Anda di halaman 1dari 63

1

BAB I
PENDAHULUAN

Kulit adalah organ terbesar pada tubuh manusia, dengan berat sekitar 5 kg dan
luas 2 m2 pada seseorang dengan berat badan 70 kg.1 Kulit pada bayi berbeda
dibandingkan dengan kulit orang dewasa, karena bayi bukanlah miniatur dari orang
dewasa. Perbedaan utama antara kulit bayi dan dewasa adalah luas area permukaan
kulit, perbedaan berat kulit, ikatan antara dermis dan epidermis kurang kuat, kulit
bayi lebih tipis dan kurang elastis, permeabilitas dari stratum korneum yang lebih
tinggi dan pertahanan epidermis yang masih belum terbentuk dengan baik, serta
produksi melanin yang kurang.3
Bakteri, bersama dengan jamur dan virus, dapat menyebabkan banyak penyakit
kulit. infeksi bakteri pada kulit yang sering adalah pioderma. Manifestasi klinis
infeksi bakteri pada kulit sangat bervariasi, sesuai dengan bakteri penyebabnya,
bagian tubuh yang dikenai, dan keadaan imunologik penderita.2
Fungsi sawar kulit sangat penting untuk kelangsungan hidup dan penting untuk
mencegah masuknya bakteri dan patogen perkutan lainnya ke dalam kulit neonatus.
Jika penghalang kulit terganggu, bakteri dan faktor virulensi bakteri akan memiliki
akses untuk hidup di keratinosit pada lapisan epidermis dan dapat menginduksi
respon pertahanan tubuh. 4
Infeksi bakteri pada kulit dan struktur kulit yang biasa ditemukan pada anak-
anak adalah impetigo, folikulitis, furunkulosis, abses, infeksi pada luka, selulitis,
erisipelas, demam scarlet, paronchia akut, dan staphylococcal scalded skin syndrome.
Jika didiagnosis dini dan diobati dengan tepat, infeksi ini hampir selalu dapat
disembuhkan, tetapi beberapa infeksi memiliki potensi untuk menyebabkan
komplikasi serius seperti septikimia, nefritis, karditis, dan arthritis jika terlambat
diagnosa atau perawatan yang tidak memadai.5
2

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

1. Anatomi dan Fisiologi


1.1 Anatomi dan fisiologi kulit secara umum
Kulit merupakan organ yang istimewa pada manusia. Struktur
mikroskopik kulit terbagi menjadi 3 lapisan: epidermis, dermis, dan subkutis.
ketiga lapisan ini bertindak sebagai sebagai satu kesatuan yang saling terkait
antara satu dengan yang lain. 1
Lapisan epidermis merupakan lapisan kulit dinamis, senantiasa
beregenerasi, berespon terhadap rangsangan luar maupun dalam tubuh. Terbagi
atas stratum basalis, stratum spinosum, stratum granulosum, dan stratum
korneum. Dalam stratum basalis, terdapat keratinosit stratum basal yang
berfungsi untuk menahan trauma mekanik pada kulit. Sitoplasma keratinosit
banyak mengandung melanin. Melanin dihasilkan oleh melanosit. Fungsi
pigmen melanin ini adalah menyerap sinar ultraviolet (UV) yang berbahaya
bagi DNA, dimana sinar UV dapat mempercepat penuaan dan timbulnya
kerutan. Pada stratum spinosum juga terdapat keratinosit yang poligonal dan
lebih besar dibandingkan dengan keratinosit pada stratum basal. Pada stratum
basal dan granulosum, terdapat sel langerhans, sel dendritik yang berfungsi
sebagai sel penyaji antigen. Antigen yang menerobos sawar kulit akan difagosit
dan diproses oleh sel langerhans, kemudian disajikan kepada limfosit.
Keratinosit juga membangkitkan respon imunologik dengan cara melepaskan
sitokin proimflamasi. Korneosit pada stratum korneum berperan dalam
memberi penguatan terhadap trauma mekanis, produksi sitokin, serta
perlindungan terhadap sinar UV. Waktu yang diperlukan korneosit untuk
melepaskan diri dari epidermis adalah kira kira 14 hari. 1
Dermis merupakan jaringan dibawah epidermis yang juga memberikan
pertahanan pada kulit, termoregulasi, perlindungan imunologik, dan eksresi.
3

Fungsi- fungsi tersebut mampu dilaksanakan dengan baik karena berbagai


elemen yang berada pada dermis, yakni struktur fibrosa, filamentosa, ground
substances, dan selular yang terdiri atas endotel, fibroblast, sel radang, kelenjar,
folikel rambut dan saraf.1
Subkutis yang terdiri atas jaringan lemak mampu mempertahankan suhu
tubuh, dan merupakan cadangan energi, juga menyediakan bantalan yang
meredam trauma melalui permukaan kulit. 1
Adneksa pada kulit adalah rambut, kelenjar ekrin, apokrin, serta kuku.
Fungsi utama kelenjar ekrin adalah mengatur pelepasan panas, eksresi air dan
elektrolit, dan mempertahankan keasaman permukaan kulit sehingga mencegah
kolonisasi kuman patogen. 1

Gambar 1.1 Anatomi mikroskopik kulit. 6

1.2 Perbedaan Kulit Bayi, Anak Dan Dewasa


Kulit bayi dengan kulit orang dewasa berbeda. Kulit bayi melalui proses
pematangan setidaknya tahun pertama kehidupan. Epidermis suprapapilaris dan
stratum korneum rata-rata 20 -30 % lebih tipis pada bayi dibandingkan pada
orang dewasa. Kulit neonatus setelah lahir jauh lebih kering dibandingkan
orang dewasa. Namun selama bulan pertama kehidupan, perbedaan hidrasi
4

stratum korneum antara bayi dan dewasa terbalik, yang menyebabkan


peningkatan hidrasi kulit pada bayi lebih tua (usia 3- 24 bulan). Selain
mengalami perubahan struktural dan fungsional, komposisi mikroflora kulit
berkembang selama tahun pertama kehidupan.4
Tabel 1. kulit bayi dan dewasa: kesamaan dan perbedaan.4

2. Infeksi Bakteri Pada Kulit Secara Umum 7


Infeksi bakteri pada kulit terbagi menjadi 4 kategori secara umum :
infeksi primer, infeksi sekunder dari infeksi primer, lesi kulit sebagai
manifestasi infeksi primer pada sistem organ lain, kulit yang reaktif akibat
infeksi bakteri. Pembagian tersebut berdasarkan morfologi dari lesi kulit
dimana sangat penting dan dapat menjadi diagnosis awal dan pengobatan terapi
antibiotik empiris.
Efikasi dari epidermis yang lengkap terhadap invasi dari bakteri dapat
terlihat pada tingginya prevalensi septikimia pada bayi prematur, dengan berat
5

badan rendah akibat kurangnya pertahanan epidermis yang efektif. Pada kulit
normal biasanya resisten terhadap bakteri. Infeksi terjadi akibat adanya disrupsi
pada pertahanan kulit seperti maserasi, mencukur, luka kronik, ekskoriasi pada
garukan, dan disrupsi dari pertahanan epidermis.
Bakteri tidak dapat melakukan penetrasi pada lapisan keratin pada kulit
yang normal. Maserasi dan oklusi, akan meningkatkan PH, bahan
karbondioksida yang tinggi, kandungan air epidermis tinggi, serta akan
menghasilkan peningkatan flora bakteri secara dramatis.
Ada beberapa faktor yang menyebabkan peningkatan pevalensi dan
virulensi dari infeksi bakteri, antara lain resistensi antibiotik, infeksi HIV, dan
pada kondisi pasien yang lemah dan tua.

3. INFEKSI BAKTERI PADA KULIT BAYI DAN ANAK


3.1 IMPETIGO
Definisi
Impetigo secara klinis didefinisikan sebagai penyakit infeksi menular
pada kulit yang superfisial yaitu hanya menyerang epidermis kulit, yang
menyebabkan terbentuknya lepuhan-lepuhan kecil berisi nanah (pustula) seperti
tersundut rokok/api. Penyakit ini merupakan salah satu contoh pioderma yang
sering dijumpai di bagian Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin.Terdapat dua jenis
impetigo yaitu impetigo bulosa yang disebabakan oleh Stafilokokus aureus dan
non-bulosa yang disebabkan oleh Streptokokus hemolitikus. Dasar infeksinya
adalah kurangnya hygiene dan terganggunya fungsi kulit 1,8.
Epidemologi
Di Amerika Serikat, kurang lebih 9 10 % dan anak-anak yang datang ke
klinik kulit menderita impetigo. Perbandingan antara jenis kelamin laki-laki dan
perempuan adalah sama. Impetigo lebih sering menyerang anak-anak, jenis
yang terbanyak (kira-kira 90%) adalah impetigo bullosa yang terjadi pada anak
yang berusia kurang dan 2 tahun. Impetigo menyebar melalui kontak langsung
6

dengan lesi (daerah kulit yang terinfeksi). Di Inggris kejadian impetigo pada
anak sampai usia 4 tahun sebanyak 2,8% pertahun dan 1,6% pada anak usia 5-
15 tahun. Sekitar 70% merupakan impetigo krustosa.nsiden impetigo ini terjadi
hampir di seluruh dunia. Paling sering mengenai usia 2-5 tahun, umumnya
mengenai anak yang belum sekolah, namun tidak menutup kemungkinan untuk
semua umur dimana frekuensi laki-laki dan wanita sama. Di Amerika Serikat,
merupakan 10% dari masalah kulit yang dijumpai pada klinik. Kebanyakan
kasus ditemukan di daerah tropis atau beriklim panas serta pada negara-negara
yang berkembang dengan tingkat ekonomi masyarakatnya masih tergolong
lemah atau miskin 5.
Penelitian pada tahun 2005 menunjukkan S. aureus sebagai pathogen
terbanyak yang menyebabkan baik impetigo bulosa dan impetigo non bulosa
pada Amerika dan Eropa, sementara itu Streptococcus pyogenes pada negara
berkembang. Kebanyakan infeksi bermula sebagai infeksi Streptokokus tetapi
kemudian Staphylococci mengantikan streptokokus. Selain dapat menyebabkan
manifest pyoderm primer dan kulit yang utuh, dapat juga menyebabkan infeksi
sekunder dari penyakit kulit yang ada sebelumnya atau pada kulit yang terkena
trauma, yang disebut dengan dermatitis impetigenisata. Impetigo jarang
berkembang menjadi infeksi sistemik, walaupun post streptococcal
glomerulonepritis yang merupakan komplilkasi pada infeksi GABHS dapat
terjadi walaupun jarang. Pasien dapat lebih jauh menginfeksi dirinya sendiri
atau orang lain setelah rnenggaruk lesi. Infeksi seringkali menyebar dengan
cepat pada sekolah atau tempat penitipan anak dan juga pada tempat dengan
higiene yang buruk atau tempat tinggal yang padat penduduk 5,2.
Etiologi
Organisme penyebab adalah Staphylococcus aureus, Streptococcus beta-
hemolyticus grup A (dikenal dengan Streptococcus pyogenes), atau kombinasi
keduanya. Staphylococcus dominan ditemukan pada awal lesi. Jika kedua
kuman ditemukan bersamaan, maka infeksi streptococcus merupakan infeksi
7

penyerta. Kuman S. pyogenes menular ke individu yang sehat melalui kulit,


lalu kemudian menyebar ke mukosa saluran napas. Berbeda dengan S. aureus,
yang berawal dengan kolonisasi kuman pada mukosa nasal dan baru dapat
ditemukan pada isolasi kuman di kulit pada sekitar 11 hari kemudian.
Impetigo menyebar melalui kontak langsung dengan lesi (daerah kulit
yang terinfeksi). Pasien dapat lebih jauh menginfeksi dirinya sendiri atau orang
lain setelah menggaruk lesi. Infeksi seringkali menyebar dengan cepat pada
sekolah atau tempat penitipan anak dan juga pada tempat dengan higiene yang
buruk atau tempat tinggal yang padat penduduk.
Faktor Predisposisi
Faktor-faktor pencetus terjadinya Pioderma, antara lain:
a. Higiene yang kurang;
b. Menurunnya daya tahan tubuh; misalnya karena kekurangan gizi, anemia,
atau penyakitpenyakit tertentu seperti penyakit kronis, neoplasma ganas, dan
diabetes mellitus
c. Telah ada penyakit lain di kulit; karena terjadi kerusakan di epidermis, maka
fungsi kulit sebagai pelindung akan terganggu 2.
Klasifikasi Impetigo
Terdapat dua bentuk dari impetigo, yaitu :
1) Impetigo Krustosa (impetigo kantagiosa, impetigo vulgaris, impetigo
Tilibury Fox)
Impetigo krustosa, disebabkan biasanya oleh Streptococcus B
hemolyticus.Tidak disertai gejala umum, hanya terdapat pada anak.Tempat
predileksi di muka, yakni sekitar lubang hidung dan mulut karena dianggap
sumber infeksi dan daerah tersebut. Kelainan kulit berupa eritema dan
vesikel yang cepat memecah sehingga jika pendenita datang berobat yang
terlihat ialah krusta tebal berwama kuning seperti madu. Jika krusta
dilepaskan akan tampak erosi dibawahnya, krusta sering menyebar ke
penifer dan sembuh di bagian tengah.
8

