Tugas 2
BAB 1 PENDAHULUAN....................................................................................... 1
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................... 25
ii
DAFTAR TABEL
iii
DAFTAR GAMBAR
iv
BAB 1 PENDAHULUAN
Istilah pulau kecil yang mandiri acapkali terdengar sejak Nawacita Presiden RI ke
7. Visi menjadikan Indonesia sebagai negara poros maritim dunia menjadi stimulan
bagi perangkat daerah maupun pusat dalam mewujudkannya. Indonesia adalah
Negara Kepulauan terbesar di dunia dengan 17.504 pulau, diantaranya yang
berpenduduk 2.342 pulau dengan total penduduknya berada di peringkat 4 besar
dunia yakni sekitar 253.6 juta jiwa (Purnomo, 2014). Negara kepulauan telah
dibahas dalam United Nations Convention on the Law Of the Sea (UNCLOS) 1982
yang mengatur bahwa negara kepulauan adalah negara yang terdiri atas satu atau
lebih gugusan pulau, dimana diantaranya terdapat pulau-pulau lain yang
merupakan satu kesatuan politik atau secara historis merupakan satu ikatan.
sementara kepulauan adalah sekumpulan pulau termasuk bagian di dalamnya
dengan perairan yang terhubung dengan fitur alam lainnya yang erat kaitannya
dengan pulau tersebut membentuk keterkaitan geografis, ekonomi dan politik
(UNCLOS, 1982)
1
perencanaan dan pengelolaan pulau kecil fisik lingkungan maupun modal sosial
menjadi constraint dalam menciptakan pulau yang mandiri dan berdaulat baik
secara infrastruktur, ekonomi, pangan maupun energi. Sebagai contoh adalah
keterbatasan aksessibilitas, sarana dan prasarana dasar, tingkat kemiskinan yang
tinggi dan lain sebagainya.
Keterbatasan dalam sarana prasarana dasar maupun umum perlu menjadi fokus
perhatian pemerintah. Mandiri secara infrastruktur dimana seluruh kebutuhan
infrastruktur dasar seperti jalan, air, listrik, pendidikan dan sebagainya perlu
disiapkan. Kemudian mandiri secara ekonomi, artinya ada mata pencaharian bagi
masyarakat pulau untuk memperoleh pendapatan signifikan sehingga dapat lebih
sejahtera dari sebelumnya. Mandiri secara pangan adalah adanya jaminan pangan
yang dapat memenuhi kebutuhan masyarakat secara kontinu tanpa adanya
kendala batasan fisik lingkungan dan mandiri secara energy adalah terpenuhinya
kebutuhan elektrifikasi seluruh wilayah pemukiman.
Dalam perpres 78 tahun 2005, disebutkan ada 31 pulau kecil terluar yang
berpenduduk dari 92 pulau yang menjadi beranda terdepan Indonesia, yang
menentukan garis pankal wilayah Indonesia. Pulau-pulau kecil terluar (PPKT) yang
mandiri menjadi focus pemerintah dalam pembangunan, dengan
mengintegrasikan perencanaan untuk memenuhi kebutuhan dasar dari PPKT
berpenduduk dan memastikan adanya peningkatan kesejahteraan masyarakat.
2
Gambar 1. Batas Negara Kesatuan Republik Indonesia
Pengelolaan batas wilayah negara dan kawasan perbatasan Indonesia saat ini
masih menghadapi permasalahan yang kompleks, baik dari sisi delimitasi,
demarkasi maupun delineasi, pertahanan dan keamanan, persoalan penegakan
hukum, maupun pembangunan kawasan. Sesuai dengan Amanat Proklamasi
Kemerdekaan dan Konstitusi (UUD 1945), menjaga keutuhan wilayah NKRI, baik
wilayah darat, laut, dan udara, termasuk warga negara, batas-batas maritim,
pulau-pulau dan sumber daya alamnya adalah suatu hal yang mutlak dilakukan.
