No. ID dan Nama Wahana : RSUD Kota Malang Topik : dispepsia fungsional(Gangguan Somatoform) Tanggal (kasus) : 11 April 2017 Nama Pasien : Ny. S No. RM : 117016xx Tanggal Presentasi : 17 Mei 2017 Pendamping : dr. Wildan Aulia Firdaus Tempat Presentasi : Ruang pertemuan dokter RSUD Kota Malang Obyektif Presentasi : o Keilmuan o Ketrampilan o Penyegaran o Tinjauan Pustaka o Diagnostik o Manajemen o Masalah o Istimewa o Neonatus o Bayi o Anak o Remaja o Dewasa o Lansia o Bumil o Deskripsi : Pasien perempuan usia 34 tahun datang dengan keluhan rasa tidak nyaman diulu hati dan perut kiri sejak 3 hari terakhir. o Tujuan : mengetahui diagnosis dan penatalaksanaan dispepsia Bahan o Tinjauan Pustaka o Riset o Kasus o Audit Bahasan: Cara o Diskusi o Presentasi Kasus o Email o Pos Membahas: Data Pasien: Nama : Ny. NF No. Registrasi : 117018xx Nama Klinik: RSUD Kota Malang Telepon : - Terdaftar Sejak : 18 April 2017 Data utama untuk bahan diskusi : 1. Diagnosis / gambaran klinis : Pasien perempuan usia 34 tahun datang dengan keluhan rasa tidak nyaman diulu hati dan perut kiri sejak 3 hari terakhir, perut terasa sebah dan sering bersendawa, nyeri juga dirasakan di pundak sebelah kanan dan betis kiri. Pasien juga merasa sulit tidur sebulan terakhir. Pasien datang kontrol yang ke-3 kali nya dengan keluhan serupa namun nyeri perutnya berpindah. Keadaan umum tampak kaku dan tegang, kesadaran kompos mentis, nyeri epigastrium. 2. Riwayat pengobatan : Pasien sebelumnya telah berobat ke poli penyakit dalam RS lain dengan keluhan serupa 3. Riwayat kesehatan / penyakit : Hipertensi (-), DM (-), Jantung (-), Hiperkolesterolemia (-) 4. Riwayat keluarga : Tidak ada anggota keluarga yang mengeluhkan hal yang sama seperti pasien 5. Riwayat pekerjaan : Pasien adalah seorang ibu rumah tangga 6. Kondisi lingkungan sosial dan fisik :orang tua pasien sudah meninggal dan pasien tinggal bersama suami dan anak-anaknya. Daftar Pustaka : 1. Kaplan,H.I. Saddock,B.J., dan Grebb JA,2010.Kaplan-Sadock Sinopsis Psikiatri Ilmu Pengetahuan Perilaku Psikiatri Klinis Jilid 2. Jakarta : Binanupa Aksara 2. Mansjoer, A., dkk (editor), 2001.Kapita Selekta Kedokteran Edisi 3 Jilid 1. Penerbit Media Aesculapicus : Fakultas Kedokteran Universitas Tanjungpura 3. Departemen Kesehatan R.I,1995.Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia III Cetakan Pertama. Jakarta : Direktorat Jenderal Pelayanan Medik Departemen Kesehatan RI 4. Fauziah, Fitri dan Julianti, Widuri. 2005. Psikologi Abnormal Klinis Dewasa. Jakarta : Penerbit Universitas Indonesia 5. Ardani, Tristriadi. 2011. Psikologi Abnormal. Bandung : CV. Lubuk Agung. B. Hurlok Elizabeth.1990. Psikologi Perkembangan. 6. Mai F. 2004.Somatization Disorder : A Practical Review . Canadian Journal of Psichiatry Vol 49 (10): 652-662
Hasi Pembelajaran : 1. Definisi serta klasifikasi gangguan somatoform 2. Tanda dan gejala gangguan somatoform 3. Diagnosa gangguan somatoform 4. Penatalaksanaan gangguan somatoform
Rangkuman Hasil Pembelajaran Portofolio
