Kritik
Tuturan pribadi
Tutran pribadi mengacu pada sekumpulan fenomena tuturan atau tuturan yang
memiliki fungsi pengaturan diri, tetapi tidak komunikatif secara sosial (Fuson, 1979).
Psikolog soviet, Luria(1961), memfokuskan perhatian pada transisi anak dari sistem tanda
pertama ke sistem tanda kedua. Luria mempostulasikan tiga tahapan dalam pengembangan
kontrol vrbal dari perilaku motorik. Pada awalnya, ucapan atau tuturan orang lain lebih
banyak bertanggung jawab terhadap pengarahan perilaku anak ( usia1,5 tahun sampai 2,5
tahun). Pada tahapan kedua (usia 3 sampai 4 tahun), verbalisasi terbuka anak akan
mendorong perilaku-perilaku motorik tetapi tidak mesti menghambatnya. Pada tahapan
ketiga, tuturan pribadi si anak menjadi mampu mendorong, mengarahkan dan menghambat
peilaku-perilkau motorik ( usia 4,5 tahun sampai 5.5 tahun.
Berk(1986) meneliti tuturan pribadi dari anak-anak keals satu, dua dan tiga. Ia
menemukan bahwa tuturan terbuka yang relevan dengan tugas berkorelasi negatif dengan
pengerjaan tugas matematika sementara verbalisasi lirih atau setengah terbuka (bisikan,
gerakan bibir , mengguman) berkorelasi positif dengan pengerjaan tugas matematika.
Keutamaan dari media sosial terlihat dalam pengaturan diri dan lingkungan-
lingkungan pembeljaran konstruktivis. Anak-anak kecil memperoleh konsep-konsep secara
spontan dengan mengamati dunia mereka dan merumuskan hipotesis hipotesis. Melalui
interaksi-interaksi sosial, anak-anak diajarai mengenai konsep-konsep oleh orang lain
(mislanya guru,orang tua dan kakak) pembelajaran ini sering berupa proses langsung
sepertiketika guru mengajari anak-anak tentang perbedaan antara bujur sangkar, perseg
panjang, segitiga dan lingkaran.
Pengaturan Diri
Dalam teori Vygotsky, pengaturan diri melibatkan koordinasi proses-proses mental (kognitif)
seperti perencanaan, penggabungan dan pembentukan konsep-konsep ( Henderson &
Cunningham, 1994). Akan tetapi koordinasi yang dimaksud tidak berjalan secara terpisah
dari lingkungan sosial dan kultur masing-masing individu.
Motivasi
Konstruktivisme sebagian besar merupakan teori perkembangan manusia yang pada tahun-
tahun belkangan ini telah diaplikasikan dalam pembeljaran. Tidak banyak tulisan yang
membahas tentang peran motivasi dalam kontruktivisme. Meskipun demikian,
kontruktivisme dapat diaplikasikan pada motivasi, dan beberapa prinsip motivasi yang diteliti
oleh para peneliti dari pandangan-pandagan teoretis lain sangan sesuai dengan kontruktivisme
( Siva, 1986).
Faktor-Faktor Kontekstual
Karakteristik-Karakterisktik Dimensional
Dalam kelas yang tidak dimensional, prestasi telihat jelas (Rosenholtz , 1981). Hala ini
memotivasi para siswa berprestas tinggi untuk belajar, tetapi kondidi ini serng menghasilkan
efek negatif pada para siswa lainnya. Kelas multidimensional cenderung memotivasi lebih
banyak siswa karena kelas seperti ini menyuguhkan lebih banyak perbedaan dan otonomi,
lebih sedikit pengelompokan berdasarkan kemampuan, dan lebih banyak fleksibilitas dalam
penilain.
Faktor Karakteristik
Tugas (task) Merancang kegiatan-kegiatan belajar dan tugas-tugas
Kondisi dimana siswa mendapat tanggung jawab untuk
Otoritas ( authority) memimpin dan mengembangkan kemandirian serta kontrol
atas aktiftas-aktifitas belajar
Penggunaan formal dan informal dari imbalan, insentil
Pengakuan ( recognition)
maupun pujian
Pengelompokan ( grouping) Individual, kelompok kecil, kelompok besar
Evaluasi (evaluation) Metode-metoded untuk mamantau dan menilai pembelajaran
Kesesuaian beban kerja, ritme pelajaran, waktu yang
Waktu (time)
dialokasikan untuk menyelesaikan tugas.
Teori-Teori Implisit
Teori-teori konstruktifitas memfokuskan perhatian pada banyak sisi dari motivasi termasuk
komponen-komponen kognitif dan afektif. Penelitian menunjukkan bahwa teori-teori implisit
tentang proses-proses seperti belajar, berpikir, dan kemapuan, mempengaruhi bagaimana
siswa terlibat dalam pembelajaran dan pandangan-pandangan mereka tentang apa yang dapat
membuatnya berhasil di dalam dan diluar kelas ( Duda & Nicholls, 1992 ; Dweck, 1999,
2006; Dwek & Legget, 1988; Dwek & Molden, 2005;Nicholls,Cobb, Wood, Yackel, &
Patashnck, 1990). Para peneliti motivasi telah mengidentifikasi dua teori (atau pola pikir)
inplisit yang berbeda tentang peran kemampuan dalam prestasi belajar : teori entitas ( pola
pikir tetap/fixed mindset) dan teori incremental (pola pikri maju dan berkembang/growth
mindset). Para siswa yang memiliki pola pikir tetap cenderung mundur jika mereka menemui
kesulitan karena mereka berpikir bahwa mereka tidak bisa berbuat banyak untuk mengubah
status mereka. Hilangnya semnagat ini mengakibatkan efikasi diri yang rendah dan dapat
meberikan pengaruh negatid pada pembelajaran ( Schunk, 1995; Schunk & Zimmerman,
2006). Sebalikanya para siswa yang semakin mmiliki pola pikir tidak mudah menyerah ketika
mereka menemui kesulitan dan mereka cenderung mengubah strategi mereka, mencari
bantuan, mencari sumber-sumber informasi yang lain, atau menjalanistrategi-strategi mandiri
launnya (Dweck, 2006; Zimmerman, 1994, 1998; Zimmerman & Martinez-Pons, 1992).
Bukti ini menunjukkan bahwa teori-teori implisit dapat mempengaruhi cara siswa memproses
informasi (Graham & Golam, 1991).
Harapan Guru
Rosenthal dan Jacobson menyimpulakn bahwa harapan guru dapat berlaku sebagai self
fulfiling prophecies sebab prestasi siswa merupakan cerminan dari harapan baru itu. Brophy
dan Good (1974) berpendapat bahwa di awal tahun ajaran guru-guru membentuk harapan-
harapan berdasarkan interaksi-interaksi awal dengan siswa dan informasi-informasi dalam
catatan-catatan. Kemudian mereka mungkin mulai memperlakukan siswa dengan cara yang
berbeda-beda sesuai harapa-harapan mereka tersebut.