Namun, hingga saat ini masih ada beberapa segmen batas yang belum tuntas
disepakati dengan negara tetangga sehingga dapat mengancam kedaulatan dan
integritas wilayah NKRI.
Oleh karena itu, guna mewujudkan pulau yang mandiri baik untuk pulau-pulau kecil
maupun PPKT diperlukan pendekatan keterpaduan dengan mamandang pulau
sebagai satu kesatuan dengan pulau-pulau disekitarnya yang disebut dengan
gugus pulau. Untuk itu diperlukan kajian geografi untuk mengetahui tingkat
interaksi antar pulau agar dapat dikelompokkan menjadi satu gugus pulau
3
1.2 Tujuan penelitian
Kegunaan dari penulisan ini adalah adanya lokasi prioritas dalam pengelolaan
pulau pulau kecil yang akan memberikan dampak kepada pulau-pulau kecil lainnya
guna mewujudkan kemandirian pulau secara infrastruktur, ekonomi dan social
4
1.4 Batasan dan Defenisi Operasional
5
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
Gambar 2. Pengertian Pulau Kecil dan Pulau-Pulau Kecil Menurut Peraturan Perundangan
6
2.2 Karakteristik Pulau-Pulau Kecil
Pulau kecil memiliki karakteristik biofisik yang menonjol menurut Bengen, 2000
dalam Anonim 2013 sebagai berikut:
1. Tangkapan air yang terbatas dan sumberdaya/cadangan air tawar yang sangat
rendah dan terbatas;
2. Peka dan rentan terhadap berbagai tekanan (stressor) dan pengaruh eksternal
baik alami maupun akibat kegiatan manusia, seperti badai dan gelombang
besar serta pencemaran;
3. Memiliki sejumlah besar jenis-jenis (organisme) endemik dan keaneka-
ragaman yang tipikal dan bernilai tinggi.
Perbedaan karakteristik pulau-pulau kecil menurut aspek fisik, sosial budaya, dan
lain-lain sebagaimana dimuat dalam Lampiran Permen Budpar Nomor
KM.67/UM.001/MKP/2004 tentang Pedoman Umum Pengembangan Pariwisata di
Pulau-Pulau Kecil sebagai berikut:
7
Dijelaskan pula bahwa yang dimaksud dengan pulau-pulau sangat kecil
adalah pulau yang berukuran kurang dari 10 km2. Sementara dilihat dari
ukuran panjang pulau, beberapa definisi menjelaskan bahwa pulau kecil
memiliki ukuran panjang kurang dari 10 km. Sedangkan definisi yang lain
menyebutkan bahwa panjang maksimum sebuah pulau kecil adalah 50 km.
2. Litologi : pulau dapat terbentuk karena beberapa penyebab, dlantaranya
adalah karena proses pengendapan (depositional island), proses pengikisan
(erosional island), penumpukan koral dari terumbu karang, penyebab
vulkanik, maupun tektonik, atau gabungan dari beberapa penyebab, misalnya
penyebab tektonik yang kemudian dilanjutkan dengan pengikisan. Perbedaan
proses pembentukan pulau menyebebkan masing-masing pulau memiliki
karakteristik litologi yang berbeda-beda.
3. Geomorfologi : pulau yang tergolong terjal memiliki derajat kemiringan 46-
70; terjal sedang 10-45; sedangkan pulau landai memiliki kemiringan < 10.
Topografi sebuah pulau dapat berupa dataran atau berbukit-bukit dengan
ketinggian yang berbeda. Pulau tinggi rentang ketinggian antara 501-1.000
mdpl. Pulau ketinggian sedang berkisar antara 11-500 mdpl dan pulau rendah
3-11 mdpl. Pulau dengan ketinggian kurang dari 3 meter disebut pulau pasang
surut.
