Rreferat Typhoid
Rreferat Typhoid
DEMAM TYFOID
Oleh :
Nadya Noor Mulya Putri
1102013204
Pembimbing :
dr. Shelvi Febriyanti, Sp.PD
Assalamualaikum Wr.Wb.
Puji syukur kami ucapkan kehadirat Allah SWT karena atas rahmat dan karunia-
Nya kami dapat menyelesaikan referat yang berjudul Demam Tyfoid dengan baik.
Referat ini disusun untuk memenuhi sebagian syarat dalam mengikuti dan
menyelesaikan kepaniteraan klinik SMF Penyakit Dalam di RSUD Dr.Slamet Garut.
Dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya
kepada :
2. Para Perawat dan Pegawai di Bagian SMF Penyakit Dalam RSUD Dr. Slamet Gar
ut.
Segala daya upaya telah di optimalkan untuk menghasilkan referat yang baik dan
bermanfaat, dan terbatas sepenuhnya pada kemampuan dan wawasan berpikir penulis.
Pada akhirnya penulis menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari sempurna, untuk itu
penulis mengharapkan saran dan kritik dari para pembaca agar dapat menghasilkan
tulisan yang lebih baik di kemudian hari.
Akhir kata penulis mengharapkan referat ini dapat memberikan manfaat bagi
pembaca, khususnya bagi para dokter muda yang memerlukan panduan dalam menjalani
aplikasi ilmu.
Penulis
ii
DAFTAR ISI
iii
BAB I
PENDAHULUAN
Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007, angka prevalensi demam
tifoid secara nasional adalah 1,6% dengan 12 provinsi yang memiliki prevalensi diatas
angka nasional, yaitu: Provinsi Nangroe Aceh Darusalam, Bengkulu, Jawa Barat, Banten,
Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur,
Sulawesi Selatan, Gorontalo, Papua Barat dan Papua.3
Diagnosis demam tifoid bisa dilakukan dengan berbagai cara, tidak hanya dengan
melihat manifestasi klinis yang muncul pada pasien namun juga didukung dengan
pemeriksaan penunjang untuk menegakkan diagnosis. Pemeriksaan penunjang pun
tersedia dalam berbagai pilihan, antara lain : kultur darah, kultur agar darah, identifikasi
biokimia, aglutinasi antibodi, dsb. Pada intinya, segala jenis pemeriksaan tersebut
bertujuan untuk mengidentifikasi bakteri penyebab demam tifoid, yaitu Salmonella
enterica subsp. enterica serotipe Typhi (Salmonella Typhi).1
1
Pemeriksaan serologi yang paling tua ialah uji Widal, yang mengandalkan reaksi
aglutinasi antara serum pasien dengan substrat yang dibuat dari kuman utuh yang telah
dimatikan. Uji ini memiliki banyak kelemahan dan dipengaruhi banyak faktor,
diantaranya gangguan pembentukan antibodi pada pasien, konsumsi antibiotik, kesalahan
saat pengambilan darah, endemisitas wilayah sehingga terdapat variasi nilai cut-off,
reaksi silang dengan organisme lain, serta dipengaruhi oleh vaksinasi. American
Academy of Paediatrics bahkan sudah tidak merekomendasikan pemeriksaan Widal.4
Begitu pula WHO, WHO juga sudah tidak merekomendasikan Widal sebagai uji
diagnostik untuk demam tifoid. Untuk uji Serologis, WHO lebih merekomendasikan
penggunaa TUBEX dan Typhidot sebagai uji serologis yang lebih sensitif dan spesifik.
Namun dikatakan bahwa diagnosis definitif terbaik tetap menggunakan teknik isolasi
kuman atau kultur darah. 5
2
BAB II
PEMBAHASAN
2.1.1 DEFINISI
Demam tifoid adalah suatu penyakit sistemik akut yang disebabkan oleh Salmonella
enterica serotype typhi, dapat juga disebabkan oleh Salmonella enterica serotype
paratyphi A, B, atau C (demam paratifoid). disebut pula sebagai demam enterik dan tifus
abdominalis.Demam tifoid ditandai antara lain dengan demam tinggi yang terus menerus
bisa selama 3-4 minggu, toksemia, denyut nadi yang relatif lambat, kadang gangguan
kesadaran seperti mengigau, perut kembung, splenomegali dan leukopenia. Manusia
merupakan satu-satunya pejamu bagi organisme ini. Diberi nama demam tifoid karena
tanda dan gejalanya mirip tifus yang disebabkan Rickettsia. (Dorland, 2008).
Demam tifoid merupakan salah satu penyakit infeksi sistemik yang menjadi
masalah dunia. Tidak hanya di negara-negara tropis, namun di negara-negara subtropis
pun prevalensi demam tifoid cukup tinggi, terlebih di negara berkembang. WHO
mencatat pada tahun 2003 lebih dari 17 juta kasus demam tifoid terjadi di seluruh dunia,
dengan angka kematian mencapai 600.000, dan 90% dari angka kematian tersebut
terdapat di negara-negara Asia.1
Berdasarkan studi epidemiologis yang dilakukan oleh WHO pada 441.435 sampel di
5 negara Asia, yaitu: Pakistan, India, Indonesia, Vietnam dan Cina, didapatkan adanya
perbedaan yang cukup signifikan. Insiden demam tifoid lebih tinggi di negara-negara
Asia Selatan (Pakistan dan India) dibandingkan dengan negara-negara di Asia Timur
(Indonesia, Vietnam, Cina).
WHO mencatat Indonesia sebagai salah satu negara endemik untuk demam tifoid. Di
Indonesia, terdapat rata-rata 900.000 kasus demam tifoid dengan angka kematian lebih
3
dari 20.000 setiap tahunnya.1 Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun
2007, angka prevalensi demam tifoid secara nasional adalah 1,6%.3 angka prevalensi
tifoid yang di diagnosa oleh tenaga kesehatan adalah 0,79 %. Angka kesakitan demam
tifoid di Indonesia yang tercatat di buletin WHO 2008 sebesar 81,7 per 100.000. dibagi
menurut golongan umur :
1 thn ( 0,0 / 100 .000),
2-4 thn (148,7/100.000),
5-15 thn (180,3 /100.000).
16 thn 51,2/100.000/tahun.
Angka ini menunjukkan bahwa penderita terbanyak pada usia 2-15 tahun. Sebesar 20-40
% kasus demam Tifoid harus menjalani perawatan di Rumah sakit. Biaya yang
dikeluarkan negara karena sakit Tifoid diperkirakan mencapai 60 juta dolar Amerika
pertahun. Penderita demam tifoid mempunyai potensi untuk menjadi carrier atau
pembawa menahun setelah penyakitnya di sembuhkan.
Gambar 2.1. Distribusi global daerah endemik dari Salmonella Enteric serotipe Typhi,
1990-2002.5
4
Gambar 2.2 Prevalensi nasional (Balitbangkes Riskesdas 2007)
Insidens demam tifoid bervariasi di tiap daerah dan biasanya berhubungan dengan
sanitasi lingkungan; di daerah rural 157 kasus per 10.000 penduduk, sedangkan di daerah
urban ditemukan 760-810 kasus per 10.000 penduduk. Perbedaan insidens di perkotaan
berhubungan erat dengan penyediaan air bersih secara merata yang belum memadai, serta
sanitasi lingkungan terutama cara pembuangan sampah yang kurang memenuhi syarat
kesehatan ligkungan.7 Kejadian demam tifoid di Indonesia juga berkaitan dengan rumah
tangga, yaitu adanya anggota keluarga dengan riwayat terkena demam tifoid, tidak
adanya sabun untuk mencuci tangan, menggunakan piring yang sama untuk makan, dan
tidak tersedianya tempat buang air besar di dalam rumah.
5
menghilang atau sembuh sendiri. Persentase penderita dengan usia di atas 12
tahun seperti bisa dilihat pada tabel di bawah ini.