1. Subjektif : Pasien perempuan usia 34 tahun datang dengan keluhan rasa tidak nyaman diulu hati dan perut kiri sejak 3 hari terakhir, perut terasa sebah dan sering bersendawa, nyeri juga dirasakan di pundak sebelah kanan dan betis kiri. Pasien juga merasa sulit tidur sebulan terakhir. Pasien datang kontrol yang ke-3 kali nya dengan keluhan serupa namun nyeri perutnya berpindah. Keadaan umum tampak kaku dan tegang, kesadaran kompos mentis, nyeri epigastrium. 2. Objektif : KU: cukup Kesadaran: composmentis TD: 119/66 mmHg Frekuensi nadi: 89 x/menit Frekuensi nafas: 20 x /menit Suhu: 36,00 C Berat badan: 58 kg Tinggi badan: 150 cm 1. Pemeriksaan Fisik Psikiatri a. Penampilan : seorang wanita usia 46 tahun, tampak sesuai dengan umurnya. Kulit sawo matang. Rambut lurus berombak. Berperawakan BB dan TB rata-rata. Pada saat pemeriksaan pasien tampak kebersihan cukup. b. Perilaku dan aktivitas psikomotor : Tingkah laku : normoaktif c. Sikap tehadap pemeriksa : kooperatif Kontak psikis : ada, wajar dan dapat dipertahankan. d. Mood dan Afek Mood : euthymie Afek : sesuai e. Gangguan Persepsi : halusinasi (-), ilusi (-) f. Pikiran Bentuk pikir : realistis Arus pikir : lancar Isi pikiran : waham (-) g. Sensorium dan Kognitif Kesadaran : jernih Orientasi Tempat : baik Waktu : baik Personal : baik Situasional : baik Daya ingat Segera : baik Jangka pendek : baik Jangka sedang : baik Jangka panjang : baik Konsentrasi : baik Kemampuan baca dan tulis : baik Kemampuan visuospasial : baik Pikiran abstrak : baik h. Pengendalian Impuls : cukup i. Tilikan Tilikan emosional sesungguhnya: kesadaran emosional tentang motif dan perasaan didalam diri pasien dan orang yang dapat menyebabkan perubahan dalam perilaku. 2. Pemeriksaan Sistemik Kulit: Teraba hangat, tidak pucat, tidak ikterik, tidak sianosis. Kepala: Bentuk normal, rambut hitam, distribusi merata, tidak mudah dicabut. Mata: Konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik, pupil isokor, diameter 3 mm, refleks cahaya +/+ normal. THT: Faring hiperemis (-), Tonsil T2-2 hiperemis (-/-). Mulut: Mukosa mulut dan bibir basah. Leher : Tidak ada kelainan. KGB: Tidak teraba pembesaran KGB pada leher, axilla, dan inguinal. Thoraks: Cor : BJ I/ II normal, regular, bising (-), gallop (-) Pulmo : SD vesikuler (+/+), ST : Rhonki basah halus (-/-) Abdomen: - Inspeksi : Abdomen datar. - Auskultasi : Bising usus (+) normal. - Palpasi : Hepar dan lien tidak teraba, nyeri tekan (-). - Perkusi : Timpani, pekak sisi (+) N, pekak alih (-) Punggung: Dalam batas normal, tidak tampak kelainan.. Ekstremitas: Pitting edema pretibial -/-. Akral dingin -/-
3. Assesment (penalaran klinis)
Penegakan diagnosis gangguan somatisasi dapat dilakukan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik. Dari anamnesis ditemukan gejala klinis adalah keluhan kaku-kaku nyeri di beberapa tempat hampir seluruh tubuh terutama ekstremitas , nyeri ulu hati, dan sulit tidur. Dari hasil pemeriksaan fisik medis hanya ditemukan nyeri tekan pada regio epigastrium selebihnya tidak menunjukkan adanya kelainan. Pemeriksaan fisik psikiatri tidak menunjukkan adanya kelainan. 5. Terapi yang diberikan pada pasien yaitu terapi farmakologi, terapi keluarga, terapi suportif, dan terapi okupasi. Terapi farmakologi yang diberikan berupa obat anti ansietas berupa alprazolam 0,5 mg 1x sehari tiap malam. Pasien juga diberikan obat H2 bloker untuk gastritisnya yaitu omeprazole 1x 20 mg. 6. Terapi keluarga diberikan dengan mengedukasi keluarga pasien tentang penyakit pasien dan meminta keluarga pasien untuk memberi dukungan, perhatian dan semangat kepada pasien. 