4. Tutupan biota : tutupan biota dari suatu pulau dapat diklasi-fikasikan ke dalam
dua bagian, yaitu biota yang berada di atas air dan biota yang terendam. Di
daerah daratan pulau sendiri, terdapat pulau yang memiliki tutupan biota yang
sangat beragam hingga hanya didominasi oleh satu jenis vegetasi. Ada pula
pulau yang daratannya tidak memiliki tutupan biota. Pulau yang terpisah jauh
dengan daratan utama (mainland) dengan tutupan biota yang sangat
beragam, biasanya memiliki jumlah jenis endemik yang tinggi. Di bagian pulau
yang terendam air (daerah tepi), ada pulau yang memiliki tutupan terumbu
karang, daerah mangrove, dan padang lamun, ada yang hanya memiliki salah
satu diantaranya atau tidak ketiganya. Keberadaan tutupan biota dapat
digunakan sebagai penetapan ukuran sebuah pulau. Pada beberapa negara
dengan tipe pulau-pulau atol, ukuran sebuah pulau dihitung dari total luas
dataran ditambah dengan luasan perairan di sekitarnya dengan ketentuan
kedalaman sesuai fungsinya untuk perlindungan biota.
8
5. Geografi : beberapa pulau terletak di daerah yang strategis. dekat dengan
pusat-pusat kegiatan ekonomi yang penting bagi daerah sekitarnya. Daerah
yang dekat dengan pusat kegiatan ekonomi biasanya memiliki tingkat
kemudahan pencapaian yang tinggi. Sedangkan beberapa pulau terletak di
daerah yang terpencil dan kurang strategis, sehingga tingkat aksesibilitasnya
pun kurang.
1. Kepemilikan : dari segi status kepemilikan, pulau-pulau kecil dapat dimiliki oleh
pribadi, pemerintah atau dikelola oleh swasta.
2. Pemanfaatan khusus : pemanfaatan pulau-pulau kecil secara khusus dapat
terjadi karena letak dan fungsinya yang diman-faatkan untuk tujuan khusus
untuk penulisan, pulau militer, pulau penjara, pulau batas negara, pulau
tambang minyak dan gas bumi, maupun pulau yang menjadi suaka alam dan
zona inti area konservasi yang menyebabkan aksesibilitas dan mobilitas
menjadi terbatas. Hal-hal tersebut menyebabkan potensi dan daya dukung
setiap pulau kecil menjadi terbatas dan berbeda-beda. Ketersediaan sumber
daya manusia yang terdapat di setiap pulau juga akan berbeda, sehingga akan
9
berpengaruh pada kesesuaian peruntukan bagi kegiatan tertentu, termasuk
kegiatan pariwisata. Dilain pihak, perbedaan karakteristik pulau-pulau akan
menimbul-kan perbedaan daya tarik yang beragam antara satu pulau dengan
pulau lainnya. Karakteristik suatu pulau kecil juga akan menentukan
pengembangan pariwisata yang sesuai, baik dari segi skala luas, jenis
pembangunan sarana dan prasarana penunjang, serta intensitas kegiatan
pariwisatanya.
Potensi pulau-pulau terluar laut cukup besar dan bernilai ekonomi dan lingkungan
yang tinggi. Beberapa pulau di Kepulauan Riau misalnya, dapat dikembangkan
sebagai kawasan konservasi penyu dan kawasan wisata bahari karena kondisi
panorama alamnya yang indah. Selain itu, cukup banyak pula pulau yang memiliki
potensi perikanan sehingga dapat dikembangkan untuk meningkatan
kesejahteraan masyarakat setempat. Namun demikian, tidak seluruh pulau dapat
dikembangkan karena kondisi alam dan geografis yang kurang mendukung. Dari
keseluruhan 92 pulau-pulau terluar yang ada, hanya 31 pulau yang berpenduduk.
Pulau-pulau yang tidak dapat dihuni pada umumnya berupa pulau berbatu atau
pulau karang dengan luasan yang kecil sehingga sulit untuk didarati oleh kapal.
10
pulau-pulau kecil terluar berpotensi bagi sarang perompak dan berbagai kegiatan
ilegal. Disamping itu, sebagai kawasan perbatasan sebagian besar pulau kecil
terluar belum memiliki garis batas maritim yang jelas dengan negara lain serta
rawan terhadap ancaman ekonomi, sosial budaya, pertahanan, dan keamanan.