Usia %
12- 29 tahun 70-80
30- 39 tahun 10-20
> 40 tahun 5-10
6
Gambar 2.2. Struktur antigenik Salmonellae. 10
7
karbohidrat, flagell, dan struktur lipopolisakarida. Subspecies dari Salmonella enterica
antara lain subsp. Enterica, subsp. Salamae, subsp. Arizonae, subsp. Diarizonae, subsp.
Houtenae, subsp. Indica
8
alkohol dan biasanya terdeteksi oleh aglutinasi bakteri. Antibodi terhadap
antigen O terutama adalah IgM.
Antigen Vi atau K: terletak di luar antigen O, merupakan polisakarida dan
yang lainnya merupakan protein. Antigen K dapat mengganggu aglutinasi
dengan antiserum O, dan dapat berhubungan dengan virulensi. Dapat
diidentifikasi dengan uji pembengkakan kapsul dengan antiserum spesifik.
Antigen H: terdapat di flagel dan didenaturasi atau dirusak oleh panas dan
alkohol. Antigen dipertahankan dengan memberikan formalin pada
beberapa bakteri yang motil. Antigen H beraglutinasi dengan anti-H dan
IgG. Penentu dalam antigen H adalah fungsi sekuens asam amino pada
protein flagel (flagelin). Antigen H pada permukaan bakteri dapat
mengganggu aglutinasi dengan antibodi antigen O.
Organisme dapat kehilangan antigen H dan menjadi tidak motil.
Kehilangan antigen O dapat menimbulkan perubahan bentuk koloni yang
halus menjadi kasar.
Antigen Vi atau Sebagian besar isolat motil dengan flagel peritrik.
Tumbuh pada suasana aerob dan fakultatif anaerob pada suhu 1541oC
K dapat hilang sebagian atau seluruhnya dalam proses transduksi.
Spesies Penyakit
S. parathypi Paratifoid pada manusia
S. schottmuelleri Paratifoid pada manusia
S. typhimurium Gastroenteritis pada manusia dan
berbagai infeksi pada hewan
S. Newport Infeksi pada ternak dan manusia
S. typhi Demam tifoid pada manusia
9
2.1.3.4 Sifat Salmonella typhi
10
Feces manusia mengandung Salmonella typhi yang dapat hidup berminggu-
minggu ayau berbulan-bulan. Bakteri ini tahan terhadap range yang lebar dari
temperature sehingga dapat bertahan hidup berbulan-bulan dalam tanah atau
air.
Faktor pejamu yang menimbulkan resistensi terhadap infeksi Salmonella
adalah keasaman lambung, flora mikroba normal usus, dan kekebalan usus
setempat.
2.1.4 Patogenesis Demam typhoid
11
Gambar 2.3. Mekanisme infeksi Salmonella Typhi .12
Selanjutnya melalui duktus torasikus, kuman yang terdapat di dalam makrofag ini
masuk ke dalam sirkulasi darah (mengakibatkan bakteremia pertama yang asimptomatik)
kemudian menyebar ke seluruh organ retikuloendotelial tubuh terutama hati dan limpa.
Dengan periode waktu yang bervariasi antara 1-3 minggu, kuman bermultiplikasi di
organ-organ ini kemudian meninggalkan makrofag dan kemudian berkembang biak di
luar makrofag dan selanjutnya masuk ke dalam sirkulasi darah lagi mengakibatkan
bakteremia yang kedua kalinya dengan disertai tanda dan gejala penyakit infeksi
sistemik.11
Di dalam hati, kuman masuk ke kantung empedu, berkembang biak, dan bersama
cairan empedu diekskresikan kembali ke dalam lumen usus secara intermiten. Sebagian
kuman dikeluarkan melalui feses dan sebagian masuk lagi ke dalam sirkulasi setelah
12
menembus usus. Proses yang sama terulang kembali, oleh karena makrofag telah
teraktivasi sebelumnya maka saat fagositosis kuman Salmonella terjadi pelepasan
beberapa mediator inflamasi (IL-1, IL-6, IL-8, TNF-, INF, GM-CSF, dsb.) yang
selanjutnya akan menimbulkan gejala reaksi inflamasi sistemik seperti demam, malaise,
mialgia, sakit kepala, sakit perut, instabilitas vaskuler, gangguan mental, dan koagulasi.11
Di dalam plak Peyeri, makrofag yang telah hiperaktif menimbulkan reaksi
hiperplasia jaringan dan nekrosis organ S. typhi intra makrofag dan menginduksi reaksi
hipersensitivitas tipe lambat. Perdarahan saluran cerna dapat terjadi akibat erosi
pembuluh darah di sekitar plak Peyeri yang sedang mengalami nekrosis dan hiperplasia
akibat akumulasi sel-sel mononuklear di dinding usus. Proses patologis jaringan limfoid
ini dapat berkembang hingga ke lapisan otot, serosa usus dan dapat mengakibatkan
perforasi usus.11
Endotoksin dapat menempel di reseptor sel endotel kapiler dengan akibat timbulnya kom
plikasi seperti gangguan neuropsikiatrik, kardiovaskular, pernapasan dan gangguan organ
lainnya.
13
14
2.1.5 Diagnosis (Anamnesis, Pemeriksaan fisik dan penunjang)
Anamnesis dan Pemeriksaan fisik
Pengetahuan tentang gambaran klinis demam tifoid sangatlah penting untuk
membantu mendeteksi secara dini. Masa inkubasi demam tifoid berlangsung
antara 10-14 hari. Gejala-gejala klinis yang timbul sangat bervariasi dari
ringan sampai berat, dari asimptomatik hingga gambaran penyakit yang khas
disertai komplikasi hingga kematian.11
Keluhan dan gejala Demam Tifoid tidak khas, dan bervariasi dari gejala
seperti flu ringan sampai tampilan sakit berat dan fatal yang mengenai banyak
sistem organ Secara klinis gambaran penyakit Demam Tifoid berupa demam
berkepanjangan, gangguan fungsi usus, dan keluhan susunan saraf pusat.
o Panas lebih dari 7 hari, biasanya mulai dengan sumer yang makin hari
makin meninggi, sehingga pada minggu ke 2 dan ke 3 panas tinggi
terus menerus (demam kontinyu) terutama pada malam hari. Demam
akan menurun oada akhir minggu 3 dan 4 sampai suhu normal.
Komplikasi tifoid terjadi pada fase demam minggu 2 dan 3 karena
dapat merupakan tanda dan gejala komplikasi perdarahan dan
perforasi saluran cerna.
o Gejala gastrointestinal dapat berupa nyeri perut terutama di region
epigastrium disertai obstipasi, diare, mual, muntah, dan kembung,
hepatomegali, splenomegali dan lidah kotor tepi hiperemi serta
tremor. Sering ditemukan bau mulut yang tidak sedap karna demam
lama bibir kering dan pecah-pecah.
o Gejalah saraf sentral berupa delirium, apatis, somnolen, sopor, bahkan
sampai koma. Penurunan kesadaran karna tifoid enselopati dan
meningoensefalitis, mungkin dapat ditemikan gejala psikosis (organic
brain syndrome).
