Anda di halaman 1dari 7

REFLEKSI KASUS

Medikasi Preoperatif pada Pasien dengan Krisis Hipertensi

Disusun Untuk Memenuhi Sebagian Syarat Mengikuti Kepaniteraan Klinik

Anestesi Rumah Sakit Umum Daerah Yogyakarta

Dokter Pembimbing:

dr. Basuki R., Sp.An.

Disusun Oleh:

Fithria Anggrayni (20080310031)

KEPANITERAAN KLINIK ANESTESI RSUD YOGYAKARTA

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA

2015
Nama / No. Mahasiswa: Fithria Anggrayni / 20080310031

RSUD / Stase : Yogyakarta / Anestesi

REFLEKSI KASUS

1. Rangkuman Kasus :

Wanita 51 tahun datang ke poli ortopedi RSUD Yogyakarta dengan keluhan nyeri
pergelangan tangan kiri setelah jatuh dari motor. Keluhan disertai bengkak dan sulit untuk
digerakan. Hasil foto rognten menunjukan kesan fraktur pada 1/3 distal radius sinistra.
Dokter spesialis ortopedi menyarankan untuk dilakukan operasi orif pada keesokan harinya.
Pasien memiliki riwayat hipertensi namun tidak terkontrol, riwayat asma (-),DM (-), penyakit
jantung (-), penyakit ginjal (-), dan alergi obat (-). Tekanan darah pasien 220/130 mmHg.
Kesimpulan kondisi pre operasi pasien adalah ASA II dengan krisis hipertensi.

2. Masalah yang dikaji :

Bagaimana medikasi krisis hipertensi pada pasien yang akan menjalani anastesi?

3. Pembahasan :

Hipertensi yang tidak terkontrol yang dibiarkan lama akan mempercepat terjadinya
arterosklerosis dan hipertensi sendiri merupakan faktor risiko mayor terjadinya penyakit-
penyakit jantung, serebral, ginjal dan vaskuler. Pengendalian hipertensi yang agresif akan
menurunkan komplikasi terjadinya infark miokardium, gagal jantung kongestif, stroke, gagal
ginjal, penyakit oklusi perifer dan diseksi aorta, sehingga morbiditas dapat dikurangi.
Konsekuensi dari penggunaan obat-obat antihipertensi yang rutin mempunyai potensi
terjadinya interaksi dengan obat-obat yang digunakan selama pembedahan. Banyak jenis
obat-obatan yang harus tetap dilanjutkan selama periode perioperatif, dimana dosis terakhir
diminum sampai dengan 2 jam sebelum prosedur pembedahan dengan sedikit air dan
dilanjutkan kembali pada saat pemulihan dari pengaruh anestesia. Tingginya angka penderita
hipertensi dan bahayanya komplikasi yang bisa ditimbulkan akibat hipertensi ini
menyebabkan pentingnya dalam manajemen selama periode perioperatif. Periode perioperatif
dimulai dari hari dimana dilakukannya evaluasi prabedah, dilanjutkan periode selama
pembedahan sampai pemulihan pasca bedah.

Krisis hipertensi merupakan lonjakan atau peningkatan tekanan darah secara tiba-tiba >
180/120 mmHg. Krisis hipertensi, perlu dibedakan antara hipertensi urgensi dan hipertensi
emergensi. Pada hipertensi emergensi perlu dipertimbangkan penggunaan obat parenteral
untuk mengatasi dampak hipertensi terhadap kerusakan organ sasaran. Dalam kondisi akut,
target terapi adalah penurunan tekanan darah < 25% dari kondisi awal dalam satu jam
pertama. Kemudian, apabila kondisi hemodinamik stabil, penurunan ini dapat dilanjutkan
hingga 160/100-110 mmHg dalam 2-6 jam berikutnya. Pemilihan obat bergantung pada
situasi klinis. Pada prinsipnya, obat yang dipakai dalam penanganan hipertensi emergensi
harus memiliki onset kerja cepat, mudah dititrasi, aman, tidak mahal, dan nyaman bagi
pasien.

