Anda di halaman 1dari 8

Theory of the Firm : Managerial Behavior, Agency Costs,and

Ownership Structure
CHAPTER 09

Nama Kelompok :

Fabio Daniel H (041224253001)

Sugeng Malady (041224253002)

Saiful Iksan Pratama (041224253003)

I Putu Jias Widhea (041224253005)

M. Arif Furhan (041224253007)

Christian Sutedja (041224253008)

I Made Laut Mertha Jaya (041224253011)

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS


UNIVERSITAS AIRLANGGA
SURABAYA
2013
Teori keagenan (Agency theory)

Teori keagenan merupakan basis teori yang mendasari praktik bisnis perusahaan yang dipakai selama

ini. Teori tersebut berakar dari sinergi teori ekonomi, teori keputusan, sosiologi, dan teori organisasi. Prinsip

utama teori ini menyatakan adanya hubungan kerja antara pihak yang memberi wewenang yaitu investor dengan

pihak yang menerima wewenang (agensi) yaitu manajer.

Pemisahan pemilik dan manajemen di dalam literatur akuntansi disebut dengan Agency Theory (teori

keagenan). Teori ini merupakan salah satu teori yang muncul dalam perkembangan riset akuntansi yang

merupakan modifikasi dari perkembangan model akuntansi keuangan dengan menambahkan aspek perilaku

manusia dalam model ekonomi. Teori agensi mendasarkan hubungan kontrak antara pemegang saham/pemilik

dan manajemen/manajer. Menurut teori ini hubungan antara pemilik dan manajer pada hakekatnya sukar

tercipta karena adanya kepentingan yang saling bertentangan.

Dalam teori keagenan (agency theory), hubungan agensi muncul ketika satu orang atau lebih (principal)

memperkerjakan orang lain (agent) untuk memberikan suatu jasa dan kemudian mendelegasikan wewenang

pengambilan keputusan kepada agent tersebut. Hubungan antara principal dan agent dapat mengarah pada

kondisi ketidakseimbangan informasi (asymmetrical information) karena agent berada pada posisi yang

memiliki informasi yang lebih banyak tentang perusahaan dibandingkan dengan principal. Dengan asumsi

bahwa individu-individu bertindak untuk memaksimalkan kepentingan diri sendiri, maka dengan informasi

asimetri yang dimilikinya akan mendorong agent untuk menyembunyikan beberapa informasi yang tidak

diketahui principal. Dalam kondisi yang asimetri tersebut, agent dapat mempengaruhi angka-angka akuntansi

yang disajikan dalam laporan keuangan dengan cara melakukan manajemen laba.

Salah satu cara yang di gunakan untuk memonitor masalah kontrak dan membatasi perilaku

opportunistic manajemen adalah corporate governance. Prinsip-prinsip pokok corporate governance yang perlu

diperhatikan untuk terselenggaranya praktik good corporate governance adalah; transparansi (transparency),

akuntabilitas (accountability), keadilan (fairness), dan responsibilitas (responsibility). Corporate governance


diarahkan untuk mengurangi asimetri informasi antara principal dan agent yang pada akhirnya diharapkan dapat

meminimalkan tindakan manajemen laba.

Kemudian, masalah keagenan juga akan timbul jika pihak manajemen atau agen perusahaan tidak atau

kurang memiliki saham biasa perusahaan tersebut. Karena dengan keadaan ini menjadikan pihak manajemen

tidak lagi berupaya untuk memaksimumkan keuntungan perusahaan dan mereka berusaha untuk mengambil

keuntungan dari beban yang ditanggung oleh pemegang saham. Cara yang dilakukan pihak manajemen adalah

dalam bentuk peningkatan kekayaan dan juga dalam bentuk kesenangan dan fasilitas perusahaan. Dijelaskan

dalam Jensen dan Meckling (1976), Jensen (1986), Weston dan Brigham (1994), bahwa masalah keagenan

dapat terjadi dalam 2 bentuk hubungan, yaitu; (1)antara pemegang saham dan manajer, dan (2)antara pemegang

saham dan kreditor. Jika suatu perusahaan berbentuk perusahaan perorangan yang dikelola sendiri oleh

