PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Otitis media supuratif kronis (OMSK) adalah radang kronis mukosa telinga
tengah dengan perforasi membran timpani dan riwayat keluar sekret dari telinga
tengah lebih dari 2 bulan baik terus menerus maupun hilang timbul, sifat sekretnya
mungkin serous, mukus atau mukopurulen (Soepardi, 2001).
Otitis media supuratif kronik di dalam masyarakat Indonesia dikenal dengan istilah
congek, teleran atau telinga berair. Kebanyakan penderita OMSK menganggap
penyakit ini merupakan penyakit yang biasa yang nantinya akan sembuh sendiri.
Penyakit ini pada umumnya tidak memberikan rasa sakit kecuali apabila sudah terjadi
komplikasi (Nursiah).
Otitis media supuratif kronik termasuk salah satu masalah kesehatan utama
yang ditemukan pada banyak populasi di dunia, dan merupakan penyebab morbiditas
dan mortalitas yang cukup signifikan. Penyakit ini biasa ditemukan pada masyarakat
kelas menengah ke bawah di negara-negara berkembang, dan menyebabkan
meningkatnya biaya untuk pengobatan. OMSK dapat menyebabkan gangguan
pendengaran sehingga menimbulkan dampak yang serius terutama bagi anak-anak,
karena dapat menimbulkan pengaruh jangka panjang pada komunikasi anak,
perkembangan bahasa, proses pendengaran, psikososial dan perkembangan kognitif
serta kemajuan pendidikan.
B. TUJUAN PENULISAN
Referat ini disusun agar penulis dan pembaca dapat mengetahui lebih jauh tentang hal
yang berhubungan dengan otitis media supuratif kronik terutama pada
penatalaksanaan penyakit ini.
1
BAB 2
PEMBAHASAN
A. Konsep Penyakit
A. DEFINISI
Suatu radang kronis telinga tengah dengan perforasi membran timpani dan
riwayat keluarnya sekret dari telinga (otorea) lebih dari 2 bulan, baik terus
menerus atau hilang timbul.
Otitis media supuratif kronis terbagi antara benigna dan maligna, maligna
karena terbentuknya kolesteatom yaitu epitel skuamosa yang bersifat
osteolitik.Penyakit OMSK ini biasanya terjadi perlahan-lahan dan penderita datang
dengan gejala-gejala penyakit yang sudah lengkap dan morbiditas penyakit telinga
tengah kronis ini dapat berganda, gangguan pertama berhubungan dengan infeksi
telinga tengah yang terus menerus ( hilang timbul ) dan gangguan kedua adalah
kehilangan fungsi pendengaran yang disebabkan kerusakan mekanisme hantaran
suara dan kerusakan konka karena toksisitas atau perluasan infeksi langsung.
B. KLASIFIKASI
OMSK dapat dibagi atas 2 tipe (Nursiah) yaitu :
1. Tipe tubotimpani = tipe jinak = tipe aman = tipe rhinogen.
Penyakit tubotimpani ditandai oleh adanya perforasi sentral atau pars tensa dan
gejala klinik yang bervariasi dari luas dan keparahan penyakit. Beberapa faktor
lain yang mempengaruhi keadaan ini terutama patensi tuba eustachius, infeksi
saluran nafas atas, pertahanan mukosa terhadap infeksi yang gagal pada pasien
dengan daya tahan tubuh yang rendah, disamping itu campuran bakteri aerob dan
anaerob, luas dan derajat perubahan mukosa, serta migrasi sekunder dari epitel
skuamous. Sekret mukoid kronis berhubungan dengan hiperplasia goblet sel,
metaplasia dari mukosa telinga tengah pada tipe respirasi dan mukosiliar yang
jelek.
Secara klinis penyakit tubotimpani terbagi atas:
a. Penyakit aktif
2
Pada jenis ini terdapat sekret pada telinga dan tuli. Biasanya didahului oleh
perluasan infeksi saluran nafas atas melalui tuba eutachius, atau setelah berenang
dimana kuman masuk melalui liang telinga luar. Sekret bervariasi dari mukoid
sampai mukopurulen. Ukuran perforasi bervariasi dari sebesar jarum sampai
perforasi subtotal pada pars tensa. Jarang ditemukan polip yang besar pada liang
telinga luas. Perluasan infeksi ke sel-sel mastoid mengakibatkan penyebaran yang
luas dan penyakit mukosa yang menetap harus dicurigai bila tindakan konservatif
gagal untuk mengontrol infeksi, atau jika granulasi pada mesotimpanum dengan
atau tanpa migrasi sekunder dari kulit, dimana kadang-kadang adanya sekret yang
berpulsasi diatas kuadran posterosuperior.
b. Penyakit tidak aktif
Pada pemeriksaan telinga dijumpai perforasi total yang kering dengan mukosa
telinga tengah yang pucat. Gejala yang dijumpai berupa tuli konduktif ringan.
