Anda di halaman 1dari 16

Berkembangnya Taktik Moderat-Kooperatif dalam

Pergerakkan Nasional

Jonkheer Mr. Bonifacius Cornelis de Jonge, lahir di Den Haag,


Belanda, 22 Januari 1875, meninggal di Zeist, Belanda, 24 Juni 1958
pada umur 83 tahun adalah Gubernur-Jenderal Hindia-Belanda yang
memerintah antara tanggal 12 September 1931 sampai 16 September
1936.De Jonge adalah seorang bangsawan yang menginginkan sebuah
pemerintahan yang kuat di Belanda maupun Hindia-Belanda. Sebuah
kalimat yang terkenal ialah: "Kita sudah berada di Hindia
selama 300 tahun, kita pasti harus bisa berada di sini selama
300 tahun lagi!" De Jonge juga seorang gubernur jenderal yang
keras terhadap gerakan kemerdekaan Indonesia dan tak segan
melakukan pembredelan terhadap sejumlah media cetak yang
mendukung pergerakan yang bersifat nonkooperatif.Gubernur
Jenderal de Jonge yang selalu mengeluarkan kebijakan sangat keras
atas kaum pergerakkan.Kebijakan ini menjadi salah satu sebab
berkembangnya taktik moderat dan kooperatid dalam pergerakkan
nasional.
Gubernur Jenderal de Jonge yang sedang mengunjungi rumah sakit
HVA Hospital di Toeloengredjo, sekitar Kediri 6 April 1935.

Gubernur Jenderal de Jonge yang sedang mengunjungi Bali di tahun


1930-an.
Disusun oleh : Ajisaka Lingga Bagaskara

Berkembangnya taktik moderat-kooperatif dalam pergerakkan nasional Belanda


disebabkan oleh berikut ini.
1. Krisis ekonomi (malaise) yang terjadi sejak tahun 1921 dan berulang pada
tahun 1929. Bahkan, pada awal tahun 1930-an krisis ekonomi di Hindia
Belanda semakin memburuk.
2. Kebijakan keras dari pemerintahan Gubernur Jenderal Bonifacius Cornelis
de Jonge menyebabkan kaum pergerakkan, terutama dari golongan
nonkooperatif sangat menderita. Setiap gerakan yang radikal atau revolusioner
akan ditindas dengan alasan bahwa pemerintahan colonial bertanggung jawab
atas keadaan dan keamanan di lingkungan Hindia Belanda.
3. Pada tahun 1930-an, kaum pergerakkan nasional terutama yang berada di
Eropa menyaksikan bahwa perkembangan paham fasisme Italia dan naziisme
Jerman mengancam kedudukan negara-negara demokrasi. Demikian pula
dengan Jepang sebagai negara fasis-militeris di Asia yang telah melakukan
ekspansi-ekspansinya ke wilayah Pasifik sehingga ada yang mendekatkan kaum
nasionalis dengan para penguasa colonial, yaitu mempertahankan demokrasi
terhadap segala bahaya fasisme. Kesadaran itu baru muncul pertama kali di
kalangan Perhimpunan Indonesia yang terlebih dahulu telah melakukan taktik
kooperatif.

Taktik kooperatif adalah strategi yang ditempuh untuk menghindari


kelumpuhan perjuangan. Perubahan taktik perjuangan itu sama sekali tidak
mengubah tujuan perjuangan, yaitu kesatuan nasional dan kemerdekaan
Indonesia. Apabila sejak awal tahun 1920-an cita-cita kemerdekaan Indonesia
disuarakan Perhimpunan Indonesia, sejak tahun 1930-an cita-cita tersebut
diperjuangkan dengan taktik kooperatif melalui Dewan Rakyat (Volksraad).

