Anda di halaman 1dari 6

Undang-Undang No. 6 Tahun 2014.

Undang-Undang yang baru ditandatangani 15 Januari 2014


itu menjelaskan bahwa desa nantinya pada tahun 2015 akan mendapatkan kucuran dana sebesar
10% dari APBN. Dimana kucuran dana tersebut tidak akan melewati perantara. Dana tersebut
akan langsung sampai kepada desa. Tetapi jumlah nominal yang diberikan dari geografis desa,
jumlah penduduk, dan angka kematian.
Undang-Undang desa tersebut merupakan salah satu komitmen besar untuk mendorong
perluasan kesejahteraan bagi seluruh lapisan masyarakat. Untuk menyejahterkan rakyat
indonesia diperlukan pembangunan sampai ke desa-desa, jadi memang diharapkan tidak ada lagi
desa yang akan tertinggal. Harapan lain dapat menjadi salah satu lompatan sejarah sebagai proses
pembangunan yang sedang berlangsung. Undnag-Undang desa dapat menjadi salah satu
komitmen program yang berpihak pada rakyat sebagai dasar pembangunan 10 tahun terakhir
yang merupakan wujud keberpihakan kepada kelompok masyarakat akar rumput yang dalam
piramida kependudukan berada yang paling bawah. Undang-Undang Desa yang disahkan oleh
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tersebut memang merupakan sesuatu yang istimewa.
Keistimewaan Undang-Undang Desa tersebut antara lain sebagai berikut:
Desa akan mendapat dana milyaran rupiah secara langsung Berdasarkan Undang-Undang Desa
No 6 Tahun 2014 Pasal 72 Ayat 3 menyebutkan Alokasi dana Desa minimal akan diglontorkan
secara langusung ke desa sekelomok 10 % dari dana perimbangan yang akan diterima oleh
kabupaten/kota. Jadi setiap tahun desa akan menerima dana miliyaran rupiah untuk kemajuan
desa. Wakil Ketua Pansus RUU Desa, Budiman Sujatmiko, menyatakan jumlah 10 % dari dana
perimbangan yang diterima Kabupaten/Kota dalam Anggaran pendapatan dan Belanja Daerah
setelah dikurangi Dana Alokasi Khusus Sepuluh persen bukan di ambil dari dana transfer
daerah. Kata Budiman. Artinya, kata Budiman dana sekitar Rp 104,6 miliar per tahun per desa.
Tetapi akan disesuaikan geografis, jumlah penduduk, jumlah kemiskinan ujarnya. Dana itu,
kata Budiman diajukan desa melalui Badan Pemusyawaratan Desa (BPD) yang angggotanya
merupakan wakil dari pendidik desa berdasarkan keterwakilan wilayah dan ditetapkan secara
demokratis. BPD merupakan badan permusyawaratan ditingkat desa yang turut membahas dan
menyepakati berbagai kebijakan dalam penyelenggaraan Pemerintah Desa. Mereka bersidang
minimal setahun sekali, ujar Budiman.
Penghasilan Kepala Desa dan Perangkat Desa diatur dengan jelas. Menurut Undang-Undang
Desa No 6 Tahun 2014 Passal 66 penghasilan kepala desa dan perangkat desa akan mendapatkan
kejelasan pengajian berupa gaji tetap setiap bulan. Penggajian kepala desa dan perangkat desa
tersebut berdasarkan dari dana perimbangan APBN. Selain itu kepala desa dan perangkat desa
akan mendapatkan fasilitas berupa jaminan kesehatan dan penerimaan lainya yang sah.
Wewenang Kepala Desa
Berdasarkan Undang-Undang Desa No 6 Tahun 2014 72, dimana kepala desa berwenang untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat yaitu adanya peluang desa untuk mengatur penerimaan
yang merupakan pendapatan desa masing-masing. Namun demikian, diharapakan para kepala
desa menjalankan semua semua tugasnya tanggung jawab yang lebih besar atas kewenangan
yang diberikan.
