Anda di halaman 1dari 9

Pitfalls & Pearls dalam Diagnosis

dan Tata Laksana Demam Berdarah Dengue

Demam berdarah dengue (DBD) merupakan salah satu bentuk spektrum klinis infeksi
virus dengue yang mempunyai perjalanan penyakit sangat khas dan dapat dikatakan klasik.
Dengan mempelajari patogenesis penyakit infeksi dengue, maka akan dapat memperkirakan
perjalanan penyakit infeksi virus dengue. Hal ini sangat berguna, karena dengan mengetahui
perjalanan penyakit DBD dengan cermat, akan dapat diketahui bagaimana pedoman dasar
menegakkan diagnosis maupun pengobatan, serta menentukan prognosis penyakit. Oleh
karena itu, patogenesis infeksi virus dengue merupakan kunci manajemen penyakit.

Mengingat infeksi dengue termasuk dalam 10 jenis penyakit infeksi akut terbanyak
(endemis) di Indonesia, maka seharusnya tidak boleh lagi dijumpai misdiagnosis atau
kegagalan pengobatan. Kita sadari bahwa menegakkan diagnosis DBD pada fase dini
sangatlah sulit. Hal ini disebabkan karena tidak ada satupun pemeriksaan dapat memastikan
diagnosis DBD. Oleh karena itu, untuk menegakkan diagnosis DBD harus dilakukan monitor
berkala, baik klinis maupun laboratoris. Dari segi pengobatan, prinsip pengobatan DBD
adalah penggantian volume cairan (akibat plasma leakage), dan mempertahankan oksigenasi
jaringan dengan baik (akibat syok hipovolemik) sehingga dapat mencegah terjadinya
perdarahan masif.

Dalam makalah ini dibahas mengenai misconception yang seringkali mengacaukan


diagnosis, pearls (mutiara) yang harus selalu diingat demi keberhasilan diagnosis dan tata
laksana pasien, serta pitfalls (jebakan) yang harus dihindarkan, sehingga pasien diselamatkan.

Misconception

Misconception, berarti konsep yang salah atau kurang tepat; dalam hal ini yang
dimaksud adalah misconception dalam memandang penyakit demam dengue (DD) / DBD.
Dari pengamatan, beberapa teman sejawat dokter mempunyai pendapat yang kurang tepat
dalam masalah DBD yang perlu diluruskan. Maka diperlukan pedoman baku sebagai panduan
dalam mengambil keputusan baik untuk memilih pengobatan yang harus diberikan kepada
pasien.

Misconception yang beredar sebagai berikut antara lain,

Demam berdarah dengue merupakan penyakit pada anak

Pendapat tersebut saat ini tidaklah benar, semua kelompok umur dapat terjangkit DBD. Sejak
tahun 1968-2000, kasus DBD masih didominasi kelompok umur < 15 tahun, 60% di
antaranya berasal dari kelompok umur 5-10 tahun. Namun sejak tahun 1984, kasus dewasa
(> 15 tahun) dari tahun ke tahun semakin meningkat. Pada saat terjadi kejadian luar biasa
tahun 2004 di enam rumah sakit di DKI tercatat lebih dari 75% kasus DD/DBD adalah
dewasa.
Infeksi virus dengue (DD/DBD) merupakan masyarakat sosial rendah

Data menunjukkan bahwa semua puskesmas, rumah sakit pemerintah maupun swasta, yang
lebih banyak melayani kelompok sosial menegah ke atas dibandingkan dengan rumah sakit
pemerintah, dipadati oleh pasien DBD. Maka dapat disimpulkan bahwa semua kelompok
masyarakat dapat terkena, baik kelompok sosial rendah maupun tingkat atas. Kejadian tidak
terlepas dari masalah daerah perkotaan yaitu perumahan yang relatif berdekatan, kepadatan
penduduk tinggi, mobilitas masyarakat tinggi, banyak dijumpai tempat perindukan nyamuk
(breeding places), dan ada beberapa serotip virus dengue yang bersirkulasi secara bersamaan
di satu area (di Indonesia dijumpai semua serotip dengue 1, 2, 3, dan 4), menyebabkan
penyebaran virus dengue dapat menjangkau semua lapisan masyarakat.