Gejala lain yang dijumpai seperti vertigo, tinitus, atau suatu rasa penuh dalam
telinga.
C. ETIOLOGI
Terjadi OMSK hampir selalu dimulai dengan otitis media berulang pada anak,
jarang dimulai setelah dewasa. Faktor infeksi biasanya berasal dari nasofaring
(adenoiditis, tonsilitis, rinitis, sinusitis), mencapai telinga tengah melalui tuba
Eustachius. Fungsi tuba Eustachius yang abnormal merupakan faktor predisposisi
yang dijumpai pada anak dengan cleft palate dan Downs syndrom. Adanya tuba
3
patulous, menyebabkan refluk isi nasofaring yang merupakan faktor insiden
OMSK yang tinggi di Amerika Serikat (Nursiah).
Faktor Host yang berkaitan dengan insiden OMSK yang relatif tinggi adalah
defisiensi immun sistemik. Kelainan humoral (seperti hipogammaglobulinemia)
dan cell-mediated (seperti infeksi HIV, sindrom kemalasan leukosit) dapat
manifest sebagai sekresi telinga kronis (Nursiah).
Faktor predisposisi OMSK antara lain:
1. Lingkungan
Hubungan penderita OMSK dan faktor sosial ekonomi belum jelas, tetapi
mempunyai hubungan erat antara penderita dengan OMSK dan sosioekonomi,
dimana kelompok sosioekonomi rendah memiliki insiden yang lebih tinggi.
Tetapi sudah hampir dipastikan hal ini berhubungan dengan kesehatan secara
umum, diet, tempat tinggal yang padat.
2. Genetik
Faktor genetik masih diperdebatkan sampai saat ini, terutama apakah insiden
OMSK berhubungan dengan luasnya sel mastoid yang dikaitkan sebagai faktor
genetik. Sistem sel-sel udara mastoid lebih kecil pada penderita otitis media, tapi
belum diketahui apakah hal ini primer atau sekunder.
3. Otitis media sebelumnya.
Secara umum dikatakan otitis media kronis merupakan kelanjutan dari otitis
media akut dan / atau otitis media dengan efusi, tetapi tidak diketahui faktor apa
yang menyebabkan satu telinga dan bukan yang lainnya berkembang menjadi
keadaan kronis.
4. Infeksi
Bakteri yang diisolasi dari mukous atau mukosa telinga tengah hampir tidak
bervariasi pada otitis media kronik yang aktif menunjukan bahwa metode kultur
yang digunakan adalah tepat. Organisme yang terutama dijumpai adalah Gram-
negatif, flora tipe-usus, dan beberapa organisme lainnya.
4
Pada otitis kronis aktif, dimana tuba eustachius sering tersumbat oleh edema
tetapi apakah hal ini merupakan fenomen primer atau sekunder masih belum
diketahui. Pada telinga yang inaktif berbagai metode telah digunakan untuk
mengevaluasi fungsi tuba eustachius dan umumnya menyatakan bahwa tuba tidak
mungkin mengembalikan tekanan negatif menjadi normal.
D. PATOGENESIS
Patogenesis OMSK belum diketahui secara lengkap, tatapi dalam hal ini
merupakan stadium kronis dari otitis media akut (OMA) dengan perforasi yang
sudah terbentuk diikuti dengan keluarnya sekret yang terus menerus. Perforasi
sekunder pada OMA dapat terjadi kronis tanpa kejadian infeksi pada telinga
tengah missal perforasi kering. Beberapa penulis menyatakan keadaan ini sebagai
keadaan inaktif dari otitis media kronis.