A. PARTINDO

Penangkapan terhadap tokoh-tokoh PNI terutama Ir. Soekarno merupakan


pukulan yang teramat berat bagi PNI.Pimpinan PNI kemudian diambil alih oleh
Sartono dan Anwari. Kedua tokoh ini memiliki gaya yang lebih hati-hati
sehingga menimbulkan kecemasan di kalangan anggotanya. Bahkan, banyak di
antara para anggota PNI yang mengundurkan diri.

Sartono kemudian menginstruksikan agar semua kegiatan di cabang-cabang PNI


untuk sementara waktu dihentikan. Bahkan, ia kemudian berusaha untuk
membubarkan PNI dan membentuk partai baru. Pada Kongres Luar Biasa PNI
di Batavia tanggal 25 April 1931 diambil sebuah keputusan untuk
membubarkan PNI.Pembubaran tersebut menimbulkan pertentangan di
kalangan pendukung PNI.Sartono bersama para pendukungnya kemudian
membentuk Partai Indonesia(Partindo) pada tanggal 30 April 1931.

Asas dan tujuan serta garis-garis perjuangan PNI masih diteruskan oleh
Partindo.Selanjutnya dilakukan upaya menghimpun kembali anggota-anggota
PNI yang sudah terlanjur tercerai-berai sehingga pada tahun 1931 berhasil
dibentuk 12 cabang Partindo.Kemudian berkembang lagi menjadi 24 cabang
dengan anggota sebanyak 7000 orang.

Setelah bebas pada bulan Desember 1931, Ir. Soekarno berupaya menyatukan
kembali PNI yang terpecah.Akan tetapi, upaya tersebut tidak berhasil karena
terdapat perbedaan pendapat antara Ir. Soekarno dan Drs. Moh.Hatta sebagai
pemimpin PNI Baru.Akhirnya, Ir. Soekarno memutuskan dirinya untuk masuk
dan bergabung ke dalam Partindo.Partai Indonesia ini kemudian berkembang
pesat setelah pemimpin tertinggi dipegang oleh Ir. Soekarno.Pada tahun
berikutnya, Partindo telah memiliki 71 cabang dan anggota sebanyak 20.000
orang. Ide-idenya banyak dimuat dalam harian Pikiran Rakyat, antara lain yang
penting adalah Mencapai Indonesia Merdeka pada tahun 1933.

Penangkapan kembali Ir. Soekarno pada tanggal 1 Agustus 1933 melemahkan


Partindo. Bung Karno diasingkan ke Ende, Flores, pada tahun 1934. Karena
alasan kesehatan, Bung Karno kemudian dipindahkan ke Bengkulu pada tahun
1938 dan pada tahun 1942 dipindahkan ke Padang karena ada serbuan tentara
Jepang ke Indonesia. Tanpa Ir. Soekarno, Partindo mengalami kemunduran
yang sangat drastic. Partindo akhirnya memutuskan untuk mengundurkan diri
dari PPPKI agar PPPKI tidak terhalang geraknya karena adanya larangan untuk
mengadakan rapat.Dalam menghadapi keadaan yang sulit itu, Ir. Soekarno
untuk yang kedua kalinya membubarkan Partindo meski tanpa adanya suatu
dukungan yang penuh dari para anggotanya.
B. PNI Baru

Moh. Hatta sebagai pemimpin PNI Baru.

Ketika Sartono membubarkan PNI pada tahun 1930, banyak anggotanya yang
tidak setuju.Mereka menyebut dirinya sebagai Golongan Merdeka.Dengan giat
mereka mendirikan studie club-studie club baru, seperti Studie Club Nasional
Indonesia di Jakarta dan Studie Club Rakyat Indonesia di Bandung.Selanjutnya,
mereka mendirikan Komite Perikatan Golongan Merdeka untuk menarik
anggota-anggota PNI dan untuk menghadapi Partindo.