pemiliknya, maka dapat diasumsikan bahwa manajerpemilik tersebut akan mengambil setiap tindakan yang

mungkin, untuk memperbaiki kesejahteraannya, terutama diukur dalam bentuk peningkatan kekayaan

perorangan dan juga dalam bentuk kesenangan dan fasilitas eksekutif. Tetapi, jika manajer mempunyai porsi

sebagai pemilik dan mereka mengurangi hak kepemilikannya dengan membentuk perseroan dan menjual

sebagian saham perusahaan kepada pihak luar, maka pertentangan kepentingan bisa segera timbul. Keadaan ini

menjadikan manajer mungkin saja tidak sedemikian gigih lagi untuk memaksimumkan kekayaan pemegang

saham karena jatahnya atas kekayaan tersebut telah berkurang sesuai dengan pengurangan kepemilikan mereka.

Atau mungkin saja manajer menetapkan gaji yang besar bagi dirinya atau menambah fasilitas eksekutif, karena

sebagian di antaranya akan menjadi beban pemegang saham lainnya.

Konflik antara pemegang saham dengan kreditur Kreditur menerima uang dalam jumlah tetap dari

perusahaan (bunga hutang),sedangkan pendapatan pemegang saham bergantung pada besaran laba

perusahaan.Dalam situasi ini, kreditur lebih memperhatikan kemampuan perusahaan untuk membayar kembali

utangnya, dan pemegang saham lebih memperhatikankemampuan perusahaan untuk memperoleh kembalian

yang besar adalah melakukaninvestasi pada proyek proyek yang berisiko. Apabila pelaksanaan proyek

yang berisiko itu berhasil maka kreditur tidak dapat menikmati keberhasilan tersebut, tetapiapabila proyek
mengalami kegagalan, kreditur mungkin akan menderita kerugianakibat dari ketidakmampuan pemegang saham

untuk memenuhi kewajibannya.Untuk mengantisipasi kemungkinan rugi, maka kreditur melakukan

pembatasan penggunaan hutang oleh manajer. Salah satu pembatasan adalah membatasi jumlah penggunaan

hutang untuk investasi dalam proyek baru.Konflik antara pemegang saham dengan pihak manajemenWalaupun

telah dilakukan kontrak kerja yang sah antara pihak principal dan agent,namun di sisi lain pihak agent memiliki

pengetahuan yang lebih banyak mengenai perusahaan (full information) dibandingkan dengan pengetahuan

yang dimiliki oleh pihak principal. Pengetahuan yang lebih banyak dimiliki oleh pihak agentdibandingkan

dengan pengetahuan yang dimiliki oleh pihak principal ini membuatterbentuknya suatu asimetri information

atau asymetric information.

Teori Akuntansi Keuangan Agency Theory

Adanya asimetri informasi ini menyebabkan kemungkinan munculnya konflik antara pihak principal dan

agent. Eisenhardt (1989) mengemukakan tiga asumsi sifat dasar manusia yaitu: (1) manusia pada umunya

mementingkan diri sendiri (self interest ),(2) manusia memiliki daya pikir terbatas mengenai persepsi masa

mendatang( bounded rationality ), dan (3) manusia selalu menghindari resiko (risk adverse).Berdasarkan asumsi

sifat dasar manusia tersebut menyebabkan bahwa informasi yangdihasilkan manusia untuk manusia lain selalu

dipertanyakan reliabilitasnya dan dapatdipercaya tidaknya informasi yang disampaikan (Muh.Arief Ujiyantho).

Asimetriinformasi ini juga pada akhirnya dapat memberikan kesempatan bagi para manajer untuk melakukan

manajemen laba sebagai upaya untuk meningkatkan kesejahteraan pribadinya.