Pada minggu pertama, ditemukan keluhan dan gejala serupa dengan penyakit
infeksi akut umumnya yaitu
15
o Demam, Karakteristik demamnya adalah demam yang meningkat
secara perlahan-lahan berpola seperti anak tangga dengan suhu makin
tinggi dari hari ke hari, lebih rendah pada pagi hari dan tinggi
terutama pada sore hingga malam hari. Pada akhir minggu pertama,
demam akan bertahan pada suhu 39-40C
o tubuh menggigil
o nyeri kepala,
o pusing,
o nyeri otot myalgia
o anoreksia, mual, muntah,
o obstipasi atau diare,
o perasaan tidak enak di perut,
o batuk, dan epistaksis.10
o Pasien akan menunjukkan gejala rose spots, yang warnanya seperti
salmon, pucat, makulopapul 1-4 cm lebar dan jumlahnya kurang dari
5; dan akan menghilang dalam 2-5 hari. Hal ini disebabkan karena
terjadi emboli oleh bakteri di dermis.11
16
Pemeriksaan Penunjang
Penegakan diagnosis demam tifoid didasarkan pada manifestasi klinis yang diperkuat
oleh pemeriksaan laboratorium penunjang. Sampai saat ini masih dilakukan berbagai
penelitian yang menggunakan berbagai metode diagnostik untuk mendapatkan metode
terbaik dalam usaha penatalaksanaan penderita demam tifoid secara menyeluruh.
Pemeriksaan laboratorium untuk membantu menegakkan diagnosis demam tifoid dibagi
dalam empat kelompok, yaitu :
1. pemeriksaan darah tepi;
2. pemeriksaan bakteriologis dengan isolasi dan biakan kuman;
3. uji serologis; dan
4. pemeriksaan kuman secara molekuler.12
17
sedangkan pada stadium berikutnya di dalam urine dan feses.12,16 Hasil biakan darah
yang positif memastikan demam tifoid akan tetapi hasil negatif tidak menyingkirkan
demam tifoid, karena hasilnya tergantung pada beberapa faktor, seperti :
1. Telah mendapat terapi antibiotik. Bila pasien sebelum dilakukan kultur darah
telah mendapat antibiotik, pertumbuhan kuman dalam media biakan
terhambat dan hasil mungkin negatif;
2. Jumlah darah yang diambil terlalu sedikit (diperlukan kurang lebih 10 cc
darah). Bila darah yang dibiak terlalu sedikit hasil biakan bisa negatif; Darah
yang diambil sebaiknya secara bedside langsung dimasukkan ke dalam media
cair empedu (oxgall) untuk pertumbuhan kuman.
3. Riwayat vaksinasi. Vaksinasi di masa lampau menimbulkan antibodi dalam
darah pasien. Antibodi ini (aglutinin)dapat menekan bakteremia sehingga
biakan darah dapat negatif; dan
4. Waktu pengambilan darah yang dilakukan setelah minggu pertama, pada saat
aglutinin semakin meningkat. 10,12
Volume 10-15 mL dianjurkan untuk anak besar, sedangkan pada anak kecil
dibutuhkan 2-4 mL.17 Sedangkan volume sumsum tulang yang dibutuhkan untuk
kultur hanya sekitar 0.5-1 mL.18 Bakteri dalam sumsum tulang ini juga lebih sedikit
dipengaruhi oleh antibiotika daripada bakteri dalam darah. Hal ini mendukung teori
bahwa kultur sumsum tulang lebih tinggi hasil positifnya bila dibandingkan dengan
darah walaupun dengan volume sampel yang lebih sedikit dan sudah mendapatkan
terapi antibiotika sebelumnya.12,19 Media pembiakan yang direkomendasikan untuk
Salmonella Typhi adalah media empedu dari sapi. Media ini dapat meningkatkan
positivitas hasil karena hanya Salmonella Typhi dan Salmonella Paratyphi yang
dapat tumbuh pada media tersebut.17
Biakan darah terhadap Salmonella juga tergantung dari saat pengambilan pada
perjalanan penyakit. Beberapa peneliti melaporkan biakan darah positif 70-90% dari
penderita pada minggu pertama sakit dan positif 10-50% pada akhir minggu
ketiga.12,17 Sensitivitasnya akan menurun pada sampel penderita yang telah
18
mendapatkan antibiotika dan meningkat sesuai dengan volume darah dan rasio darah
dengan media kultur yang dipakai.20
Bakteri dalam feses ditemukan meningkat dari minggu pertama (10-15%) hingga
minggu ketiga (75%) dan turun secara perlahan Spesimen tinja yang digunakan harus
yang segar, tidak tercampur urin atau air. Jumlah spesimen yang diambil adalah
sebanyak 10 gram atau sebesar telur burung puyuh Pemeriksaan kultur tinja dapat
digunakan untuk pembuktian karier tifoid. Untuk tujuan tersebut, tinja harus diambil
sebanyak 3 kali dengan jarak waktu beberapa hari atau sekitar 2 minggu.. Biakan
urine positif setelah minggu pertama. Biakan sumsum tulang merupakan metode
yang mempunyai sensitivitas paling tinggi dengan hasil positif didapat pada 80-95%
kasus dan sering tetap positif selama perjalanan penyakit dan menghilang pada fase
penyembuhan. Metode ini terutama bermanfaat untuk penderita yang sudah pernah
mendapatkan terapi atau dengan kultur darah negatif sebelumnya.17,20 Namun
prosedur ini sangat invasif sehingga tidak dipakai dalam praktek sehari-hari. Pada
keadaan tertentu dapat dilakukan kultur pada spesimen empedu yang diambil dari
duodenum dan memberikan hasil yang cukup baik akan tetapi tidak digunakan secara
13,16,17
luas karena adanya risiko aspirasi terutama pada anak. (Sumber: Ilmu
Penyakit Dalam)
19
agglutinin O ( dari tubuh kuman), agglutinin H (flagella kuman), dan
agglutinin Vi (simpai kuman).
Dari ketiga aglutinin (aglutinin O, H, dan Vi), hanya aglutinin O dan H
yang ditentukan titernya untuk diagnosis. Semakin tinggi titernya, semakin
besar kemungkinan terinfeksi. Secara umum, Pembentukan agglutinin mulai
terjadi di akhir minggu pertama, kemudian memuncak pada minggu ke empat
aglutinin O mulai muncul pada hari ke 6-8 dan aglutinin H mulai muncul pada
hari ke 10-12 dihitung sejak hari timbulnya demam. Semakin tinggi titer
aglutininnya, semakin besar pula kemungkinan didiagnosis sebagai penderita
demam tifoid. Pada infeksi yang aktif, titer aglutinin akan meningkat pada
pemeriksaan ulang yang dilakukan pada selang waktu minimal 5 hari.
Peningkatan titer aglutinin empat kali lipat selama 2 sampai 3 minggu
memastikan diagnosis demam tifoid.22 Pada fase akut, timbul agglutinin O
diikuti dengan agglutinin H. pada orang yang sudah sembuh, agglutinin O
masih tetapi ada sampai 4-6 bulan, sedangkan agglutinin H menetap hingga 9
12 bulan. Beberapa factor yang mempengaruhi uji widal yaitu:
a. Pengobatan dini dengan antibiotic
b. Gangguan pembentukan antibody
c. Waktu pengambilan darah
d. Daerah endemic dan non endemic
e. Riwayat vaksinasi
f. Reaksi anamnestic
g. Factor teknik pemeriksaan antar laboratorium
20
Prinsip dasar uji ELISA adalah reaksi antigen-antibodi.13 Uji ini sering
dipakai untuk melacak antibodi IgG, IgM dan IgA terhadap antigen O9 LPS,
antibodi IgG terhadap antigen flagela d (Hd) dan antibodi terhadap antigen Vi
Salmonella Typhi. Chaicumpa dkk mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 95%
pada sampel darah, 73% pada sampel feses, dan 40% pada sampel sumsum
tulang.1,24
o Pemeriksaan Dipstik
Uji serologis dengan pemeriksaan dipstik dikembangkan di Belanda dimana
dapat mendeteksi antibodi IgM spesifik terhadap antigen LPS Salmonella Typhi
dengan menggunakan membran nitroselulosa yang mengandung antigen
Salmonella Typhi sebagai pita pendeteksi dan antibodi IgM anti-human
immobilized sebagai reagen kontrol. Pemeriksaan ini menggunakan komponen
yang sudah distabilkan, tidak memerlukan alat yang spesifik dan dapat digunakan
di tempat yang tidak mempunyai fasilitas laboratorium yang lengkap. 4,29
Penelitian oleh Gasem dkk (2002) mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar
69.8% bila dibandingkan dengan kultur sumsum tulang dan 86.5% bila
dibandingkan dengan kultur darah dengan spesifisitas sebesar 88.9% dan nilai
prediksi positif sebesar 94.6%.20 Penelitian lain oleh Ismail dkk (2002) terhadap
30 penderita demam tifoid mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 90% dan
spesifisitas sebesar 96%.30 Uji ini secara khusus mendeteksi antibodi IgM spesifik
terhadap S. typhi pada spesimen serum atau whole blood. Uji ini menggunakan
strip yang mengandung antigen lipopolisakarida (LPS) S. typhoid dan anti IgM
(sebagai kontrol), reagen deteksi yang mengandung antibodi anti IgM yang
dilekati dengan lateks pewarna, cairan membasahi strip sebelum diinkubasi
dengan reagen dan serum pasien, tabung uji. Komponen perlengkapan ini stabil
untuk disimpan selama 2 tahun pada suhu 4-25oC di tempat kering tanpa paparan
sinar matahari. Pemeriksaan dimulai dengan inkubasi strip pada larutan campuran
reagen deteksi dan serum, selama 3 jam pada suhu kamar. Setelah inkubasi, strip
dibilas dengan air mengalir dan dikeringkan. Secara semi-kuantitatif, diberikan
21
penilaian terhadap garis uji dengan membandingkannya dengan reference strip.