7. Terapi okupasi diberikan setelah pasien dapat mengendalikan dan menghilangkan semua gejala penyakit tersebut. Pasien dapat diberikan ketrampilan maupun dipersilahkan kembali bekerja di tempanya. Diagnosis : dispepsia fungsional (gangguan nyeri somatoform) 4. Pengobatan: - Terapi suportif : omeprazol 1x20mg, alprazolam 0,5mg malam hari Edukasi : dilakukan kepada pasien langsung dengan menjelaskan tentang kondisi yang sedang dialami pasien, serta memberikan informasi agar keluhan tidak muncul kembali Prognosis : dubia ad bonam. TINJAUAN PUSTAKA Gangguan somatoform adalah suatu gangguan dimana terdapat gejala dan keluhan somatik/fisik yg memberi kesan suatu kondisi medic. Dalam pemeriksaan tidak bisa sepenuhnya diterangkan oleh suatu penyakit medik yg dikenal. Gejala dan keluhannya cukup kuat utk menyebabkan pasien mengalami distres yg berarti dan ggn fungsi sosial dan pekerjaan.Gejala dan keluhan somatik ini cukup serius untuk menyebabkan penderitaan emosional yang bermakna pada pasien. Gangguan somatoform spesifik diklasifikasikan menjadi 5 kategor (1) Gangguan somatisasi, (2) Gangguan konversi, (3) Gangguan hipokondriasis, (4) Gangguan dismorfik tubuh, (5) Gangguan nyeri. Pada kategori gangguan nyeri, individu akan mengalami gejala sakit atau nyeri pada satu tempat atau lebih, yang tidak dapat dijelaskan dengan pemeriksaan medis maupun neurologis. Hubungan ini dianggap memiliki hubungan sebab akibat dengan faktor psikologis. Keluhan yang dirasakan pasien berfluktuasi intensitasnya, dan sangat dipengaruhi oleh keadaan emosi, kognitif, atensi, dan situasi. Penderita gangguan nyeri kemungkinan tidak mampu untuk bekerja dan menjadi bergantung dengan obat pada pereda rasa sakit. Rasa nyeri yang timbul dapat berhubungan dengan konflik atau stress atau dapat pula agar penderita dapat terhindar dari kegiatan yang tidak menyenangkan, dan untuk mendapatkan perhatian dan simpati yang sebelumnya tidak didapat. Kriteria diagnostik untuk gangguan nyeri : - Nyeri pada suatu atau lebih tempat anatomis merupakan pusat gambaran klinis dan cukup parah untuk memerlukan perhatian klinis - Nyeri menyebabkan penderitaan yang bermaknasecara klinis atau gangguan dalam fungsi sosial, pekerjaan, atau fungsi penting lain. - Gejala atau defisit tidak ditimbulkan secara sengaja atau dibuat-buat - Nyeri tidak dapat diterangkan lebih baik oleh gangguan mood, kecemasan, atau gangguan psikotik. Penatalaksanaan pasien dengan gangguan somatoform meliputi 2 hal yaitu Cognitive and behavioral therapy (CBT) dan farmakoterapi. Langkah pertama terapi adalah untuk memberi feedback diagnostik pada pasien. Penjelasan dikategorikan menjadi 3 bagian yaitu rejection, conclusion, dan empowerment. Dengan rejection, dokter menyangkal kenyataan terdapat gejala atau mengimplikasikan bahwa pasien memiliki sumber rasa sakit yang imajiner. Conclusion terjadi dokter secara eksplisit menyetujui penjelasan pasien. Pada akhirnya, empowerment, dokter memberikan penjelasan yang nyata dan rasional untuk gejala somatik. Tujuan pengobatan pada pasien adalah untuk mencegah adopsi dari rasa sakit atau invalidasi (membenarkan pemikiran atau meyakinkan bahwa gejala hanya ada dalam pikirantidak untuk kehisupan nyata. Selain itu, untuk meminimalisir biaya dan komplikasi dengan menghindari