Komplikasinya glomerulonefritis (2-5%), yang disebabkan oleh sero


tipe tertentu. Diagnosis bandingnya adalah Ektima. Pengobatan yang dipakai
jika krusta sedikit, lepaskan krusta dan diberi antibiotik.J ika krusta banyak,
diberikan pengobatan antibiotik sistemik 1,8

Gambar 2 .Impetigo Krustosa

Gambar 3. Impetigo Krustosa

2) Impetigo bulosa (Impetigo vesiko-bulosa, cacar monyet)


Impetigo bulosa biasanya disebabkan oleh Staphylococcus aureus,
keadaan umum tidak dipengaruhi, dengan predileksi di daerah ketiak, dada,
punggung.Sering bersama-saina miliaria, terdapat pada anak dan orang
dewasa.Kelainan kulit berupa eritema, bula dan hula hipopion.Kadang-
kadang saat datang berobat, vesikel/bula sudah memecah sehingga yang
tampak hanyalah koleret dan dasamya masih eritematosa. Diagnosis banding
9

dan impetigo ini adalah dermatofitosis (jika sudah pecah dan tampak
koleret).
Pada anamnesis hendaknya ditanyakan, apakah sebelumnya terdapat
lepuh. Jika ada, diagnosisnya adalah impetigo bullosa. Pengobatannya jika
hanya terdapat beberapa vesikel bula ditangani dengan cara memecahkan
bula, lalu berikan salep antibiotik atau cairan antiseptik. Jika bula vesikel
banyak maka berikan pula antibiotic sistemik 1,8.

Gambar 4. Impetigo Bullosa

Patofisiologi Impetigo
Infeksi Staphylococcus aureus atau Group A Beta Hemolitik
Streptococcus dimana kita ketahui bakteri-bakteri tersebut dapat menyebabkan
penyakit berkat kemampuannya mengadakan pembelahan dan menyebar luas ke
dalam jaringan dan melalui produksi beberapa bahan ekstraseluler. Beberapa
dari bahan tersebut adalah enzim dan yang lain berupa toksin meskipun
fungsinya adalah sebagai enzim. Staphylococcus dapat menghasilkan katalase,
koagulase, hyaluronidase, eksotoksin, lekosidin, toksin eksfoliatif, toksik
sindrom syok toksik, dan enterotoksin. Bakteri staph menghasilkan racun yang
dapat menyebabkan impetigo menyebar ke area lainnya. Toxin ini menyerang
protein yang membantu mengikat sel-sel kulit. Ketika protein ini rusak, bakteri
akan sangat cepat menyebar. Enzim yang dikeluarkan oleh Stap akan merusak
10

struktur kulit dan adnya rasa gatal dapat menyebabkan terbentuknya lesi pada
kulit.
Rasa gatal dengan lesi awal berupa makula eritematosa berukuran 1-2
mm, kemudian berubah menjadi bula atau vesikel. Pada Impetigo contagiosa
Awalnya berupa warna kemerahan pada kulit (makula) atau papul (penonjolan
padat dengan diameter <0,5cm) yang berukuran 2-5 mm. Lesi papul segera
menjadi vesikel atau pustul (papula yang berwarna keruh/mengandung
nanah/pus) yang mudah pecah dan menjadi papul dengan keropeng/koreng
berwarna kunig madu dan lengket yang berukuran <2cm dengan kemerahan
minimal atau tidak ada kemerahan disekelilingnya, sekret seropurulen kuning
kecoklatan yang kemudian mengering membentuk krusta yang berlapis-lapis.
Krusta mudah dilepaskan, di bawah krusta terdapat daerah erosif yang
mengeluarkan sekret, sehingga krusta akan kembali menebal. Sering krusta
menyebar ke perifer dan menyembuh di bagian tengah. Kemudian pada Bullous
impetigo bula yang timbul secara tiba tiba pada kulit yang sehat dari plak
(penonjolan datar di atas permukaan kulit) merah, berdiameter 1-5cm, pada
daerah dalam dari alat gerak (daerah ekstensor), bervariasi dari miliar sampai
lentikular dengan dinding yang tebal, dapat bertahan selama 2 sampai 3 hari.
Bila pecah, dapat menimbulkan krusta yang berwarna coklat, datar dan tipis2,4.
GejalaKlinis
Impetigo dapat timbul sendiri (primer) atau komplikasi dan kelainan lain
(sekunder) baik penyakit kulit (gigitan binatang, vanisela, infeksi herpes
simpleks, dermatitis atopi) atau penyakit sisteniik yang menurunkan kekebalan
tubuh (diabetes melitus, HIV) 3.
a. Impetigo Bulosa
1) Vesikel (gelembung berisi cairan dengan diameter <0,5cm) yang timbul
sampai bulla (gelembung berisi cairan berdiameter >0,5cm) kurang dan 1
cm pada kulit yang utuh, dengan kulit sekitar normal atau kemerahan.
11

Pada awalnya vesikel berisi cairan yang jernih yang berubah menjadi
berwarna keruh
2) Atap dan bulla pecah dan meninggalkan gambaran collarette pada
pinggirnya. Krusta varnishlike terbentuk pada bagian tengah yang jika
disingkirkan memperlihatkan dasar yang merah dan basah
3) Bulla yang utuh jarang ditemukan karena sangat rapuh
4) Bila impetigo menyertai kelainan kulit lainnya maka, kelainan itu dapat
menyertai dermatitis atopi, vanisela, gigitan binatang dan lain-lain.
5) Lesi dapat lokal atau tersebar, seringkali di wajah atau tempat lain,
sepertitempat yang lembab, lipatan kulit, ketiak atau lipatan leher.
6) Tidak ada pembengkakan kelenjar getah bening di dekat lesi.
7) Pada bayi, lesi yang luas dapat disertai dengan gej ala demam, lemah,
diare. Jarang sekali disetai dengan radang pam, infeksi sendi atau
tulang8,4,2.
b. Impetigo Krustosa
1) Awalnya berupa wama kemerahan pada kulit (makula) atau papul
(penonjolan padat dengan diameter <0,5cm) yang berukuran 2-5 mm.
2) Lesi papul segera menjadi menjadi vesikel atau pustul (papula yang
berwarna keruh/mengandung nanah/pus) yang mudah pecah dan menjadi
papul dengan keropeng/koreng berwarna kuning madu dan lengket yang
berukuran <2cm dengan kemerahan minimal atau tidak ada kemerahan
disekelilingnya.
3) Lesi muncul pada kulit normal atau kulit yang kena trauma sebelumnya
atau mengikuti kelainan kulit sebelumnya (skabies, vasisela, dermatitis
atopi) dan dapat menyebar dengan cepat.
4) Lesi berada sekitar hidung, mulut dan daerah tubuh yang sering terbuka
(tangan dan kaki).
5) Kelenjar getah bening dapat menbesar dan dapat nyeri
6) Lesi juga menyebar ke daerah sekitar dengan sendirinya (autoinokulasi)
12

7) Jika dibiarkan tidak diobati maka lesi dapat menyebar terus karena
tindakan din sendiri (digaruk lalu tangan memegang tempat lain sehingga
mengenai tempat lain).
8) Lalu dapat sembuh dengan sendininya dalarn beberapa minggu
tanpajaringan parut.
9) Walaupun jarang, bengkak pada kaki dan tekanan darah tinggi dapat
ditemukan pada orang dengan impetigo krustosa sebagai tanda
glomerulonefritis (radang pada ginjal) akibat reaksi tubuh terhadap
infeksioleh kuman Sfreptokokus penyebab impetigo 8,4,2
Diagnosis banding
1) Lupus eritematosa bullosa : lesi vesikel dan bula yang menyebar dapat gatal,
seringkali melibatkan bagian atas badan dan daerah lengan
2) Pemfigus bulosa : vesikel dan bula timbul cepat dan gatal menyeluruh,
dengan plak urtikaria
3) Herpes simplex : vesikel berkelompok dengan dasar kemerahan yang pecah
menjadi lecet dan tertutup krusta, biasanya pada bibir dan kulit
4) Pemfigus vulgaris : bulla yang tidak gatal, ukuran bervariasi dan 1 sampai
beberapa sentimeter, muncul bertahap dan menjadi menyeluruh
penyembuhan dengan hiperpigmentasi (warna kulit yanglebih gelap dan
sebeluinnya).
5) Varisela: vesikel pada dasar kemerahan bermula di badan dan menyebar ke
tangan kaki dan wajah; vesikel pecah dan membentuk krusta; -lesi terdapat
pada beberapa tahap (vesikel, krusta) pada saat yang sama.
6) Dermatitis atopi : keluhan gatal yang berulang atau berlangsung lama
(kronik) dan kulit yang kering; penebalan pada pada lipatan kulit terutama
pada dewasa (likenifikasi); pada anak seringkali melibatkan daerah wajah
atau tangan bagian dalam.
7) Dermatitis kontak: gatal pada daerah sensitif yang kontak dengan zat-zat
yang mengiritasi.
13

8) Ektima: lesi berkrusta yang menutupi daerah ulkus (luka dengan dasar dan
dinding) dapat menetap selama beberapa minggu dan sembuh dengan
jaringan parut bila infeksi sampai jaringan kulit dalam (dermis).1,4,8
Pemeriksaan Penunjang
Pada keadaan khusus, dimana diagnosis impetigo masih diragukan, atau
pada suatu daerah dimana impetigo sedang mewabah, atau pada kasus yang
kurang berespons terhadap pengobatan, maka diperlukan pemeriksaan-
pemeniksaan sebagai berikut:
a. Pemeriksaan Laboratorium
Pewarnaan gram, pada pemeriksaan ini akan mengungkapkan adanya
neutropil dengan kuman coccus gram positif berbentuk rantai atau
kelompok.
Kultur cairan, pada pemeriksaan mi umuinnya akan mengungkapkan
adanya Streptococcus. aureus, atau kombinasi antara Streptococcus
pyogenes dengan Streptococcus beta hemolyticus grup A (GABHS), atau
kadang-kadang dapat berdiri sendiri.
b. Pemeriksaan Lain:
Titer anti-streptolysin-O (ASO), mungkin akan menunjukkan hasil positif
lemah untuk streptococcus, tetapi pemeriksaan ini jarang dilakukan.
Streptozyme, menunjukkan hasil positif untuk Streptococcus, tetapi
pemeriksaan ini jarang dilakukan
Pemeriksaan kultur dan sensitifitas bakteri 8,6
Terapi
Tujuannya menghilangkan rasa tidak nyaman dan memperbaiki kosmetik
dan lesi impetigo, mencegah penyebaran infeksi dan mencegah kekambuhan :
a. Penatalaksanaan Farmakologis
Syarat pengobatan yang baik adalah pengobatan harus efektif, tidak mahal
dan memiliki sedikit efek samping. Antibiotik topikal (lokal)
14

menguntungkan karena hanya diberikan pada kulit yang teriafeksi sehingga


meminimalkan efek samping. Kadangkala antibiotik topikal dapat
menyebabkan reaksi sensitifitas pasa kulit orang-orang tertentu. Pada lesi
yang terlokalisir maka pemberian antibiotik topilcal diutamakan. Karena
antibiotilc topikal sama efektiffiya dengan antibiotik oral. Pilihan antibiotik
topikal adalah mupirocin 2% atau asam fusidat. Antibiotilc oral disimpan
untuk kasus dimana pasien sensitif terhadap antibiotik topikal, lesi lebih luas
atau dengan penyakit penyerta yang berat.Penggunaan disinfektan topikal
tidak direkomendasikan dalam pengobatan impetigo.Obat topikal yang
diberikan mupirocin 2% diberikan di kulit yang terinfeksi 3x sehari selania
tiga sampai lima hari. Antibiotik oral yang dapat diberikan adalah
Amoxicillin dengan asam kiavulanat; cefuroxime;cephalexin; dieloxacillin;
atauenitromiein selama 10 hari 8,9.
Komplikasi
Impetigo biasanya sembuh tanpa penyulit dalam dua minggu walaupun
tidak diobati. kmplikasi berupa radang ginjal pasca infeksi Streptokokus
terjadi pada 1-5% pasien terutama isia 2-6 tahun dan hal ini tidak dipengaruhi
oleh pengobatan antibiotik. Gejala berupa bengkak tekanan darah tinggi,
terdapat urin seperti warna teh. Keadaan ini umumnya sembuh secara spontan
walaupun gejala-gejala tadi muncul 2.
Pencegahan
Kebersihan sederhana dan perhatian dapat mencegah timbulnya impetigo
Seseorang yang sudah terkena impetigo atau gejala-gejala rnfeksi/peradangan
Streptococcus beta hemolyticus grup A (GABHS) membuthkan perawatan
medik dan jika perlu dimulai dengan ,pemberian antibiotik secepat mungkin
untuk mencegah menyebamya infeksi ke orang lain. Penderita impetigo harus
diisolasi, dan dicegah agar tidak terjadi kontak dengan orang lain minimal
dalam 24 jam setelah pemberian antibiotik.
15