Kematian pada DBD disebabkan oleh perdarahan

Perlu diingat bahwa kematian pada DBD terutama disebabkan oleh syok (hipovolemik)
sebagai akibat perembesan plasma (plasma leakage). Syok yang tidak diatasi dengan tepat
akan menyebabkan syok berkepanjangan (prolonged shock) atau syok berulang (recurrent
shock), sehingga terjadi hipoksis berat yang akan memicu koagulasi intravaskuler diseminata
(KID) yang berakibat terjadi perdarahan masif yang sangat sulit diatasi. Jadi kunci dalam tata
laksana DBD adalah mengatasi syok dengan tepat sedini mungkin.

Demam + perdarahan = DBD

Pendapat ini tidak benar, untuk menegakkan diagnosis DBD diperlukan empat kriteria WHO
(2 atau lebih gejala klinis + trombositopenia + hemokonsentrasi, dikonfirmasi dengan uji
serologik). Kriteria WHO ini dibuat dengan pedoman bahwa pada DBD terjadi plasma
leakage, yang tidak dijumpai pada DD.

Uji tourniquet positif = DBD

Uji tourniquet adalah uji fragilitas kapiler, sehingga tidak spesifik untuk DBD. Namun
apabila secara kllinis seorang anak dicurigai menderita DBD dan mempunyai uji tourniquet
positif, maka dugaan tersebut makin mendekati dan harus segera dilengkapi dengan
pemeriksaan darah tepi untuk menentukan diagnosis.

Infeksi dengue yang tidak diobati dengan baik akan menjadi DBD

Infeksi dengue bila tidak diobati dengan baik akan menjadi berat, misalnya seorang anak
yang menderita DD dapat disertai perdarahan saluran cerna masif walaupun tidak disertai
syok akibat plasma leakage. Sedangkan DBD, secara klinis merupakan spektrum klinis yang
berbeda (penyebabnya sama) maka sejak awal mempunyai perjalanan penyakit yang berbeda
(plasma leakage).

Pearls (mutiara) dalam menegakkan diagnosis

Dalam menegakkan diagnosis DBD terdapat beberapa hal yang dapat dipakai sebagai
patokan. Beberapa patokan klinis atau ditambah dengan laboratoris tersebut perlu di ingat dan
disimpan baik-baik layaknya sebagai mutiara yang begitu berarti dalam menegakkan
diagnosis.

Anak demam tinggi mendadak

Apabila menjumpai anak menderita demam tinggi mendadak, yang perlu diingat adalah
adakah penyerta lain? Misalnya di samping demam adakah disertai dengan gejala pilek, nyeri
tenggorokan, batuk, muntah, nyeri ulu hato, mual, atau diare. Gejala-gejala penyerta tersebut
sangat membantu untuk menyingkirkan diagnosis banding infeksi saluran nafas akut
termasuk influenza atau infeksi enterovirus yang banyak dijumpai pada anak. Kapan kita
mencurigai anak demam tinggi menderita infeksi dengue? Apabila demam tinggi mendadak
disertai tanda-tanda sebagai berikut perlu dicurigai infeksi dengue.

Uji tourniquet positif dengan atau tanpa dijumpai petekie


Dijumpai facial flushing (muka kemerah-merahan dan terasa panas), tanpa pilek atau
batuk
Demam 2-3 hari + uji tourniquet positif + jumlah leukosit < 5000/ul, maka 60-70%
memiliki nilai prediksi positif untuk diagnosis infeksi dengue

Demam tinggi mendadak dicurigai sebagai infeksi dengue dan harus segera dilakukan
intervensi apabila disertai,

Hepatomegali
Leukopenia, penurunan sel polimorfinuklear, limfositosis relatif, yang merupakan
tanda akhir fase demam (time for fever defervescence)
Penurunan drastis trombosit bersamaan dengan peningkatan hematokrit (20%)

Diagnosis DBD perlu dicurigai apabila,

Dijumpai syok disertai laju endapan darah rendah atau normal (< 10mm/jam) dan
leukopenia. Penurunan sel polimorfonuklear, limfositosis relatif, dapat membantu
membedakan dengan syok septik
Dijumpai efusi pleura dan asites membantu diagnosis, walaupun hemokonsentrasi
<20% (karena telah mendapat pengganti cairan atau terjadi perdarahan)

Pitfalls dalam diagnosis

Pitfalls dalam diagnosis DBD menggambarkan hal-hal yamg kurang tepat dilakukan, apabila
tidak diwaspadai akan merugikan (sebagai jebakan) untuk seorang dokter dalam menegakkan
diagnosis. Maka pitfalls harus selalu dihindari.

