Anda di halaman 1dari 2

PENGELOLAAN APOTEK

Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 35 Tahun 2014 tentang Standar Pelayanan
Kefarmasian di apotek, definisi dari apotek adalah sarana pelayanan kefarmasian tempat dilakukan praktik
kefarmasian oleh Apoteker(1). Permohonan izin apotek diajukan kepada Kepala Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota. Kemudian BPOM akan melaksanakan pemerikasaan pada apotek tersebut. Setelah hasil
pemeriksaan keluar, Kadinkes Kabupaten/Kota mengeluarkan Surat Izin Apotek (SIA). Jika dari hasil
pemeriksaan apotek masih belum memenuhi syarat, Kadinkes Kabupaten/Kota akan mengeluarkan Surat
Penundaan, kemudian apoteker diberi kesempatan 1 bulan setelah surat tersebut keluar untuk melengkapi
persyaratan yang belum terpenuhi. (2).
Pelayanan kefarmasian dilakukan oleh seorang Apoteker yang dapat dibantu oleh Apoteker
pendamping (Aping) dan / atau Tenaga Teknis Kefarmasian (TTK) yang memiliki Surat Tanda Registrasi, Surat
Izin Praktik atau Surat Izin Kerja (1). Apoteker yang bekerja di Apotek harus memiliki STRA (Surat Tanda
Registrasi Apoteker) dan SIPA (Surat Ijin Praktek Apoteker). Sementara TTK yang bekerja di Apotek harus
memiliki SIPTTK (Surat Ijin Praktek Tenaga Kerja Kefarmasian) (3). Terdapat persyaratan yang harus dipenuhi
agar Apoteker mendapat STRA yaitu memiliki ijazah Apoteker, sertifikat kompetensi Apoteker, surat
pernyataan telah melafalkan sumpah Apoteker, surat keterangan sehat fisik dan mental dari dokter yang
memiliki surat izin praktek, dan telah membuat pernyataan atau mematuhi dan melaksanakan ketentuan etika
profesi. Masa berlaku STRA yaitu selama 5 tahun dengan ketentuan perpanjangan sama dengan ketentuan
pembuatan STRA. Untuk mendapatkan SIPA, seorang Apoteker harus mempersiapkan STRA yang masih
berlaku, tempat untuk melakukan pekerjaan kefarmasianyang telah memilki izin dan adanya rekomendasi dari
IAI daerah. Setiap tenaga kefarmasian memiliki tugas dan perannya sendiri. APA dan Aping merupakan
seorang apoteker yang berperan dalam pengelolaan apotek baik pengelolaan sediaan farmasi, alat kesehatan
dan bahan medis habis pakai serta melakukan pelayanan farmasi klinis, salah satunya pelayanan obat
dengan resep. Penyerahan Obat keras, narkotika, dan psikotropika hanya dilakukan oleh seorang apoteker
sesuai dengan ketentuan perundang undangan (4). Asisten apoteker berperan dalam membantu pekerjaan
seorang apoteker dalam hal pencatatan dan dokumentasi perencanaan pengadaan sediaan farmasi dan
perbekalan kesehatan, prosedur pengadaaan sediaan farmasi dan perbekalan kesehatan, prosedur kalkulasi
biaya resep obat, dan tugas lainnya(5).
Pengelolaan obat diapotek meliputi perencanaan, pengadaan, penerimaan, penyimpanan,
pemusnahan, pengendalian, pencatatan dan pelaporan. Perencanaan adalah kegiatan untuk menentukan
jumlah dan waktu pengadaan sediaan farmasi dan alat kesehatan sesuai dengan hasil kegiatan pemilihan,
agar terjamin terpenuhinya kriteria tepat jenis, tepat jumlah, tepat waktu serta efisien. Untuk menjamin kualitas
Pelayanan Kefarmasian maka pengadaan Sediaan Farmasi harus melalui jalur resmi sesuai ketentuan
peraturan perundang-undangan yaitu melalui Pedagang besar farmasi (PBF). Pengadaan bertujuan agar
tersedianya sediaan farmasi dalam jumlah dan jenis yang cukup sesuai dengan kebutuhan pelayanan (6).
