Anda di halaman 1dari 19

Dalam rangka memenuhi kebutuhannya akan energy (ATP), semua hewan

menyelenggarakan berbagai reaksi metabolism. Akan tetapi, reaksi metabolisme


tidak hanya menghasilkan ATP dan zat bermanfaat lainnya, tetapi juga
menghasilkan zat sisa. Semua zat sisa tersebut harus dikeluarkan dari tubuh.
Untuk itu, hewan harus memiliki alat/organ pengeluaran yang berfungsi untuk
membuang berbagai zat sisa metabolism (misalnya sisa metabolism protein), sisa
obat, sisa hormone, dan berbagai zat toksi/ beracun. Sistem pengeluaran juga
berperan penting dalam proses osmoregulasi.

Pada makalah ini disajikan kajian mengenai organ pengeluaran pada berbagai
hewan, baik vertebrata maupun invertebrate. Kajian akan dititikberatkan pada
fungsi oragan pada sistem eksretori. Setelah memepelajari makalah ini, kita
diharapkan dapat memahami struktur berbagai organ pengeluaran pada hewan
vertebrata dan invertebrate, serta cara kerja organ tersebut.

Berbagai Organ Pengeluaran dan Cara Kerjanya

Hewan mempunyai bermacam-macam organ pengeluaran yang dapat


dikelompokkan menjadi dua, yaitu organ eksresi umum dan khusus. Organ
pengeluaran umum antara lain berupa vakuola kontraktil dan sejumlah saluran
tubuler (berbentuk pipa), antara lain organ nefridia, tubulus Malpighi, dan nefron.
Organ pengeluaran khusus tersusun atas berbagai struktur seperti kelenjar garam
(antara lain kelenjar insang dan kelenjar rectal), insang, dan hati vertebrata.

Vakuola kontraktil adalah organ pengeluaran yang terdapat pada protozoa dan
Koelenterata, yang bekerja dengan cara mengatur tekanan osmotic dalam
tubuhnya. Protozoa merupakan contoh yang baik untuk menunjukkan mekanisme
berfungsinya vakuola kontraktil. Suatu hasil penelitian menunujukkan bahwa
semua spesies Protozoa yang hidup di air tawar memiliki vakuola, sedangkan
yang hidup di air laut tidak banyak yang memilikinya.
Vakuola Kontraktil

Vakuola kontraktil merupakan organella berbentuk bulat yang berisi cairan dan
dibatasi oleh membran. vakuola kontraktil dimiliki oleh dua kelompok hewan,
yaitu binatang karang (sponge) dan Protozoa. Semua Protozoa air tawar memiliki
vakuola kontraktil. Apakah Protozoa laut juga memilikinya? Hal ini belum
diketahui dengan pasti, namun sudah dapat dipastikan bahwa sejumlah Cilliata
laut juga memiliki vakuola kontraktil.

Cilliata air tawar memiliki cairan tubuh yang hiperosmotik sehingga tubuhnya
cenderung kemasukan air dalam jumlah besar. Kelebihan air yang masuk ke
tubuhnya itu harus selalu dibuang. Kecepatan pengeluaran air ke lingkungannya
berkorelasi dengan konsentrasi osmotic cairan di lingkungannya. Apabila
konsentrasi osmotic lingkungan sekitarnya menurun (menjadi lebih encer), laju
pemasukan air ke dalam tubuh hewan pun akan meningkat sehingga dia harus
bekerja lebih keras untuk mengeluarkan sejumlah besar air. Untuk melakukan hal
tersebut, membran vakuola akan berfusi dengan membran sel, lalu air di dalamnya
dikeluarkan ke lingkungannya.

Mekanisme masuknya cairan ke dalam vakuola belum diketahui sepenuhnya.


Proses pemasukan air ke vakuola maupun pengosongan vakuola diduga
merupakan proses yang memerlukan ATP. Dugaan tersebut didukung oleh adanya
kenyataan bahwa vakuola kontraktil dikelilingi oleh sejumlah mitokondria
(khususnya pada Amoeba proteus). Kemungkinan, ATP diperlukan untuk
mentranspor ion melewati membran vakuola agar konsentrasi ion berubah. Hal
inilah yang diduga menyebabkan terjadinya pergerakan air secara osmotic.