Ketidaktepatan saat melakukan pemeriksaan laboratorium

Pemeriksaan kadar hemoglobin, jumlah leukosit dan hitung jenis, jumllah trombosit, dan
kadar hematokrit, pada awal penyakit bertujuan untuk meramalkan datangnya fase kritis,
yaitu saat penurunan suhu (time of fever defervescence) yang merupakan waktu perpindahan
dari fase demam (hari ke 0-3 hari demam) ke fase syok (hari ke 4-7 demam).
Trombositopenia akan datang lebih dahulu, diikuti oleh hemokonsentrasi. Jadi apabila pasien
datang sebelum hari ke-3 demam, pemeriksaan laboratorium seperti tertera diatas seringkali
belum memperlihatkan hasil yang abnormal, sehingga perlu diulang setiap hari (tiap 24 jam)
sampai pada saat perpindahan fase demam ke fase syok (saat demam turun) untuk menjaring
kasus DBD.

Kegagalan membedakan demam dengue dengan demam berdarah dengue

Mengapa DD perlu dibedakan dengan DBD? Spektrum klinis DD dapat disertai perdarahan
atau tidak, sedangkan DBD selalu disertai perdarahan (ringan sampai berat) yang dapat
disertai syok atau tidak; namun DD mempunyai prognosis yang lebih baik daripada DBD.
Tidak seorangpun dapat membedakan antara DD dan DBD pada awal penyakit, mengingat
tidak ada gejala khas. Untuk membedakan DD dan DBD diperlukan monitor gejala klinis dan
laboratoris (hemoglobin, hematokrit, trombosit) secara berkala, minimal tiap 12 jam. Pada
kasus yang meragukam dapat dirawat di rumah dengan monitor sampai demam turun atau
pasien dirawat di ruang rawat sehari (one day care) selama 24 jam. Ruang rawat sehari perlu
dibuat di setiap rumah sakit yang merawat pasien DBD karena dapat berguna sebagai triase,
yaitu untuk memilah apakah pasien akhirnya dapat dipulangkan, dirawat dalam bangsak
biasa, atau di ruang rawat intensif. Pada DD, saat terjadi penurunan suhu pasien secara klinis
tampak membaik, terutama kesadaran dan nafsu makan membaik. Sedangkan pada DBD
pada saat suhu turun klinis pasien memburuk yang merupakan awal terjadinya syok.

Kegagalan mendeteksi awal terjadinya syok

Dengan monitor klinis (terutama terhadap tanda vital) dan laboratoris (penurunan jumlah
leukosit, peningkatan kadar hematokrit, penurunan jumlah trombosit, peningkatan jumlah
limfosit plasma biru) akan dapat diketahui terjadinya syok secara dini. Pada pasien yang telah
dicurigai menderita infeksi dengue (tersangka dengue, DD, DBD stadium I dan II), walaupun
secara klinis tampak tenang harus dimonitor dengan cermat kemungkinan terjadi syok sampai
melewati fase kritis (waktu penurunan demam). Tanda awal terjadinya syok pada DBD
adalah sebagai berikut, anak tampak gelisah, kesadaran mulai menurun, nafas cepat, dapat
disertai nyeri perut, perfusi perifer (capillary refill) menurun, nadi cepat dengan volume
mengecil, tekanan darah menurun, ujung tangan & kaki dingin, diuresis berkurang.

Kriteria diagnosis WHO

Kriteria diagnosis WHO hanya berlaku untuk DBD, tidak untuk spektrum infeksi dengue
yang lain. WHO membuat panduan untuk mendiagnosis DBD, karena yang menjadi masalah
kesehan masyarakat adalah angka kematian yang tinggi yang disebabkan oleh DBD dan
bukan spektrum klinis infeksi virus dengue yang lain. Maka apabila kriteria WHO tidak
terpenuhi, berarti yang kita hadapi memang bukan DBD, mungkin DD atau infeksi virus lain.
Kriteria WHO sangat membantu dalam membuat diagnosis pulang (bukan diagnosis untuk
rumah sakit!), sehingga catatan medik dapat dibuat lebih tepat.

Kriteria diagnosis DBD adalah dua atau lebih tanda klinis + tanda laboratoris yaitu
trombositopenia + hemokonsentrasi (kedua hasil laboratorium tersebut harus ada) dan
dikonfirmasi dengan uji serologi. Data ini sangat penting untuk pelaporan kepada
Departemen Kesehatan untuk menentukan angka kematian secara nasional. Untuk
menghitung angka kematian nasional diperlukan angka pembagi/denominator kasus DBD,
sehingga apabila dimasukkan juga angka kejadian spektrum klinis lain angka tersebut
menjadi besar dan angka kematan menjadi kecil (bukan angka yang sebenarnya).