Pengadaan merupakan proses yang dilakukan untuk menjamin kualitas pelayanan kefarmasian dengan
mengadaan kebutuhan sediaan farmasi melalui jalur resmi sesuai ketentuan peraturan perundang-
undangan(7). Pengadaan obat dan/atau bahan obat di Apotek harus dengan menyertakan surat pesanan yang
mencantumkan SIA. Surat pesanan tersebut harus ditandatangani oleh Apoteker pemegang SIA dengan
mencantumkan nomor SIPA yang masih berlaku (3). Surat pesanan untuk sediaan narkotika, psikotropika, dan
prekursor dibuat dengan cara terpisah. Surat pesanan untuk narkotika hanya berlaku untuk satu jenis
narkotika saja. Surat pesanan untuk psikotropik dan prekursor dapat digunakan untuk satu atau beberapa
jenis psikotropika atau prekursor(8.
Penerimaan merupakan kegiatan verifikasi penerimaan/penolakan, dokumentasi dan penyerahan
produk farmasi yang bertujuan untuk menjamin kesesuaian jenis spesifikasi, jumlah, mutu, waktu penyerahan
dan harga yang tertera dalam surat pesanan dengan kondisi fisik yang diterima (1). Hal yang harus diperhatikan
pada saat proses penerimaan sediaan farmasi di Apotek adalah nomor faktur, kesesuaian pesanan, jumlah,
tanggal kadaluarsa, serta kemasan. Faktur untuk narkotik, psikotropik, dan prekursor harus menyertakan
keterangan nama narkotik, psikotropik, dan prekursor farmasi, bentuk sediaan, kekuatan, kemasan, jumlah,
tanggal kadaluarsa, dan nomor batch(8). Penyimpanan Obat/bahan Obat harus disimpan dalam wadah asli dari
pabrik. Dalam hal pengecualian atau darurat dimana isi dipindahkan pada wadah lain. Semua Obat/bahan
Obat harus disimpan pada kondisi yang sesuai sehingga terjamin keamanan dan stabilitasnya. Sistem
penyimpanan dilakukan dengan memperhatikan bentuk sediaan dan kelas terapi Obat, suhu penyimpanan,
disusun secara alfabetis dan berdasarkan golongan obat. Pengeluaran Obat memakai sistem FEFO (First
Expire First Out) dan FIFO (First In First Out) (7).
Pada penyimpanan narkotika, psikotropika, dan prekursor dapat berupa gudang, ruangan, atau lemari
khusus. Tempat yang telah ditentukan tersebut masing-masing tidak boleh menyatukan antara narkotika,
psikotropika, prekursor, maupun obat yang lainnya. Apotek harus memiliki tempat penyimpanan narkotika atau
psikotropika berupa lemari khusus yang berada dalam tanggung jawab seorang Apoteker. Lemari tersebut
memiliki ketentuan khusus yaitu lemari terbuat dari bahan yang kuat, tidak mudah dipindahkan, mempunyai
dua kunci yang berbeda, diletakkan di tempat yang aman tidak terlihat oleh umum, dan kunci lemari khusus
dikuasai oleh Apoteker penanggung jawab atau Apoteker yang ditunjuk dan pegawai lain yang dikuasakan(8).
Pencatatan dilakukan pada setiap proses pengelolaan sediaan di apotek meliputi pengadaan (surat
pesanan, faktur), penyimpanan (kartu stok), penyerahan (nota atau struk penjualan), dan pencatatan lainnya
yang disesuaikan dengan kebutuhan(7). Penyaluran sediaan narkotika, psikotropika, dan prekursor dilakukan
pencatatan yang paling tidak harus menyertai nama, bentuk sediaan, kekuatan sediaan, jumlah persediaan,
tanggal, nomor dokumen, dan sumber penerimaan, jumlah yang diterima, tujuan penyaluran, jumlah yang
disalurkan, nomor batch, tanggal kadaluarsa, paraf atau identitas petugas yang ditunjuk(8).
Pelaporan dapat berupa pelaporan internal maupun eksternal. Pelaporan internal meliputi pelaporan
guna mengatur manajemen di dalam Apotek terkait keuangan, barang, dan kebutuhan lainnya. Sementara
pelaporan eksternal merupakan pelaporan yang merupakan kewajiban dalam mematuhi perundang-undangan
meliputi pelaporan narkotika, psikotropika, dan pelaporan lainnya (7). Apotek yang melakukan pengelolaan
terhadap obat narkotika, psikotropika, dan prekursor wajib melakukan pelaporan setiap bulan kepada Kepala
Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dengan tembusan Kepala Balai setempat. Peaporan tersebut paling tidak
memuat tentang nama, bentuk sediaan, kekuatan sediaan, jumlah persediaan awal dan akhir bulan, jumlah
yang diterima, dan jumlah yang diserahkan(8).