Garis kontrol harus terwarna dengan baik.
Uji Tubex
Tubex merupakan alat diagnostik demam tifoid yang diproduksi oleh IDL
Biotech, Broma, Sweden.27 Tes ini sangat cepat, hanya membutuhkan waktu 5-10
menit, sederhana dan akurat. Tes ini mendeteksi serum antibodi IgM terhadap
antigen O9 LPS yang sangat spesifik terhadap bakteri Salmonella Typhi. Pada
orang yang sehat normalnya tidak memiliki IgM anti-O9 LPS.23,27
22
Gambar 2.5. Prinsip dari tes Tubex. Bagian atas, hasil negatif;
bagian bawah, hasil positif.27
Tes Tubex merupakan tes yang subjektif dan semikuantitatif dengan cara
membandingkan warna yang terbentuk pada reaksi dengan Tubex color scale
yang tersedia. Range dari color scale adalah dari nilai 0 (warna paling merah)
hingga nilai 10 (warna paling biru).27
Cara membaca hasil tes Tubex adalah sebagai berikut menurut IDL Biotech
2008: 11,27
1. Nilai < 2 menunjukan nilai negatif (tidak ada indikasi demam tifoid).
2. Nilai 3 menunjukkan inconclusive score dan memerlukan pemeriksaan
ulang.
3. Nilai 4-5 menunjukan positif lemah.
4. Nilai > 6 menunjukan nilai positif (indikasi kuat demam tifoid).
Nilai Tubex yang menunjukan nilai positif disertai dengan tanda dan gejala
klinis yang sesuai dengan gejala demam tifoid, merupakan indikasi demam tifoid
yang sangat kuat.27
23
Uji Typhidot
Uji Typhidot merupakan alat diagnostik demam tifoid yang diproduksi oleh
Biodiagnostic Research, Bangi, Malaysia. Hasil uji Typhidot dinilai positif
apabila didapatkan reaksi dengan intensitas yang sama dengan atau lebih besar
dari reaksi kontrol, terlihat pada kertas saring komersial yang telah disiapkan. Tes
ini memperingatkan, jika hasil yang diperoleh tak tentu, tes harus diulang setelah
48 jam.28 Uji typhidot dapat mendeteksi antibody IgM dan IgG yang terdapat
pada protein membran luar Salmonella typhi. Hasil positif pada uji typhidot
didapatkan 2-3 hari setelah infeksi dan dapat mengidentifikasi secara spesifik
antobodi IgM dan IgG terhadap antigen S. typhi seberat 50 kD yang terdapat pada
strip nitroselulosa.
Gambar 2.6. Prinsip dari tes Typhidot. Bagian atas, prosedur tes;
24
bagian bawah, interpretasi hasil tes.28
2.1.7 Tatalaksana
Terapi pada demam tifoid adalah untuk mencapai keadaan bebas demam dan
gejala, mencegah komplikasi, dan menghindari kematian. Yang juga tidak kalah penting
adalah eradikasi total bakeri untuk mencegah kekambuhan dan keadaan carrier. Terapi
antibiotik inisial bergantung terhadap kerentanan dari S. Typhi dan S. Paratyphi pada tiap
tiap area.
25
Ampisilin & o Dewasa: 3-4 gr/hr Aman untuk penderita hamil
Amoksisilin selama 14 hari o Sering dikombinasi dengan
o Anak: 100 mg/kgbb/hr kloramfenikol pada pasien kritis
selama 10 hari o Kemampuan menerunkan demam
lebih rendah dari kloramfenikol.
o Tidak mahal
o Pemberian PO/IV
TMP-SMX o Dewasa: 2 x 160-800 o Tidak mahal
(Kotrimoksasol) mg selama 2 minggu o Pemberian peroral
o Anak: TMP 6-10 o Efektivitas dilaporkan sama
mg/kgbb/hari atau seperti kloramfenikol
SMX 30-50
mg/kgbb/hari selama
10 hari
Quinolone o Ciprofloksasin: 2 x 500 o Pefloksasin dan fleroksasin lebih
mg 1 minggu cepat menurunkan suhu
o Ofloksasin: 2 x 200- o Efektif mencegah relaps dan
400 mg 1 minggu karier
o Pefloksasin: 1 x 400 o Pemberian peroral
mg 1 minggu o Anak: tidak dianjurkan karena
o Fleroksasin: 1 x 400 efek samping pada pertumbuhan
mg 1 minggu tulang
o Norfloksacin 2 x 400
selama 14 hari
o Levofloksacin 1 x 500
selama 7 hari
Cefixime Anak:15-20 mg/kgbb/hari o Aman untuk anak
dibagi 2 dosis selama 10 o Efektif
hr o Pemberian peroral
26
Tiamfenikol o Dewasa: 4 x 500 mg Dapat untuk anak dan dewasa
o Anak: 50 mg/kgbb/hari Dosis dan efektifitas hamper sama
selama 5-7 hari bebas dengan kloramfenikol tetapi
panas komplikasi hematologi seperti
anemia aplastic lebih rendah dari
kloramfenikol, demam rata rata
menurun hari ke 5 sampe ke 6.
Kesimpulan dari studi ini adalah bahwa pada saat ini levofloxacin lebih bermanfaat
dibandingkan ciprofloxacin dalam hal waktu penurunan demam, hasil mikrobiologi dan
secara bermakna memiliki efek samping yang lebih sedikit dibandingkan ciprofloxacin.
Selain itu, pernah juga dilakukan studi mengenai efikasi dankeamanan levofloxacin pada
terapi demam tifoid tanpa komplikasi. Levofloxacin diberikan dengan dosis 500 mg, 1
27
kali sehari selama 7 hari. Efikasi klinis yang dijumpai pada studi ini adalah 100% dengan
efek samping yang minimal.
Dari studi ini juga terdapat table perbandingan rata-rata waktu penurunan demam di
antara berbagai jenis fluoroquinolone yang beredar di Indonesia di mana penurunan
demam pada levofloxacin paling cepat, yaitu 2,4 hari. Sebuah meta-analisis yang
dipublikasikan pada tahun 2009 menyimpulkan bahwa pada demam enterik dewasa,
fluoroquinolone lebih baik dibandingkan chloramphenicol untuk mencegah kekambuhan
Namun, fluoroquinolone tidak diberikan pada anak-anak karena dapat mengakibatkan
gangguan pertumbuhan dan kerusakan sendi.