Protonefridia

Protonefridia merupakan organ pengeluaran yang berbentuk tubulus/pipa tertutup,


tidak berhubungan dengan rongga tubuh hewan, dan ditemukan pada hewan yang
lebih tinggi dari Koelenterata. Sel penyusun bagian tubulus yang tertutup
dilengkapi dengan silia. Apabila jumlah silia yang dimilikinya hanya satu
(tunggal), sel tersebut disebut solenosit. Akan tetapi, apabila memiliki beberapa
silia, sel tersebut disebut sel api (flame cell).

Cara kerja protonefridia secara tepat belum diketahui dengan jelas. Akan tetapi,
ada dugaan bahwa protonefridia bekerja menggunakan prinsip tekanan negative.
Pada saat silia yang terdapat dalam tubulus tertutup bergetar, pada bagian tersebut
akan timbul tekanan negative. Hal ini menyebabkan cairan tersedot ke dalam
ujung tubulus yang buntu, dengan melintasi membran pada ujung tubulus. Hal ini
juga merupakan cara untuk menyaring cairan yang melewati membran tubulus
tersebut. Proses yang disebut ultrafiltrasi ini adalah satu-satunya mekanisme dasar
dalam semua organ pengeluaran. Dalam proses tersebut, hanya molekul kecil saja
yang tersaring dan masuk protonefridia, sedangkan molekul besar tetap
dipertahankan di dalam cairan tubuh. Akhirnya, dalam saluran protonefridia akan
terbentuk urin, yang mempunyai konsentrasi osmotic lebih rendah daripada
cairan tubuh.

Metanefridia

Metanefridia ata kadang-kadang disebut dengan nefridia saja adalah organ


pengeluaran pada beberapa cacing Annelida. Metanefridia merupakan organ
pengeluaran yang mempunyai lubang bersilia dan saluran dengan ujung berpori
(berlubang) yang terbuka ke arah rongga tubuh (disebut nefridiostom). Saluran ini
berhubungan dengan lingkungan luar tubuh melalui nefridiotor. Seperti halnya
organ pengeluaran lainnya, metanefridia melakukan ultrafiltrasi, juga absorpsi,
dan sekresi pada metanefridia akan menghasilkan urin encer, yang bersifat
hipoosmotik

Tubulus Malpighi adalah organ pengeluaran pada serangga. Organ ini berupa
saluran/pipa yang salah satu ujungnya buntu, sedangkan ujung lainnya membuka
ke arah usus, terletak di antara usus tengah dan rectum. Tubulus Malpighi tersebar
di rongga tubuh yang penuh cairan (disebut hemosol), yang jumlahnya sangat
bervariasi dari beberapa hingga ratusan.
Oleh karena insekta mempunyai sistem sirkulasi terbuka, sistem tersebut bekerja
dengan tekanan rendah sehingga tidak tersedia kekuatan yang cukup untuk
mendorong terjadinya ultrafiltrasi cairan tubuh. Oleh karena itu, Tubulus
Malpighi bekerja dengan cara yang sedikit berbeda dari organ pengeluaran yang
lain. Selama proses pembentukan uri, mula-mula ion K+ akan disekresikan ke
tubulus Malpighi. Hal tersebut menyebabkan penarikan air dan ion Cl- ke dalam
tubulus sehingga terbentik urin awal. Selama berada dalam tubulus, urin awal
tersebut akan domodifikasi dengan cara mereabsorpsi sejumlah besar air sehingga
dihasilkan urin yang pekat.