Premedikasi
Hipertensi urgensi dapat ditangani dengan mengunakan obat-obat oral, yaitu kombinasi dua
obat, tiazide dan ACEI (captopril) atau ARB (Candesartan) atau BB (propanolol, atenolol,
bisoprolol) atau CCB (amlodipin, nifedipin).
Pada hipertensi emergensi perlu dipertimbangkan penggunaan obat parenteral untuk
mengatasi dampak hipertensi terhadap kerusakan organ sasaran, antara lain
- Clonidin
Tiap 900 mg dalam D5% sebanyak 500 cc 12 tetes per menit, tapering up 4 tetes per
menit tiap 15 menit hingga mencapai target
- Diltiazem
Dengan cara 10 mg bolus IV (1-3 menit), dilanjutkan 50 mg/jam menggunakan siring
pump. Kemudian evaluasi tiap 20 menit, bila tekanan darah turun 25%, maka tapering
down 30 mg/jam hingga mencapai target. Dosis rumatan 5-10 mg/jam, observasi selama
4 jam, jika tekanan darah turun sesuai target maka diberikan peroral sejumlah 100
mg/hari.
- Esmolol
Esmolol adalah obat penghambat reseptor -adrenergik kardioselektif yang memiliki
onset kerja cepat. Obat ini sering digunakan pada hipertensi pascaoperasi yang berat dan
merupakan pilihan ideal untuk pasien yang memiliki curah jantung, denyut jantung, dan
tekanan darah yang meningkat.
Esmolol bekerja menurunkan tekanan atrium melalui mekanisme penurunan denyut
jantung dan kontraktilitas miokardium sehingga menurunkan curah jantung. Obat ini
diberikan secara intravena dengan dosis awal 500-1000 g/kgBB dalam 1 menit
dilanjutkan dengan infus pada kecepatan 50 g/kgBB/menit dan bisa ditingkatkan hingga
300 g/kgBB/menit. Obat ini memiliki awitan kerja cepat (60 detik) dan durasi kerja
singkat (10-20 menit).
Penggunaan obat ini pada pasien penyakit paru obstruktif kronis dapat memicu
bronkospasme. Selain itu, panduan ACC/AHA menyebutkan bahwa obat ini tidak boleh
digunakan pada pasien yang telah mendapat terapi penghambat reseptor , bradikardia,
dan gagal jantung.
- Labetalol
Labetalol adalah kombinasi senyawa penghambat reseptor 1-adrenergik secara selektif
dan reseptor -adrenergik secara nonselektif yang diberikan secara bolus intravena atau
melalui infus terus-menerus. Obat ini biasa digunakan pada pasien krisis hipertensi imbas
kehamilan sebab ekskresi obat ini melalui plasenta amat minimal.
Efek obat ini terhadap tekanan darah mulai muncul dalam 2-5 menit setelah pemberian
intravena, memuncak dalam 5-15 menit, kemudian menetap hingga 2-4 jam. Masa paruh
labelatol diperkirakan 5,5 jam. Adanya variabilitas ini membuat labetalol amat sulit
dititrasi saat diberikan melalui infus.
Labetalol dapat diberikan dengan dosis awal 20 mg, diikuti peningkatan dosis 20-80 mg
tiap selang waktu 10 menit hingga target tekanan darah tercapai. Cara lain adalah dengan
memberikan dosis awal 20 mg dilanjutkan infus kontinu 1-2 mg/menit yang dititrasi
hingga target tekanan darah tercapai.
Labetalol menurunkan tekanan darah dengan menurunkan tahanan vaskuler sistemik
tanpa mengurangi aliran darah perifer total. Selain itu, perfusi otak, ginjal, dan koroner
tetap terjaga. Adanya efek penghambat reseptor membuat denyut jantung relatif tetap
atau sedikit turun. Penggunaan obat ini memerlukan pengawasan ketat pada pasien
dengan gagal jantung dan harus dihindari pada pasien dengan sinus bradikardia berat,
hambatan atrioventrikuler > derajat 1, dan asma.
- Nikardipin
Nikardipin termasuk jenis penghambat kanal kalsium dihidropiridin yang memiliki
awitan kerja cepat dan tersedia untuk penggunaan intravena serta oral. Obat ini diduga
meningkatkan aliran darah koroner dan memiliki kemampuan vasodilator yang lebih
selektif pada arteri koroner dibandingkan arteri perifer sehingga penggunaannya secara
intravena terbukti menurunkan angka kejadian iskemia jantung dan serebral.
Dosis nikardipin tidak tergantung berat badan, dapat dimulai dengan kecepatan infus 5
mg/jam, boleh dititrasi 2,5 mg/jam tiap 5 menit hingga dosis maksimum 15 mg/jam
sampai target tekanan darah yang diinginkan tercapai.
Keuntungan terapeutik pemakaian nikardipin adalah peningkatan volume sekuncup dan
aliran darah koroner yang penting bagi keseimbangan antara kebutuhan dan ketersediaan
oksigen miokard. Karakteristik ini penting bagi pasien penyakit jantung koroner dan
gagal jantung sistolik. Namun, kekurangan nikardipin adalah pemanjangan masa paruh
obat ini setelah penggunaan lebih dari 24 jam yang berdampak pada pemanjangan durasi
kerjanya.
- Fenoldopam
Fenoldopam merupakan agonis reseptor dopamin-1 (DA) yang diberikan secara intravena
untuk pengobatan hipertensi berat. Keunikan fenoldopam dibanding obat antihipertensi
parenteral lainnya terletak pada kemampuannya sebagai modulator vasodilatasi perifer
melalui mekanisme kerja yang melibatkan reseptor dopamin-1 perifer. Obat ini berkaitan
dengan peningkatan produksi urin dan bersihan kreatinin sehingga merupakan terapi
pilihan bagi pasien perioperatif yang berisiko disfungsi ginjal.
Awitan kerja fenoldopam dalam 5 menit sesudah injeksi intravena dengan respons
maksimal dalam 15 menit. Masa paruh eliminasi fenoldopam adalah 5 menit sedangkan
durasi kerjanya berkisar antara 30 sampai 60 menit.
Fenoldopam diberikan dengan dosis awal 0,1 g/kg/menit yang dititrasi bertahap 0,05-0,1
g/kg/menit hingga dosis maksimal 1,6 g/kg/menit.
Kekurangan obat ini terletak pada dampaknya terhadap jantung berupa rel eks takikardia.
Oleh sebab itu, penggunaan obat ini pada pasien iskemia miokard harus dipantau ketat.
Selain itu, fenoldopam juga menyebabkan peningkatan tekanan intraokuler seiring
peningkatan dosis obat. Fenoldopam juga disimpan dalam larutan sodium metabisulfat
sehingga harus dihindari penggunaannya pada pasien dengan reaksi sensitivitas terhadap
senyawa sulit.