Pada bulan Desember 1931, golongan merdeka membentuk Pendidikan


Nasional Indonesia (PNI Baru).Mula-mula Sultan Syahrir dipilih sebagai
ketuanya.Moh.Hatta kemudian dipilih sebagai ketua pada tahun 1932 setelah
kembali dari Belanda.Strategi perjuangan PNI Baru tidak jauh berbeda dari PNI
maupun dengan Partindo.Organisasi-organisasi tersebut tetap sama-sama
menggunakan taktik perjuangan nonkooperatif dalam mencapai kemerdekaan
politik.Adapun perbedaan antara PNI Baru dengan Partindo adalah sebagai
berikut.

a. PPPKI oleh PNI Baru dianggap bukan persatuan karena anggota-anggotanya


memiliki ideology yang berbeda-beda. Sementara itu, Partindo menganggap
PPPKI dapat menjadi wadah persatuan yang cukup kuat daripada mereka
berjuang sendiri-sendiri.
b. Dalam mencapai upaya kemerdekaan, PNI Baru lebih mengutamakan
pendidikan politik dan social. Partindo lebih mengutamakan organisasi massa
dengan aksi-aksi massa untuk mencapai kemerdekaan.

Pada tahun 1933, PNI Baru telah memiliki 65 cabang.Untuk mempersiapkan


masyarakat dalam mencapai kemerdekaan PNI Baru melakukan kegiatan
penerangan untuk rakyat dan penyuluhan koperasi.Kegiatan-kegiatan PNI Baru
tersebut dan ditambah dengan sikapnya yang nonkooperatif dianggap oleh
pemerintah colonial Hindia Belanda sangat membahayakan. Oleh karena itu,
pada bulan Februari 1934 Bung Hatta, Sultan Syahrir, Maskun, Burhanuddin,
Murwoto, dan Bonda ditangkap oleh pemerintah colonial. Bung Hatta
diasingkan ke hulu Sungai Digul, Papua. Kemudian dipindahkan ke Bandaneira
pada tahun 1936 dan akhirnya ke Sukabumi pada tahun 1942.Dengan demikian,
hanya partai-partai yang bersikap kooperatif saja yang dibiarkan hidup oleh
pemerintah colonial Hindia Belanda.

C. PARINDRA (1935)

Pada bulan Desember 1935 di Solo diadakan kongres yang menghasilkan


penggabungan Boedi Oetomo dengan Persatuan Bangsa Indonesia (PBI) dan
melahirkan Partai Indonesia Raya (Parindra). R. Soetomo terpilih sebagai
Ketua Parindra dengan Surabaya sebagai pusat dan basis politiknya. Tujuannya
adalah untuk mencapai Indonesia Raya dan Mulia.Cara yang hendak ditempuh
dengan memperkokoh semangat persatuan kebangsaan, berjuang untuk
memperoleh suatu pemerintahan yang berdasarkan demokrasi dan nasionalisme,
serta berusaha meningkatkan kesejahteraan rakyat baik dalam bidang ekonomi
maupun social.Tokoh-tokoh terkemuka Parindra lainnya adalah MH Thamrin
dan Sukarjo Wiryopranoto.

Terhadap pemerintah colonial, Parindra tidak menetapkan haluan politiknya


apakah kooperatif atau nonkooperatif.Oleh karena itu, Parindra memiliki wakil-
wakilnya dalam Volksraaad dan mengambil sikap sesuai situasi. Istilah lainnya
adalah main aman saja, hehehee Parindra berkembang dengan baik dan
bahkan menjadi partai besar dan banyak mendapat simpati dari organisasi-
organisasi lain sehingga mereka menggabungkan diri, seperti Kaum Betawi,
Sarekat Sumatera, dan Partai Serikat Selebes.Cabang-cabang Parindra menyebar
di Jawa, Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi.
Parindra berusaha meningkatka kesejahteraan rakyat kecil dengan cara
mendirikan Rukun Tani, membentuk serikat-serikat pekerja, menganjurkan
swadesi, dan mendirikan Bank Nasional Indonesia. Perjuangan Parindra dalam
Volksraad berlangsung hingga akhir masa penjajahan Belanda. Dalam hal ini
terkenal kegigihan MH Thamrin dengan membentuk Fraksi Nasional dan GAPI
yang berhasil memaksa pemerintah colonial Hindia Belanda melakukan
beberapa perubahan, seperti pemakaian bahasa Indonesia dalam sidang
Volksraad dan mengganti istilah Inlander menjadi Indonesier.