Suatu teori tentang patogenesis dikemukan dalam buku modern yang umumnya
telah diterima sebagai fakta. Hipotesis ini menyatakan bahwa terjadinya otitis
media nekrotikans, terutama pada masa anak-anak, menimbulkan perforasi yang
besar pada gendang telinga. Setelah penyakit akut berlalu, gendang telinga tetap
berlubang, atau sembuh dengan membran yang atrofi yang kemudian dapat kolaps
kedalam telinga tengah, memberi gambaran otitis atelektasis.
Hipotesis ini mengabaikan beberapa kenyataan yang menimbulkan keraguan atas
kebenarannya, antara lain :
1. Hampir seluruh kasus otitis media akut sembuh dengan perbaikan lengkap
membran timpani. Pembentukan jaringan parut jarang terjadi, biasanya ditandai
oleh penebalan dan bukannya atrofi.
2. Otitis media nekrotikans sangat jarang ditemukan sejak digunakannya
antibiotik. Penulis (DFA) hanya menemukan kurang dari selusin kasus dalam 25
tahun terakhir. Dipihak lain, kejadian penyakit telinga kronis tidak berkurang
dalam periode tersebut.
3. pasien dengan penyakit telinga kronis tidak mempunyai riwayat otitis akut pada
permulaannya, melainkan lebih sering berlangsung tanpa gejala dan bertambah
secara bertahap, sampai diperlukan pertolongan beberapa tahun kemudian setelah
pasien menyadari adanya masalah. Anak-anak tidak dibawa berobat sampai
terjadi gangguan pendengaran yang ditemukan pada pemeriksaan berkala
disekolah atau merasa terganggu karena sekret yang selalu keluar dari telinga
(Nursiah).
E. PATOLOGI
Otitis media supuratif kronis lebih sering merupakan penyakit kambuhan dari
pada menetap. Keadaan kronis ini lebih berdasarkan keseragaman waktu dan
stadium dari pada keseragaman gambaran patologi. Ketidakseragaman ini
disebabkan karena proses peradangan yang menetap atau kekambuhan ini
ditambah dengan efek kerusakan jaringan, penyembuhan dan pembentukan
5
jaringan parut.
Secara umum gambaran yang ditemukan adalah :
1. Terdapat perforasi membrana timpani di bagian sentral. Ukurannya dapat
bervariasi mulai kurang dari 20% luas membrana timpani sampai seluruh
membrana dan terkenanya bagian-bagian dari anulus. Dalam proses
penyembuhannya dapat terjadi penumbuhan epitel skuamosa kedalam ketelinga
tengah. Pertumbuhan kedalam ini dapat menutupi tempat perforasi saja atau dapat
mengisi seluruh rongga telinga tengah. Kadang-kadang perluasan lapisan tengah
ini kedaerah atik mengakibatan pembentukan kantong dan kolesteatom didapat
sekunder. Kadang-kadang terjadi pembentukan membrana timpani atrifik dua
lapis tanpa unsur jaringan ikat. Membrana ini cepat rusak pada periode infeksi
aktif.
2. Mukosa bervariasi sesuai stadium penyakit. Dalam periode tenang, akan
tampak normal kecuali bila infeksi telah menyebabkan penebalan atau metaplasia
mukosa menjadi epitel transisional. Selama infeksi aktif, mukosa menjadi tebal
dan hiperemis serta menghasilkan sekret mukoid atau mukopurulen. Setelah
pengobatan, penebalan mukosa dan sekret mukoid menetap akibat disfungsi
kronik tuba Eustachius. Faktor alergi dapat juga merupakan penyebab terjadinya
perubahan mukosa menetap.
Dalam berjalannya waktu, kristal-kristal kolesterin terkumpul dalam kantong
mukus, membentuk granuloma kolesterol. Proses ini bersifat iritatif,
menghasilkan granulasi pada membran mukosa dan infiltrasi sel datia pada cairan
mukus kolesterin.
3. Tulang-tulang pendengaran dapat rusak atau tidak, tergantung pada beratnya
infeksi sebelumnya. Biasanya prosesus longus inkus telah mengalami nekrosis
karena penyakit trombotik pada pembuluh darah mukosa yang mendarahi inkus
ini. Nekrosis lebih jarang mengenai maleus dan stapes, kecuali kalau terjadi
pertumbuhan skuamosa secara sekunder kearah ke dalam, sehingga arkus stapes
dan lengan maleus dapat rusak. Proses ini bukan disebabkan oleh osteomielitis
tetapi disebabkan oleh terbentuknnya enzim osteolitik atau kolagenase dalam
jaringa ikat subepitel.