Dalam kegiatan praktik kefarmasian, tenaga kefarmasian utamanya Apoteker harus berdasarkan
Standar Prosedur Operasionat (SPO) untuk masing-masing jenis kegiatan baik yang dikerjakan oleh
Apoteker itu sendiri maupun oleh Apoteker Iain atau Tenaga Teknis Kefarmasian yang membantu. SPO
berfungsi untuk menjamin bahwa pekerja kefarmasian yang dilakukan oleh Apoteker sudah baik dan sesuai
dengan prosedur sehingga diperoleh pelayanan kefarmasian yang bermutu. SPO dibagi menjadi 4 kelompok,
yang masing masingnya terbagi lagi (penjabaran). Kelompok pertama yaitu SPO Pengelolaan Sediaan
Farmasi dan Alat Kesehatan terdiri dari 10 SPO yaitu perencanaan, pengadaan (antar apotek dan antar
sarana kefarmasian), penerimaan, penyimpanan, pemindahan sediaan farmasi dan alat kesehatan,
pemeriksaan tanggal kadaluarsa, pengelolaan yang sediaan farmasi dan alat kesehatan yang telah
kadaluarsa, pelayanan obat permintaan bidan, dan penanganan obat kembalian dari pasien. Kelompok kedua
adalah SPO Pelayanan Kefarmasian terdiri dari 11 SPO yaitu, pelayanan sediaan farmasi dan alat kesehatan
dengan atau tanpa resep, penyiapan dan penyerahan resep (racikan, sirup kering, tablet/kapsul, sediaan
farmasi/alat kesehatan tertentu), pelayanan resep narkotika, pelayanan informasi obat, konseling, penyuluhan
farmasi, dan pelayanan residensial. Kemudian kelompok 3 merupakan SPO Higiene dan Sanitasi terdiri dari 4
SPO yaitu, pembersihan dan sanitasi ruangan, pembersihan lemari es, pembersihan alat, dan higiene
perorangan. Sedangkan kelompok 4 adalah SPO Tata Kelola Administrasi terdiri dari 3 SPO yaitu,
pengelolaan resep, pembuatan Patient Medication Record (PMR), dan pencatatan kesalahan peracikan.
Sedangkan SPO lainnya terdiri dari 7 SPO yaitu, pemusnahan (resep dan sediaan farmasi/alat kesehatan),
penimbangan bahan baku, produksi skala kecil, pengaturan suhu ruangan, penggunaan baju kerja, dan cara
pembuatan standar prosedur operasional (9).

DAFTAR PUSTAKA:
1. Kementrian Kesehatan, 2014, Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 35 tahun 2014 tentang Standar
Pelayanan Kefarmasian di Apotek, Menteri Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta.
2. Anonim, 2002, Peraturan Menteri Kesehatan No. 1332 Tentang Ketentuan dan Tata Cara Pemberian
Iin Apotek, Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta.
3. Kementrian Kesehatan, 2017, Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2017
Tentang Apotek, Menteri Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta.
4. Presiden RI, 2009, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 51 Tahun 2009 Tentang
Pekerjaan Kefarmasian, Presiden Republik Indonesia, Jakarta.
5. Departemen Kesehatan RI, 2008, Keputusan Menteri Kesehatan RI Tentang Standar ProfesiAsisten
Apoteker Nomor 573, Departemen Kesehatan RI, Jakarta.
6. Departemen Kesehatan RI, 2008, Petunjuk Teknis Pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian di
Apotek (SK Nomor 1027 / Menkes / SK / IX / 2004), Direktorat Bina farmasi Komunitas dan Klinik,
Ditjen Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan RI, Jakarta.
7. Kementrian Kesehatan, 2016, Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 73 Tahun 2016
Tentang Standar Pelayanan Kefarmasian, Menteri Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta.
8. Kementrian Kesehatan, 2015, Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2015
Tentang Peredaran, Penyimpanan, Pemusnahan, dan Pelaporan Narkotika, Psikotropika, dan
Prekursor Farmasi, Menteri Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta.
9. Binfar Kemkes RI, IAI, 2011, Editor Ali Mashuda, Pedoman Cara Pelayanan Kefarmasian yang Baik

Anda mungkin juga menyukai