Masa Jabatan Kepala Desa Bertambah
Berdasarkan Undang-Undang Desa No 6 Tahun 2014 pasal 39 masa jabatan kepala desa saat ini
adalah 6 tahun dan dapat menjabat paling banyak 3 kali masa jabatan secara bertutut-turut atau
tidak secara berturut-turut. Untuk Badan Permusyawaratan Desa (BPD) juga sama yaitu dapat
menjabat sebanyak-banyaknya 3 kali masa jabatan, baik secara berturut-turut maupun tidak
berturut-turut. Pada undang-undang sebeblumnya hanya dapat menjabat sebanyak-banyak 2 kali
masa jabatan.
Badan Permusyawaratan Desa Mempunyai Fungsi yang Lebih Mendalam.
Berdasarkan Undang-Undang Desa No 6 Tahun 2014 pasal 55, Badan Permusyawaratan Desa
mempunyai fungsi:
Membahas dan menyepakati Rancangan Peraturan Desa bersama kepala desa;
Menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat desa; dan
Melakukan pengawasan kinerja kepala desa.

Undang-Undang Desa sudah disahkan sejak Januari tahun 2014. Pada dua tahun implementasi
UU 6 tahun 2014 tentang Desa ini masih terasa kesenjangan dalam pengetahuan akan substansi
Undang-Undang Desa dengan implementasinya. UU Desa lebih menjadi dimaknai sebagai Dana
Desa yaitu sebuah Undang-Undang yang akan mendatangkan uang ke desa sebanyak 1 Milyar
Rupiah.
Pertama-tama tulisan ini bukanlah hasil riset atau apapun, namun hanya dari sekedar melihat dan
merasakan dari apa yang terjadi karena kepikiran apa sih efek uang Dana Desa yang mungkin
nantinya akan sampai pada 1 Milyar per desa per tahun dan bahkan mungkin lebih atau akan naik
menjadi lebih banyak, dan apa efek perubahan yang ada di Desa. Sebuah beban yang tinggi bagi
APBN meskipun ini adalah amanat Undang-Undang yang dirancang demi sebuah jalan singkat
menuju kesejahteraan dan perbaikan Desa sebagai sokoguru Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Investasi keuangan hingga politik, maupun investasi dari upaya pemberdayaan bagi
perbaikan pemahaman kembali tentang mengapa kita perlu adanya Desa yang memiliki
kemandirian.
Pemahaman akan Undang-Undang Desa dari tingkat pemerintah pusat hingga pemerintah daerah
seakan tidak terdistribusikan dengan baik. Memang mungkin ini memerlukan waktu yang lama,
namun jika tidak ada kemauan untuk mengedepankan substansi akan apa yang ada dalam UU
Desa, bukan tidak mungkin, cita-cita UU Desa akan mangkrak seperti apa yang terjadi selama 2
tahun ini. Sungguh sayang bukan UU Desa tidak pernah dibaca dan dilaksanakan, namun hanya
berlandaskan APBDesa dan instruksi dari Peraturan Menteri Desa untuk membuat prioritas dana
desa pada tahun tertentu. Dan apa yang diinstruksikan pun terbatas hanya pada kata 'dana desa'.
Sebuah kecelakaaan politik yang sama sekali tidak mendidik. Apalagi ditambah dengan 'dana
desa jumlahnya sedikit, tidak sebanding dengan dana ADD, namun Dana Desa penuh dengan
keruwetan dan kesulitan untuk melaksanakannnya, di tingkat Desa'.