4. Mastoid
OMSK paling sering pada masa anak-anak. Pneumatisasi mastoid paling akhir
terjadi antara 5-10 tahun. Proses pneumatisasi ini sering terhenti atau mundur oleh
otitis media yang terjadi paa usia tersebut atau lebih muda. Bila infeksi kronik
terus berlanjut, mastoid mengalami proses sklerotik, sehingga ukuran prosesus
mastoid berkurang. Antrum menjadi lebih kecil dan pneumatisasi terbatas, hanya
ada sedikit sel udara saja sekitar antrum.
F. PENATALAKSANAAN
Prinsip terapi OMSK tipe benigna ialah konstervatif atau dengan medika
mentosa. Bila sekret yang keular terus-menerus, maka diberikan obat pencuci
telinga, berupa larutan H2o2 3 % selama 3 5 hari. Setelah sekret berkurang terapi
6
dilanjutkan dengan obat tetes telinga yang mengandung antibiotic dan
kortikosteroid, kultur dan tes resisten penting untuk perencanaan terapi karena
dapat terjadi strain-strain baru seperti pseudomonas atau puocyaneous.
Infeksi pada kolesteatom sukar diobati sebab kadar antibiotic dalam kantung yang
terinfeksi tidak bias tinggi. Pengangkatan krusta yang menyumbat drainage sagaat
membantu. Granulasi pada mukosa dapat diobati dengan larutan AgNo3 encer ( 5 -
100 %) kemudian dilanjutkan dengan pengolesan gentian violet 2 %. Untuk
mengeringkan sebagai bakterisid juga berguna untuk otitis eksterna dengan
otorhea kronik.
Cara terbaik mengangkat polip atau masa granulasi yang besar, menggunakan
cunam pengait dengan permukaan yang kasar diolesi AgNo3 25-50 % beberapa
kali, selang 1 -2 minggu. BIla idak dapat diatasi , perlu dilakukan pembedahan
untuk mencapai jaringan patologik yang irreversible. Konsep dasar pembedahan
adalah eradikasi penyakit yang irreversible dan drainase adekwat, rekontruksi dan
operasi konservasi yang memungkinkan rehabilitasi pendengaran sempurna pada
penyakit telinga kronis.
G. KOMPLIKASI
H. PROGNOSIS
7
I. PATOFISIOLOGI
Otitis media akut terjadi karena faktor pertahanan tubuh ini terganggu.
Sumbatan tuba Eustachius merupakan faktor penyebab utama dari otitis media.
Karena fungsi tuba Eustachius terganggu, pencegahan invasi kuman ke dalam telinga
tengah juga terganggu, sehingga kuman masuk ke dalam telinga tengah dan terjadi
peradangan. Otitis media akut dengan perforasi membran timpani menjadi Otitis
media supuratif kronis apabila prosesnya sudah lebih dari 2 bulan. Bila proses infeksi
kurang dari 2 bulan, disebut otitis media supuratif subakut.
Beberapa faktor yang menyebabkan OMA menjadi OMSK ialah terapi yang
terlambat diberikan, terapi yang tidak adekuat, virulensi kuman tinggi, daya tahan
tubuh pasien rendah (gizi kurang) atau higiene buruk .
8
9
B. Asuhan Keperawatan
1. Deskripsi Kasus
Pada pemeriksaan fisik : Keadaan umum : tampak sakit sedang, compos mentis
dyspnea (-), stridor (-), retraksi (-). Pada pemeriksaan THT : Telinga :AD : dalam
batas normal, Retroaurikula dekstra : dalam batas normal. AS : Liang telinga
lapang, seret (+) mukopurulen, membrane timpani perforasi total. Retroaurikula
sinistra : Benjolan (+), fluktuatif (+), nyeri tekan (+). Hidung dan tenggorok
dalam batas normal.
10
Pasien dikonsulkan ke bagian bedah saraf : Kesan Abses intracerebral
temporoparietal sinistra. Saran : IVFD NaCl, kemicetin 2x% ampul, penisilin 4
x 500mg, metronidazole 3 x 250 mg, rencana operasi drainase abses bila keluarga
setuju dilakukan insisi drainase abses otak dengan burr hole oleh bedah saraf.