D. GERINDO

Setelah Partindo dibubarkan pada tahun 1936, banyak anggotanya kehilangan


wadah perjuangan.Sementara itu, Parindra yang cenderung kooperatif dianggap
kurang sesuai.Oleh karena itu, pada bulan Mei 1937 di Jakarta
dibentuk Gerakan Rakyat Indonesia (Gerindo).Tokoh-tokohnya yang terkenal
ialah A.K. Gani, Moh. Yamin, Amir Syarifuddin, Sarino Mangunsarkoro,
Nyonoprawoto, Sartono, dan Wilopo.

Gerindo bertujuan mencapai Indonesia Merdeka, tetapi dengan asas-asas yang


kooperatif. Agak terkesan plin-plan memang, katanya kurang sreg dengan
Parindra, tetapi malah dia sendiri kooperatif, hehehe Dalam bidang politik,
Gerindo menuntut adanya parlemen yang bertanggung jawab kepada
rakyat.Dalam bidang ekonomi dibentuk Penuntut Ekonomi Rakyat
Indonesia(PERI) yang bertujuan mengumpulkan berbagai modal dengan
kekuatan kaum buruh dan tani berdasarkan asas nasional-demokrasioperasi,
memang agak sedikit mengarah ke komunis.Dalam bidang social diperjuangkan
persamaan hak dan kewajiban di dalam masyarakat.Oleh karena itu, Gerindo
menerim anggota dari kalangan orang Indo (India), peranakan China
(Tionghoa), serta keturunan Arab (Gujarat).
E. PETISI SUTARDJO

Sutardjo Kartohadikusumo, wakil dari Persatuan Pegawai Bestuur


uang mengajukan permintaan atau petisi. Mas Sutardjo
Kertohadikusumo lahir di Blora, Jawa Tengah, 22 Oktober 1892,
meninggal di Jakarta, 20 Desember 1976 pada umur 84 tahun adalah
gubernur pertama Jawa Barat. Menurut UU No. 1 Tahun 1945, daerah
Jawa Barat saat itu menjadi daerah otonom provinsi. Sekalipun ia
adalah Gubernur Jawa Barat, namun ia tidak berkantor di Bandung,
melainkan di Jakarta. Sutardjo merupakan tokoh nasional yaitu
anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP).Ia penggagas Petisi
Sutarjo. Petisi ini diajukan pada 15 Juli 1936, kepada Ratu Wilhelmina
serta Staten Generaal (parlemen) Belanda.Petisi ini diajukan karena
ketidakpuasan rakyat terhadap kebijakan politik Gubernur Jenderal
De Jonge. Selain itu ia pernah menjabat juga sebagai Ketua DPA.
Pada tanggal 15 Juli 1936, Sutardjo Kartohadikusumo selaku wakil Persatuan
Pegawai Bestuur (PBB) dalam sidang Volksraad mengajukan suatu usulan yang
kemudian dikenal dengan istilah Petisi Sutardjo. Petisi tersebut berisi
permintaan kepada pemerintah colonial agar diselenggarakan musyawarah
antara wakil-wakil Indonesia dan Belanda untuk merencanakan suatu perubahan
dalam jangka waktu sepuluh tahun mendatang, yaitu pemberian status otonomi
kepada rakyat Indonesia meskipun tetap dalam lingkungan Kerajaan Belanda.