Dari 92 pulau-pulau terluar, hanya beberapa pulau saja yang memiliki fasilitas
perbatasan seperti Custom, Imigration, Quarantine, and Security (CIQS) yang
memadai. Beberapa pulau lainnya belum memiliki fasilitas CIQS yang memadai
antara lain adalah Pulau Miangas di Kabupaten Kepulauan Talaud dan Pulau
Marore di Kabupaten Kepulauan Sangihe yang berdekatan dengan wilayah
Philipina Selatan.
Pos penjagaan perbatasan yang ada di pulaupun berupa pos lintas batas beserta
Kantor Imigrasi, sedangkan Kantor Bea dan Cukai serta Karantina belum
dibangun. Kegiatan lintas batas yang sering dilakukan adalah kegiatan
perdagangan antara masyarakat Philipina Selatan dan masyarakat Sangihe dan
Kepulauan Talaud kegiatan lainnya adalah kunjungan kekeluargaan serta
persinggahan nelayan-nelayan kedua negara. Barang-barang perdagangan yang
masuk di Sangihe, Talaud dan Manado maupun sebaliknya yang menuju Philipina
Selatan biasanya melewati kedua pulau ini yang dibawa dengan kapal laut.
Penjagaan di kedua pulau ini dilakukan oleh aparat kepolisian yang mengadakan
patroli bersama-sama dengan TNI AL.
Kondisi masyarakat yang umumnya nelayan dan pedagang relatif miskin dengan
biaya hidup yang cukup tinggi. Kebutuhan pangan dan sandang di kedua
kepulauan ini banyak disediakan dari Manado dengan biaya transportasi yang
tinggi. Uang yang beredar di pasar tradisional setempat adalah campuran antara
mata uang Philipina (Peso) dan Indonesia (Rupiah). Kondisi sosial ekonomi
masyarakat di kedua pulau ini cukup berbeda dengan kondisi masyarakat Philipina
Selatan yang sedikit lebih baik dari pada penduduk kedua pulau ini. Ancaman yang
dihadapi oleh kedua pulau perbatasan terpencil ini adalah rendahnya tingkat
kesejahteraan masyarakat akibat minimnya infrastruktur sosial ekonomi serta
menurunnya rasa cinta tanah air dan bela negara karena kurangnya informasi dan
komunikasi.
11
Pengelolaan perbatasan negara merupakan urusan pemerintahan yang sangat
strategis karena menyangkut tiga kepentingan bangsa, yaitu kepentingan menjaga
dan memelihara batas wilayah dan kedaulatan, kepentingan pemeliharaan
keamanan bangsa dan kepentingan mensejahterakan kehidupan masyarakat di
perbatasan.
2.4 Kesejahteraan
Kesejahteraan adalah suatu tata kehidupan dan penghidupan sosial baik material
maupun spiritual yang diliputi oleh rasa keselamatan, kesusilaan dan
ketenteraman lahir batin yang memungkinkan bagi setiap warga negara untuk
mengadakan pemenuhan kebutuhan jasmani, rohani, dan sosial yang sebaik-
baiknya bagi diri, keluarga. serta masyarakat dengan menjunjung tinggi hak dan
kewajiban asasi manusia sesuai dengan Pancasila (Badan Koordinasi Keluarga
Berencana Nasional, 2003).
12
tentang kemiskinan, kesejahteraan dan hubungan antara keduanya. Menurunnya
kemiskinan berarti naiknya kesejahteraan. Kedua istilah ini saling terkait dan
memandang masalah yang sama dari dua sisi yang berbeda.
Lebih lanjut dikatakan dalam Anonim 2013, bahwa mendorong orang-orang miskin
pada desa tertinggal agar terorganisir dalam kelompok-kelompok yang membantu
dirinya sendiri untuk bergelut, dalam aktifitas ekonomi produktif merupakan jalan
yang harus ditempuh.