tes tes diagnostik, treatment, dan obat-obatan yang tidak perlu. Farmakologi diberikan jika ada indikasi yang jelas, serta menghindari obat-obatan yang bersifat adiksi. A. JENIS-JENIS GANGGUAN SOMATOFORM 1. PAIN DISORDER (GANGGUAN NYERI) Gangguan nyeri yang berlebihan Disebabkan oleh tekanan atau hendaya (impairment) nyata Tidak dapat dibuktikan melalui pemeriksaan patologi organis Kadangkala atau mungkin berhubungan dengan stress, membolehkan individu untuk menghindar, menjaga perhatian atau simpati orang lain. Diagnosis yang tepat sulit karena pengalaman nyeri yang subjektif. Sehingga tidak mudah untuk memutuskan kapan suatu nyeri merupakan nyeri somatoform atau nyeri sungguhan. 2. BODY DISMORPHIC DISORDER Orang yang mengalami gangguan ini terpaku pada kerusakan fisik yang dibayangkan atau dibesar-besarkan dalam hal penampilan mereka. Mereka dapat menghabiskan waktu berjam- jam untuk memeriksakan diri di depan cermin dan mengambil tindakan untuk mencoba memperbaiki sesuatu yang dianggap salah. Tindakan yang dilakukan dapat berupa tindakan ekstrem, seperti menjalani operasi plastik yang tidak dibutuhkan. Seseorang terpreokupasi (terpaku) pada defek/kerusakan yang dibayangkan atau berlebihan dalam hal penampilan Sangat menekan dan sering mengarah untuk tindakan operasi plastik Prevalensi lebih banyak pada perempuan Sulit menentukan kapan persepsi suatu ketidakpuasan menjadi suatu gangguan Dipengaruhi secara dominan oleh faktor sosial budaya 3. HYPOCONDRIASIS DISORDER (GANGGUAN HIPOKONDRIASIS) Ciri utama dari hipokondriasis adalah ketakutan bahwa simtom fisik yang dialami seseorang merupakan akibat dari suatu penyakit serius, seperti jantung atau kanker. Ketakutan tetap ada walaupun sudah diyakinkan secara medis bahwa ketakutan itu tidak berdasar. Gangguan ini muncul pada usia berapapun, namun paling sering pada usia 20 dan 30 tahun. Secara umum, gangguan ini dianggap paling biasa terjadi di antara orang lanjut usia. Individu terpaku pada ketakutan memiliki penyakit serius Bereaksi berlebihan pada sensasi fisik dan abnormalitas minor Mengembangkan keyakinan yang salah (kebanyakan melakukan doctor shopping untuk membuktikan keyakinannya) Menurut DSM IV Ciri Diagnostik Hipokondriasis : 1. Individu terpaku pada ketakutan memiliki penyakit serius. Orang tersebut menginterpretasikan sensasi tubuh atau tanda fisik sebagai bukti dari penyakit fisiknya. 2. Ketakutan terhadap suatu penyakit fisik, atau keyakinan memiliki suatu penyakit fisik, yang tetap ada meski telah diyakinkan secara medis. 3. Keterpakuan tidak pada intensitas khayalan (orang itu mengenali kemungkinan bahwa ketakutan dan keyakinan ini terlalu dibesar-besarkan atau tidak mendasar) dan tidak terbatas pada kekhawatiran akan penampilan. 4. Keterpakuan menyebabkan distress emosional yang signifikan atau mengganggu satu atau lebih area fungsi yang penting, seperti fungsi sosial atau pekerjaan. 5. Gangguan telah bertahan selama 6 bulan atau lebih. 6. Keterpakuan tidak muncul secara eksklusif dalam konteks gangguan mental lainnya. 