Kurang mengenal manifestasi klinis yang tidak lazim (unusual manifestations)

Dalam klinis seringkali dijumpai manifestasi klinis kasus DBD yang tidak lazim, berbeda
dengan tampilan klinis DBD pada umumnya (unusual manifestations). Beberapa contoh
dikemukakan disini. Seorang anak berumur kurang dari 2 tahun menderita demam tinggi,
disertai gejala penyerta diare, dan kejang. Pasien tersebut diduga menderita ensefalitis virus
dan diobati sebagai ensefalitis. Ternyata pada pemantauan selanjutnya pasien menderita syok
yang tidak terdiagnosis sehingga terjadi perdarahan saluran cerna masif dan meninggal.
Pasien tersebut ternyata adalah dengue ensefalopati yang tatkala masuk rumah sakit
memperlihatkan gejala susunan syaraf pusat yang lebih mencolok daripada gejala lain. Maka
pada kasus anak kecil dengan tersangka ensefalitis, tidak ada salahnya monitor tanda syok
dan laboratorium darah perifer.

Contoh lain yaitu anak besar menderita demam tinggi disertai nyeri perut hebat,
didiagnosis sebagai apendisitis akut atau pankreatitis, sehingga dilakukan laparotomi. Namun
pasien kemudian meninggal karena perdarahan yang tidak dapat dihentikan. Nyeri perut pada
DBD sebenarnya khas, dapat diketahui dengan palpasi di bawah arkus kosta dan bukan pada
epigastrium. Nyeri pada epigastrium dapat disebabkan oleh gastritis akibat penggunaan
antipiretik (pada anak tersangka DBD tidak dianjurkan memberikan asetosal atau ibuprofen).
Pada penelitiannya Sumarmo mendapatkan korelasi positif antara nyeri perut dengan
perdarahan saluran cerna.

Rapid sero diagnostic test

Uji serodiagnostik cepat komersial yang ada di pasaran dapat membantu diagnosis namun
dapat pula membuat keraguan. Uji serodiagnostik cepat sering menghasilkan negatif palsu
pada hari demam ke 2-3. Kit serodiagnostik cepat berisi IgM, IgM dan IgG, atau IgG saja.
Perlu diingat bahwa infeksi primer, hari sakit ke 3-4, akan dijumpai peningkatan IgM, lalu
meningkat dan mencapai puncaknya, kemudian menurun kembali dan menghilang pada hari
sakit ke 30-60. Peningkatan IgM akan diikuti dengan peningkatan IgG yang mencapai
puncaknya pada hari sakit ke-15 dan kemudian menurun dalam kadar rendah seumur hidup.
Namun pada infeksi sekunder (infeksi ke dua kalinya) akan memacu timbulnya IgG sehingga
kadar IgG akan meningkat degan cepat, sedangkan IgM akan menyusul kemudian. Apabila
tidak terdeteksi pada demam hari ke 2-3 padahal klinis sangat mencurigakan, pemeriksaan
serologi harus diulang 4-6 hari lagi, karena pada dasarnya uji serologi positif berdasarkan
kenaikan titer. Jadi hati-hati dalam menentukan diagnosis DBD hanya berdasarkan
pemeriksaan uji serologis saja.
Pemeriksaan foto toraks, apakah perlu dilakukan?

Perembesan plasma pada DBD terjadi di seluruh kompartemen darah, termasuk jaringan
paru. Pada awal terjadi perembesan plasma akan terjadi pengeluaran plasma dari intra
vaskular ke dalam ruang ektravaskular (jaringan intersisial). Pada jaringan paru, awal
perembesan plasma telah mencapai 20% atau lebih. Sebelum terjadi penimbunan cairan
dalam rongga pleura, maka gambaran radiologi dada akan tampak (1) peningkatan gambaran
vascular marking (engorgement), (2) cloudy (gambaran radioopak) pada hemitoraks kanan,
(3) apabila perembesan plasma bertambah, akan dijumpai gambaran sinus kardiotorakis
tumpul, (4) kubah diafragma kanan lebih tinggi daripada hemitoraks kiri, dan (5) tampak
efusi pleura terutama sebelah hemitoraks kanan.