13
Dalam memantau tingkat kesejahteraan, variable-variabel kesejahteraan perlu
diketahui Gambar 3. Bagian tengah kesejahteraan subjektif (SJS), dan dikelilingi
oleh aspek inti kemiskinan, termasuk kebutuhan dasar, dan konteks yang
memungkinkan warga miskin untuk keluar dari kemiskinannya. Kesejahteraan
subjektif bersifat sangat individual dan emosional. Kesejahteraan ini tidak memiliki
nilai konstan, tetapi berubah-ubah sesuai dengan suasana hati dan lingkungan.
Orang membandingkan standar kehidupan mereka dengan standar kehidupan
orang lain atau dengan kesejahteraan mereka sebelumnya. Perasaan pribadi
seperti kebahagiaan, keamanan, keterlibatan dan kepuasan, ikut menyumbang
kesejahteraan subjektif secara keseluruhan. Bentuk-bentuk kesejahteraan lain
juga tercakup, seperti kesejahteraan jasmani, kesejahteraan sosial, kepemilikan
martabat diri atau perasaan aman dan terjamin.
Inti pada model ini mencakup kebutuhan dasar seperti makanan, kesehatan,
perumahan dan pendidikan. Yang juga tercakup adalah kapabilitas individu secara
umum (yakni kecakapan dan kondisi fisik) untuk keluar dari kemiskinan.
Kebutuhan dasar dan kapabilitas individu digabung menjadi tiga kategori:
kesehatan, kekayaan materi dan pengetahuan (formal, informal atau tradisional).
Bagi kebanyakan masyarakat lokal Indonesia, inti ini juga disebut sebagai aspek
pokok kemiskinan. Bersama-sama dengan kesejahteraan subjektif, inti ini
merupakan ukuran kemiskinan atau kesejahteraan yang baik pada suatu rumah
tangga.
14
Dari kelima lingkungan konteks, lingkungan alam mencerminkan ketersediaan dan
mutu sumber daya alam. Lingkungan ekonomi mencakup kesempatan ekonomi
dan jaring pengaman. Aspek-aspek seperti kapital dan kekompakan sosial, rasa
saling percaya dan konflik, membangun lingkungan sosial. Lingkungan politik
terdiri dari hak dan partisipasi atau representasi dalam pengambilan keputusan,
pemberdayaan dan kebebasan. Lapisan luar model NESP adalah lingkungan
konteks kelima, yang mempengaruhi keempat lingkungan konteks yang lain:
prasarana dan layanan. Keduanya, sebagian besar disediakan oleh badan-badan
pemerintah, LSM, proyek pembangunan dan sektor swasta. Konteks ini adalah
lingkungan pendukung yang menyokong usaha-usaha inisiatif sendiri untuk keluar
dari kemiskinan, mengurangi kerentanan terperosok ke dalam kemiskinan atau
terjebak di dalam kemiskinan secara kronis.
Dalam Beolado dkk 2010, Interaksi spasial merupakan salah satu isu penting
dalam ilmu perencanaan pembangunan wilayah. Ini merupakan konsekuensi logis
dari adanya perbedaan spasial karakteristik antar wilayah. Lokasi wilayah suplay
and demand yang menyebar di dalam ruang mengakibatkan terjadinya interaksi
antar wilayah sebagai upaya memenuhi kebutuhan. Interaksi ini bisa berbentuk
aliran (flow) seperti aliran barang, orang, modal dan informasi, namun bisa juga
berupa eksternalitas seperti dampak lingkungan, dampak limpasan (split over
effect) dan sebagainya.
15
Namun demikian interaksi spasial merupakan syarat perlu (necessary condition)
tetapu belum menjadi syarat cukup (sufficient condition) interaksi spasial yang
bersifat sinergis akan memperkuat kinerja sistem wilayah secara keseluruhan,
karena terjadi akumulasi nilai tambah yang terdistribusi secara adil kepada semua
wilayah yang terlibat. Tetapi interaksi antar wilayah yang besifat eksploitatif akan
mengarah kepada kinerja pembagunan sistem wilayah yang tidak berkelanjutan.