Sungguh menyedihkan pada satu sisi. Namun harus kita lihat juga apa saja yang menjadi
penghasilan desa selain 'Dana Desa'. 7 pendapatan desa adalah (1) Pendapatan asli desa, terdiri
atas hasil usaha, hasil aset, swadaya dan partisipasi, gotong royong, dan lain-lain pendapatan asli
desa; (2) Alokasi APBN (Dana Desa); (3) Bagian dari Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
(PDRD) Kabupaten/kota, minimal sebesar 10% dari hasil pajak daerah dan retribusi daerah
kabupaten/kota; (4) Alokasi Dana Desa, yaitu bagian dana perimbangan yang diterima
kabupaten/kota diluar DAK (DAU dan DBH) sebesar 10%; (5) Bantuan keuangan dari APBD
provinsi/kabupaten/kota; (6) Hibah dan sumbangan yang tidak mengikat dari pihak ketiga; dan
(7) Lain-lain pendapatan desa yang sah. Jadi dapat dilihat dengan jelas bahwa sebenarnya Desa
dapat mandiri, bergeliat dan maju, dengan pengelolaan dan menajemen desa yang baik.
Dana Desa dan implementasinya memang indikator yang bisa terlihat secara nyata. Ada uang
berapa lantas bagaimana perkembangannya. Namun apakah hanya sekedar hal tersebut? tentunya
tidak, sekumpulan manusia, keluarga yang tergabung dalam satu komunitas desa adalah sebuah
kekuatan yang hebat, apabila di kelola dengan baik, dengan satu syarat yang jelas saat ini yaitu :
Memahami Undang-Undang Desa.
Undang-Undang Desa memang tidak bisa berjalan dengan sendirinya. UU memerlukan banyak
peraturan dibawahnya hingga ke tingkat desa untuk dapat dijalankan dengan baik. Namun
apabila tidak ada peraturan dibawahnya pun, artinya jika ada pelanggaran berarti pelanggaran
terhadap Undang-Undang, yang bisa dituntut di muka pengadilan.
Banyak lembaga negara, maupun masyarakat sipil yang mencoba memikirkan hal tentang
bagaimana membuat UU Desa bisa berjalan sebagaimana mimpi yang dititipkan dalam UU
Desa. Berbagai upaya dilakukan untuk membuat masyarakat Desa dan Pemerintah Desa dapat
menjalankan UU Desa dengan mudah karena sebenarnya UU Desa didapatkan dari kekuatan-
kekuatan yang ada di desa. Jadi bagaimana membuat masyarakat desa menemukan kembali
kekuatannya untuk bangkit menggunakan Undang-Undang Desa yang disarikan dari Desa
sendiri. Namun mengapa banyak hambatannya? apakah hambatan tersebut adalah dari
Pemerintah, aparatur desa, kabupaten ataukah masyarakat sendiri yang sudah melupakan desa,
atau nilai-nilai berdesa yang sudah dilupakan atau hilang. Nah mengapa ini terjadi, apakah benar
nilai-nilai berdesa sudah hilang? Jika hilang mengapa dan bagaimana kita bisa menemukembali
nilai-nilai tersebut?.
Undang-Undang Desa memang berhasil menelorkan dan mendatangkan duit trilyunan dari
APBN ke seluruh Desa di Indonesia. Namun cilakanya Undang-Undang Desa sudah dianggap
memiliki kekuatan sendiri untuk dapat dijalankan secara politis dan birokratis. Namun ada yang
benar-benar dilupakan adalah aspek pendidikan kepada anak keturuan dan anak-anak desa
sendiri yang harus belajar kesana-kemari untuk dapat mengetahui tentang UU Desa ini. Harus
ada masyarakat sipil atau NGO yang dengan kerelaannya masing-masing turun ke desa
memberikan dengan topeng belajar bersama masyarakat desa untuk dapat menyelamatkan dan
mengawal Desa dalam menjalankan UU Desa terutama dalam penggunaan dana desa. Anak-anak
muda desa harus belajar sendiri mencari jalan-jalan alternatif untuk dapat memahami Undang-
Undang Desa. Sementara dari pihak Pemerintah atau penguasa sendiri tidak menggunakan
kekuatannya melalui pendidikan formal dari tingkat Dasar tentang bagaimana memahamkan
nilai-nilai dan substansi UU Nomor 6 tahun 2014 tentang Desa ini. Instrumen pendidikan formal
bahkan tidak dipergunakan sama sekali, baik sebagai muatan lokal ataupun sesuatu yang wajib
bagi peserta didik tentang bagaimana berdesa kembali.