Chloramphenicol sudah sejak lama digunakan dan menjadi terapi standar pada demam
tifoid namun kekurangan dari chloramphenicol adalah angka kekambuhan yang tinggi (5-
7%), angka terjadinya carrier juga tinggi, dan toksis pada sumsum tulang.
Azithromycin dan cefixime memiliki angka kesembuhan klinis lebih dari 90% dengan
waktu penurunan demam 5-7 hari, durasi pemberiannya lama (14 hari) dan angka
kekambuhan serta fecal carrier terjadi pada kurang dari 4%. Pasien dengan muntah yang
menetap, diare berat, distensi abdomen, atau kesadaran menurun memerlukan rawat inap
dan pasiendengan gejala klinis tersebut diterapi sebagai pasien demam tifoid yang berat.
Terapi antibiotik yang diberikan pada demam tifoid berat menurut WHO tahun 2003
dapat dilihat di tabel 2.11
Walaupun di tabel ini tertera cefotaxime untuk terapi demam tifoid tetapi sayangnya di
28
Indonesia sampai saat ini tidak terdapat laporan keberhasilan terapi demam tifoid dengan
cefotaxime. Selain pemberian antibiotik, penderita perlu istirahat total serta terapi
suportif. Yang diberikan antara lain cairan untuk mengkoreksi ketidakseimbangan cairan
dan elektrolit dan antipiretik.1,2 Nutrisi yang adekuat melalui TPN dilanjutkan dengan
diet makanan yang lembut dan mudah dicerna secepat keadaan mengizinkan. Terapi
untuk demam tifoid tanpa komplikasi
Salmonella typhi yang resisten terhadap banyak antibiotik (kelompok MDR) dapat
mengurangi pilihan antibiotik yang akan diberikan. Terdapat 2 kategori resistensi
antibiotik
29
ceftriaxone, azithromycin atau ciprofloksasin dalam dosis besar. Penggunaan
fluorokuinolon dosis besar dalam 7 hari sebagai terapi demam typhoid DCS,
menyebabkan keterlambatan resolusi dan meningkatkan angka karier fecal. Oleh karena
itu, terapi demam typhoid DCS dengan menggunakan ciprofloxacin dosis besar diberikan
dalam waktu 14 hari.
Ceftriaxone, cefotaxime dan cefixime oral merupakan terapi efektif untuk demam
tifoid MDR ( multi drug resistant), termasuk DCS dan salmonella yang resisten dengan
fluorokuinolon. Agen ini menurunkan panas dalam waktu 1 minggu, dengan angka
kegagalan 5-10%, angka karier fekal <3% dan angka relaps 3-6%. Pemberian
azithromycin oral, menurunkan demam dalam 4-6 hari, dengan angka relaps dan karier
fekal <3%. Pada demam tifoid DCS, pemberian azithromycin berhubungan dengan angka
kegagalan terapi yang rendah, dan durasi hospitalisasi yang pendek dibandingkan
pemberian fluorokuinolon. Sefalosporin generasi satu, generasi generasi kedua dan
aminoglikosida tidak efektif pada terapi demam tifoid.
Pada pasien dengan demam tifoid tanpa komplikasi, dapat diterapi di rumah
dengan antibiotik oral dan antipiretik. Pasien dengan muntah menetap, diare menetap
atau distensi abdomen sebaiknya dirawat di rumah sakit dan diberikan terapi suportif
(tirah baring dan dukungan nutrisi )disertai pemberian antibiotik parenteral sefalosporin
generasi ketiga atau fluorokuinolon, tergantung dari tingkat sensitif bakteri. Terapi
sebaiknya diberikan selama 10 hari atau selama 5 hari setelah resolusi demam.
Pada 1-5% pasein yang menderita karies Salmonella kronis dapat diterapi dengan
pemberian antibiotik oral yang tepat selama 4 sampai 6 minggu. Terapi menggunakan
amoxicillin oral, TMP-SMX, ciprofloxacin atau norfloxacin efektif dalam mengeradikasi
karier kronis ( 80% efektif).
- Siprofloksasin 750 mg, 2 kali sehari selama 28 hari terbukti efektif.
- Bila tidak ada siprofloksasin dan galur tersebut peka, 2 tablet ko-
trimoksaszol 2 kali sehari selama 3 bulan , atau
- 100 mg/kg/hari amoksisilin dikombinasi dengan probenesid 30 mg/kg/hari,
keduanya diberikan selama 3 bulan juga efektif.
30
Karier dengan batu empedu hanya memperlihatkan respons sementara terhadap
kemoterapi, dan diperlukan kolesistektomi untuk mengakhiri keadaan karier pada kasus
tersebut.
31
Tabel 2.2 Antibiotik untuk Pengobatan Demam Tifoid Tahun 2010 ( KONSENSUS
KONAS PETRI - BALI )
32
Pengobatan Demam Tifoid pada Wanita Hamil
Kloramfenikol Tidak di anjurkan pada trimester ke-3 karna dikhawatirkan dapt terjadi
partus premature, IUFD, dan grey syndrome pada neonates. Tiamfenikol tidak dianjurkan
pada trimester pertama karna teratogenik terhadap fetus belum dapat disingkirkan.
Demikian juga golongan fluoroquinolon dan kotrimoksazol tidak boleh digunakan untuk
demam typhoid. Yang dianjurkan hanya ampisilin, amoksisilin dan seftiakson.
Persentase pengaruh antibiotik terhadap S.typhi
Antibiotik %
Ceftriaxon 92.6
Kloramfenikol 94.1
Tetrasiklin 100
Trimetoprim- 100
Sulfametoksazol
Ciprofloksasin 100
Levofloksasin 100
Tatalaksana Komplikasi
Kortikosteroid dianjurkan pada tifoid ensefalopati, yaitu deksametason 3mg/kg/kali (1x)
i.v., dilanjutkan 1mg/kgBB/kali, setiap 6 jam (penggunaan lebih dari 48 jam akan
meningkatkan angka relaps)
Non-Farmako :
Management atau penatalaksanaan secara umum, asuhan keperawatan yang baik serta
asupan gizi yang baik merupakan aspek penting dalam pengobatan demam tifoid
selain pemberian antibiotik. Sampai saat ini masih dianut trilogi penatalaksanaan
demam tifoid,yaitu:
1. Istirahat dan Perawatan
Tirah baring dan perawatan profesional bertujuan untuk mencegah komplikasi.
Tirah baring dengan perawatan sepenuhnya di tempat tidur, seperti makan,
minum, mandi, buang air kecil dan buang air besar akan membantu dan
mempercepat masa penyembuhan. Dalam perawatan perlu sekali dijaga
33
kebersihan tempat tidur, pakaian, dan perlengkapan yang dipakai. Pasien
demam tifoid perlu dirawat di rumah sakit untuk isolasi, observasi dan
pengobatan. Pasien harus tirah baring absolut sampai minimal 7hari bebas
demam atau kurang lebih selama 14 hari. Maksud tirah baring adalah untuk
mencegah terjadinya komplikasi perdarahan usus atau perforasi usus.
Mobilisasi pasien harus dilakukan secara bertahap, sesuai dengan pulihnya
kekuatan pasien. Pasien dengan kesadaran menurun, posisi tubuhnya harus
diubah-ubah pada waktu-waktu tertentu untuk menghindari komplikasi
pneumonia hipostatik dan dekubitus. Defekasi dan buang air kecil harus
diperhatikan karena kadang-kadang terjadi obstipasi dan retensi air kemih.
2. ManagemenNutrisi
Penderita penyakit demam Tifoid selama menjalani perawatan haruslah
mengikuti petunjuk diet yang dianjurkan oleh dokter untuk dikonsumsi, antara
lain:
a. Makanan yang cukup cairan, kalori, vitamin & protein
b. Tidak mengandung banyak serat.
c. Tidak merangsang dan tidak menimbulkan banyak gas.
d. Makanan lunak diberikan selama istirahat.