Kelenjar Hijau pada Krustasea

Kelenjar hijau atau kelenjar antenna adalah organ pengeluaran yang dimiliki
krustasea, yang terletak di daerah kepala. Kelenjar jijau memiliki suatu kantong
berujung buntu, yang disebut the end sac (pundi-pundi). Pundi-pundi tersebut
berhubungan dengan saluran nefridia dan berakhir pada kandung kemih. Pundi-
pundi terendam diantara cairan selomik, yang nantinya akan disaring untuk
membentuk urin awal.

Sama seperti urin awal pada hewan lainnya, urin awal Krustasea masih memiliki
komposisi yang serupa dengan cairan tubuh, namun tidak mengandung senyawa
bermolekul besar. Selama mengalir di sepanjang saluran nefridia, air dan berbagai
macam zat direabsorpsi, hingga akhirnya terbentuk urin yang akan ditampung
dalam kandung kemih. Kandung kemih berhubungan dengan lingkungan sekitar
melalui lubang pengeluaran yang terletak di dekat dasar antenna.

Nefron pada Vertebrata

Nefron adalah organ fungsional terkecil penyusun ginjal yang merupakan organ
pengeluaran utama pada vertebrata. Pengeluaran pada vertebrata juga dapat terjadi
melalui saluran pernapasan dan kulit. Pada ginjal vertebrata dapat ditunjukkan
beberapa bagian ginjal, yaitu korteks, medulla, pelvis ginjal, papilla ginjal, dan
ureter. Ginjal tersusun atas sejumlah besar nefron. Tiap unit nefron memiliki
badan Malpighi atau korpuskulus ginjal, glomelurus, tubulus proksimal, lengkung
henle, tubulus diesnatalis, dan tubulus pengumpul.

Ginjal vertebrata membentuk urin melalui proses filtrasi, reabsorpsi, dan sekresi.
Sama seperti proses pembentunakan urin pada hewan lain, cairan pada tubulus
proksimal masih sama seperti plasma yang dihilangkan proteinnya. Pada tubulus
proksimal berlangsung reabsorpsi berbagai zat yang masih berguna bagu tubuh
dan sekresi urea ke urin. Reabsorpsi dan sekresi tersebut akan berlangsung terus
hingga terbentuk urin yang lebih pekat. Proses pemekatan filtrate dalam nefron (di
tubulus ginjal) hingga akhirnya terbentuk urin. Pada mamalia, reabsorpsi air pada
tubulus ginjal dipengaruhi oleh hormone ADH. ADH dapat meningkatkan
peremeabilitas membran sel pada tubulus ginjal sehingga jumlah air yang
direabsorpsi meningkat. Apabila jumlah ADH cukup banyak, volume urin yang
dihasilkan akan semakin berkuarang.

Pengeluaran Senyawa Bernitrogen

Makanan yang dimakan hewan pada umumnya mengandung karbohidrat, lemak,


dan protein, serta sejumlah kecil asam nukleat, metabolism, karbohidrat dan
lemak akan menghasilkan zat sisa berupa karbondioksida dan air. Kedua jenis zat
sisa tersebut dapat dikeluarkan dengan mudah melalui organ pernapasan dan
organ pengeluaran, sehingga tidak menimbulkan masalah bagi tubuh.

Hal yang menimbulkan masalah adalah metabolism senyawa bernitrogen


(terutama protein) dan asam nukleat. Di dalam tubuh, protein dihidrolisis menjadi
asam amino. Sementara, hewan tidak dapat menyimpan kelebihan asam amino
sehingga zat tersebut harus dikeluarkan dari tubuh atau mengalami metabolism
lebih lanjut. Selama proses metabolism, asam amino diubah menjadi senyawa lain
yang dapat diproses lebih lanjut menjadi glukosa.

Metabolism asam amino disebut deaminasi. Proses ini menghasilkan zat sisa
berupa ammonia. Reaksi deaminasi dapat terjadi secara langsung atau melalui
reaksi transdeaminasi. Dalam reaksi transdeaminasi, mula-mula asam amino
diubah menjadi senyawa lain yang dapat dideaminasi lebih lanjut untuk
menghasilkan ammonia. Proses tersebut terjadi menurut reaksi berikut.