11
2. Pengkajian
a. Identitas Klien
Nama : An. os
Jenis Kelamin : Perempuan
Umur : 12 Tahun
Pekerjaan : Pelajar
b. Diagnosa Medis
1) Otitis Media supuratif kronik
c. Hasil Pemeriksaan
1) Hasil Rontgen : tampak gambaran kronik mastoiditis kanan dan kiri tipe sklerotik
2) Hasil Audiogram : AD : pendengaran normal, AS : Tuli konduktif ringan
3) Hasil Pemeriksaan Fisik
a) Sakit sedang
b) Compos mentis
c) Dispneu (-)
d) Stridor (-)
e) Secret mukopurulen (+)
f) Membrane timpani perforasi total
g) Benjolan (+)
12
h) Fluktuatif (+)
i) Nyeri tekan (+)
d. Riwayat Penyakit
1) Riwayat Penyakit Sekarang
Terdapat benjolan dibelakang telinga, dan mengeluarkan cairan kekuningan.
13
rasa nyeri
5. Pola Istirahat Tidur Karena adanya nyeri akibat benjolan menyebabkan tidur klien
menjadi terganggu
6. Pola Kognitif Ada tidaknya gangguan sensorik nyeri dan pendengaran
7. Pola Persepsi Konsep Diri Klien biasanya menjadi ketergantungan dengan adanya hambatan
dalm aktivitas diakibatkan oleh penyakitnya. Klien biasanya juga
mengalami kecemasan tentang keadaan dirinya sehingga klien
mengalami emosi yang tidak stabil.
8. Pola Peran dan Tanggung Jawab Dengan keterbatasan gerak kemungkinan klien tidak bisa
melakukan peran baik dalam keluarganya
9. Pola Seksual Reproduksi Tidak terkaji
10. Pola Koping dan Toleransi Stress Sebelum MRS : klien biasanya mengeluh terhadap penyakitnya
Sesudah MRS : klien biasanya akan menutup diri
14
11. Pola Keyakinan dan Nilai Sebelum MRS : klien rutin beribadah, dan tepat waktu.
Sesudah MRS : klien biasanya tidak tepat waktu dalam beribadah.
3. Diagnosa
a. Analisa Data
Pre Operasi insisi dan drainase abses RAS
No Analisa Data Etiologi Masalah
1. DS : Pasca trauma Nyeri kronis
- Keluhan sakit kepala karena gangguan
(+) (infeksi)
DO:
- Seorang perempuan
berusia 12 tahun ,
masuk rumah sakit
dengan keluhan
benjolan di belakang
15
telinga dan di sertai
demam, nyeri (+)
- Retroaurikula sinistra
: benjolan (+) ,
fluktuatif (+) , nyeri
tekan (+)
2. Ds : - Penyakit Hipertermia
Do :
- Seorang perempuan
berusia 12 tahun ,
masuk rumah
sakitdengan keluhan
benjolan di belakang
telingadan di sertai
demam
- Pemeriksaan fisik :
keadaan umum
tampak sakit sedang
- Pasien di diagnosis
sebagai otitis media
supuratif kronik
16
dengan abses
retroaurikula sinistra
dengan kecurigaan
komplikasi
intrakranial
Post operasi insisi dan drainase abses RAS
17
Pre operasi insisi drainase abses otak
18
1. Resiko infeksi berhubungan dengan prosedur invasif (prosedur insisi dan drainase abses RAS)
2. Nyeri akut berhubungan dengan agen cidera fisik (prosedur bedah)
Pre operasi insisi drainase abses otak:
1. Ansietas berhubungan dengan ancaman pada status terkini
2. Defisiensi pengetahuan berhubungan dengan kurang informasi
3. Perencanaan
19
analgesik yang untuk mengetahui
direkomendasikan pengalaman nyeri dan
(2 ke 4) sampaikan penerimaan
Keterangan: pasien terhadap nyeri
1: Tidak pernah 4. Gali bersama pasien
menunjukan factor-faktor yang dapat
2: Jarang menurunkan atau
menunjukan memperberat nyeri
3: Kadang-kadang 5. Berikan informasi
menunjukan mengenai nyeri, seperti
4: Sering menunjukan penyebab nyeri, berapa
5: Secara konsisten lamanyeri akan dirasakan,
menunjukan danantisipasi dari
ketidaknyamanan akibat