Makanan dengan rendah serat dan rendah sisa bertujuan untuk memberikan
makanan sesuai kebutuhan gizi yang sedikit mungkin meninggalkan sisa
sehingga dapat membatasi volume feses, dan tidak merangsang saluran cerna.
Pemberian bubur saring, juga ditujukan untuk menghindari terjadinya
komplikasi perdarahan saluran cerna atau perforasi usus. Syarat-syarat diet
sisa rendah adalah:
a. Energi cukup sesuai dengan umur, jenis kelamin dan aktivitas
b. Protein cukup, yaitu 10-15% dari kebutuhan energi total
c. Lemak sedang, yaitu 10-25% dari kebutuhan energi total
d. Karbohidrat cukup, yaitu sisa kebutuhan energi total
e. Menghindari makanan berserat tinggi dan sedang sehingga asupan
serat maksimal 8gr/hari. Pembatasan ini disesuaikan dengan toleransi
34
perorangan
f. Menghindari susu, produk susu, daging berserat kasar (liat) sesuai
dengan toleransi perorangan.
g. Menghindari makanan yang terlalu berlemak, terlalu manis, terlalu
asam dan berbumbu tajam.
h. Makanan dimasak hingga lunak dan dihidangkan pada suhu tidak
terlalu panas dan dingin
i. Makanan sering diberikan dalam porsi kecil
j. Bila diberikan untuk jangka waktu lama atau dalam keadaan khusus,
diet perlu disertai suplemen vitamin dan mineral, makanan formula,
atau makanan parenteral.
- Terapi Simtomatik
Terapi simtomatik dapat diberikan dengan pertimbangan untuk perbaikan
keadaan umum penderita:
Roboransia/vitamin
Antipiretik, untuk kenyamanan penderita terutama anak-anak
Antiemetik, diperlukan bila penderita muntah hebat.
2.1.9 Komplikasi
Demam typhoid dapat menjadi penyakit yang semakin berat dan mengancam nyawa,
terggantung dari faktor inang ( terapi imunosupresi, terapi antasida, riwayat vaksinasi),
virulensi dari bakteri dan pemilihan terapi antibiotik. Pada minggu ke 2 atau ke-3, sering
timbul komplikasi demam mulai dariyang ringan sampai berat bahkan kematian.
Beberapa komplikasi yang sering terjadi diantaranya:
35
generalisata, meningismus, skizofrenia sitotoksik, mania akut, hipomania,
ensefalomielitis, meningitis, polyneuritis perifer dan psikosis. Semua kasus tifoid berat
langsung diberikan obat kombinasi kloramfenikol 4 x 500 mg ditambah ampisilin 4 x 1
gram dan deksametason 3 x 5 mg.
2. SYOK SEPTIK
Adalah akibat lanjut dari respon inflamasi sistemik, pasien jatuh ke dalam fase kegagalan
vaskular (syok). Tekanan darah sistolik dan/atau diastolik turun, nadi cepat, dan
halus,berkeringat, serta akral dingin. Akan berbahaya bila syok menjadi irreversible.
Perdarahan biasanya berupa buang air besar (BAB) darah (hematoschezia) atau occult
bleeding yang dapat terdeteksi dengan pemeriksaan darah samar. Apabila perdarahan
berat, pasien akan tampak anemis bahkan berlanjut sampai syok hipovolemia. Suhu tubuh
akan mendadak turun dengan peningkatan frekuensi nadi dan berakhir syok. Perdarahan
dapat ditegakkan bila terdapat perdarahan sebanyak 5ml/kgBB/jam dengan faktor
homeostatis dalam batas normal.
Perforasi intestinal ditandai dengan nyeri abdomen akut, tegang, dan nyeri tekan
abdomen (paling nyata di kuadran kanan bawah). Pada pemeriksaan perut didapatkan
tanda distensi abdomen, defences muscularum, ileus paralitik, bising usus melemah, dan
pekak hati menghilang. Perforasi dipastikan dengan pemeriksaan foto abdomen 3 posisi
(diafragma,left lateral decubitus, dan plain abdomen). Perforasi intestinal adalah
36
komplikasi demam tifoid yang serius karena sering menimbulkan kematian.
Pada peritonitis, ditemukan gejala abdomen akut yakni nyeri perut hebat, kembung,
serta nyeri pada penekanan. Nyeri lepas (rebound phenomenon) khas untuk peritonitis.
4. HEPATITIS TIFOSA
Demam tifoid disertai ikterus, hepatomegali dan kelainan tes fungsi hati (peningkatan
SGPT, SGOT dan bilirubin darah) dikatakan sebagai hepatitis tifosa. Pada demam
typhoid kenaikan enzim transaminase tidak relevan dengan kenaikan serum bilirubin.
Hepatitis tifosa dapat terjadi pada pasien dengan malnutrisi dan system imun yang
kurang. Komplikasi hepatoensefalopati dapat terjadi meskipun jarang.
5. PANKREATITIS TIFOSA
Merupakan komplikasi yang jarang terjadi, gejalanya adalah sama dengan pancreatitis
akut. Pankreatitis dapat disebabkan oleh mediator pro inflamasi, virus, bakteri, cacing
maupun zat farmakologik. Penderita nyeri perut hebat, disertai mual dan muntah warna
kehijauan, meteorismus, serta bising usus menurun. Enzim amylase dan lipase
meningkat. Penatalaksanaan seperti pankreatitis pada umumnya antibiotic intravena
seperti seftriakson atau kuinolon.
6. PNEUMONIA
Adalah komplikasi demam tifoid disertai tanda dan gejala klinis: batuk kering, sesak
napas, tarikan dinding dada, ditemukan adanya ronki/crakles, serta gambaran infiltrate
37
pada foto polos toraks. Pada anak umumnya merupakan koinfeksi oleh mikroba lain.\
7. KOMPLIKASI HEMATOLOGI
Berupa trombositopenia, hipofibrino-genemia, peningkatan pt atau partial
trhromboplastin time, peningkatan fibrin degradation product sampai koagulasi
intravascular diseminata (KID) hal ini mungkin terjadi karena menurunnya produksi
trombosit di sumsum tulang selama proses infeksi atau meningkatnya destruksi trombosit
di system retikuloendotelial. Obat juga menyababkan penurunan trombosit. Penyebab
KID bisa disebabkan endotoksin yang mengaktifkan system koagulasi dan fibrinolysis.
Pelepasan kinnin, prostaglandin dan histamine menyababkan vasokontriksi dan
kerusakan endotel yang merangsang koagulasi. Bila terjadi KID dekompensata dapat
diberikan transfuse darah, trombosit, faktor koagulasi bahkan heparin.
8. KOMPLIKASI LAIN
Kuman S. Typhi berada di intraselular (makrofag), yang mengikuti sirkulasi darah dan
menyebabkan infeksi fokal diantaranya osteomielitis, arthritis, miokarditis, perikarditis,
endokarditis, pielonefritis, orkhitis, dll. Miokarditis terjadi pad 1-5% penderita typhoid
sedangkan kelainan EKG terjadi pada 10-15% penderita. Bisanya pasien tanpa gejala
kardiovaskuler atau keluhan berupa sakit dada, gagal jantung kongestif, aritmia stau syok
kardiogenik. Pericarditis jarang terjadi. Perubahan ekg yang menetap atau aritmia
merupakan prognosis buruk. Kelainan ini disebabkan kerusakan miokardium oleh kuman
s.typhi dan miokarditis sebagai penyebab kematian.