Asam nukleat (purin dan pirimidin) akan diuraikan dengan cara yang sama dan
menghasilkan ammonia. Apabila zat tersebut tidak dikeluarkan, tubuh hewan akan
penuh dengan ammonia, suatu senyawa yang sangat toksik. Oleh karena itu,
hewan harus berusaha untuk mengeluarkan ammonia dari dalam tubuhnya.
Pengeluaran ammonia dapat dilakukan dengan salah satu dari tiga pilihan cara
berikut, yaitu (1) mengeluarkan tanpa mengubahnya, (2) mengubahnya terlebih
dahulu menjadi urea dan kemudian mengeluarkannya, atau (3) mengubahnya
terlebih dahulu menjadi asam urat lalu mengeluarkannya.

Pengeluaran Nitrogen dalam Bentuk Amonia

Hewan yang mengeluarkan nitrogen dalam bentuk ammonia dinamakan hewan


amonotelik, misalnya ikan teleostei, siklostoma, dan kebanyakan invertebrate
akuatik. Di dalam tubuh hewan, ammonia dapat menimbulkan berbagai gangguan,
antara lain mengubah Ph intrasel yang selanjutnya akan mempengaruhi
metabolism intrasel dengan mengubah fungsi enzim dan protein. Ammonia dapat
mengubah fungsi mitokondria dan bersifat sangat toksik. Namun, ammonia sangat
mudah larut dalam air. Reaksi antara ammonia dan air dilukiskan sebagai berikut.

NH3 + H2O -> NH4+ + OH-

Pengeluaran nitrogen dalam bentuk amonia hanya dilakukan oleh hewan akuatik
(amonotelik). Bagi hewan akuatik, pembentukan ammonia di dalam tubuh tidak
menimbulkan masalah karena ammonia sangat mudah larut dalam air dan mudah
menembus membran sel sehingga akan segera keluar dari tubuh. Apalagi, di luar
tubuh tersedia air dalam jumlah yang snagat banyak, yang akan segera melarutkan
dan menetralkan sifat toksik ammonia. Pada teleostei, sebagian besar ammonia
dikeluarkan dari dalam tubuh melalui insang. Ikan karper dan ikan mas
melakukannya melalui insang dan ginjal. Dalam hal ini, pengeluaran ammonia
melaui insang mencapai 6-10 kali lebih besar daripada pengeluaran melaui ginjal.
Oleh karena itu, ammonia yang terbentuk dalam jumlah besar dengan sifat toksik
yang tinggi, tidak menjadi masalah bagi hewan akuatik, terutama sekali yang
hidup di perairan yang luas.

Pengeluaran Nitrogen Dalam Bentuk Urea

Urea adalah senyawa yang mudah larut dalam air, memiliki toksisitas lebih rendah
daripada ammonia, dan merupakan hasil sisa bernitrogen yang utama pada hewan
teretrial. Jadi, dibandingkan dengan ammonia, urea memiliki toksisitas dan tingkat
kelarutan dalam air yang lebih kecil.

Hewan yang menghasilkan dan mengeluarkan urea disebut ureotelik. Urea


disintesis melalui siklus urea. Pembentukan urea dapat terjadi pada hewan
vertebrta maupun hewan invertebrate.

Setelah terbentuk di dalam tubuh, urea mengalami nasib yang bervariasi,


tergantung pada jenis hewan. Pada hiu dan ikan pari, urea yang dihasilkan tidak
dikeluarkan dari dalam tubuh, melainkan direabsorpsi dan masuk kembali ke
sistem sirkulasi. Ternyata, hal ini juga penting untuk menjaga keseimbangan nilai
osmonal total dalam darah, dan sekaligus sangat penting bagi osmoregulasi. Oleh
karena itu, pada kedua hewan tersebut, urea tidak dapat disebut zat sisa,
melainkan senyawa yang sangat penting bagi hewan. Tanpa urea, ikan hiu dan
ikan pari tidak dapat bertahan hidup. Katak pemakan kepiting juga menggunakan
urea untuk keperluan osmoregulasi. Katak jenis ini memiliki tubulus ginjal yang
sangat permeable terhadap urea sehingga urea pada cairan tubulus ginjal akan
berdifusi masuk kembali ke dalam darah.