Tingkat Nyeri prosedur
Setelah dilakukan 6. Kendalikan factor
asuhan keperawatan lingkungan yang dapat
selama 2x2 jam. mempengaruhi respon
Diharapkan nyeri yang pasien terhadap
dirasakan klien ketidaknyamanan
berkurang. Dengan 7. Ajarkan prinsip-prinsip
20
kriteria hasil: manajemen nyeri
1. Nyeri yang 8. Dorong pasien untuk
dilaporkan (2 ke memonitor nyeri dan
4) menangani nyeri dengan
2. Ekspresi nyeri tepat
wajah (2 ke 4)
Keterangan: Pemberian analgesic
1: Berat 1. Tentukan lokasi,
2: Cukup berat karakteristik, kualitas
3: Sedang dankeparahan nyeri
4: Ringan sebelum mengobati pasien
5: Tidak ada 2. Cek perintah pengobatan
melalui obat, dosis, dan
frekuensi obat analgesic
yang diresepkan
3. Cek adanya riwayat alergi
obat
4. Tentukan pilihan obat
analgesic berdasarkan tipe
dan keparahan nyeri
5. Berikan kenyaman dan
21
aktifitas lain yang dapat
membantu relaksasi untuk
memfasilitasi penurunan
nyeri
6. Lakukan tindakan-
tindakan untuk
menurunkan efek samping
anagesik
2. Hipertermia Termoregulasi Pengaturan suhu
berhubungan Setelah dilakukan 1. Monitor suhu paing tidak
dengan asuhan keperawatan selama 2 jam ,sesuai
penyakit selama 3x8 jam. kebutuhan
Diharapkan 2. Monitor suhu dan warna
peningkatan suhu kulit
tubuh klien berkurang. 3. Monitor dan laporkan
Dengan kriteria hasil: adanya tanda dan gejala
1. Melaporkan dari hipotermi dan
kenyamanan suhu hipertermi
(2 ke 4) 4. Tingkatkan intake cairan
2. Hipertermia (2 ke dan nutrisi adekuat
4)
22
Keterangan: Pengaturan demam
1: Sangat terganggu 1. pantau suhu dan pantau
2: Banyak tergnggu tanda- tanda vital lainnya
3: Cukup terganggu 2. monitor asupan dan
4: Sedikit terganggu keluaran , sadari
5: Tidak terganggu perubahan kehilangan
cairan yang tak dirasakan
1: Berat 3. beri obat atau cairan IV
2: Cukup berat 4. dorong konsumsi cairan
3: Sedang 5. fasilitasi istirahat ,
4: Ringan terapkan pembatasan
5: Tidak ada aktivitas : jika di perlukan
3. Resiko infeksi Kontrol resiko Kontrol infeksi
berhubungan Setelah dilkukan 1. Batasi jumlah pengunjung
dengan asuhan keperawatan 2. Anjurkan pasien mengenai
prosedur selama 2x12 jam , teknik mencuci tangan
invasif diharapkan resiko dengan tepat
(prosedur insisi infeksi pda klien tidak 3. Gunakan sabun
dan drainase terjadi. Dengan antimikroba untuk cuci
abses RAS) kriteria hasil: tangan yang sesuai
1. Mengidentifikasi 4. Cuci tangan sebelum dan
23
faktor resiko (2 ke sesudah kegiatan
4) perawatan pasien
2. Mengembangkan 5. Dorong untuk istirahat
strategi yang 6. Berikan terapi antibiotic
efektif dalam yang sesuai
mengontrol resiko
(2 ke)
Keterangan:
1: Tidak pernah
menunjukan
2: Jarang
menunjukan
3: Kadang-kadang
menunjukan
4: Sering menunjukan
5: Secara konsisten
menunjukan
4. Nyeri akut Kontrol nyeri Managemen nyeri
berhubungan Setelah dilakukan 5. Lakukan pengkajian nyeri
dengan agen asuhan keperawatan secara komprehensif yang
cidera fisik selama 3x8 jam. meliputi lokasi,
24
(prosedur Diharapkan nyeri yang karakteristik, onset/durasi,
bedah) dirasakan klien frekuensi, kualitas,
berkurang. Dengan intensitas atau beratnya
kriteria hasil: nyeri dan factor pencetus
3. Menggunakan 6. Pastikan perawatan
tindakan analgesic bagi pasien
pengurangan nyeri dilakukan dengan
tanpa analgesik (2 pemantauan yang ketat