4. Kesimpulan :

Hipertensi preoperatif juga berhubungan dengan kejadian hipertensi intraoperatif dan


hipertensi pascaoperatif yang meningkatkan risiko terjadinya komplikasi. Berdasarkan hal
tersebut maka krisis hipertensi preoperatif perlu ditangani dengan tepat tanpa memandang
apakah tindakan pembedahan bersifat elektif atau darurat.

5. Daftar Pustaka :

Chobanian AV, Bakris GL, Black HR, Cushman WC, Green LA, Izzo JL, et al. The seventh
report of the Joint National Committee on prevention, detection, evaluation, and
treatment of high blood pressure: The JNC 7 report. JAMA. 2003;289(19):2560-72.
Fleisher LA, Beckman JA, Brown KA. ACC/AHA 2007 guidelines on perioperative
cardiovascular evaluation and care for noncardiac surgery: A report of the American
College of Cardiology/American Heart Association Task Force on Practice
Guidelines (Writing Committee to revise the 2002 guidelines on perioperative
cardiovascular evaluation for noncardiac surgery). Circulation. 2007;116:83.
Latief, SA., Suryadi, KA., Dachlan, R. 2002. Petunjuk Praktis Anestesiologi. Edisi Kedua.
Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif. Jakarta : FKUI.
Marik PE, Varon J. Perioperative Hypertension: A review of current and emerging
therapeutic agents. J Clin Anesth. 2009;21:10.
Soenarjo & Jatmiko,H.D. 2010. Anestesiologi. Semarang: Bag. Anestesiologi dan terapi
intensif FK UNDIP.
Pengesahan,
Yogyakarta, Januari 2015
Dokter Pembimbing Penyusun

Dr. Basuki R., Sp.An. Fithria Anggrayni

Anda mungkin juga menyukai