Mengingat perjalanan penyakit DBD maka pemeriksaan foto toraks perlu


dipertimbangkan apabila (a) kita menghadapi keraguan diagnosis (demam lebih dari tiga hari,
namun tidak dijumpai syok, sedangkan klinis mengarah pada DBD dengan asumsi telah
terjadi perembesan plasma), atau (b) untuk mengevaluasi pemberian cairan, terutama apabila
keadaan sirkuasi belum stabil sedangkan anak sudah tampak sembab dan sesak nafas.

Pengobatan

Sebagaimana dalam diagnosis, peru diperhatikan pearls dan pitfalls dalam memberikan
pengobatan pada DBD

Pearls dalam pengobatan

Ketepatan volume replacement merupakan kunci keberhasilan pengobatan. Perlu ditekankan


kembali bahwa hanya dengan upaya melakukan deteksi dini terjadinya syok dan pemantauan
berkala terhadap kejadian plasma leakage yaitu monitor saat tiba time of fever defervescence,
maka pemberian cairan pengganti (volume replacement) dapat mencegah terjadinya syok.

Fase perembesan plasma singkat 24-48 jam

Perembesan plasma pada DBD umumnya terjadi mulai hari demam ke tiga sampai ke tujuh,
dan tidak lebih dari 48 jam, sehingga fase kritis DBD adalah sejak demam turun sampai 48
jam kemudian. Pada saat kritis tersebut sangat dianjurkan meakukan pemantauan tanda vital,
kadar hematokrit, jumlah trombosit, dan jumlah urin, 6 jam sekali (minimal 12 jam sekali).
Selanjutnya apabila fase krisis tersebut telah dapat teratasi dengan baik (baik dijumpai syok
maupun tidak), maka apabila tidak ada perdarahan, cairan intravena segera dihentikan, tidak
melampaui 48 jam setelah syok teratasi.

Cairan kristaloid sebagai cairan resusitasi syok

Pengalaman di rumah sakit mendapatkan sekitar 60% kasus DBD syok berhasil diatasi hanya
dengan larutan kristaloid, 20% kasus memerlukan cairan koloid, dan 15% memerlukan
transfusi darah. Cairan kristaloid yang direkomendasikan oleh WHO untuk resusitasi awal
syok adalah Ringer laktat, Ringer asetat, atau NaCl 0,9%. Kelebihan cairan Ringer karena
mengandung natrium dan base corrector, yang diperlukan untuk mengatasi hipernatremia
dan asidosis yang selalu dijumpai pada DBD. Pada DBD syok (stadium III), hiponatremia
dan asidosis dapat diatasi hanya dengan pemberian cairan Ringer dengan volume sesuai
acuan tata laksana syok. Namun untuk DBD stadium IV terjadi asidosis berat sehingga perlu
ditambahkan base corrector di samping pemberian cairan Ringer.

Tabel 1. Jenis cairan koloid

SIFAT DEXTRAN GELATIN HYDOXYL ETHYL STARCH

(HES)

Isotonik 6% HES 200/0,5 & 0,6

6% HES 450/0,7

Iso-Onkotik 6% HES 200/0,5 & 0,6

6% HES 450/0,7

Hiperonkotik 10% HES 200/0,5

Kemapuan bertahan

dalam 10% D-40: 3,5-4,5 2-3 6% & 10% HES 200/0,5: 4-8

Ruang intravaskular 6% D-70: 6,0-8,0 6% HES 200/0,6 : 8-12

(jam) 6% HES 450/0,7 : 8-12

Pengaruh pada gangguan

Pembekuan kontaindikasi KID Apabila volume >1500ml

Keterangan: contoh : Hemacel, Gelafundin

KID = koagulasi intravaskular diseminata

Kunci pengobatan

Dengan mendeteksi syok sedini mungkin dan memberikan pengobatan syok dengan tepat,
maka pasien akan segera mengalami penyembuhan dramatis. Apabila syok diatasi dengan
cepat dan tepat, sehingga tidak terjadi hipoksia maka perdarahan masih tidak akan terjadi,
walaupun jumlah trombosit kurang dari 50.000/ ul.

Pitfalls dalam pengobatan


Penggantian volume cairan terlalu dini
Pada saat pasien berada dalam fase demam, pemberian cairan diperlukan hanya untuk
rumatan (jenis dan jumlah disesuaikan kebutuhan), bukan sebagai cairan pengganti, karena
perembesan plasma belum terjadi. Jenis dan jumlah cairan harus disesuaikan atau diganti
apabila pada saat time of fever defervescence cenderung terjadi syok. Perlu diingat bahwa
cairan pengganti tidak diperlukan pada DD (tidak ada perembesan plasma).