Sebelum Indonesia dapat berdiri sendiri, Sutardjo mengusulkan untuk


mengambil langkah-langkah memperbaiki keadaan Indonesia, antara lain
sebagai berikut.

a. Volksraad dijadikan parlemen yang sesungguhnya.


b. Direktur departemen diberikan tanggung jawab.
c. Dibentuk Dewan Kerajaan (Rijksraad) sebagai badan tertinggi antara Belanda
dan Indonesia yang anggota-anggotanya merupakan wakil-wakil kedua belah
pihak.
d. Penduduk Indonesia adalah orang-orang yang karena kelahiran, asal-usul, dan
cita-citanya memihak Indonesia.

Petisi itu juga ditandatangani oleh I.J. Kasimo, Sam Ratulangi, Datuk
Tumenggung, dan Kwo Kwat Tiong, Sebagian besar dari partai-partai dan
toloh-tokoh pergerakan juga mendukung Petisi Sutardjo. Setelah mendapatkan
dukungan mayoritas anggota Volksraad, petisi itu kemudian disampaikan
kepada pemerintahan kerajaan dan parlemen Belanda.

Kalangan Fraksi Nasional dan partai-partai besar ketika itu, seperti Parindra,
Gerindo, PSII, dan PNI Baru memperingatkan bahwa usaha Petisi Sutardjo akan
sia-sia. Oleh karena itu, para pendukung petisi tersebut kemudian membentuk
suatu panitia untuk menghimpun dukungan dari masyarakat di dalam maupun di
luar negeri.Dukungan pun diperoleh bahkan ada pula orang-orang Belanda yang
mendukung pertisi tersebut.

Golongan yang tidak setuju adalah golongan konservatif Belanda dan para
pengusaha perkebunan Belanda, termasuk kelompok Vanderlandche Club (VC).
Mereka menganggap petisi tersebut terlalu premature, secara ekonomi dan
social Hindia Belanda (Indonesia) masih belum cukup untuk dapat berdiri
sendiri Katanya mereka sih Selain itu, dipermasalahkan pula tentang dapat
dipertahankannya kesatuan wilayah Nusantara dalam lingkungan Pax
Neederlandica karena pada kenyataannya kondisi politik Hindia Belanda belum
mantap dari segi manapun.
Pada tanggal 16 November 1938, pemerintah Belanda memberikan jawaban
bahwa petisi tersebut ditolak dengan alasan-alasan sebagai berikut.

a. Perkembangan politik Indonesia belum cukup matang untuk memerintah


sendiri sehingga petisi itu dipandang masih terlalu premature.
b. Dipertanyakan juga tentang kedudukan golongan minoritas dalam struktur
politik yang baru nanti.
c. Tuntutan otonomi dipandang sebagai hal yang tidak alamiah karena
pertumbuhan ekonomi, social, dan politik belum cukup memadai.

Meskipun petisi tersebut ditolak, pemerintah colonial Hindia Belanda mulai


melaksanakan perubahan pemerintahan pada tahun 1938.Pemerintah
membentuk provinsi-provinsi di luar Jawa dengan gubernur sebagai wakil
pemerintahan pusat, sedangkan Dewan Provinsi bertugas mengatur rmah tangga
daerah.

Akibat yang tampak dari penolakan petisi tersebut adalah semakin jauhnya jarak
antara pemerintah dengan yang diperintah. Tidak ada jalan lain bagi kaum
pergerakkan untuk memperkuat barisan terkecuali dengan memperkuat
organisasi dan persatuan bangsa. Usaha kea rah persatuan itu juga didorong oleh
keadaan internasional yang sejak tahun 1939 menjadi genting dengan adanya
penyerangan negara Jerman ke wilayah kota Danzig, di Polandia yang
mengawali terjadinya Perang Dunia II.
F. PERJUANGAN GAPI Indonesia Berparlemen

Gambar :MH Thamrin, yang merupakan tokoh pelopor organisasi


Gabungan Politik Indonesia (GAPI). GAPI aktif menyerukan agar
dibentuk parlemen yang dipilih langsung oleh rakyat sebagai
pengganti Volksraad.