Terjadiya backwasheffect dari wilayah hinterland ke kota-kota besar merupakan
salah satu interaksi yang bersifat eksploitatif.
Setiap bagian wilayah mempunyai faktor endowment yang khas dalam bentuk
sumberdaya alam maupun sumberdaya manusia. Untuk memenuhi kebutuhan
hidup penduduk dalam wilayah tersebut sering harus memenuhinya dari wilayah
lain, oleh karena itu penduduk harus melakukan perjalanan ke wilayah lain
sehingga membentuk hubungan antar wilayah, Hubungan atau kontak ini secara
ekonomi dapat digambarkan sebagai proses permintaan (demand) dan
penawaran (supply).
16
BAB 3 METODOLOGI
17
SELARU
NUSA TENGGARA TIMUR ALOR ALOR
PAPUA MERAUKE KOLEPOM
SARMI LIKI
SUPIORI BEPONDI
BRAS
SULAWESI TENGAH TOLI-TOLI LINGIAN
SULAWESI UTARA KEPULAUAN SANGIHE KAWALUSO
KAWIO
MARORE
KEPULAUAN TALAUD KAKOROTAN
MARAMPIT
MIANGAS
MINAHASA UTARA MANTEHAGE
SIAU TAGULANDANG BIARO MAKALEHI
SUMATERA UTARA NIAS SELATAN SIMUK
Sumber: Hasil olahan penulis 2015
18
3.2 Variabel dan Indikator Penelitian
Variabel dan indikator yang dalam penelitian ini dapat dilihat pada table berikut:
19
Data-data sekunder yang dapat diperoleh dari berbagai institusi:
1. Data jumlah jiwa per desa/kelurahan, bersumber dari data PODES (Potensi
Desa), BPS (Biro Pusat Statistik), Tahun 2011. Data ini merupakan hasil
sensus yang dilakukan oleh BPS di tingkat desa
20
3. Data titik berat pulau hasil olahan dari data BIG Tahun 2010 menggunakan
software pengolahan data SIG
21
3.4 Metode Pengolahan dan Analisis Data
Metode pengolahan dan analisa data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
sebagai berikut:
1. Tabulasi data. Data non spasial yang diperoleh dari BPS akan diolah dengan
cara pengelompokan data untuk desa yang berada di pulau yang sama.
2. Sistem Informasi Geografis. Data spasial yang diperoleh akan diolah
menggunakan software pengolahan data spasial untuk menghasilkan data
baru berdasarkan kriteria yang telah ditentukan. Pada tahapan ini terdiri dari
beberapa bagian pengolahan. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada gambar
berikut:
Data yang diolah menggunakan data resmi dari beberapa sumber untuk
identifikasi PPK yang berada disekitar PPKT dan menentukan jarak antar
pulau tersebut. Hasil yang diperoleh adalah data PPK yang berada dalam
radius terdekat PPKT yang dibagi dalam 5 zona yakni:
22
Dari zona yang digambarkan pada table diatas, hanya zona 1 dan 2 yang
akan dianalisis lebih lanjut. Output dari hasil geoprocessing sebagaimana
digambarkan diatas akan diolah lebih lanjut menggunakan software
pengolah data. Yang kemudian akan didapatkan tabulasi jarak dan waktu
tempuh dari tiap PPKT ke PPK terdekat
3. Analisis Data. Analisa data menggunakan 2 metode yakni:
a. Analisis deskriptif, analisis berdasarkan nilai yang diperoleh dari hasil
tabulasi dan pengolahan spasial berdasarkan jarak terdekat dan waktu
tempuh yang diperlukan oleh PPKT ke PPK atau sebaliknya sebagai
pertimbangan aksessibiltas
b. Analisa Spasial, analisis ini menggunakan model huff atau dikenal
sebagai gravitiy model yang awalnya digunakan untuk menentukan
lokasi paling strategis dalam pengembangan bisnis. Model Huff adalah
model interaksi spasial yang melihat probabilitas dari tiap pulau untuk
saling berinteraksi
Pelaksanaan penelitian ini terdiri dari beberapa tahapan yang akan diuraiakan
sebagai berikut:
1. Studi literatur, tahapan ini berupa pengumpulan literatur dari penelitian-
penelitian terdahulu, teori, jurnal dan buku-buku referensi yang dapat
digunakan dalam membantu penyusunan penelitian
2. Persiapan tools, tahap penyiapan perangkat-perangkat penelitian misalnya
kuesioner, matriks kebutuhan data dan lain sebagainya.