Pengeluaran Nitrogen dalam Bentuk Asam Urat

Cara ketiga untuk mengeluarkan zat sisa bernitrogen adalah mengeluarkannya


dalam bentuk asam urat. Hewan yang mengeluarkan asam urat dinamakan hewan
urikotelik. Contoh hewan urikotelik misalnya insekta, burung, reptilia, dan siput
darat. Hewan-hewan tersebut merupakan hewan khas darat, dan pembentukan
asam urat dianggap sebgai kunci keberhasilan adaptasi untuk hidup di darat.
Mengapa ada anggapan demikian? Untuk memperoleh gambaran yang lebih jelas,
ikutilah uraian berikut.

Asam urat sangat sulit larut dalam air. Kelarutan asam urat hanya 6 mg per liter
air. Apabila air direabsorpsi dari cairan yang mengandung asam urat, misalnya
cairan dalam saluran pengeluaran atau tubulus ginjal, sejumlah garam dan asam
urat akan tersisa sebagai endapan. Hal ini dapat diamati pada burung, yang
meneteskan cairan pekat (kental) berwarna putih, yang ternyata kandungan
utamanya ialah asam urat. Oleh karena itu, mengeluarkan nitrogen dalam bentuk
asam urat hanya memerlukan air dalam jumlah yang sangat sedikit. Dengan
demikian, hewan urikotelik yang hidup di darat dengan tingkat ketersediaan air
yang sangat rendah tidak perlu menggunakan air terlalu banyak untuk
mengeluarkan zat sisa bernitrogen, sperti yang dibutuhkan hewan amonotelik dan
ureotelik.

Sistem Eksresi

Pertama, selama filtrasi, darah dan cairan tubuh lain, bergantung pada jenis sistem
eksresi, terpapar ke suatu perkakas penyaringan yang terbuat dari membran
epitellium transport yang selektif semipermeabel. Membran itu menahan protein
dan molekul besar lainnya dalam cairan tubuh; tekanan hidrostatik (tekanan darah
pada banyak hewan) memaksa air dan zat terlarut kecil, seperti garam, gula, asam
amino, dan limbah bernitrogen, melewati perkakas itu dan masuk ke dalam sistem
eksresi. Larutan cair dalam sistem eksresi itu disebut sebagai filtrate.

Sistem eksresi menghasilkan urin dari filtrate melalui dua mekanisme, dan
keduanya melibatkan transport aktif. Transpor selektif air dan zat-zat terlarut
penting, seperti glukosa, garam, dan asam amino, dari filtrate dan kembali ke
dalam cairan tubuh disebut sebagai reabsorpsi. Karena filtrasi bersifat nonselektif
sangatlah penting bahwa molekul kecil yang essensial bagi tubuh akan
dikembalikan ke cairan tubuh. Dalam sekresi, zat-zat terlarut (misalnya, kelebihan
garam, dan toksin) dikeluarkan dari cairan tubuh hewan dan ditambahkan ke
dalam filtrate.

Protonefridia: Sistem Bola-Api (Flame-Bulb System)

Cacing pipih (Filum Platyhelminthes) mempunyai sistem eksresi tubuler yang


disebut sebagai protonefridia. Protonefridium adalah suatu jaringan kerja tubula
tertutup yang tidak mempunyai pembukaan internal. Tubula itu bercabang di
seluruh tubuh, dan cabang paling kecil ditudungi oleh unit seluler yang disebut
sebagai sebuah bola api (flame bulb). Bola-api itu mempunyai berkas silia atau
rambut getar yang menjulur ke dalam tubula. Pergerakan rambut getar itu
memberikan gaya yang akan menarik air dan zat terlarut dari cairan interstisial
melalui bola-api dan masuk ke dalam sistem tubula. Rambut getar atau silia yang
berdenyut itu juga mendorong cairan di sepanjang tubula itu, dan menjauhi bola-
api. Urin dari sistem tubula tersebut mengalir ke lingkungan eksternal melalui
lubang yang disebut sebagai nefridiopori. Cairan yang dieksresikan itu sangat
encer dalam kasus cacing pipih air tawar, yang membantu menyeimbangakan
pengambilan air secara osmotic dari lingkungannya. Ternyata tubula itu menyerap
kembali sebagian besar zat terlarut dari cairan itu sebelum cairan itu keluar
meninggalkan.