Adapun pencegahan yang harus di lakukan yaitu


1) Cuci tangan segera dengan menggunakan air mengalir bila habis kontak
dengan pasien, terutama apabila terkena luka.
2) Jangan menggunakan pakaian yang sama dengan penderita
3) Bersihkan dan lakukan desinfektan pada mainan yang mungkin bisa
menularkan pada orang lain, setelah digunakan pasien
4) Mandi teratur dengan sabun dan air (sabun antiseptik dapat digunakan,
namun dapat mengiritasi pada sebagian kulit orang yang kulit sensitif)
5) Higiene yang baik, mencakup cuci tangan teratur, menjaga kuku jari tetap
pendek dan bersih
6) Jauhkan diri dari orang dengan impetigo
7) Cuci pakaian, handuk dan sprei dari anak dengan impetigo terpisah dari yang
lainnya. Cuci dengan air panas dan keringkan di bawah sinar matahari atau
pengering yang panas. Mainan yang dipakai dapat dicuci dengan disinfektan.
8) Gunakan sarung tangan saat mengoleskan antibiotik topikal di tempat yang
terinfeksi dan cuci tangan setelah itu 2,8.
Prognosis
Secara umum prognosis dari penyakit ini adalah baik jika dilakukan
pengobatan yang teratur, meskipun dapat pula komplikasi sistemik seperti
glomerulonefritis dan lain-lain. Lesi mengalami perbaikan setelah 7-10 hari
pengobatan 1,8.

3.2 Ektima7
Definisi
Ektima merupakan ulkus superfisial dengan krusta diatasnya yang
disebabkan karena infeksi oleh Streptococcus. Ektima tampak sebagai krusta
tebal berwarna kuning dan biasanya berlokasi di tungkai bawah, yaitu tempat
yang relatif banyak mendapat trauma.(1)
16

Pioderma ialah penyakit kulit yang disebabkan oleh Staphylococcus,


Streptococcus, atau kedua-keduanya. Penyebabnya yang utama ialah
Staphylococcus aureus dan Streptococcus A beta hemolyticus.(1) Bakteri ini
menyebabkan klinis infeksi yang luas dari pioderma superfisial hingga infeksi
jaringan lunak yang invasif, tergantung dari organisme, lokasi infeksi, dan
faktor host. Pioderma merupakan infeksi pada epidermis, tepat dibawah stratum
korneum atau pada folikel rambut. Jika tidak diobati, pioderma bisa
menginfeksi dermis dan mengakibatkan formasi furunkel dan ektima.(2)
Ektima biasa terjadi karena impetigo yang tidak diobati akibat tertutupi
alas kaki atau pakaian, yang biasa terjadi pada tunawisma atau pada tentara
yang ditugaskan di daerah iklim lembab dan panas. Higienitas yang buruk dan
kurangnya gizi juga merupakan faktor predisposisi dari ektima. Ektima dapat
diamati di segala usia atau jenis kelamin dan biasa didapatkan pada orang-orang
dengan malnutrisi. Lesi ektima juga sering terlihat pada ektrimitas bawah anak-
anak, lansia yang terabaikan, atau orang dengan penyakit diabetes. Higienitas
yang buruk dan terabaikan merupakan kunci dari patogenesis ektima. Lesi
ektima yang banyak pada pergelangan dan punggung kaki adalah pioderma
yang paling sering terjadi saat waktu perang di daerah iklim tropis. (2)
Epidemiologi
Semua kalangan umur, jenis kelamin, dan ras bisa terkena, terutama anak-
anak, manula, dan pasien dengan immunokompromise (misal, diabetes,
neutropenia, pengobatan immunosupressive, keganasan, HIV).(3) Kasus ektima
terjadi diseluruh dunia, terutama di daerah tropis dan subtropis. (2)
Di Indonesia sendiri belum terdapat laporan akurat tentang infeksi kulit
dan bakteri penyebab. Ektima dapat diamati di segala usia atau jenis kelamin
dan biasa didapatkan pada orang-orang dengan malnutrisi. Dari data yang
dikumpulkan di Divisi Kulit anak, Bagian Ilmu Kesehatan Kulit Kelamin
RSCM, memperlihatkan ektima termasuk dalam 5 besar jenis infeksi pioderma
yang sering dijumpai pada anak.(4)
17

Etiologi
Ektima disebabkan oleh Streptococcus group A beta haemoliticus,
Staphylococcus aureus dan atau kedua-duanya dapat terisolasi pada kultur.
(2,4,5)
Infeksi Bakteri dikulit terutama disebabkan oleh kedua bakteri tersebut.
Sekitar 60 persen orang sehat memiliki kolonisasi Staphylococcus aureus
dibeberapa bagian tubuh seperti aksila, perineum, faring, dan tangan. Faktor
predisposisi dari kolonisasi Staphylococcus aureus meliputi dermatitis atopik,
diabetes melitus (dependen-insulin), dialisis, penggunaan obat intravena,
disfungsi liver, dan infeksi HIV. Staphylococcus aureus adalah kuman patogen
agresif merupakan penyebab tersering pioderma. Staphylococcus aureus pada
pioderma dapat menginvasi aliran darah, replikasi bakteri, dan menyebabkan
penyebaran infeksi seperti osteomyelitis, dan endokarditis akut.(2)
Diagnosis
Penegakan Diagnosis pada Ektima dapat dilakukan dengan temuan klinis
dan dikonfirmasi melalui kultur.(6)
1) Manifestasi Klinis
Tampak sebagai krusta tebal berwarna kuning, biasanya berlokasi
ditungkai bawah, yaitu tempat yang relatif mendapat banyak trauma. Jika
krusta diangkat ternyata lekat dan dampak ulkus yang dangkal.(1) Lesi
ektima dapat berkembang dari pioderma primer, penyakit kulit, atau
trauma yang sudah ada sebelumnya Sedangkan ektima gangrenosum
merupakan luka kutaneus yang disebabkan Pseudomonas aeruginosa dan
mirip dengan ektima Staphylococcus atau Streptococcus.(2)
18

Gambar.5: Staphylococcus aureus, Ektima. Luka dengan krusta tebal


yang banyak pada kaki pasien dengan diabetes dan gagal ginjal.
Lesi ektima juga muncul pada kaki yang lain, lengan, dan tangan.(2)

Gambar 6. Ektima(8)
2) Temuan Laboratorium
Pemeriksaan Gram dapat ditemukan kokkus gram-possitive
Kultur dapat terisolasi Staphylococcus aureus dan atau kedua-duanya
Streptococcus group A
Streptococcal Antibody Assay, tidak memberi nilai pada diagnosis
dan penatalaksannaan namun dapat sangat menolong temuan recents
19

streptococcal infection pada pasien dengan dugaan poststreptococcal


glomerulonefritis.(7)
Diagnosis Banding
1) Folikulitis
Folikulitis adalah peradangan bagian distal folikel rambut yang biasanya
hanya mengenai ostium, tapi dapat meluas sedikit kebawahnya yang
disebabkan oleh Staphylococcus koagulase positif. Dapat juga terjadi sebagai
akibat kontak dengan zat-zat kimia tertentu. Pada folikulitis terlihat pustul
folikuler kecil dan berbentuk kubah, sering ditembus oleh rambut halus.
Krusta tipis tipis dapat menutupi muara folikel yang menyembul.(1)
2) Ektima gangrenosum(8) Merupakan penyakit yang perjalanannya cepat,
idiopatik, kronik dan merupakan penyakit yang sangat melemahkan kulit.
Penyakit ini ditandai dengan infiltrasi neutrofil dan kerusakan pada jaringan
yang biasanya terjadi berhubungan dengan penyakit sistemik seperti
misalanya colitis ulcerative chronic. Biasanya ditandai dengan bentuk yang
iregular, ulkus dengan warna biru merah yang biasanya menimbulkan
jaringan nekrotik disekitarnya.(6)

Gambar 7. Ektima gangrenosum(3)

3) Impetigo krustosa Impetigo merupakan suatu infeksi superfisial yang


menular yang mempunyai dua bentuk klinis, yaitu bulosa dan non bulosa.
Persamaan impetigo dengan ektima sama-sama berkrusta warna kuning.
20

Perbedaannya impetigo krustosa terdapat pada anak, berlokasi di muka dan


dasarnya ialah erosi. Sebaliknya ektima terdapat baik pada anak maupun
dewasa, tempat predileksinya di tungkai bawah, dan dasarnya ialah ulkus.(1,8)

Gambar 8. Impetigo krustosa (8)

Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pada ektima sama dengan penatalaksanaan pada
impetigo.(2) Jika terdapat sedikit, krusta diangkat lalu diolesi dengan salap
antibiotik. Kalau banyak, juga diobati dengan antibiotik sistemik. (1)
Tabel 2. Penatalaksanaan Impetigo2
21

1) Pencegahan
Mandi Tiap hari. Sabun batang Benzoyl Peroxyde. Mengecek tanda
dan gejala Impetigo di seluruh anggota keluarga.Ethanol atao Isoprophil gel
untuk tangan dan atau bagian yang termasuk didalamnya.(6)
2) Terapi Topikal
Terapi topikal yang dapat diberikan berupa desinfektan topikal atau
ointment seperti asam fusidat.(3) Mupirocin dan retapaminolen dapat sangat
efektif dalam mengeliminasi kedua S. Aureus, termasuk MRSA, dari daerah
sekitar dan pada lesi kutaneus. Gunakan dua kali sehari pada kulit lesi dan
daerah sekitarnya 5-10hari.6
Sedangkan Salep Mupirocin digunakan untuk terapi infeksi kulit yang
sering sisebabkan oleh bakteri stafilokok atau streptokok baik pada dewasa
maupun pada anak-anak. Penelitian-penelitian mutakhir menganjurkan
aplikasi 2 kali sehari selama 5hari.9
3) Antibiotik oral
Antibiotik oral yang direkomendasikan jika infeksinya meluas atau
memberikan respon lambat pada antibiotik topikal. Antibiotik yang dipilih
ialah golongan penisilin, atau apapun antibiotik yang dipilih haruslah dapat
menanggulangi kedua bakteri penyebab yaitu Streptococcus dan
Staphylococcus aureus (biasanya dicloxalicin atau fluoxacillin). Durasi
pengobatan pun bervariasi, beberapa minggu dari terapi sangat
memungkinkan menanggulangi ektima.3
22

Tabel 3. Agen Antimikroba Oral untuk Infeksi Bakteri 6


23

Tabel 4. Organisme, Pilihan Agen Antimikroba, dan Alternatif 6


24

Tabel 5. Organisme, Pilihan Agen Antimikroba, dan Alternatif 6

Komplikasi (10)
Infeksi luas pada tubuh
Kerusakan kulit permanen dengan bekas luka
Komplikasi Nonsupuratif dari Infeksi Kulit Streptokokus termasuk demam
scarlet dan glomerulonefritis akut.(5)
Prognosis
Ektima dapat menimbulkan scar atau bekas luka.(10) Prognosis baik.(5).
25