Sebuah keniscayaan untuk membuat Desa lebih maju dan implementasi UU Desa yang lebih
bagus lagi yaitu dengan memasukkan UU Desa atau berdesa atau merdesa atau apalah ke dalam
kurikulum pendidikan yang resmi di sekolah-sekolah, atau setidaknya sebagai muatan lokal yang
mengarah pada pembangunan desa yang lebih membumi. Karena toh berapa banyak lulusan
tingkat dasar dan menengah yang pada akhirnya mengisi ruang-ruang di desa, namun
kebanyakan hanya menjadi obyek pembangunan desa saja. Bukan tidak mungkin desa memiliki
kemampuan untuk mengelola dengan lebih baik.
Sungguh disayangkan bahwa penguatan tentang Undang-Undang Desa dan implementasinya
hanya diberikan secara formal dan informasi yang terlalu sedikit melalui bimtek kepada aparatus
dan pemerintah desa yang merupakan bagian dari birokrasi yang selama ini selalu saja
menggerogoti dan bergelayutan menambah beban negara.
Interprofessional Education, atau disebut IPE, menurut WHO (1988) adalah sebuah proses
pembelajaran antara berbagai mahasiswa kesehatan atau tenaga kesehatan dengan berbagai latar
pendidikan dengan tujuan utama adalah interaksi antar sesama dan berkolaborasi untuk
menghasilkan usaha kesehatan promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif dan usaha kesehatan
lainnya. Dengan konsep kesehatan berbasis patients-centered dimana pasien adalah yang utama,
tenaga kesehatan dituntut untuk memberikan segala kemampuannya untuk pasien. WHO
merancang program ini dan telah membuat suatu kerangka sistem pendidikan kesehatan dimana
sekelompok grup kecil yang berisi mahasiswa kesehatan dengan berbagai latar belakang belajar
bersama untuk membangun sebuah jalinan komunikasi dan bisa merencanakan perawatan pasien
dengan optimal dan menyeluruh, dengan pembatasan wewenang dan tanggung jawab dari
masing-masing bidang.
Dalam penyusunan kurikulum tentang IPE, akhirnya dirumuskan kompetensi-kompetensi yang
ingin dicapai dalam program ini. Menurut The Canadian Interprofessional Health Collaborative
(2009), kompetensi yang ingin dicapai adalah pemahaman tugas dan wewenang masing-masing
profesi, penilaian yang terintegrasi untuk menyusun rencana implementasi perawatan terhadap
pasien, pemahaman tentang dinamika kelompok dan proses menuju kolaborasi interprofesional
yang efektif, dan komunikasi yang baik antar profesi dalam kolaborasi yang bertanggung jawab.
Terlihat di dalam kompetensi tersebut sudah mencakup hal-hal yang dibutuhkan untuk menjadi
sebuah tim yang kuat dan efektif dengan harapan ketika sudah menjadi seorang tenaga medis
dapat bekerja sebagai satu tim yang solid dan efektif dalam melayani masyarakat.
Dalam praktiknya, setiap mahasiswa tetap belajar masing-masing bidang yang ditekuni tetapi
dalam seminggu sekali mereka dikumpulkan untuk belajar bersama dan membangun interaksi
dan komunikasi dengan baik. Pada tahun 1996, Universitas Linkoping Swedia memasukkan
kurikulum IPE ke dalam kurikulumnya. Mereka, mahasiswa kesehatan berbagai bidang, dalam
waktu 12 minggu belajar dan membahas suatu kasus bersama. Di akhir program mereka
memberikan paparan tentang kasus tersebut. Hasilnya sangat memuaskan, mereka bisa
melakukan diagnosis dengan tepat dan memberikan rencana perawatan menyeluruh secara
lengkap dengan alurnya dengan catatan tidak ada yang melebihi wewenang dan tanggung jawab
masing-masing.