Terlambat memberi koloid pada fase kritis

Pada syok DBD apabila tidak berhasil diatasi selama 30 menit dengan resusitasi kristaloid,
maka cairan koloid (terdapat 3 jenis koloid komersial dextran, gelati, dan hydroxy ethyl
starch) harus segera diberikan (10-30 ml/kgBB). Berat molekul cairan koloid pada umumnya
lebih besar sehingga dapat bertahan lebih lama dalam rongga vaskular (3-8 jam) daripada
cairan kristaloid, dan mempunyai kapasitas mempertahankan tekanan onkotik vaskular yang
lebih baik.

Kegagalan mendeteksi perdarahan dan pemberian transfusi darah pada syok


berkepanjangan

Pada syok berat (lebih dari 60 menit), apabila telah dilakukan resusitasi dengan larutan
kristaloid (20ml/kgBB/30 menit) dan diikuti dengan pemberian cairan koloid, namun syok
belum juga dapat diatasi maka perlu diamati terjadinya perdarahan sehingga perlu pemberian
transfusi darah; minimal 100ml darah segar dapat segera diberikan (pada monitor kadar
hematokrit turun). Obat inotropik diberikan apabila telah dilakukan pemberian cairan yang
memadai (volume intravaskuler cukup) namun syok tetap tidak dpat diatasi.

Pemasangan CVP (central venous pressure) tidak dianjurkan pada pasien DBD,
mengingat prosedur CVP bersifat traumatis untuk anak dengan trombositopenia, gangguan
vaskuler, dan gangguan hemostasis, sehingga mudah terjadi perdarahan dan infeksi (selulitis
dan sepsis), di samping pemasangan dan cara pengukuran CVP pada kenyataannya tidak
mudah. Pengalaman kami di Bagian Anak RSCM pada periode tahun 70-80an, pemasangan
CVP pada kasus DBD berat tidak banyak manfaatnya.

Kegagalan pada pemantauan pengganti volume cairan.

Perlu diingat bahwa setelah fase kritis (periode perembesan plasma) telah lampau, cairan
yang berada dalam ekstravaskular akan masuk kembali ke dalam intravaskular, sehingga
penghentian pemberian cairan intravena akan mengurangi kemungkinan terjadinya udem
paru (distres pernapasan) sebagai akibat kelebihan cairan. Selalu monitor tanda vital,
penghitungan jumlah urin (minimal 1ml/kg berat badan/jam) sangat membantu dalam
menentukan apakah syok telah teratasi atau belum. Pada saat fase penyembuhan (setelah hari
ke tujuh demam), apabila terdapat penurunan kadar hemoglobin, bukan berarti terjadi
perdarahan tetapi terjadi hemodilusi, sehingga kadar hemoglobin akan kembali lagi ke nilai
awal sebelum sakit. Pada anak yang awalnya menderita anemia akan tampak kadar
hemoglobin rendah, hati-hati tidak perlu diberi transfusi.

Pemberian suspensi trombosit sebagai profilaksis.


Kesepakatan pemberian suspensi trombosit (trombosit konsentrat) sesuai dengan
pemberiannya pada penyakit darah pada umumnya; (1) Klinis terjadi perdarahan. (2) Tidak
pernah dianjurkan pemberian suspensi trombosit untuk mencegah agar tidak terjadi
perdarahan pada trombositopenia. Pemberian suspensi trombosit pada umumnya diperlukan
suspensi pada keadaan KID. Apabila diperlukan pemberian fresh frozen plasma (FFP) yang
masih mengandung faktor-faktor pembekuan untuk mencegah terjadinya agregasi trombosit
lebih hebat lagi. Apabila kadar hemoglobin rendah dapat ditambahkan pula packed red cells
(PRC). Namun apabila tidak tersedia komponen darah, dapat diberikan transfusi darah segar.

Kesimpulan
Untuk menegakkan diagnosis dan memberikan pengobatan yang tepat, pengetahuan
mengenai perjalanan infeksi virus dengue harus dikuasai oleh seorang dokter dengan baik.
Pemantauan klinis dan laboratoris berkala, merupakan kunci tata laksana DBD. Akhirnya
dalam menegakkan diagnosis dan memberikan pengobatan pada kasus DBD perlu
memperhatikan mutiara & jebakan (pearls & pitfalls).

Anda mungkin juga menyukai