Sistem bola-api cacing pipih air tawar tampaknya terutama berfungsi dalam
osmoregulasi; sebagian besar limbah metabolism berdifusi keluar dari permukaan
tubuh atau dieksresikan ke dalam rongga gastrovaskuler dan dikeluarkan melalui
mulut. Akan tetapi, pada beberapa cacing pipih parasit yang isoosmotik dengan
cairan di sekitar organisme inangnya, fungsi utama protonefridia adalah dalam
eksresi, dan membuang limbah bernitrogen. Perbedaan dalam fungsi ini
menggambarkan bagaimana struktur yang sama bagi suatu kelompok organisme
dapat diadaptasikan dalam berbagai cara yang beragammelalui evolusi dalam
lingkungan yang berbeda-beda. Protonefridia juga ditemukan pada rotifer,
beberapa cacing annelida, larva, moluska, dan lancelet, yang merupakan hewan
kordata invertebrate.
Metanefridia

Jenis lain sistem eksresi tubuler, yaitu metanefridium (jamak metanefridia),


mempunyai lubang internal yang mengumpulkan cairan tubuh. Metanefridia
ditemukan pada sebgaian besar cacing annelid, termasuk cacing tanah. Masing-
masing segmen seekor cacing mempunyai sepasang metanefridia yang merupakan
tubula yang terendam dalam cairan selomik dan terbungkus oleh suatu jaringan
kerja kapiler. Lubang pembukaan metanefridium dikelilingi oleh corong bersilia,
atau nefrostom, yang mengumpulkan cairan dari selom (coelom).

Metanefridia seekor cacing tanah mempunyai fungsi pengaturan eksresi dan


osmoregulasi. Ketika cairan bergerak di sepanjang tubula, epithelium transport
yang membatasi lumen menyerap kembali sebagian besar zat terlarut dari tubula,
dan zat terlarut tersebut masuk kembali ke darah yang beredar dalam kapiler.
Limbah bernitrogen tetap berada dalam tubula itu. Cacing tanah menempati tanah
lembab dan umumnya mengambil air secara keseluruhan melalui osmosis.
Metanefridianya menyeimbangkan aliran masuk air dengan cara menghasilkan
urin encer (yang hipoosmotik dengan cairan tubuh cacing itu). Urin yang keluar
melalui nefridiopori sebagian besar terdiri dari air dan limbah bernitrogen yang
larut.