Jensen dan Meckling dalam Isnanta (2008), menyatakan bahwa teori keagenan mendeskripsikan

pemegang saham sebagai prinsipal dan manajemen sebagai agen. Manajemen merupakan pihak yang dikontrak

oleh pemegang saham untuk bekerja demi kepentingan pemegang saham. Untuk itu manajemen diberikan

sebagian kekuasaan untuk membuat keputusan bagi kepentingan terbaik pemegang saham. Oleh karena itu,

manajemen wajib mempertanggungjawabkan semua upayanya kepada pemegang saham. Karena unit analisis

dalam teori keagenan adalah kontrak yang melandasi hubungan antara prinsipal dan agen, maka fokus dari teori

ini adalah pada penentuan kontrak yang paling efisien yang mendasari hubungan antara prinsipal dan agen.
Untuk memotivasi agen maka prinsipal merancang suatu kontrak agar dapat mengakomodasi kepentingan

pihak-pihak yang terlibat dalam kontrak keagenan. Kontrak yang efisien adalah kontrak yang memenuhi dua

faktor, yaitu :

1. Agen dan pinsipal memiliki informasi yang simetris artinya baik agen maupun majikan memiliki

kualitas dan jumlah informasi yang sama sehingga tidak terdapat informasi tersembunyi yang

dapat digunakan untuk keuntungan dirinya sendiri.

2. Risiko yang dipikul agen berkaitan dengan imbal jasanya adalah kecil yang berarti agen

mempunyai kepastian yang tinggi mengenai imbalan yang diterimanya.

Pada kenyataannya informasi simetris itu tidak

pernah terjadi, karena manajer berada didalam perusahaan

sehingga manajer mempunyai banyak informasi mengenai

perusahaan,sedangkan prinsipal sangat jarang atau bahkan

tidak pernah datang ke perusahaan sehingga informasi

yang diperoleh sangat sedikit. Hal ini menyebabkan

kontrak efisien tidak pernah terlaksana sehingga hubungan

agen dan prinsipal selalu dilandasi oleh asimetri

informasi. Agen sebagai pengendali perusahaan pasti memiliki informasi yang lebih baik dan lebih banyak

dibandingkan dengan prinsipal. Di samping itu, karena verifikasi sangat sulit dilakukan, maka tindakan agen

pun sangat sulit untuk diamati. Dengan demikian, membuka peluang agen untuk memaksimalkan

kepentingannya sendiri dengan melakukan tindakan yang tidak semestinya atau sering disebut disfunctional

behaviour, dimana tindakan ini dapat merugikan prinsipal, baik memanfaatkan aset perusahaan untuk

kepentingan pribadi, maupun perekayasaan kinerja perusahaan.

Salah satu hipotesis dalam teori ini adalah bahwa manajemen dalam mengelolah perusahaan cenderung

lebih mementingkan kepentingan pribadinya daripada meningkatkan nilai perusahaan. Contoh nyata yang

dominan terjadi dalam kegiatan perusahaan dapat disebabkan karena pihak agensi memiliki informasi keuangan
daripada pihak prinsipal (keunggulan informasi), sedangkan dari pihak prinsipal boleh jadi memanfaatkan

kepentingan pribadi atau golongannya sendiri (self-interest) karena memiliki keunggulan kekuasaan

(discretionary power).

Teori permainan

memodelkan bagaimana agen-agen (misalnya, manusia) bersaling tindak apabila hasil tindakan sesuatu agen itu

bergantung kepada tindakan agen yang lain (yang diluar kawalan agen pertama). Biasanya, agen mempunyai

kepintaran yang membolehkannya belajar dari keadaan dahulu dan juga merangka strategi.

Teori Permainan dan Teori Pilihan Rasional dalam Pemilihan Umum

Teori Pilihan Rasional menurut James S. Coleman adalah Teori pilihan rasional yang memusatkan

perhatian pada aktor dimana aktor dipandang sebagai manusia yang mempunyai tujuan atau mempunyai

maksud artinya aktor mempunyai tujuan dan tindakan tertuju pada upaya untuk mencapai tujuan tersebut,

aktorpun dipandang mempunyai pilihan atau nilai serta keperluan. Dalam hal ini dapat diartikan bahwa dalam

teori pilihan rasional, setiap individu memiliki maksud serta tujuan tertentu dalam tindakannya, sehingga untuk

mencapai tujuan yang dimaksud ia lebih mengedepankan kepentingannya sendiri dalam menentukan segala hal.