2.1.9 Prognosis
Prognosis pada umumnya baik pada demam tifoid tanpa komplikasi.Hal ini juga
tergantung pada ketepatan terapi, usia, keadaan kesehatan sebelumnya dan komplikasi
38
2.1.10 TIFOID KARIER
Angka kejadian demam tifoid di Indonesia sebesar 1000/ 100.000 populasi per tahun,
insidensi rata-rata 62% di Asia dan 35% di Afrika dengan mortalitas rendah 2-5% dan
sekitar 3% menjadi kasus karier. Di antara demam tifoid yang sembuh klinis, pada 20%
di antaranya masih ditemukan kuman S.typi setelah 2 bulan dan 10% masih ditemukan
pada bulan ke 3 serta 3% masih ditemukan setelah satu tahun. Kasus karier meningkat
seiring peningkatan umur dan adanya penyakit kandung empedu. Mathai E, dkk (1995)
melaporkan bahwa 18 pasien dengan S.typhi bakteriuria ditemukan 14 kasus dengan
infeksi traktus urinarius akibat S.typhi, 3 kasus dengan batu ginjal, satu kasus hipertrofi
prostat dan satu kasus tuberkulosis traktus urinarius.
Definisi pengidap tifoid (karier) adalah seseorang yang kotorannya (feses atau urin)
mengandung S.typhi setelah satu tahun pasca-demam tifoid, tanpa disertai gejala klinis.
Kasus tifoid di mana kumam S. typhi masih dapat ditemukan di feses atau urin selama 2-
3 bulan disebut karier pasca-penyembuhan. Tifoid karier tidak menimbulkan gejala klinis
(asimtomatik) dan 25% kasus menyangkal adanya riwayat sakit demam tifoid akut. Pada
beberapa penelitian dilaporkan pada tifoid karier sering disertai infeksi kronik traktus
urinarius serta terdapat peningkatan risiko terjadinya karsinoma kandung empedu,
karsinoma kolorektal, karsinoma pankreas, karsinoma paru, dan keganasan di bagian
organ atau jaringan lain.
Proses patofisiologis dan patogenesis kasus tifoid karier belum jelas. Mekanisme
pertahanan tubuh terhadap Salmonella typi belum jelas. Imunitas selular diduga punya
peran sangat penting. Hal ini dibuktikan bahwa pada penderita sickle cell disease dan
sistemic lupus eritematosus (LES) maupun penderita AIDS bila terinfeksi Salmonella
maka akan terjadi bakteremia yang berat.
39
Diagnosis demam typhoid karirer
Ditemukannya kuman s . typhi pada biakan fesef atau urin seseorang tanpa tanda klinis
infeksi atau pd seseorang setelah 1 tahun pasca demam typhoid. Dinyatakan bukan
demam typhoid karier deteah dilakukan biakan secara acak minimal 6 kali pemeriksaan
tidak ditemukan s.typhi. penegakan diagnosis lain adalah serologi Vi sensitifitas 75% dan
spesifisitas 92% bila ditemukan kadar titer antibody vi sebesar 160.
Penatalaksanaan
Kesulitasn eradikasi berhubungan dengan ada tidaknya batu empedu dan sikatriks kronik
pada saluran empedu. Kasus karier juga meningkat pada seseorang yang terkena infeksi
kronis saluran kencing, batu , striktur, hidronefrosis , tuberculosis maupun tumor di
traktus urinarius, oleh karna itu insidensi meingkat pada wanita maupun usia lanjut.
Disertai infeksi Schistosoma haematobium pada traktus urinarius Pengobatan pada kasus
ini harus dilakukan eradikasi S. Haematobium
40
2. Metrifonat 7,5-10 mg/kgBB bila perlu diberikan 3 dosis, interval 2 minggu. Setelah
eradikasi S. haematobium tersebut baru diberikan rejimen terapi untuk tifoid karier
seperti di atas.
Strategi pencegahan yang dipakai adalah untuk selalu menyediakan makanan dan
minuman yang tidak terkontaminasi, higiene perorangan terutama menyangkut
kebersihan tangan dan lingkungan, sanitasi yang baik, dan tersedianya air bersih sehari-
hari.Strategi pencegahan ini menjadi penting seiring dengan munculnya kasus resistensi.1
Secara garis besar ada 3 strategi pokok untuk memutuskan transmisi tifoid, yaitu:
1. Identifikasi dan eradikasi S. typhi baik pada kasus demam tifoid asimtomatik,
tifoid carrier, maupun kasus tifoid akut.
3. Proteksi pada orang yang berisiko tinggi terinfeksi. Dilakukan dengan cara
vaksinasi tifoid di daerah endemik maupun hiperendemik.
41
Daerah endemik
o Masyarakat pengelola bahan makanan dan minuman yang memenuhi
standar prosedur kesehatan.
o Pengunjung ke daerah ini harus minum air yang telah melalui pendidihan,
menjauhi makanan segar (sayur/buah).
o Vaksinasi secara menyeluruh pada masyarakat setempat maupun
pengunjung. Salah satunya adalah memberi Vaksinasi. Vaksin parenteral
non aktif ralatif lebihs erring menyababkan efek samping serta tidak
seefektif vaksin ViCPS atau ty21a oral. Jenis vaksin dan jadal yang ada di
Indonesia saat ini hanya ViCPS.
Indikasi : populasi anak usia sekolah didaerah endemic, personil militer,
petugas RS,lab,kesehatan, industry makanan dan minuman. Pengunjung
wisatawan ke daerah endemic orang yang kontak erat dengan tifoid karier.
Pada anak usia 2-5 tahun toleransi dan respon imunologis sala dengan
dewasa.
Kontraindikasi : vaksin hidup oral ty21a teoritis dikontraindikasi pada
yang elaregi atau riwayat efek samping berat, penurunan imun dan
kehamilan. Bisa diberikan bersamaan dengan obat anti malaria.
Dianjurkan tidak memberikan vaksinasi bersamaan dengan obat
sulfonamide atau antimikroba lain
Vaksin Vi Polysaccharide
Vaksin ini diberikan pada anak de ngan usia di atas 2 tahun dengan
dinjeksikan secara subkutan atau intra-muskuler. Vaksin ini efektif selama
3 tahun dan direkomendasikan untuk revaksinasi setiap 3 tahun. Vaksin ini
memberikan efi kasi perlindungan sebesar 70-80%.
Vaksin Ty21a
Vaksin oral ini tersedia dalam sediaan salut enterik dan cair yang
diberikan pada anak usia 6 tahun ke atas. Vaksin diberikan 3 dosis yang
masing-masing diselang 2 hari. Antibiotik dihindari 7 hari sebelum dan
42
sesudah vaksinasi. Vaksin ini efektif selama 3 tahun dan memberikan efi
kasi perlindungan 67-82%. ES : demam, sakit kepala
Vaksin Vi-conjugate
Vaksin ini diberikan pada anak usia 2-5 tahun di Vietnam dan
memberikan efi kasi perlindungan 91,1% selama 27 bulan setelah
vaksinasi. Efi kasi vaksin ini menetap selama 46 bulan dengan efi kasi
perlindungan sebesar 89%..
43
BAB III
KESIMPULAN
3.1. Kesimpulan
Demam tifoid merupakan salah satu penyakit infeksi sistemik yang menjadi
masalah dunia. WHO mencatat Indonesia sebagai salah satu negara endemik untuk
demam tifoid. Di Indonesia, terdapat rata-rata 900.000 kasus demam tifoid dengan angka
kematian lebih dari 20.000 setiap tahunnya. Diagnosis demam tifoid bisa dilakukan
dengan berbagai cara, tidak hanya dengan melihat manifestasi klinis yang muncul pada
pasien namun juga didukung dengan pemeriksaan penunjang untuk diagnosis definitif.
Pada intinya, segala jenis pemeriksaan tersebut bertujuan untuk mengidentifikasi bakteri
penyebab demam tifoid. Diantara berbagai pemeriksaan serologis yang ada, widal
sebagai pemeriksaan yang paling tua sudah tidak lagi menjadi pemeriksaan yang
direkomendasikan. Saat ini sudah ada pemeriksaan serologis lain dengan sensitifitas dan
spesitifitas yang lebih baik seperti TUBEX dan Typhidot.