3.3 Follikulitis7
Definis
Folikulitis adalah peradangan pada selubung akar rambut atau folikel
rambut, yang umumnya di sebabkan oleh bakteri gram positif staphylococcus
aureus. Berdasarkan lokasinya dalam jaringan, kulit folikulitis folikulitis terbagi
atas 2 jenis yaitu :
1) Folikulitis superfisialis
Folikulitis Superfisialis adalah radang folikel rambut dengan pustul
berdinding tipis pada orifisium folikel yang terbatas pada epidermis.
2) Folikulitis Profunda
Folikulitis Profunda adalah radang folikel rambut dengan pustul perifolikular
kronik yang di tandai dengan adanya papul, pustul dan sering terjadi
rekurensi, merupakan folikulitis piogenik dengn infeksi yang meluas
kedalam folikel rambut sampai subkutan.(1, 2)
Epidemiologi
Folikulitis dapat mengenai semua umur, tetapi lebih sering di jumpai pada
anak anak dan folikulitis juga tidak di pengaruhi oleh jenis kelamin. Jadi pria
dan wanita memiliki angka resiko yang sama untuk terkena folikulitis, dan
folkulitis lebih sering timbul pada daerah panas atau beriklim tropis. (1, 2, 3)
Etiopatogenesis
Setiap rambut tumbuh dari folikel, yang merupakan suatu kantung kecil
di bawah kulit. Selain menutupi seluruh kulit kepala, folikel juga terdapat pada
seluruh tubuh kecuali pada telapak tangan, telapak kaki dan membrane mukosa
bibir. Folikulitis bisa di sebabkan oleh karena minyak ataupun pelumas dan
keringat berlebihan yang menutupi dan menyumbat saluran folikel rambut. Bisa
juga di sebabkan oleh gesekan saat bercukur atau gesekan pakaian pada folikel
rambut maupun trauma atau luka pada kulit. Hal ini merupakan port de entry
dari berbagai mikroorganisme terutama staphylococcus aureus sebagai
26

penyebab folikulitis. Kebersihan yang kurang dan higiene yang buruk menjadi
faktor pemicu dari timbulnya folikulitis, sedangkan keadaan lelah, kurang gizi
dan Diabetes melitus merupan faktor yang mempercepat atau memperberat
folikulitis ini. (1, 2, 3)
Gejala Klinis
Secara umum folikulitis menimmbulkan rasa gatal seperti terbakar pada
daerah rambut. Gejala konstitusional yang sedang juga dapat muncul pada
folikulitis seperti badan panas, malaise dan mual. Pada folikulitis superfisialis
gambaran klinisnya di tandai dengan timbulnya rasa gatal dan agak nyeri, tetapi
biasanya tidak terlalu menyakitkan hanya seperti gigitan serangga, tergores atau
akibat garukan dan trauma kulit lainnya. Kelainan di kulitnya dapat berupa
papul atau pustul yang erimatosa yang dan di tengahnya terdapat rambut dan
biasanya multiple serta adanya krusta di sekitar daerah inflamasi. Tempat
predileksi biasanya pada tungkai bawah. Folikulitis superfisialis ini dapat
sembuh sendiri setelah beberapa hari tanpa meninggalkan jaringan parut. Pada
folikulitis profunda gambaran klinisnya hampir sama seperti folikulitis
superfisialis. Folikulitis profunda ini terasa sangat gatal yang di sertai rasa
terbakar serta teraba infiltrat di subkutan yang akhirnya dapat meninggalkan
jaringan parut apabila taelah sembuh.(1, 2, 4, 6, 7, 8)

Gambar 9. Gambaran Klinis Folikulitis


27

Diagnosa
Diagnosa di tegakkan berdasarkan anamnesa, gambaran klinis,
pemeriksaan bakteriologis dari sekret lesi dan kalau mendukung bisa dilakukan
pemeriksaan histopatologi. (1, 5)
Diagnosa Banding
Diagnosa banding dari folikulitis adalah :
1) Tinea Barbae.(1)
2) Acne Vulgaris. (2)
3) Kertosis Piliaris. (7)

Penatalaksanaan
Folikulitis kadang dapat sembuh sendiri setelah dua atau tiga hari, tetapi
pada beberapa kasus yang persisten dan rekuren perlu penanganan.Umum
Cukup dengan menjaga kebersihan diri terutama kulit, menghindari garukan
dan faktor pencetus seperti gesekan pakaian atau mencukur dan luka atau
trauma.
1. Khusus, terbagi 2 yaitu secara tropikal dan secara sistemik :
Topikal, dapat di berikan antibiotik misalnya (2) :
1) Kemicetin salap 2 %
2) Kompres PK 1/ 5000 solusio sodium chloride 0,9 %( jika ada
eksudasi)
3) Salep natrium fusidat.
Sistemik, dapat diberikan : (1)
Antibiotik (umumnya di berikan 7 10 hari) misalnya :
1) Penisilin dan semisintetiknya.
a. Penisilin G prokain injeksi 0,6 1,2 juta IU, IM selama 7 14 hari,
1 2 kali/ hari.
b. Ampisilin 250 500 mg/ dosis, 4 kali/ hari
c. Amoksisilin, 250 500 mg/ dosis, 3 kali/ hari
28

d. Kloksasilin ( untuk staphylococcus yang kebal penisilin), dosis 250


500 mg, 4 kali / hari.
e. Dikloksasilin ( untuk staphylococcus yang kebal penisilin), dosis
125 250 mg, 3 -4 kali/ hari.
f. Eritromisin 250 500 mg 3 4 kali/ hari(dewasa) dan 12, 5 25
mg/kbBB/ dosis 3 4 kali/ hari(anak).
g. Klindamisin 150 300 mg 3 4 kali/ hari (dewasa) dan 8 20 mg/
kgBB/ dosis 3- 4 ksli/ hsri(anak).(1, 6, 7, 8)
Penggunaan antiseptik dapat di berikan sebagai terapi tambahan
(misalnya : Chlorhexidine) tetapi jangan di gunakan tanpa pemberian antibiotik
sistemik. Dianjurkan pemberian antibiotik sistemik dengan harapan dapat
mencegah terjadinya infeksi kronik.
Prognosa
Prognosa penyakit folikulitis ini adalah Baik.

3.4 Furunkel Dan Karbunkel 7


Infeksi staphylococcus profunda menjadi penyebab terbentuknya furunkel
dan karbunkel. Furunkel ialah radang folikel rambut dan sekitarnya. Sedangkan
karbunkel adalah gabungan beberapa furunkel yang yang dibatasi oleh
trabekula fibrosa yang berasal dari jaringan subkutan yang padat.
Perkembangan dari furunkel menjadi karbunkel tergantung pada status
imunologis penderita.[2-4]
Furunkel merupakan kumpulan nanah dalam ruangan berdinding. Selulitis
bisa terjadi mendahului atau bersamaan dengan terjadinya furunkel. Furunkel
berawal dari nodul kemerahan yang keras dan kemudian dengan cepat
berkembang menjadi nyeri dan beberapa hari kemudian terjadi fluktuasi.
Sembuh dengan jaringan parut setelah beberapa minggu. Pada beberapa
individu bisa terjadi kronis rekuren. Sering pada bagian tubuh yang berambut
29

dan mudah terkena iritasi, gesekan, tekanan, atau pada daerah yang lembab
seperti ketiak, bokong, punggung, leher, dan wajah. [4-6]
Epidemiologi
Furunkel dapat terjadi sekunder terhadap dermatosis lain. Sering
mengenai anak-anak sebagai komplikasi penyakit parasit, seperti pedikulosis
atau skabies. Furunkel dapat juga terjadi pada penderita diabetes, penderita
dermatitis seboroik, orang yang kurang gizi, orang terlantar, dan pada penderita
imunodefisien. Sedangkan karbunkel terutama mengenai laki-laki usia
pertengahan. Faktor predisposisinya adalah diabetes, malnutrisi, kegagalan
jantung, dermatosis generalisata yang berat, dan terapi kortikosteroid yang
berkepanjangan. [7]
Berdasarkan statistik Departemen Kesehatan Inggris, pada tahun 2002
dan 2003 terdapat sekitar 0,19% atau 24.525 penderita yang berobat ke Rumah
Sakit Inggris dengan diagnosa furunkel abses kutaneus dan karbunkel. Dari
24.525 pasien tersebut terdapat 90% yang memerlukan rawat inap. 54% dari
pasien yang berobat tersebut adalah laki-laki dan 46% pasien adalah
perempuan. Usia rata-rata dari pasien yang berobat adalah 37 tahun. 72%
berusia 15-59 tahun dan 6% berusia diatas 75 tahun.[8]
Etiologi dan patogenesis
Penyebab furunkel dan karbunkel adalah bakteri Staphylococcus aureus.
Staphylococcus aureus suatu bakteri koagulasi positif, merupakan kokus
patogen paling utama pada kulit. Kokus ini adalah gram-positf, berbentuk bola,
dan bergerombol dalam bundel-bundel kecil. Kokus ini mudah tumbuh di
media biakan. Dalam media biakan padat, dalam 24 jam akan tumbuh koloni-
koloni berkilat, berwarna kekuningan, dan besar. Staphylococcus aureus adalah
fakultatif anaerob, nonmotile, katalase dan koagulase positif, bakteri ini juga
memberikan hasil positif pada fermentasi manitol dan uji deoxyribonuclease.
Pada beberapa individu, kolonisasi Staphylococcus aureus terdapat pada daerah
nares dan perineum yang sering menimbulkan masalah furunkel rekuren.[7, 9, 10]
30

Bila terjadi cedera jaringan, karena bakteri, trauma, bahan kimia, panas,
atau fenomena lainnya, maka jaringan yang cedera itu akan melepaskan
berbagai zat yang menimbulkan perubahan sekunder yang dramatis di
sekeliling jaringan yang tidak cedera. Beberapa dari sekian banyak produk
jaringan yang menimbulkan reaksi ini adalah histamin, bradikinin, serotonin,
prostaglandin, dan lain-lain. Substansi ini dapat mengaktifkan sistem makrofag
dengan kuat, dan dalam waktu beberapa jam, makrofag mulai melahap jaringan
yang telah dihancurkan. Bila netrofil dan makrofag menelan sejumlah besar
bakteri dan jaringan nekrotik, pada dasarnya semua netrofildan sebagian besar
makrofag akhirnya akan mati. Sesudah beberapa hari, di dalam jaringan yang
meradang akan terbentuk rongga yang mengandung berbagai bagian jaringan
nekrotik, netrofil mati, makrofag mati, dan cairan jaringan. Campuran seperti
biasanya disebut pus. Setelah proses infeksi dapat ditekan, sel-sel mati dan
jaringan nekrotik yang terdapat dalam pus secara bertahap akan mengalami
autolisis dalam waktu beberapa hari, dan kemudian produk akhirnya akan
diabsorpsi ke dalam jaringan sekitar cairan limfe hingga sebagian besar tanda
kerusakan jaringan telah hilang.[11] Faktor resiko terjadinya furunkel dan
karbunkel di antaranya: [4, 7]
1) Kebersihan atau higiene yang kurang
2) Penderita diabetes
3) Obesitas
4) Hiperhidrosis
5) Penderita dermatitis seboroik
6) Terapi kortikosteroid yang berkepanjangan
7) Malnutrisi
Gambaran klinis
Pada permulaan hadir dengan kemerahan, papul atau nodul yang nyeri,
membesar setelah beberapa hari. Keluhan yang ditimbulkan berupa nodus
eritematosa berbentuk kerucut, nyeri, dan ditengahnya terdapat pustul.
31

Kemudian nodus melunak menjadi abses, bila pecah dapat membentuk fistel.[12,
13]
Gejala pada permulaan penderita merasa gatal. Lesi menjadi nyeri bila
ditekan atau diusap. Selama proses supurasi, lesi terasa sakit sekali. Lesi yang
terdapat di saluran telinga luar dan hidung terasa sakit sekali. Lesi kulit mula-
mula berupa makula eritematosa lentikular setempat, kemudian menjadi nodula
lentikuler numular berbentuk kerucut. Gejala sistemik biasanya jarang, kalau
ada, ringan. Tanda-tanda dari furunkel, timbul peradangan folikuler kecil dan
merah yang cepat bertambah besar dan membentuk suatu tonjolan berbentuk
kerucut, teraba keras, dan dikelilingi oleh halo merah. [7]