4. CONVERSION DISORDER (GANGGUAN KONVERSI) Ciri dari gangguan ini adalah adanya perubahan besar dalam fungsi fisik atau hilangnya fungsi fisik. Simtom ini tidak dibuat secara sengaja, namun biasanya muncul dalam kondisi yang penuh dengan tekanan. Gangguan ini dinamakan konversi karena adanya keyakinan dari psikodinamika bahwa gangguan tersebut mencerminkan penyaluran/konversi, dari energi seksual/agresif ke simtom fisik. Merupakan gejala klasik menunjukkan adanya gangguan yang berkaitan dengan kerusakan neurologis, padahal secara fisiologis tidak ada masalah. Gangguan diadopsi secara involunter atau tak sadar Pada sepertiga kasus ditemukan adanya la belle indifference yaitu ketidakpedulian relative terhadap gejala. Kelumpuhan parsial atau total pada tangan atau kaki, gangguan seizures dan koordinasi, sensasi gatal, mati rasa, dll. Pada fungsi penglihatan dapat terjadi buta total, tunnel vision (lapangan penglihatan terbatas) Pada fungsi suara dapat terjadi aphonia (kehilangan suara hanya berbisik) Pada fungsi penciuman dapat terjadi anosmia (kehilangan sense penciuman) False pregnancy, penderita merasa dirinya hamil padahal secara organis tidak terjadi apa-apa Muncul dalam situasi stress, berhubungan dengan psikologis, membolehkan individu untuk menghindar dan mendapat perhatian orang lain. Menurut DSM IV Ciri Diagnostik Gangguan Konversi : 1. Paling tidak terdapat satu simtom/defisit yang melibatkan fungsi motorik/sensoris yang menunjukkan adanya gangguan fisik. 2. Faktor psikologis dinilai berhubungan dengan gangguan tersebut karena onset/kambuhnya simtom fisik terkait dengan munculnya stresor psikososial atau situasi konflik. 3. Orang tersebut tidak sengaja menciptakan simtom atau berpura-pura memiliki dengan tujuan tertentu. 4. Simtom tidak dapat dijelaskan sebagai suatu ritual budaya atau pola respon, juga tidak dapat dijelaskan dengan gangguan fisik apapun melalui landasan pengujian yang tepat. 5. Simtom menyebabkan distres emosional yang berarti, hendaya dalam satu atau lebih area fungsi, seperti fungsi sosial atau pekerjaan, atau cukup untuk menjamin perhatian medis. Simtom tidak terbatas pada keluhan nyeri atau masalah fungsi seksual, juga tidak dapat disebabkan oleh gangguan mental lain. Perlu dibedakan dengan Malingering dan Factitious Disorder Pada malingering, individu berpura-pura menampilkan ketidakmampuan karena niat untuk menghindari tanggung jawab (secara sadar). Dengan demikian dilakukan dengan terarah dan hati-hati agar tidak ketahuan berbohong. Pada factitious disorder, gejala mirip gangguan konversi namun bersifat volunteer (secara sadar), motivasinya cenderung tidak jelas, individu memiliki kebutuhan akan peran sebagai pasien tetapi bukan untuk tujuan kriminil seperti pada malingering. 5. SOMATIZATION DISORDER (GANGGUAN SOMATISASI / BRIQUETS SYNDROME) Gangguan somatisasi memiliki ciri keluhan somatik yang beragam dan berulang. Keluhan yang muncul ini biasanya mencakup sistem organ yang berbeda. Keluhan ini tidak dapat dijelaskan oleh penyebab fisik, karena biasanya muncul dalam konteks gangguan psikologis, seperti kecemasan dan gangguan depresi. Keluhan berulang-ulang secara histrionic Bersifat multiple somatic Tidak ada penyebab fisik yang jelas Sering mengunjungi dokter, menggunakan obat-obatan, perawatan bahkan pembedahan. Keluhan dapat berupa sakit kepala, sakit punggung, sakit perut, kelelahan, nyeri dada, masalah seksual, masalah pencernaan. Prevalensi pada perempuan lebih besar daripada laki-laki. Gangguan ditimbulkan karena intensitas stressor yang besar.