ke 4) 7. Gunakan strategi
4. Menggunakan komunikasi terapeutik
analgesik yang untuk mengetahui
direkomendasikan pengalaman nyeri dan
(2 ke 4) sampaikan penerimaan
Keterangan: pasien terhadap nyeri
1: Tidak pernah 8. Gali bersama pasien
menunjukan factor-faktor yang dapat
2: Jarang menurunkan atau
menunjukan memperberat nyeri
3: Kadang-kadang 9. Berikan informasi
menunjukan mengenai nyeri, seperti
4: Sering menunjukan penyebab nyeri, berapa
25
5: Secara konsisten lamanyeri akan dirasakan,
menunjukan danantisipasi dari
ketidaknyamanan akibat
Tingkat Nyeri prosedur
Setelah dilakukan 10. Kendalikan factor
asuhan keperawatan lingkungan yang dapat
selama 3x8 jam. mempengaruhi respon
Diharapkan nyeri yang pasien terhadap
dirasakan klien ketidaknyamanan
berkurang. Dengan 11. Ajarkan prinsip-prinsip
kriteria hasil: manajemen nyeri
3. Nyeri yang 12. Dorong pasien untuk
dilaporkan (2 ke memonitor nyeri dan
4) menangani nyeri dengan
4. Ekspresi nyeri tepat
wajah (2 ke 4)
Keterangan: Pemberian analgesic
1: Berat 1. Tentukan lokasi,
2: Cukup berat karakteristik, kualitas
3: Sedang dankeparahan nyeri
4: Ringan sebelum mengobati pasien
26
5: Tidak ada 2. Cek perintah pengobatan
melalui obat, dosis, dan
frekuensi obat analgesic
yang diresepkan
3. Cek adanya riwayat alergi
obat
4. Tentukan pilihan obat
analgesic berdasarkan tipe
dan keparahan nyeri
5. Berikan kenyaman dan
aktifitas lain yang dapat
membantu relaksasi untuk
memfasilitasi penurunan
nyeri
6. Lakukan tindakan-
tindakan untuk
menurunkan efek samping
anagesik
5. Ansietas Kontrol kecemasan Pengurangan kecemasan
berhubungan diri 1. Gunakan pendekatan yang
dengan Setelah dilakukan tenang dan menyenangkan
27
ancaman pada asuhan keperawatan 2. Jelaskan semua prosedur
status terkini selama 3x24 jam , termasuk sensasi yang
diharapkan kecemasan akan di rasakan yang
klien berkurang. mungkin akan di alami
Dengan kriteria hasil: klien selama prosedur
1. Mengurangi dilakukan
penyebab 3. Berada di sisi klien untuk
kecemasan (2 ke meningkatkan rasa aman
4) dan mengirangi rasa
2. Menggunakan ketakutan
strategi koping 4. Dorongkeluarga untuk
yang efektif (2 ke mendampingi klien
4) dengan cara yang tepat
3. Menggunakan 5. Dorong verbalisasi
teknik relaksasi perasaan , persepsi dan
untuk mengurangi ketakutan
kecemasan (2 ke 6. Identifikasi pada saat
4) terjadi perubahan tingkat
Keterangan: kecemasan
1: Tidak pernah 7. Batu klien
dilakukan mengidentifikasi situasi
28
2: Jarang dilakukan yang memicu kecemasan
3: Kadang-kadang 8. kontrol stimulus untuk
dilakukan kebutuhan klien secara
4: Sering dilakukan tepat
5: Dilakukan secara 9. dukung penggunaan
konsisten mekanisme koping yang
sesuai
Tingkat kecemasan 10. kaji untuk tanda verbal
Setelah dilakukan dan non verbal kecemasan
asuhan keperawatan
selama, diharapkan
kecemasan klien
berkurang. Dengan
kriteria hasi:
1. Perasaan gelisah (2
ke 4)
2. Wajah tegang (2
ke 4)
Keterangan:
1: Berat
2: Cukup berat
29
3: Sedang
4: Ringan
5: Tidak ada
6. Defisiensi Prosedur penanganan Pengajaran :
pengetahuan Setelah dilakukan prosedur/perawatan
berhubungan asuhan keperawatan 1. Informasikan pada pasien
dengan kurang selama 3xpertemuan, atau orang terdekat
informasi diharapkan mengeni kapan dan
pengetahuan klien dimana tindakan akan di