Gambar 10. Furunkel Gambar 11. Karbunkel

Sewaktu supurasi terjadi timbul pustul dan kemudian nekrosis pada


puncak nodul. Ketika nodul ini pecah, keluarlah pus dengan inti nekrotik.
Kemudian edem dan eritem mereda, dan rongga terisi oleh jaringan granulasi
dan meninggalkan makula keunguan yang akan sembuh dengan parut. [7]
Diagnosis
Diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan gambaran klinis yang
dikonfirmasi dengan pewarnaan gram dan kultur bakteri. Furunkulosis ekstensif
atau karbunkel biasanya menunjukkan leukositosis.[14]
32

HISTOPATOLOGI
1) Furunkel
Terlihat abses perifolikuler setempat. Pembuluh darah setempat
mengalami dilatasi dan tempat terinfeksi diserang oleh lekosit
polimorfonuklear. Terjadi nekrosis kelenjar dan jaringan sekitar, membentuk
inti yang di kelilingi oleh daerah dilatasi vaskuler, lekosit, dan limfosit. [7]
2) Karbunkel
Terdapat abses folikuler dan perifolikuler multiple yang kemudian
membentuk masa nekrotik yang luas, terjadi reaksi radang yang jelas di sekitar
inti nekrotik di dalam jaringan ikat yang mendasarinya dan di dalam lemak
subkutan.[7]

Gambar 12. Histopatologi furunkel Gambar 12. Histopatologi karbunkel

Diagnosis banding
Diagnosis banding antara lain sporotrikosis, impetigo bockhart, dan acne
konglobata.[4, 7]

1) Sporotrikosis
Sporotrikosis merupakan suatu infeksi kronik dari jamur Sporotrichum
schenkii dan ditandai dengan pembesaran kelenjar getah bening. Kulit dan
jaringan subkutis di atas nodus sering melunak dan pecah membentuk
ulkus yang indolen.3Infeksi yang disebabkan oleh implantasi traumatis
33

dari jamur ke dalam kulit, atau sangat jarang, dengan inhalasi ke paru-
paru. Menyebar sekunder untuk permukaan artikular, tulang dan otot
tidak jarang, dan infeksi juga dapat kadang-kadang melibatkan sistem
saraf pusat, paru-paru atau saluran genitourinari.[15]

Gambar 13. Sporotrikosis


2) Impetigo Bockhart
Impetigo bockhart sinonim dari folikulitis superfisialis peradangan pada
folikel rambut yang terbatas di dalam epidermis yang disebabkan oleh
Staphylococcus aureus. Kelainan berupa papul atau pustul yang
eritematosa dan di tengahnya terdapat rambut.[3]

Gambar 14. Impetigo Bockhart


34

3) Acne Konglobata
Acne konglobata, selain di punggung, nodula-nodula merah hitam tampak
di daerah wajah dan lengan, menyebar di satu regio.[4]

Gambar 15. Acne Konglobata


Pengobatan
1) Non Farmakologis
Pengobatan furunkel tergantung kepada lokasi dan kematangan lesi.
Lesi permulaan yang belum berfluktuasi dan belum bermata dikompres
panas dan diberi antibiotik oral. Kompres panas akan memperkecil
ukuran lesi dan mempercepat penyerapan. [7]
Insisi terhadap lesi awal jangan dilakukan untuk mencegah
inokulasi lebih dalam infeksi tersebut. Jika lesi telah matang dan bermata
dilakukan insisi dan drainase. Insisi jangan dilakukan jika lesi terdapat di
kanalis auditorius external, bibir atas, hidung, dan pertengahan dahi
karena infeksi yang tidak terawasi dapat menyebabkan trombosis sinus
kavernosis. Sewaktu penderita mendapat antibiotik, semua pakaian,
handuk, dan alas kasur yang telah mengenai daerah yang sakit harus
dicuci dengan air panas.[7]
35

2) Farmakologis
Pada dasarnya pengobatan karbunkel sama saja dengan pengobatan
furunkel. Karbunkel atau furunkel dengan selulitis di sekitarnya atau yang
disertai demam, harus diobati dengan antibiotik sistemik. Untuk infeksi
berat atau infeksi pada area yang berbahaya dosis antibiotik maksimal
harus diberikan dalam bentuk parenteral. Bila infeksi berasal dari
methicillinresistant Staphylococcus aureus (MRSA) atau dicurigai infeksi
serius dapat diberikan vankomisin (1-2 gram IV setiap hari dalam dosis
terbagi). Pengobatan antibiotik harus berlanjut paling tidak selama satu
minggu.[7, 16]
Setiap episode bisa diobati sistemik dengan flucloxacillin atau
antibiotik resisten penisilin. Antibakteri biotik mengurangi kombinasi
bakteri di kulit. [17]
Pengobatan furunkel atau karbunkel:
Topikal :
Mupirocin [13]
Mupirocin dihasilkan oleh pseudomonas fluorescens. Berdaya
khusus terhadap kuman Gram-positif seperti Staphylococcus aureus.
Khasiatnya bersifat bakterisid (salep 2%) berdasarkan penghambatan
RNA-sintetase yang berakibat penghentian sintesa protein kuman. [18]
Asam Fusidat [13]
Antibiotikum dengan rumus steroida yang mirip dengan struktur
asam empedu yang dihasilkan oleh jamur fusidium, spektrum kerjanya
sempit dan terbatas pada kuman Gram-positif, terutama stafilokok.
Kuman Gram-negatif resisten terkecuali Neisseria. Khasiatnya bersifat
bakteriostatis berdasarkan penghambatan sintesa protein kuman. [18]
36

Sistemik: [3, 16]


Ampisilin 4x500 mg/hari
Amoksisilin 4x500 mg/hari
Kloksasilin 3x250 mg/hari
Linkomisin 3x500 mg/hari
Klindamisin 4x150 mg/hari
Eritromisin 4x500 mg/hari
Sefadroksil 2x1000 mg/hari
Bila lesi besar, nyeri dan fluktuasi, insisi dan drainase diperlukan. Bila
infeksi terjadi berulang atau memiliki komplikasi dengan komordibitas, kultur
dapat dilakukan. Terapi anti mikrobial harus dilanjutkan sampai semua bukti
inflamasi berkurang dan berubah apalagi ketika hasil kultur tersedia. Lesi yang
di drainase harus ditutupi untuk mencegah autoinokulasi dan mencuci tangan
harus sering dilakukan. Pasien dengan furunkolosis atau karbunkel berulang
memberikan masalah yang spesial dan sering menyulitkan.[16]
Komplikasi
Pada beberapa kasus, bakteri dari furunkel atau karbunkel dapat masuk ke
dalam aliran darah dan menyebar ke bagian lain dari tubuh. Penyebaran infeksi
ini biasanya dikenal sebagai sepsis. Dapat berakibat pada infeksi yang lebih
dalam seperti endokarditis dan osteomielitis. Sepsis mempunyai ciri-ciri demam
tinggi, nafas berat, dan peningkatan denyut jantung, dapat berakibat syok sepsis
yang ditandai dengan turunnya tekanan darah.[19]
Salah satu masalah penting lainnya adalah resistensi bakteri
Staphylococcus aureus terhadap obat yang diberikan pada si penderita, dikenal
dengan nama methicilin resistan Staphylococcus aureus atau MRSA yang
resistan terhadap penisilin dan akan sangat sulit untuk diobati.[19]
37

Invasi bakteri ke dalam aliran darah biasanya terjadi kapan saja, tidak
dapat ditebak, menyebabkan infeksi metastase seperti osteomielitis,
endokarditis akut, atau abses otak. Manipulasi pada lesi berbahaya dan dapat
menfasilitasi penyebaran infeksi melalui aliran darah. Untungnya komplikasi
seperti ini jarang.[16]
Lesi pada bibir dan hidung menyebabkan bakteremia melalui vena-vena
emisaria wajah dan sudut bibir yang menuju sinus kavernosus. Komplikasi
yang jarang berupa trombosis sinus kavernosus dapat terjadi.[16, 20]
Prognosis
Baik sepanjang faktor penyebab dapat dihilangkan dan prognosis menjadi
kurang baik bila terjadi rekurensi.[4]

3.5 Selulitis 8
Definisi
Selulitis merupakan infeksi bakterial akut pada kulit. Infeksi yang terjadi
menyebar ke dalam hingga ke lapisan dermis dan sub kutis.1 Infeksi ini
biasanya didahului luka atau trauma dengan penyebab tersering Streptococcus
beta hemolitikus dan Staphylococcus aureus. Pada anak usia di bawah 2 tahun
dapat disebabkan oleh Haemophilus influenza, keadaan anak akan tampak sakit
berat, sering disertai gangguan pernapasan bagian atas, dapat pula diikuti
bakterimia dan septikemia.3 Terdapat tanda-tanda peradangan lokal pada lokasi
infeksi seperti eritema, teraba hangat, dan nyeri serta terjadi limfangitis dan
sering bergejala sistemik seperti demam dan peningkatan hitungan sel darah
putih.4 Selulitis yang mengalami supurasi disebut flegmon, sedangkan bentuk
selulitis superfisial yang mengenai pembuluh limfe yang disebabkan oleh
Streptokokus beta hemolitikus grup A disebut erisepelas. Tidak ada perbedaan
yang bersifat absolut antara selulitis dan erisepelas yang disebabkan oleh
Streptokokus.1
38

Sebagian besar kasus selulitis dapat sembuh dengan pengobatan


antibiotik. Infeksi dapat menjadi berat dan menyebabkan infeksi seluruh tubuh
jika terlambat dalam memberikan pengobatan.5

Gambar 16. Anatomy of Skin and Soft Tissues and Different


Types of Skin and Soft-Tissue Infection5
Etiologi
Penyebab selulitis paling sering pada orang dewasa adalah
Staphylococcus aureus dan Streptokokus beta hemolitikus grup A sedangkan
penyebab selulitis pada anak adalah Haemophilus influenza tipe b (Hib),
Streptokokus beta hemolitikus grup A, dan Staphylococcus aureus.
Streptococcuss beta hemolitikus group B adalah penyebab yang jarang pada
selulitis.5 Selulitis pada orang dewasa imunokompeten banyak disebabkan oleh
Streptococcus pyogenes dan Staphylococcus aureus sedangkan pada ulkus
diabetikum dan ulkus dekubitus biasanya disebabkan oleh organisme campuran
antara kokus gram positif dan gram negatif aerob maupun anaerob. Bakteri
mencapai dermis melalui jalur eksternal maupun hematogen. Pada
imunokompeten perlu ada kerusakan barrier kulit, sedangkan pada
39

imunokopromais lebih sering melalui aliran darah (buku kuning). Onset


timbulnya penyakit ini pada semua usia.

Tabel 6. Etiologi Soft Tissue Infection (STIs)


40

Tabel 7. Specific Anatomical Variants of Cellulitis and Causes of Predisposition to


the Condition5

Epidemiologi
Selulitis dapat terjadi di semua usia, tersering pada usia di bawah 3 tahun
dan usia dekade keempat dan kelima.2 Insidensi pada laki-laki lebih besar
daripada perempuan dalam beberapa studi epidemiologi. Insidensi selulitis
ekstremitas masih menduduki peringkat pertama. Terjadi peningkatan resiko
selulitis seiring meningkatnya usia, tetapi tidak ada hubungan dengan jenis
kelamin.
Faktor predisposisi
Faktor predisposisi selulitis adalah: kaheksia, diabetes melitus, malnutrisi,
disgamaglobulinemia, alkoholisme, dan keadaan yang dapat menurunkan daya
tahan tubuh terutama bila diseratai higiene yang jelek. Selulitis umumnya
terjadi akibat komplikasi suatu luka atau ulkus atau lesi kulit yang lain, namun
dapat terjadi secara mendadak pada kulit yang normal terutama pada pasien
dengan kondisi edema limfatik, penyakit ginjal kronik atau hipostatik.5
41