3. Konsultasi, tahapan diskusi dengan pembimbing maupun penguji penelitian
untuk memperoleh masukan, kritikan yang akan membantu proses
penyempurnaan penelitian
4. Pengumpulan data dan review, sebagaimana telah diuraikan sebelumnya,
pengumpulan data akan dilakukan secara instansional kemudian akan
direview berdasarkan hasil perolehan data
5. Kunjungan lapangan, tahapan ini merupakan bagian dari pengumpulan data
secara primer juga untuk melihat kondisi real dilapangan guna verifikasi
terhadap data yang diperoleh di instansi maupun dalam rangka pengambilan
data primer atau pengukuran langsung
23
6. Tabulasi dan recheck. Tahapan ini adalah tabulasi data hasil lapangan dan
pengecekan ulang terhadap data yang diperoleh untuk memastikan data yang
diperoleh sudah cukup
7. Analisis data, tahapan ini berupa input data kedalam perangkat analisis yang
digunakan dalam penelitian ini untuk memperoleh hasil yang diharapkan
8. Pembahasan dan penarikan kesimpulan, Tahapan merupakan proses
pendiskripsian masalah yang ditemukan dilapangan, hasil yang diperoleh
dalam analisis data dan input berdasarkan rujukan teori berdasarkan hasil
24
DAFTAR PUSTAKA
1. Anonim. 2013. Data Kebutuhan Air Bersih dan Sumber Air di Pulau-Pulau
Kecil, Kementerian Kelautan dan Perikanan.
2. Anonim. 2013. Dukungan Peningkatan Keterpaduan Pembangunan wilayah
Perbatasan, DEPARTEMEN DALAM NEGERI.
3. Beolado, dkk. 2012. Analisis Model Interaksi Antar Wilayah Di Provinsi Maluku
Utara. Jurnal Ilmiah Masagena Volume VII. Edisi 1 Januari 2012. ISSN:1907-
4867
4. Kabupaten Alor dalam Angka 2009, BPS Kabupaten Alor
5. PERATURAN BADAN NASIONAL PENGELOLA PERBATASAN NOMOR 2
TAHUN 2011 TENTANG RENCANA INDUK PENGELOLAAN BATAS
WILAYAH NEGARA DAN KAWASAN PERBATASAN TAHUN 2011 - 2014
6. PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR PER.16/MEN/2008
TENTANG PERENCANAAN PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR DAN
PULAU-PULAU KECIL
7. PERATURAN MENTERI KEBUDAYAAN DAN PARIWISATA NOMOR
KM.67/UM.001/MKP/2004 TENTANG PEDOMAN UMUM PENGEMBANGAN
PARIWISATA
8. PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 78 TAHUN 2005
TENTANG PENGELOLAAN PULAU-PULAU KECIL TERLUAR
9. Purnomo H, Negara dengan Penduduk Terbanyak di Dunia, RI Masuk 4 Besar.
http://finance.detik.com/read/2014/03/06/134053/2517461/4/negara-dengan-
penduduk-terbanyak-di-dunia-ri-masuk-4-besar (Diakses tanggal 25 Mei 2015)
10. UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2007
TENTANG PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL
11. UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS
UNDANG-UNDANG NOMOR 27 TAHUN 2007 TENTANG PENGELOLAAN
WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL
12. United Nations Convention on the Law of the Sea (Unclos) 1982
25