Dalam uraian lain juga dijelaskan oleh James Bhucanan yang telah melahirkan disiplin ilmu ekonomi

politik karena memasukkan unsur-unsur pertimbangan ekonomis dalam prilaku para politikus yang kemudian

dikenal sebagai "Teori Pilihan Rasional" (Rational Choice). Dengan makna lain teori ini bisa juga dikatakan
sebagai teori yang berkaitan dengan pendekatan ekonomi karena setiap pelaku atau actor maupun masyarakat

tertentu memberikan pilihan-pilihannya dalam fenomena politik didasarkan pada cost-bennefit dimana untung

rugi dari apa yang dipilih menjadi prioritas utama dalam memilih.

Misalnya dalam fenomena politik yang terjadi di Indonesia saat ini, seperti pemilihan umum legislatif

maupun eksekutif. Ketika seseorang akan memilih kandidat saat pesta demokrasi berlangsung, ia memiliki

pilihan-pilihan tertentu terhadap seorang pemimpin yang akan ia pilih nanti, pada saat itulah cost-bennefit

muncul dalam dirinya. Ia akan mengetahui resiko serta keuntungan seperti apakah yang kelak ia dapatkan

jika ia memilih kandidat A, atau B, dsb. Jika kandidat A hanya menjanjikan pemberian sembako gratis dalam

kampanyenya, sedangkan kandidat B menjanjikan pemberian sembako, pelayananan kesehatan gratis, dan

memperbaiki infrastuktur jalan yang ada di daerah sipemilih, maka dalam hal ini ia akan memikirkan

keuntungan mana yang lebih dominan yang akan ia dapatkan dari kandidat. Tentu saja kandidat B karena

banyak memberikan pelayanan yang baik pada masyarakat.

Meskipun tidak selamanya seseorang akan bertindak demikian, namun pada kenyataannya yang terjadi

saat ini adalah masyarakat lebih mengedepankan logika ekonominya dalam memilih sehingga pendekatan

psikologis tidak tersalurkan dengan baik dalam sebuah pemilu. Lain halnya jika kita berbicara tentang Teori

Permainan ( game teory ) yang menjelaskan bahwa sebagai aktornya adalah elit-elit politik itu sendiri, jika

dilihat dari fenomena politik yang di atas, dalam pilihan rasional yang menjadi aktornya adalah sipemilih, baik

itu dari elit pemerintahan, maupun masyarakat biasa, sedangkan dalam teori permainan yang menjadi aktornya

disini adalah seorang kandidat yang akan dipilih itu tadi. Sebagaimana defenisi yang di uraikan berikut.

Teori Permainan ( game teory ) merupakan sekumpulan pemikiran yang menguraikan strategi

keputusan yang rasional dalam situasi konflik dan kompetisi, ketika masing-masing peserta atau pemain saling

berusaha memperbesar keuntungan dan memperkecil kerugian. Meskipun pendekatan ekonomi masih

mempengaruhi si pelaku, namun keuntungan yang diperoleh disini bukanlah semata-mata hanya keuntungan

yang dihasilkan dalam bentuk materi, melainkan berupa popularitas yang dimiliki si actor, serta penghargaan

yang dicapainya ketika ia memenangkan sebuah kompetisi.


Teori Pilihan Rasional selalu mengabaikan berbagai kepentingan-kepentingan lain seperti suku, agama,

ras, status sosial, dsb. Karena mereka lebih mengedepankan logika ekonominya dalam memilih sehingga

pendekatan psikologis tidak tersalurkan dengan baik dalam pemilihan umum. Berbagai pemikir politik tidak

dapat menjelaskan hal tersebut, artinya bahwa teori ini bagus dalam memprediksi akan tetapi lemah dalam

menjelaskan.

Sedangkan dalam teori permainan bukanlah semata hanya penyelidikan empiris tentang bagaimana cara

orang membuat keputusan, tetapi suatu teori deduktif mengenai suatu kondisi supaya keputusan mereka dapat

meyakinkan dan memuaskan dalam rangka memenuhi tuntutan secara rasional oleh masyarakat secara terus

menerus.

Anda mungkin juga menyukai