Gejala klinis
Gambaran klinis tergantung akut atau tidaknya infeksi. Umumnya semua
bentuk ditandai dengan kemerahan dengan batas jelas, nyeri tekan dan bengkak.
Penyebaran perluasan kemerahan dapat timbul secara cepat di sekitar luka atau
ulkus disertai dengan demam dan lesu. Pada keadaan akut, kadang-kadang
timbul bula. Dapat dijumpai limfadenopati limfangitis. Tanpa pengobatan yang
efektif dapat terjadi supurasi lokal (flegmon, nekrosis atau gangren).
Selulitis biasanya didahului oleh gejala sistemik seperti demam,
menggigil, dan malaise. Daerah yang terkena terdapat 4 kardinal peradangan
yaitu rubor (eritema), color (hangat), dolor (nyeri) dan tumor (pembengkakan).
Lesi tampak merah gelap, tidak berbatas tegas pada tepi lesi tidak dapat diraba
atau tidak meninggi. Pada infeksi yang berat dapat ditemukan pula vesikel,
bula, pustul, atau jaringan neurotik. Ditemukan pembesaran kelenjar getah
bening regional dan limfangitis ascenden. Pada pemeriksaan darah tepi
biasanya ditemukan leukositosis.
Periode inkubasi sekitar beberapa hari, tidak terlalu lama. Gejala
prodormal berupa: malaise anoreksia; demam, menggigil dan berkembang
dengan cepat, sebelum menimbulkan gejala-gejala khasnya. Pasien
imunokompromais rentan mengalami infeksi walau dengan patogen yang
patogenisitas rendah. Terdapat gejala berupa nyeri yang terlokalisasi dan nyeri
tekan. Jika tidak diobati, gejala akan menjalar ke sekitar lesi terutama ke
proksimal. Kalau sering residif di tempat yang sama dapat terjadi elefantiasis.
Lokasi selulitis pada anak biasanya di kepala dan leher, sedangkan pada
orang dewasa paling sering di ekstremitas karena berhubungan dengan riwayat
seringnya trauma di ekstremitas. Pada penggunaan salah obat, sering berlokasi
di lengan atas. Komplikasi jarang ditemukan, tetapi termasuk glomerulonefritis
akut (jika disebabkan oleh strain nefritogenik streptococcus, limfadenitis,
endokarditis bakterial subakut). Kerusakan pembuluh limfe dapat menyebabkan
selulitis rekurens.
42

Gambar 17. Selulitis


Patogenesis
Bakteri patogen yang menembus lapisan luar menimbulkan infeksi pada
permukaan kulit atau menimbulkan peradangan. Penyakit infeksi sering
berjangkit pada orang gemuk, rendah gizi, kejemuan atau orang tua pikun dan
pada orang yang menderita diabetes mellitus yang pengobatannya tidak
adekuat.
43

Setelah menembus lapisan luar kulit, infeksi akan menyebar ke jaringan-


jaringan dan menghancurkannya, hyaluronidase memecah substansi
polisakarida, fibrinolysin mencerna barrier fibrin, dan lecithinase
menghancurkan membran sel.

Bakteri patogen (streptokokus piogenes, streptokokus grup A,


stapilokokus aureus)

Menyerang kulit dan jaringan subkutan

Meluas ke jaringan yang lebih dalam

Menyebar secara sistemik

Terjadi peradangan akut

Eritema lokal pada kulit Edema kemerahan

Lesi Nyeri tekan

Gangguan rasa nyaman dan


Kerusakan integritas kulit nyeri

Gambar 1.Skema patogenesis


Diagnosis banding
Deep thrombophlebitis, dermatitits statis, dermatitis kontak, giant
urticaria, insect bite (respons hipersensitifitas), erupsi obat, eritema nodosum,
eritema migran (Lyme borreliosis), perivascular herpes zooster, acute Gout,
Wells syndrome (selulitis eosinofilik), Familial Mediterranean fever-associated
cellulitis like erythema, cutaneous anthrax, pyoderma gangrenosum, sweet
syndrome (acute febrile neutrophilic dermatosis), Kawasaki disease, carcinoma
erysipeloides.
44

Diagnosis
Diagnosis selulitis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan
klinis. Pada pemeriksaan klinis selulitis ditemukan makula eritematous, tepi
tidak meninggi, batas tidak jelas, edema, infiltrat dan teraba panas, dapat
disertai limfangitis dan limfadenitis. Penderita biasanya demam dan dapat
menjadi septikemia.
Selulitis yang disebabkan oleh H. Influenza tampak sakit berat, toksik dan
sering disertai gejala infeksi traktus respiratorius bagian atas bakteriemia dan
septikemia.4 Lesi kulit berwarna merah keabu-abuan, merah kebiru-biruan atau
merah keunguan. Lesi kebiru-biruan dapat juga ditemukan pada selulitis yang
disebabkan oleh Streptokokus pneumonia Pada pemeriksaan darah tepi selulitis
terdapat leukositosis (15.000-400.000) dengan hitung jenis bergeser ke kiri.5
Tabel 8. Gejala dan tanda selulitis
Gejala dan tanda Selulitis
Gejala prodormal Demam, malaise, nyeri sendi dan menggigil
Daerah predileksi Ekstremitas atas dan bawah, wajah, badan dan
genitalia
Makula eritematous Eritema cerah
Tepi Batas tidak tegas
Penonjolan Tidak terlalu menonjol
Vesikel atau bula Biasanya disertai dengan vesikel atau bula
Edema Edema
Hangat Tidak terlalu hangat
Fluktuasi Fluktuasi

Pemeriksaan laboratorium sebenarnya tidak terlalu dibutuhkan pada


sebagian besar pasien dengan selulitis. Seperti halnya pemeriksaan
laboratorium, pemeriksaan pencitraan juga tidak terlalu dibutuhkan. Pada
pemeriksaan darah lengkap, ditemukan leukositosis pada selulitis penyerta
penyakit berat, leukopenia juga bisa ditemukan pada toxin-mediated cellulitis.
ESR dan C-reactive protein (CRP) juga sering meningkat terutama penyakit
yang membutuhkan perawatan rumah sakit dalam waktu lama. Pada banyak
kasus, pemeriksaan Gram dan kultur darah tidak terlalu penting dan efektif.
45

Pengobatan
Selulitis karena streptokokus diberi penisilin prokain G 600.000-
2.000.000 IU IM selama 6 hari atau dengan pengobatan secara oral dengan
penisilin V 500 mg setiap 6 jam, selama 10-14 hari. Pada selulitis karena H.
Influenza diberikan Ampicilin untuk anak (3 bulan sampai 12 tahun) 100-200
mg/kg/d (150-300 mg), >12 tahun seperti dosis dewasa.
Pada selulitis yang ternyata penyebabnya bukan staphylococcus aureus
penghasil penisilinase (non SAPP) dapat diberi penisilin. Pada yang alergi
terhadap penisilin, sebagai alternatif digunakan eritromisin (dewasa: 250-500
gram peroral; anak-anak: 30-50 mg/kgbb/hari) tiap 6 jam selama 10 hari. Dapat
juga digunakan klindamisin (dewasa 300-450 mg/hari PO; anak-anak 16-20
mg/kgbb/hari). Pada yang penyebabnya SAPP selain eritromisin dan
klindamisin, juga dapat diberikan dikloksasilin 500 mg/hari secara oral selama
7-10 hari.
Komplikasi
Pada anak dan orang dewasa yang immunocompromised, penyulit pada
selulitis dapat berupa gangren, metastasis, abses dan sepsis yang berat. Selulitis
pada wajah merupakan indikator dini terjadinya bakteriemia stafilokokus beta
hemollitikus grup A, dapat berakibat fatal karena mengakibatkan trombosis
sinus cavernpsum yang septik. Selulitis pada wajah dapat menyebabkan
penyulit intrakranial berupa meningitis.
3.6 Erisipelas 8
Definisi
Erisipelas merupakan penyakit infeksi akut, disebabkan oleh Streptokokus
betahemolitikus grup A (Jarang ditemukan streptococcus grup C dan G) dan
jarang yang disebabkan oleh S.aureus.2 Erisipelas dapat terjadi pada semua usia
dan semua bangsa atau ras , namun paling sering terjadi pada bayi, anak dan
usia lanjut. Sekitar 85 % Erisipelas terjadi di kaki dan wajah, sedangkan
sebagian kecil dapat terjadi di tangan, perut dan leher serta tempat lainnya.3
46

Etiologi
Streptococcus adalah penyebab utama erisipelas. Sebagian besar infeksi
erisipelas wajah disebabkan oleh streptokokus grup A, sedangkan infeksi
erisipelas pada ekstremitas atas dan bawah disebabkan oleh non-kelompok
streptokokus A (streptococcus G atau C). Racun streptococcus ini diperkirakan
berkontribusi terjadinya peradangan cepat yang menjadikan patognomonik
infeksi ini. Baru-baru ini, bentuk atipikal dilaporkan telah disebabkan oleh
Streptococcus pneumoniae, Klebsiella pneumoniae, Haemophilus influenzae,
Enterocolitica, Yersinia, dan spesies Moraxella.3
Patogenesis
Pada umumnya kuman akan masuk melalui portalt of entry. Sumber
bakteri erisipelas yang terdapat pada wajah sering kali yang menjadi host-nya
adalah nasofaring dan adanya riwayat infeksi streptokokus sebelumnya berupa
faringitis yang dilaporkan terjadi pada sepertiga kasus. Masuknya bakteri dari
kulit yang mengalami trauma adalah peristiwa awal terjadinya erisipelas.
Setelah masuk, infeksi menyebar diantara ruang jaringan dan terjadi perpecahan
polisakarida oleh hialuronidase yang dapat membantu dalam penyebaran
kuman, fibrinolisin yang berperan dalan penghancuran fibrin, lesitin yang dapat
merusak membran sel. Pada erisepelas, infeksi dengan cepat menyerang dan
berkembang di dalam pembuluh limfatik. Hal ini dapat menyebabkan kulit
menjadi streaking dan pembesaran kelenjar limfe regional serta adanya
tenderness.3
Faktor predisposisi
Erisipelas terjadi oleh penyebaran infeksi yang diawali dengan berbagai
kondisi yang berpotensi timbulnya kolonisasi bakteri, misalnya: luka, koreng,
infeksi penyakit kulit lain, luka operasi dan sejenisnya, serta kurang bagusnya
hygiene. Selain itu, Erisipelas dapat terjadi pada seseorang yang mengalami
penurunan daya tahan tubuh, misalnya: diabetes mellitus, malnutrisi (kurang
gizi), dan lain-lain.3
47

Gejala klinis
Erisipelas pada umumnya diawali dengan gejala-gejala prodormal, yaitu
panas, menggigil, sakit kepala, nyeri sendi, muntah dan rasa lemah. Pada kulit
nampak kemerahan, berbatas tegas dengan bagian tepi meninggi, nyeri dan
teraba panas pada area tersebut. Di permukaan kulit adakalanya dijumpai
gelembung kulit (bula) yang berisi cairan kekuningan (seropurulen). Pada
keadaan yang berat, kulit nampak melepuh dan kadang timbul erosi (kulit
mengelupas). Biasanya menyerang wajah, ekstremitas atas atau bawah, badan
dan genitalia. Kelenjar getah bening di sekitar daerah yang terinfeksi, sering
membesar dan terasa nyeri.1

Gambar 18. Erisipelas


Diagnosis
1) Anamnesis2
a. Keluhan utama : bercak kemerah-merahan pada kulit wajah dan/atau
kaki disertai rasa nyeri.
b. Keluhan lain : bercak eritem pada daerah wajah, awalnya unilateral
lama-kelamaan menjadi bilateral atau diawali dengan bercak eritem di
48

tungkai bawah yang sebelumnya dirasakan nyeri di area lipatan paha.


