dan berlubang-lubang sehingga

cairan dan bahkan sel darah merah dan sel darah putih keluar dari pembuluh darah

masuk ke dalam alveoli. Dengan demikian, alveoli yang terinfeksi disebarkan oleh

perpindahan bakteri dari alveolus ke alveolus sehingga menimbulkan keluhan.

Insiden di Indonesia berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas)

tahun 2007, prevalensi infeksi saluran pernapasan bawah akut: 25,5%, angka

kesakitan ( morbiditas ) pneumonia pada bayi: 2,2%, balita: 3%, angka kematian (

mortalitas ) pada bayi 23,8% dan balita 15,5%. Hal ini menunjukkan bahwa

terdapat insiden angka kematian akibat pneumonia yang masih tinggi.

Pneumonia dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik

dan pemeriksaan penunjang. Terapi yang diberikan kepada penderita pneumonia

berdasarkan patogen spesifik dan dapat dicegah dengan pola hidup sehat dan

menghindari rokok dan alkohol.

18
DAFTAR PUSTAKA

American Thoracic Society. (2001). Guidelines for management of adults with


community-acquired pneumonia. Diagnosis, assessment of severity, antimicrobial
therapy, and prevention. Am J Respir Crit.Care Med; 163: 1730-54.

Aru W, Bambang, Idrus A, Marcellus, Siti S. (2007). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam
Jilid II. Edisi 4. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen IPD RSCM; 2007.

Eversten, Jennifer., Baumga DJ., Regnery A., Banerjee I. (2010). Diagnosis and
Management of Pneumonia and Bronkitis in Outpatient Primary care Practice. Prim Care
Respir J. 19(3):237-241

Ruiz Maruco, Santiago Ewig, Maria Angeles Marcoz. (2000). Etiology of Community
Acquired Pneumonia. American Journal of Respiratory and Critical Rare Medicine. Vol
160, No.2

Niederman MS. (2007). Recent advances in community-acquired pneumonia inpatient


and outpatient, Chest 2007;131;1205

Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. (2003).Pedoman Diagnosis dan penatalaksanaan


Pneumonia Komuniti.

Profil Kesehatan Provinsi Jawa Tengah. (2015). Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah
:Semarang.

Wilson, M Lorraine. Penyakit Pernapasan Restriktif. In: Price, Sylvia A., Wilson,
Lorraine M. (2003). Patofisiologi Edisi 6 Volume 2. Jakarta. Penerbit EGC; hal 804-806

Zafar, MZ. (2016). A case study: pneumonia. Occupational Medicine and Health Affairs.
4:4 Aff 2016

19

Anda mungkin juga menyukai