tentang penanganan lakukan
meningkat. Dengan 2. Informasikan pada pasien
kiteria hasil: dan orang terdekat
1. Prosedur mengenai lama tindkan
penanganan (2 ke yang akan berlangsung
4) 3. Informasikan pada pasien
2. Tujuan prosedur (2 dan orang terdekat
ke 4) mengenai siapa yang akan
3. Efek samping melakukan tindakan
penanganan (2 ke 4. Kaji pengalaman pasien
4) sebelumnya dan tingkat
Keterangan: pengetahuan pasien terkait
30
1: Tidak ada tindakan yang akan di
pengetahuan lakukan
2: Pengetahuan 5. Jelaskan prosedur /
terbatas penanganan
3: Pengetahuan sedang 6. Dukung informasi yang
4: Pengetahuan diberikan petugas
banyak kesehatan lainnya
5: Pengetahuan sangat 7. Alihkan perhatian pasien
banyak anak ketika melakukan
tindakan
8. Kaji harapan pasien
mengenai tindakan yang
dilakukan
9. Libatkan keluarga atau
orang terdekat jika
memungkinkan
31
BAB 3
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Otitis media supuratif kronis (OMSK) adalah infeksi kronis di telinga tengah dengan perforasi membran timpani dan
sekret yang keluar dari telinga tengah terus menerus atau hilang timbul.
OMSK dapat dibagi atas 2 jenis, yaitu OMSK tipe benigna (tenang dan aktif) dan OMSK tipe maligna. Pada OMSK tipe
benigna, peradangan terbatas pada mukosa saja dan biasanya tidak mengenai tulang. Pada OMSK tipe maligna, peradangan
dapat mengenai tulang.
Bakteri penyebab tersering pada OMSK adalah Pseudomonas aeruginosa, Stafilokokus aureus dan Proteus.
Prinsip penatalaksanaan OMSK tergantung jenisnya. Pada OMSK benigna tenang tidak memerlukan pengobatan. Pada
OMSK benigna aktif prinsip pengobatannya adalah: pembersihan liang telinga dan kavum timpan ( toilet telinga),
pemberian antibiotik topikal, pemberian antibiotik sistemik. Pada OMSK maligna memerlukan operasi, meliputi
mastoidektomi sederhana, mastoidektomi radikal, mastoidektomi radikal dengan modifikasi (Operasi Bondy),
miringoplasti, timpanoplasti dan timpanoplasti dengan pendekatan ganda (Combined Approach Tympanoplasty).
B. SARAN
Dengan adanya makalah ini pembaca diharapkan mampu memahami pembahasan teoritis tentang penyakit Otitis Media
Supuratif Kronis (OMSK) dan bagi perawat sendiri diharapkan mampu memberikan asuhan keperawatan yang baik dan
sesuai dengan kondisi klien yang di rawat. Sehingga tidak ada lagi citra buruk perawat yang tidak memberrikan pelayanan
yang baik bagi klien.
32
DAFTAR PUSTAKA
1. Mansjoer Arif dkk. 2000. Kapita Selekta Kedokteran Jilid I. Media Aesculapius Fakultas Kedokteran
Indonesia.Jakarta.
2. Soepardi, Efiaty Arsyad & Nurbaiti Iskandar. 1998. Buku Ajar Ilmu penyakit THT. FKUI : Jakarta.
3. Sjamsuhidajat & Wim De Jong. 1997. Buku Ajar Ilmu Bedah. EGC : Jakarta.
4. Nanda International Inc. Diagnosis keperawatan: definisi & klasifikasi 2015-2017 / editor, T. Heather
Herdman,Shigemi Kamitsuru: ahli bahasa, Budi Anna Keliat, et all. Editor penyelaras, Monica Ester.Ed. 10. Jakarta: EGC.
2015
5. Gloria Bulechek, Howard Butcher, Joanne Dochterman, and Cheryl Wagner. Nursing Intervention Classification
(NIC). Ed. 6. Elsevier Singapore Pte Ltd. 2016
6. Sue Moorhead, Marion Johnson, Maridean L. Maas, and Elizabeth Swanson. Nursing Outcome Classification
(NOC). Ed. 5. Elsevier Singapore Pte. Ltd. 2016
33