Disertai gejala-gejala konstritusi seperti demam, malaise, flu,
menggigil, sakit kepala, muntah dan nyeri sendi.
c. Riwayat penyakit : faringitis, ulkus kronis pada kaki, infeksi akibat
penjepitan tali pusat yang tidak steril pada bayi
d. Riwayat pengobatan : pernah dioperasi
e. Faktor resiko : vena statis, obesitas, limfaedema
2) Pemeriksaan fisik
a. Inspeksi : bercak merah bilateral pada pada pipi dan kaki, bekas
garukan dan abrasi, bekas luka, dan pembesaran kelenjar limfatik
femoral.
b. Efloresensi : eritema yang berwarna merah cerah, berbatas tegas dan
pinggirnya meninggi. Sering disertai udem, vesikel dan bula yang
berisi cairan seropurulen.
3) Pemeriksaan penunjang4
Bakteri dapat di indentifikasi melalui pemeriksaan biopsi kulit dan
kultur. Spesimen untuk kultur bisa diambil dari apusan tenggorokan,
darah dan cairan seropurulen pada lesi. Pada pemeriksaan darah rutin
menunjukkan adanya polimorfonuklear leukositosis, meningkatnya laju
endap darah (LED) dan juga meningkatnya C-reaktif protein.
Diagnosis banding
1) Selulitis. Pada penyakit ini terdapat infiltrat yang difus pada subkutan
dengan tanda-tanda radang akut
2) Urtikaria. Pada urtikaria warna merah akan hilang dengan penekanan
3) Furunkulosis. Biasanya nyeri, berbentuk seprti kerucut dan berbatas tegas.
4) Dermatitis kontak alergi. Fase akut ditandai dengan eritema, permukaan
menonjol dan plak bersisik. Penderita dermatitis kontak alergi biasanya
dalam keadaan normal dan tidak ditemukan tanda-tanda patologis pada
pemeriksaan lab.
49

Komplikasi
Bila tidak diobati atau dosis tidak adekuat, maka kuman penyebab
erisipelas akan menyebar melalui aliran limfe sehingga terjadi abses subkutan,
septikemi dan infeksi ke organ lain (nefritis). Pengobatan dini dan adekuat
dapat mencegah terjadinya komplikasi supuratif dan non supuratif. Pada bayi
dan penderita usia lanjut yang lemah, serta penderita yang sementara mendapat
pengobatan dengan kortikosteroid, erisipelas dapat progresif bahkan bisa terjadi
kematian (mortalitas pada bayi bisa mencapai 50%).
Erisipelas cenderung rekuren pada lokasi yang sama, mungkin
disebabkan oleh kelainan imunologis, tetapi faktor predisposisi yang berperan
pada serangan pertama harus dipertimbangkan sebagai penyebab misalnya
obstruksi limfatik akibat mastektomi radikal (merupakan faktor predisposisi
erisipelas rekuren).2
Penatalaksanaan
Penisilin merupakan obat pilihan untuk erisipelas. Biasanya digunakan
Procaine Penicilline G 600.000-1200000 IU IM atau dengan pengobatan secara
oral dengan penisilin V 500mg setiap 6 jam, selama 10-14 hari. Pada anak-anak
Penisilin G prokain,untuk berat badan < 30 kg: 300,000 U/d , sedangkan >30kg:
dosis seperti pada orang dewasa. Untuk Penicillin VK: <12 years: 25-50
mg/kg/hr PO dibagi tid / qid; tidak melebihi 3 g /hr, sedangkan >12 tahun: dosis
seperti pada orang dewasa.3
Perbaikan secara umum terjadi dalam 24-48 jam tetapi penyembuhan lesi
kulit memerlukan beberapa hari. Pengobatan yang adekuat minimal selama 10
hari.2 Pada penderita yang alergi terhadap penisilin diberikan eritomisin
(dewasa 250-500 gram peroral; anak-anak: 30-50 mg/kgbb/ hari tiap 6 jam)
selama 10 hari. Dapat juga digunakan klindamisin (dewasa 300-450 mg/hr PO;
anak-anak 16-20 mg/kgbb/hari setiap 6-8jam).3
Penderita dianjurkan istirahat (masuk rumah sakit) atau bed rest total
dirumah. Bila lokasi lesi pada tungkai bawah dan kaki, maka bagian yang
50

terserang ini ditinggikan. Secara lokal, dapat diberikan kompres terbuka yaitu
kompres dingin untuk mengurangi rasa sakit.2 Bila terdapat vesikula atau bulla
dapat dikompres dulu dengan rivanol 1%, setelah cairan mengering dilanjutkan
dengan pemberian topikal antibiotika seperti kombinasi basitrasin dan
polimiksin B atau framisetin sulfat
3.7 Staphylococcal Scalded Skin Syndrome (s.s.s.s)8
Staphylococcal scalded skin syndrome (SSSS) merupakan kelainan kulit
ditandai dengan eksantem generalisata, lepuh luas disertai erosi dan deskuamasi
superfisial. Kelainan ini disebabkan oleh toksin eksfoliatif (ETs) yaitu toksin
eksfoliatif A (ETA) dan B (ETB) yang dihasilkan strain Staphylococcus aureus
(biasanya faga grup 2).1,2
Staphylococcal scalded skin syndrome umumnya terjadi pada bayi dan
anak-anak usia di bawah lima tahun tetapi jarang ditemukan pada dewasa.
Diantara kasus yang pernah dilaporkan, lelaki cenderung lebih banyak dari
wanita dengan perbandingan 2:1, dimana 50% kasus terjadi sebelum usia 50.2,3
Epidemiologi
Penyakit ini terutama terdapat pada anak di bawah 5 tahun, pria lebih
banyak dari wanita
Etiologi
Staphylococcal scalded skin syndrome disebabkan oleh toksin eksfoliatif
(ETs) yaitu toksin eksfoliatif A (ETA) dan B (ETB) yang dihasilkan dari strain
toksigenik bakteri staphylococcus aureus (faga grup 2).5
Desmosom merupakan sebagian dari sel kulit yang bertanggungjawab
sebagai perekat kepada sel-sel kulit. Toksin yang mengikat pada molekul di
antara desmosom dikenali sebagai desmoglein dan kemudiannya memisah
sehingga kulit menjadi tidak utuh.4,5
Toksin eksfoliatif memiliki target kerja pada desmoglein 1 merupakan
desmosom glikoprotein transmembran yang mempertahankan adhesi antar sel
pada epidermis.6,7
51

Patofisologi
Toksin eksfoliatif (ETs) merupakan serin protease yang dapat
menimbulkan celah pada ikatan adhesi antar sel molekul desmoglein 1, yang
tampak pada bagian atas epidermis yaitu antara stratum spinosum dan
granulosum sehingga menimbulkan bula berdinding tipis yang mudah pecah,
memperlihatkan Nikolsky sign positif.6,7 Pada SSSS toksin berdifusi dari fokus
infeksi, dan tidak adanya antibodi antitoksin spesifik dapat menyebabkan
penyebaran toksin secara hematogen. Meskipun strain toksigenik S. aureus
yang terbanyak adalah faga grup II (subtype 3A, 3B, 3C, 55 dan 71), selain itu
juga terdapat strain faga grup I dan III.2 Adanya keterlibatan desmoglein 1 pada
SSSS menyerupai penyakit autoimun pemfigus foliaseus.6,7
Salah satu fungsi fisiologi utama kulit adalah barier terhadap infeksi,
yang terletak pada stratum korneum. Adanya toksin eksfoliatif yang dimiliki
S.aureus memungkinkan proliferasi dan penyebarannya di bawah barier
tersebut. Sekali kulit dapat mengenali toksin eksfoliatif tersebut, S. aureus
dapat menyebar sehingga menimbulkan celah di bawah stratum korneum.8
Toksin staphylococcus terdiri atas toksin eksfoliatif A dan B (ETA dan
ETB) yang menyebabkan lepuhnya kulit pada SSSS. ETA terdiri atas 242
dengan berat molekul 26.950 kDa, bersifat stabil terhadap panas dan gennya
terletak pada kromosom sementara ETB terdiri atas 246 asam amino dengan
berat molekul 27.274 kDa, bersifat labil terhadap pemanasan dan gennya
berlokasi pada plasmid.2,7 Toksin ini dihasilkan pada fase pertumbuhan bakteri
dan diekskresikan dari kolonisasi staphylococcus sebelum diabsorpsi melalui
sirkulasi sistemik. Toksin mencapai stratum granulosum epidermis melalui
difusi pada kapiler dermal.2 Studi histologis menunjukkan bahwa ikatan ETs
pada keratinosit kultur isolasi kulit menyebabkan terbentuknya vesikel yang
mengisi ruang antarsel, diikuti cairan interseluler yang mengisi ruang antara
stratum granulosum dan spinosum. Pemeriksaan laboratorium mendukung
bahwa ETB lebih pirogenik dibandingkan ETA, sementara studi klinis
52

menunjukkan meskipun ETA dan ETB dapat menyebabkan SSSS lokal, tetapi
ETB lebih sering diisolasi dari anak yang menderita SSSS generalisata dan juga
dapat menyebabkan eksfoliasi generalisata pada orang dewasa yang sehat.1,2
Desmosom merupakan target toksin eksfoliatif pada SSSS (Gambar.1).
Desmosom adalah intercelluler adhesive junction yang secara struktural
berhubungan dengan filamen intermediet intraseluler. Desmosom ini
diekspresikan oleh sel epitel dan beberapa sel lainnya yang banyak terdapat
pada jaringan yang mengalami stress mekanik, seperti kulit, mukosa
gastrointestinal, jantung, dan kandung kemih.3,7 Desmoglein (Dsg) merupakan
komponen transmembran mayor pada desmosom yang berperan tidak hanya
pada adhesi antar sel epitel tetapi juga pada morfogenesis sel epitel.9 Terdapat 3
isoform desmoglein yaitu Dsg1, Dsg2, dan Dsg3. Dsg 2 terdapat pada semua
jaringan yang memiliki desmosom termasuk epitel dan miokard, sedangkan
Dsg1 dan Dsg3 terbatas pada epitel skuamos bertingkat.9,10
53

Gambar 19. Desmoglein merupakan target pada SSSS9

ETA dan ETB menyebabkan bula dan pengelupasan kulit dengan cara
menghambat desmosom pada lapisan sel granular epidermal sehingga terjadi
pemisahan intradesmosomal.1 Lebih dari satu dekade diduga bahwa toksin
tersebut terikat secara langsung pada cadherin desmosomal, yaitu desmosglein1
(Dsg1).10 Meskipun pemisahan sel epidermal ditunjukkan oleh toksin eksfoliatif
(ETs), gejala klinis SSSS tidak dapat diterangkan oleh aksi toksin tersebut. ETs
juga bisa bertindak sebagai lipase sekaligus mengaktifkan protease lain yang
pada gilirannya menyebabkan pengaruh patogenik.9,10
Toksin epidermolitik difiltrasi di glomerulus dan direabsorbsi pada
tubulus proksimal dimana kemudian dikatabolisme oleh sel-sel tubulus
proksimal. Kecepatan filtrasi glomerulus (GFR) bayi kurang dari 50% GFR
orang dewasa normal, dan hal ini terbanyak ditemukan pada dua tahun pertama
54

kehidupan. Hal ini menjelaskan mengapa bayi-bayi, pasien dengan gagal ginjal
kronik, dan pasien yang menjalani hemodialisa merupakan faktor predisposisi
terjadinya SSSS.6
Manifestasi klinik
Infeksi S. aureus berawal dari lokasi-lokasi tertentu seperti kulit,
tenggorokan, hidung, mulut, atau saluran pencernaan. SSSS timbul berupa
bercak kemerahan yang diikuti pengelupasan epidermis menyeluruh.8
Staphylococcal scalded skin syndrome biasanya dimulai dengan demam,
malaise, gelisah, dan nyeri. Selanjutnya diikuti kemerahan meluas pada kulit
yang biasa terjadi pada daerah lipatan, seperti leher, axilla, selangkangan dan
muka. Dalam waktu 24-48 jam terbentuk benjolan-benjolan berisi cairan,
benjolan-benjolan ini mudah pecah, dan meninggalkan kesan yang tampak
seperti terbakar. Dua sampai tiga hari lapisan atas kulit akan mengeriput dan
terjadi pengelupasan lembaran kulit, meninggalkan luka terbuka yang lembab,
merah dan nyeri. Luka terbuka selanjutnya akan mengering dan terjadi
deskuamasi, kondisi ini biasanya dapat sembuh dalam 714 hari.8,11

A B
Gambar 16. (A) bercak kemerahan yang menyebar pada lengan, muka dan
badan bayi penderita SSSS, (B) bula berdinding tipis yang pecah dan
meninggalkan kesan terbakar8
55

Gambar 17. Luka yang telah mengering dan mulai terjadi deskuamasi14

Diagnosis dan diagnosis banding


Diagnosis ditegakkan berdasarkan temuan klinis, kultur mikroorganisme,
identifikasi ET, dan hasil biopsi.3 Pada umumnya penyakit ini diawali dengan
demam, karena infeksi saluran nafas atas, kelainan kulit yang timbul diawali
oleh eritema yang timbul mendadak pada lipat paha, muka, leher, dan ketiak
yang kemudian meluas ke seluruh tubuh tapi tidak melibatkan membran
mukosa dengan Nikolskys sign positif (Gambar.4) dan nyeri tekan.12,13 Dalam
waktu 24-48 jam akan timbul bula-bula besar berdinding kendur, yang
selanjutnya akan terjadi pengeriputan spontan disertai pengelupasan lembaran-
lembaran kulit sehingga tampak daerah erosif yang mirip dengan kombustio
dalam beberapa hari akan mengering dan terjadi deskuamasi. Penyembuhan
akan terjadi pada 10-14 hari tanpa disertai sikatriks.12,14
56