Penolakan Petisi Sutardjo mendorong munculnya gerakan menuju kesatuan


nasional, kesatuan aksi, dan hak untuk menentukan nasib sendiri.Gerakan itu
kemudian menjelma menjadi Gabungan Politik Indonesia (GAPI).Pembentukan
GAPI dipelopori oleh MH Thamrin dari Parindra.

Ide pembentukan GAPI pada umumnya mendapat tanggapan baik di kalangan


masyarakat luas.Pada tanggal 21 Mei 1939 dilaksanakan rapat umum di Gedung
Permufakatan, Gang Kenari, Jakarta.Rapat itu dihadiri oleh wakil-wakil dari
Pasundan, Parindra, PSII, PII, dan Gerindo. MH Thamrin menjelaskan bahwa
tujuan pembentukan GAPI untuk membentuk sebuah badan persatuan yang
akan mempelajari dan memperjuangkan kepentingan rakyat. Dalam
pelaksanaannya, tiap-tiap organisasi tetap bebad untuk melakukan program-
programnya sendiri-sendiri.
Pelaksanaan program GAPI secara konkret mulai terwujud dalam rapatnya pada
tanggal 4 Juli 1939. Dalam rapat itu diputuskan untuk mengadakan Kongres
Rakyat Indonesia yang akan memperjuangkan penentuan nasib sendiri serta
kesatuan dan persatuan Indoesia. Namun, sebelum aksi dapat dilancarkan secara
besar-besaran, pada tanggal 9 September 1939 terdengar kabar bahwa Perang
Dunia II telah berkobar. Oleh karena itu, dalam pernyataannya pada tanggal 19
September 1939, GAPI menyerukan agar dalam keadaan penuh bahaya dapat
dibina hubungan dan kerja sama yang sebaik-baiknya antara Belanda dan
Indonesia.

Golongan moderat Belanda menyerukan agar pemerintah Belanda agar loyalitas


yang tertera dalam pernyataan GAPI ditanggapi secara positif dengan
memenuhi keinginannya.Sebaliknya, golongan konservatif memandang bahwa
pernyataan GAPI itu semata-mata hanya merupakan
suatu Chantage (memanfaatkan kesempatan dalam situasi tertentu), yaitu
pemerasan dengan mengambil kesempatan sewaktu Belanda menghadapi
kesulitan, yakni bahaya dan ancaman seranga Jerman di Eropa.

Aksi pertama GAPI terselenggara dengan mengadakan rapat umum di Jakarta


pada tanggal 1 Oktober 1939.Pada pertengahan Desember 1939 diselenggarakan
rapat umum di beberapa tempat.Dengan semboyan Indonesia Berparlemen
dalam setiap aksinya GAPI mendesak agar pemerintah membentuk parlemen
yang dipilih oleh rakyat dan dari rakyat sebagai pengganti Volksraad dan
dengan pemerintahan yang bertanggung jawab kepada parlemen tersebut.Untuk
itu, kepala-kepala departemen harus digantikan dengan menteri-menteri yang
bertanggung jawab kepada parlemen.

Tanggapan pemerintah colonial Hindia Belanda baru dikeluarkan pada tanggal


10 Februari 1940 melalui Menteri Tanah Jajahan Welter yang menyatakan
bahwa perkembangan dalam bidang jasmani dan rohani akan memerlukan
tanggung jawab dalam bidang ketatanegaraan. Sudah barang tentu hak-hak
ketatanegaraan memerlukan tanggung jawab dari para pemimpin.Tanggung
jawab ini hanya dapat dipikul apabila rakyat telah memahami kebijaksanaan
politik.Selama pemerintah Belanda bertanggung jawab atas kebijakan politik di
Hindia Belanda, tidak mungkin didirikan Parlemen Indonesia yang mengambil
alih tanggung jawab tersebut.