Manfaat sistem IPE dalam bidang kesehatan sangatlah besar. Chan, et al (2010) mengatakan IPE
membuat mahasiswa dari berbagai bidang kesehatan untuk belajar bersama dengan, dari, dan
tentang satu sama lain. IPE juga membuat mahasiswa belajar mengenai hal-hal yang baru dan
mengembangkan keahlian, mengembangkan kemampuan interpersonal yang dibutuhkan,
mendapatkan pengalaman baru dengan tim yang mempunyai tujuan yang sama dan belajar
bagaimana bekerja dengan orang lain dan memberikan hasil kerja yang maksimal. Selain itu,
ketika sudah menjadi tenaga kesehatan, praktik yang berkolaborasi antar bidang juga
memberikan banyak manfaat. Berdasarkan penelitian yang dilakukan WHO (2010), praktik yang
berkolaborasi akan meningkatkan akses masyarakat terhadap kesehatan, meningkatkan
koordinasi lintas bidang, meningkatkan derajat kesehatan pasien dan meningkatkan angka
keselamatan pasien. Di sisi lain, praktik berkolaborasi antar bidang akan menurunkan angka
pasien yang terkena komplikasi, menurunkan jangka waktu rawat inap pasies, menurunkan
angka malpraktik dan menurunkan angka kematian penduduk.
Di Indonesia, sistem IPE dalam pendidikan kesehatan mulai dimasukkan dan dicanangkan oleh
pemerintah. Salah satu bukti nyata adalah komunikasi dan etika, baik itu kepada pasien atau
sesama tenaga medis, mulai dimasukkan dalam kurikulum. Hal ini dirasa penting dan menunjang
untuk proses perawatan pasien. Tetapi, implementasi dari IPE hanya sebatas hal tersebut saja,
belum ada suatu program dimana mahasiswa berbagai bidang kesehatan dikumpulkan menjadi
sebuah kelompok belajar. Hal ini dikarenakan setiap bidang kesehatan dalam institusi pendidikan
belum menjalin komunikasi dengan baik dan belum bekerjasama dalam mengimplementasikan
kurikulum IPE dalam kurikulum pendidikannya. Selain itu, pihak pemerintah juga belum
memberikan perhatian yang lebih terhadap IPE dan belum memberikan rumusan yang tepat
bagaimana IPE ini dijalankan. Semoga kedepannya dapat berjalan maksimal sehingga dapat
memberikan manfaat bagi masyarakat.
Kesimpulan dari artikel ini adalah sebagai mahasiswa, kita harus mendukung dan ikut
berpartisipasi dalam sistem IPE ini. Sistem IPE adalah sistem yang paling efektif yang dapat
diimplementasikan dalam sistem pendidikan kesehatan di dunia. Sudah banyak bukti dan
penelitian yang menunjukkan berbagai manfaat sistem ini. Sistem IPE juga memberikan suatu
batasan terhadap wewenang profesi satu dengan yang lain, sehingga tidak ada yang merasa
didiskriminasi atau didiskreditkan. Maka dari itu, sebagai mahasiswa calon tenaga kesehatan
sudah seharusnya kita tahu dan ikut mendukung sistem ini di Indonesia, agar taraf kesehatan
masyarakat di Indonesia meningkat dan sejajar dengan Negara-negara maju lainnya.
Dengan semangat Hari Kesehatan Dunia, mari kita berjuang demi Kesehatan Indonesia.
Sumber:
Chan, et al, 2010, Preparing Tomorrows Healthcare Providers for Interprofessional
Collaborative Patient-Centred Practice Today, UBCMJ March 2010.
The Canadian Interprofessional Health Collaborative (CIHC), 2009, A National Interprofessional
Competency Framework: Draft for Discussion, Unpublished.
World Health organizations, 2010, Framework for Action on Interprofessional Education &
Collaborative Practice, http://www.who.int/hrh/nursing_midwifery/en/.
World Health Organization, 1988, Learning together to work together for health. Report of a
WHO study group on multiprofessional education of health personnel: the team approach. World
Health Organization Technical Report Series, Geneva: World Health Organization, 1988;769:1-
72.

Anda mungkin juga menyukai