Gambar 18. Nikolskys sign positif pada penderita SSSS9

Pemeriksaan kultur bula yang intak pada SSSS biasanya steril (tidak
ditemukan staphylococcus), hal ini sesuai dengan patogenesis penyebaran
toksin secara hematogen berasal dari fokus infeksi yang jauh.6 Sedangkan pada
impetigo bulosa pemeriksaan kultur dan pewarnaan gram menunjukkan adanya
staphylococcus.7

Pada gambaran histopatologi didapatkan pemisahan pada epidermis


antara stratum granulosum dan stratum spinosum. Akantolisis pada stratum
granulosum dan pembentukan belahan subkorneal ditemukan pada lesi awal,
pada tahap deskuamasi tampak epidermis yang utuh dengan celah pada stratum
korneum (Gambar.5). Beberapa limfosit mengelilingi pembuluh darah
superficial. Dua ET (ETA dan ETB) dapat dilihat pada imunofluoresensi,
dimana ET berikatan dengan granula-granula keratohialin.6,11
57

Gambar.19. Histopatologi SSSS, dimana hilangnya adhesi sel pada epidermis


superfisial.9

Staphylococcal scalded skin syndrome dan impetigo bulosa merupakan


penyakit kulit melepuh yang disebabkan ET, akan tetapi pada impetigo bulosa,
ET hanya terdapat pada area infeksi sehingga kultur bakteri dapat diperoleh dari
isi lepuh. Pada SSSS, ET tersebar secara hematogen dan akan berpotensi
menyebabkan kerusakan epidermal pada bagian tempat terjauh.6,14
Staphylococcal scalded skin syndrome dibedakan dari toxic epidermal
necrolysis (TEN) berdasarkan bagian yang mengalami kerusakan, dimana SSSS
terjadi pada intraepidermal sedangkan TEN menyebabkan nekrosis pada
seluruh lapisan epidermal (pada batas membran dasar). Staphylococcal scalded
skin syndrome memiliki tingkat keparahan yang lebih rendah dan tidak
melibatkan erosi membrane mukosa jika dibandingkan dengan TEN. Pada
SSSS, hasil pemeriksaan preparat Tzanck dari area lepuh yang dipecahkan akan
didapatkan sejumlah sel epitel dengan inti sel besar dan sel-sel akantolitik tetapi
tidak ditemukan sel-sel inflamasi sedangkan TEN hanya memiliki sel epitel
yang sedikit dan tidak memiliki sel akantolitik tetapi banyak terdapat sel-sel
inflamasi.6,11
58

Penatalaksanaan
Terapi untuk SSSS harus ditujukan untuk mengeradikasi infeksi S.
aureus. Pengobatan biasanya memerlukan perawatan inap dan pemberian
antibiotik anti-staphylococcal intravena. Untuk kasus yang tidak berat,
antibiotik oral dapat diberikan sebagai pengganti setelah beberapa hari.
Kerusakan fungsi perlindungan kulit yang luas pada lesi SSSS, menyebabkan
gangguan cairan dan elektrolit. Pemantauan cairan ditunjang penggunaan
antibiotik yang tepat serta perawatan kulit, sangat berguna untuk mempercepat
penyembuhan. Penggunaan baju yang meminimalkan gesekan juga dapat
membantu mengurangi terjadinya pengelupasan kulit akibat gesekan. Kompres
daerah lesi untuk membersihkan dari jaringan-jaringan epidermis yang telah
nekrosis. Salep antibiotik muporicin diberikan beberapa kali dalam sehari pada
area lesi termasuk pada sumber infeksi sebagai tambahan terapi antibiotik
sistemik.6
Prognosis dan komplikasi
Komplikasi paling berat yang dapat terjadi pada pasien SSSS adalah
gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit.6 Komplikasi lain yang sering
terjadi berupa dehidrasi, infeksi sekunder, dan sepsis. Kasus SSSS pada anak
jarang menyebabkan sepsis sehingga angka kematiannya lebih rendah (1-5%).
Angka kematian pada dewasa lebih besar (mencapai 50-60%) karena diikuti
beberapa faktor penyebab kematian lainnya dan peningkatan kejadian sepsis.6,7
3.8 Kusta
Lepra (penyakit kusta) atau Morbus Hansen adalah suatu penyakit infeksi
kronis pada manusia yang disebabkan Mycobacterium leprae (M. leprae) yang
secara primer menyerang saraf perifer dan sekunder menyerang kulit dan
mukosa saluran nafas bagian atas mata, otot, tulang dan testis. Penyebab
penyakit ini adalah Mikobakterium lepra (Mycobacterium leprae, M. lepra).
Sering terjadi pada usia 10 sampai 15 tahun dan 30 sampai 60 tahun. 13
59

a) Klasifikasi Lepra (penyakit kusta), yaitu :


1) Paucibacillary (PB), indeks bakteri < 2+, termasuk indeterminate
Tuberkuloid (TT), Boderline tuberkoloid ( BT) smear negatif. 13
2) Multibacillary (MB), indeks bakteri 2+, termasuk tipe BT
(Borderline tuberkuloid) smear positif, BB ( mid borderline), BL
(Borderline lepromatous) dan LL ( Lepromatosa polar).1
Tabel 9. Klasifikasi dari kusta

A B
Gambar 20. Pasien dengan mulitibasiller leprosy dimana jumlah lesi > 5 (A),
pasien dengan paucibaciller leprosy (B)
60

b) Diagnosis banding
1) Lesi makula : vitiligo, vitriasis alba, ptiriasis versikolor, tinea
korporis.
2) Lesi papula : granuloma anulare, liken planus.
3) Lesi plak : tinea korporis, pitriasis rosea, psoriasis.
4) Lesi nodul : acne vulgaris, neurofibromatous.
5) Lesi pada saraf : amyloidosis, diabetes trachoma.
c) Tatalaksana Kusta
Tabel 10. Pedoman praktis bagi penderita kusta tipe PB berdasarkan berat
badan.13
61

BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Impetigo merupakan pioderma superfisialis yang terbatas pada epidermis.
Impetigo terbagi atas 2 bentuk yaitu impetigo krustosa dan impetigo bulosa.
Ektima merupakan ulkus superfisial dengan krusta diatasnya yang disebabkan
karena infeksi oleh Streptococcus. Folikulitis adalah peradangan pada selubung
akar rambut atau folikel rambut, yang umumnya di sebabkan oleh bakteri gram
positif staphylococcus aureus. Folikulitis kadang dapat sembuh sendiri setelah dua
atau tiga hari, tetapi pada beberapa kasus yang persisten dan rekuren perlu
penanganan.
Infeksi staphylococcus profunda menjadi penyebab terbentuknya furunkel
dan karbunkel. Furunkel ialah radang folikel rambut dan sekitarnya. Sedangkan
karbunkel adalah gabungan beberapa furunkel yang yang dibatasi oleh trabekula
fibrosa yang berasal dari jaringan subkutan yang padat. Selulitis merupakan
infeksi bakterial akut pada kulit. Infeksi ini biasanya didahului luka atau trauma
dengan penyebab tersering Streptococcus beta hemolitikus dan Staphylococcus
aureus. Staphylococcal Scalded-Skin Syndrome (SSSS) merupakan suatu penyakit
epidermolisis yang disebabkan oleh ET (ETA dan ETB) dari Staphylococcus
aureus. Gejala berupa kemerahan meluas pada kulit diikuti terbentuknya benjolan-
benjolan berisi cairan, mudah pecah, dan tampak seperti terbakar.
Infeksi bakteri pada kulit bayi dan anak kebanyakan disebabkan oleh
bakteri staphylococcus aureus dan bakteri streptococcus. Kulit bayi dan anak
berbeda dengan kulit pada orang dewasa, sehingga lebih rentan terhdap infeksi
bakteri. Infeksi bakteri pada kulit bayi dan anak hampir selalu dapat
disembuhkan jika didiagnosis dini dan diobati dengan tepat.
62

DAFTAR PUSTAKA

1. Adhi Djuanda, Mochtar Hamzah, Siti Aisah. Buku Ajar Ilmu Penyakit Kulit
dan Kelamin. Edisi ke-4. Jakarta : FKUI. 2006.
2. Arthur Rook, D.S. Wilkinson, F.J.G Ebling. Impetigo. Textbook of
Dermatology. Edisi ke-3, Vol 2, Hal 338-341. 1979.
3. Freedberg , Irwin M. (Editor), Arthur Z. Eisen (Editor), Klauss Wolff
(Editor), K. Frank Austen (Editor), Lowell A. Goldsmith (Editor), Stephen
Katz (Editor). Fitzpatrick's Dermatology In General Medicine (Two Vol. Set).
6th edition (May 23, 2003): By McGraw-Hill Professional.
4. Andrews. Diseases of THE Skin Clinical Dermatology. 10th ed. New York:
Saunders Elsevier; p. 344-52
5. Craft N, Lee PK, Zipoli MT, Weinberg AN, Swartz MN, Johnson RA.
Superficial and Cutaneous Infections and Pyodermas. In: Wolff K, Goldsmith
LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller A, Leffell DJ, editors. Fitzpatrick's
Dermatology in General Medicine. 7th ed. USA: McGraw-Hill; 2008. p.
1694-9
6. Boediardja SA. Aspek Imunologi pada Infeksi Kulit Akibat Bakteri. dalam:
pertemuan Ilmiah Nasional KSDAI. Makssar, Badan penerbit FKUI: 2010.
hal:141-2
7. Wolfff K, Johnson R, editors. Fitzpatrick's Color Atlas & Synopsis of Clinical
Dermatology 6th ed. New York: McGraw-Hill; 2009. p. 598-604
8. Graham-Brown R, Burns T. Infeksi Bakteri. dalam: Dermatologi Catatan
Kuliah. edisi 8. Jakarta; 2005. p. 19-25.
9. Siregar R. S. Atlas Berwarna, Saripati Penyakit Kuli, Edisi 2, EGC, Jakarta,
2005, hal 50 51.
10. Airlangga Universitas, ATLAS Penyakit Kulit dan Kelami, SMF Penyakit
Kulit dan Kelamin Universitas Airlangg, Surabaya, 2007, hal 30 33.
11. Goldstein, G Beth, Dermatologi Praktis, Jakarta, 2000, hal 76 77.
63

12. Fitzpatrick. B. Thomas , JhonsonAllen Richard, Wolff Klaus, Palano. K.


Machiel, Suurmond Dick, Color Atlas and Synopsis of Clinical Dermatology,
Common And Serious Disease, Third Edition, The McGraw Hill
Companies, United States of America, 1987.
13. Ladhani S, Robbie S, Garratt RC, Chapple DS, Joannou CL, Evans RW.
Development and Evaluation of Detection System for Staphylococcal
Exfoliative Toxin a Responsible for Scalded Skin Syndrome. J Clin
Microbiol. 2001; 39: 2050-54
14. Weston WL, Erythema Multiforme and Steven-Johnson syndrome. In:
Bolognia J.L, Jorizzo LJ, Rapihi RP (editors). Dermatology: volume one.
London. Mosby: 2003.p 313-16
15. Travers JB, Mousdicas N. Gram-positive Infections Associated with Toxin
Production. In: Freedberg IM, Eisen AZ, Austen KF, Goldsmith LA, Katz SI,
eds. Fitzpatricks Dermatology in General Medicine, 7th ed. New York:
McGraw-Hill; 2008. p. 1710-19.
16. Runswick SK, O Hare MJ, Jones L, Streuli CH, Garrod DR. Desmosomal
adhesion regulates epithelial morphogenesis and cell positioning. Nat Cell
Biol. 2001. 3: 823-30.
17. Rooks Grattan CEH, Black AK.. In: Burns T, Breathnach S, Cox N, Griffiths
C, eds. Rooks Textbook in Dermatology. Massachusetts: Blackwell Science;
2004. p.47.31-3
18. Kane KSM, Ryder JB, Johnson RA,Baden HP, Stratigos A. Cutaneous
bacterial infektions. In Color atlas & synopsis of pediatric dermatology. New
York: 2002: 474-5.
19. Wolff K, Johnson RA, Suurmond D, Bacterial infections involving the skin.
In Fitzpatricks color atlas and synopsis of clinical dermatology. Edisi ke-5.
USA: Mc. Graw Hill, 2005: 620-3.uiu

Anda mungkin juga menyukai