Tentu saja penolakan tersebut sangat menimbulkan kekecewaan, tetapi GAPI


masih meneruskan perjuangannya.Dalam rapat tanggal 23 Februari 1940, GAPI
menganjurkan pendirian Panitia Parlemen Indonesia sebagai tindak lanjut dari
aksi Indonesia Berparlemen.Akan tetapi, kesempatan bergerak bagi GAPI sudah
tidak ada lagi.Pada awal Mei 1940, negara Belanda telah berhasil ditaklukkan
dan diduduki oleh Jerman sehingga Perang Dunia II telah berkobar di Negeri
Belanda juga.Meskipun negerinya sudah diduduku oleh Jerman, tetapi Belanda
masih tidak mau mundur setapak pun dari bumi Indonesia.

Gambar : Gubernur Jenderal Tjarda van Stackenborgh Stachouwer,


adalah Gubernur Jenderal Hindia Belanda yang menjabat hingga
ketika Jepang menyerang dan mulai menduduki wilayah Indonesia
pada tahun 1942.
Gambar :Ratu Wilhemina dalam pidatonya di tahun 1941 yang
menyatakan perubahan kedudukan daerah jajahan Belanda.

Sikap pemerintah Belanda yang sangat konservatif itu tidak mengurangi


loyalitas rakyat Indonesia terhadap Belanda, bahkan ada keinginan umum untuk
bekerja sama dalam menghadapi perang itu. Sebagai imbalan dari kesetiaan
bangsa Indonesia tersebut, Gubernur Jenderal Tjarda van Starkenborgh
Stachouwermenjanjikan perubahan dalam berbagai segi kehidupan masyarakat
Hindia Belanda.Akan tetapi, gagasan mengenai perubahan itu harus disimpan
dahulu hingga Perang Dunia II selesai. Pada tanggal 10 Mei 1941 dalam
pidatonya, Ratu Wilhelmina menyatakan kesediannya untuk
mempertimbangkan suatu penyesuaian ketatanegaraan Belanda terhadap
keadaan yang berubah serta menentukan kedudukan daerah seberang dalam
struktur Kerajaan Belanda. Akan tetapi, masalah itu pun juga harus ditunda
setelah Perang Dunia II usai.

Usulan pembentukan milisi pribumi yang berdasarkan kewajiban bagi negara


untuk mempertahankan negerinya juga ditolak oleh pemerintah colonial dengan
alasan bahwa perang modern lebih memerlukan angkatan bersenjata yang
professional. Sikap menunda itu pun dipertahankan oleh Belanda pada saat
dilontarkan Piagam Atlantik (Atlantic Charter) oleh Perdana Menteri Inggris
Woodrow Wilson dan Presiden AS F.D. Roosevelt yang menjamin hak setiap
bangsa untuk memilih bentuk pemerintahannya sendiri.

Satu-satunya hasil dari berbagai upaya kaum pergerakan melalui Dewan Rakyat
adalah pembentukan Komisi Visman (Commissie Visman) pada bulan Maret
1941.Komisi tersebut bertugas meneliti keinginan, cita-cita, serta pendapat yang
ada pada berbagai golongan masyarakat mengenai perbaikan
pemerintahan.Hasilnya diumumkan pada bulan Desember 1941 yang
menyatakan bahwa penduduk sangat puas dengan pemerintah Belanda.

Karena kancah Perang Pasifik sudah sangat dekat, hasil Komisi Visman itu
tidak ada lagi pengaruhnya terhadap perkembangan politik di Hindia
Belanda.Suasana pada saat-saat terakhir pemerintahan Hindia Belanda diliputi
oleh sikap rakyat yang apatis bercampur tidak percaya lagi dan pada akhirnya
berubah menjadi sikap anti-Belanda.Hal ini juga disebabkan oleh propaganda
Jepang, yang dinamakan dengan Gerakan 3 A.

Anda mungkin juga menyukai