Terapi demam tifoid yang paling efektif adalah agen fluorokuinolon, dengan
angka kesembuhan 98% dan angka relaps dan karier fecal <2%. Penggunaan luas agen
fluorokuinolon secara bebas, menyebabkan kenaikan angka kejadian DCS (decreased
ciprofloxacin susceptibility). Oleh karena itu penggunaan agen fluorokuinolon sebainya
dibatasi dan tidak menjadi terapi empiris. Ceftriaxone, cefotaxime dan cefixime oral
merupakan terapi efektif untuk demam tifoid.
44
DAFTAR PUSTAKA
1. [WHO] Background document: The diagnosis, treatment and prevention of typhoid fever. World Health
Organization; 2003: 17-18.
2. Ochiai RL, Acosta CJ, Danovaro-Holliday MC, Baiging D, Bhattacharya SK, Agtini MD, et al. WHO |
A study of typhoid fever in five Asian countries: disease burden and implications for controls.
http://www.who.int/ bulletin/volumes/86/4/06039818/ en/#content. [31 Mei 2013].
3. [DEPKES] Riset Kesehatan Dasar 2007. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen
Kesehatan Republik Indonesia; 2008. http://www.litbang.depkes. go.id/ [31 Mei 2013].
4. Olga. Tubex, Cepat dan Akurat Diagnosis Demam Tifoid. J. Med. Kedokteran Indonesia. 2012;
XXXVIII (08). http://jurnalmedika.com /edisi-tahun-2012/edisi-no-08-vol-xxxvii/2012/463-
kegiatan/965-Tubex -cepat-dan-akurat-diagnosis-demam-tifoid. [31 Mei 2013].
5. Keddy KH, Sooka A, Letsoalo ME, Hoyland G, Chaignat CL, Morrissey AB, et al. Bull. World Health
Organisation. 2011 Sep 1;89(9):640-7. http://www.who. int/ [31 Mei 2013].
6. Kawano RL, Leano SA, Agdamag DM. Comparison of Serological Test Kits for Diagnosis of Typhoid
Fever in the Philippines. J Clin Microbiol. Jan 2007; 45(1): 246247. http://www.ncbi.nlm.
nih.gov/pmc/articles/PMC 1828988/.
[ 31 Oktober 2013 ].
7. Septiawan IK, Herawati S, Sutirtayasa IW. Examination of The Immunoglobulin M Anti Salmonella in
Diagnosis of Typhoid Fever. E-Jurnal Medika Udayana 2.6; 2013: 1080-1090. http://ojs.unud.ac.id
/index.php/eum/article/view/5626. [31 Oktober 2013].
8. Aru W. Demam Tifoid. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi I. Jilid II. Jakarta: Departemen Ilmu
Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2006: 1774.
9. Kidgell C, Reichard U, Wain J, Linz B, Torpdahl M, Dougan G, et al. Salmonella Typhi, the causative
agent of typhoid fever. Infect Genet Evol. 2002 Oct;2(1):39-45.
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/ 12797999. [ 31 Oktober 2013 ].
10. Widodo D. Demam Tifoid. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi V. Jilid III. Jakarta : Interna
Publishing. 2009:2797-2800.
11. Parry M, Hien TT, Dougan G, White NJ, Farrar JJ. A Review of Typhoid Fever. New England Journal
of Medicine. 2002; 347:1770-1782. http://www.nejm.org/doi/ full/10.1056/NEJMra020201. [31
Oktober 2013].
12. Tumbelaka AR. Tata laksana terkini demam tifoid pada anak. Simposium Infeksi Pediatri Tropik dan
Gawat Darurat pada Anak. IDAI Cabang Jawa Timur. Malang : IDAI Jawa Timur, 2005:37-50.
13. Hoffman SL. Typhoid Fever. Dalam : Strickland GT, Ed. Hunters Textbook of Pediatrics, edisi 7.
Philadelphia : WB Saunders, 1991:344-358.
14. Pawitro UE, Noorvitry M, Darmowandowo W. Demam Tifoid. Dalam : Soegijanto S, Ed. Ilmu
Penyakit Anak : Diagnosa dan Penatalaksanaan, Edisi 1. Jakarta : Salemba Medika, 2002:1-43.
15. Darmowandowo W. Demam tifoid. Media IDI 1998;23:4-7.
45
16. Tumbelaka AR, Retnosari S. Imunodiagnosis Demam Tifoid. Dalam : Kumpulan Naskah Pendidikan
Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak XLIV. Jakarta : BP FKUI, 2001:65-73.
17. [WHO] Diagnosis of typhoid fever. Dalam : Background document : The diagnosis, treatment and
prevention of typhoid fever. World Health Organization, 2003;7-18.
18. Wain J, Bay PVB, Vinh H, Duong NM, Diep TS, Walsh AL, et al. Quantitation of bacteria in bone
marrow from patients with typhoid fever : relationship between counts and clinical features. J Clin
Microbiol 2001;39(4):1571-6.
19. Chaicumpa W, Ruangkunaporn Y, Burr D, Chongsa-Nguan M, Echeverria P. Diagnosis of typhoid
fever by detection of Salmonella Typhi antigen in urine. J Clin Microbiol 1992;30(9):2513-5.
[Abstract]
20. Parry CM. Typhoid fever. N Engl J Med 2002; 347(22): 1770-82.
http://www.nejm.org/doi/full/10.1056/NEJMra020201. [ 31 Oktober 2013 ].
21. Darmowandowo D. Demam Tifoid. Dalam : Continuing Education Ilmu Kesehatan Anak XXXIII.
Surabaya : Surabaya Intellectual Club, 2003:19-34.
22. [DEPKES]. Pedoman Pengendalian Demam Tifoid. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Mei
2006. www.hukor.depkes.go.id/ [31 Oktober 2013].
23. Harahap, NH. Demam Tifoid. Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara. 2011.
repository.usu.ac.id/bitstream/4/Chapter %20II.pdf. [31 Oktober 2013]
24. Drive, Nancy R. 2009. A Review Article of Salmonella Typhi IgM ELISA. www.genwaybio.com. [ 31
Oktober 2013 ].
25. Gasem MH, Smits HL, Goris MG, Dolmans WM. Evaluation of a simple and rapid dipstick assay for
the diagnosis of typhoid fever in Indonesia. J Med Microbiol 2002; 51:173-177.
26. Sherwal BL, Dhamija RK, Randhawa VS, Jais M, Kaintura A, Kumar M . A Comparative Study of
Typhoid and Widal Test in Patient of Typhoid Fever. JIACM 2004; 5(3) : 244-6. http://
medind.nic.in/jac/t04/i3/jact 04i3p244.pdf. [ 31 Oktober 2013 ].
27. A review article of Rapid Detection of Typhoid fever. IDL Botech, 2008. www.idl.se. [ 31 Oktober
2013 ].
28. Anagha K, Deepika B, Shahriar R, Sanjeev K. The Easy and Early Diagnosis of Typhoid Fever. JDCR.
2012;4058:2034. www.jcdr.net /articles/pdf/ 2034/12a-%204058.A.pdf. [ 31 Oktober 2013 ].
29. Kasper DL, Fauci AS, Hauser SL, Longo DL, Jameson JL, Loscalzo J. Salmonellosis. Harrisons
Principles of Internal Medicine. 19th edition. United States : Mc Graw Hill. 2015:1049-1052.
30. KONAS PETRI Bali 2010. Konsensus Penatalaksanaan Demam Tifoid. Bali. 2010.
31. Noer, M. Sjaifoellah dkk. 1996. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid 1. Ed 3. Jakarta: Balai Penerbit
FKUI
33. Gunawan Gan, Sulistia, et al (2011). Farmakologi dan terapi ed 5. Jakarta: Badan penerbit UI
46