Dari Filtrat Darah Menjadi Urin

1. Tubula Proksimal. Sekresi dan reabsorpsi oleh epitellium transport tubula


proksimal secara signifikan mengubah volume dan komposisi filtrate.
Sebagai contoh, sel-sel epitellium transport tersebut membantu
mempertahankan Ph cairan tubuh yang konstan dengan cara mengontrol
sekresi ion hydrogen. Sel-sel itu juga mensintesis dan mensekresi
ammonia, yang menetralkan asam dan mempertahankan filtrate itu
sehingga tidak menjadi terlalu asam. Semakin asam filtrate itu, maka
semakin banyak ammonia yang dihasilkan dan disekresikan oleh sel
tersebut, dan urin mamalia umumnya mengandung banyak ammonia yang
berasal dari sumber ini. Sel-sel tubula proksimal juga menyerap kembali
sekitar 90% penyangga (buffer) bikarbonat penting (HCO3-) dari filtrate
tersebut. Obat-obatan dan racun lain yang telah diproses dalam hati juga
disekresikan ke dalam filtrate oleh epitellium tubula proksimal. Zat-zat itu
lewat dari kapiler peritubuler ke dalam cairan interstisial, dan kemudian
menembus epitellium tubula ke dalam lumen. Sebaliknya, nutrient-nutrien,
termasuk glukosa dan asam amino, ditranspor secara aktif dari filtrate ke
cairan interstisial, dan kemudian ke dalam darah di dalam kapiler
peritubuler. Tanpa reabsorpsi ini, nutrien-nutrien ini akan hilang bersama
urin. Kalium (K+) juga diserap kembali. Salah satu fungsi tubula yang
penting adalah reabsorpsi NaCl (garam) dan air. Garam dalam filtrate itu
berdifusi ke dalam sel epitellium transport, dan membran sel-sel itu secara
aktif mentranspor Na+ keluar dari sel dan ke dalam cairan interstisial.
Transfer muatan positif ini ini diseimbangkan oleh transport pasif Cl-
keluar dari tubula. Ketika garam bergerak keluar dari filtrate ke cairan
interstisial, air akan mengikuti secara pasif melalui osmosis. Sisi
epithelium yang menghadap bagian eksterior tubula itu mempunyai luas
permukaan yang jauh lebih kecil dibandingkan dengan sisi yang
menghadap ke lumen, yang meminimalkan kebocoran garam dan air
kembali ke dalam tubula. Alih-alih garam dan air itu sekarang berdifusi
dari cairan innterstisial ke dalam kapiler peritubuler.
2. Saluran menurun pada lengkung Henle. Reabsorpsi ini air terus
berlangsung selama filtrate itu bergerak di sepanjang tubula saluran
menurun lengkung Henle. Disini epithelium transport sangat permeable
terhadap air tetapi sangat tidak permeable terhadap garam dan zat terlarut
kecil lainnya. Supaya air dapat bergerak keluar dari tubula itu melalui
osmosis, cairan interstisial yang menggenagi tubula itu harus berada dalam
keadaan hiperosmotik dibandingkan dengan filtrate itu. Osmolaritas cairan
interstsial pada kenyataannya meningkat secara perlahan-lahan, menjadi
semakin besar dari arah korteks bagian luar ke medulla bagian dalam
ginjal itu. Dengan demikian, filtrate yang bergerak turun dari korteks ke
medulla di dalam saluran lengkung Henle yang menurun itu terus
kehilangan air ke dalam interstisial yang osmolaritasnya semakin besar
dan semakin besar lagi. Pada saat yang bersamaan, konsentrasi NaCl
filtrate itu meningkat ketika air keluar dengan cara osmosis.
3. Saluran menaik pada lengkung Henle. Filtrate mencapai ujung lengkung
yang terletak jauh di dalam medulla renal pada nefron jukstamedulari,
kemudian bergerak ke korteks sekali lagi di dalam saluran menaik
lengkungan Henle. Berlawanan dengan saluran menurun itu, epithelium
transport pada saluran yang menaik bersifat permeable terhadap garam
tetapi tidak permeable terhadap air. Saluran yang menaik sebenarnya
mempunyai dua daerah khusus: segemen tipis yang dekat dengan ujung
lengkung itu dan segmen tebal yang menuju ke tubula distal. Ketika
filtrate naik pada segmen tipi situ, NaCl yang semakin dipekatkan pada
saluran yang menaik itu, berdifusi keluar dari tubula itu ke dalam cairan
interstisial. Kehilangan garam ini turut menyebabkan osmolaritas yang
tinggi dari cairan interstisial dalam medulla. Eksodus garam dari filtrate
terus berlangsung dalam segemen tebal saluran yang menaik itu, tetapi
disini epitellium transport secara aktif mengangkut NaCl ke dalam cairan
interstisial. Dengan adanya kehilangan garam tanpa terjadi kehilangan air,
filtrate tersebut secara progresif menjadi lebih encer seiring pergerakan
filtrate naik ke korteks sekali lagi dalam saluran menaik lengkungan
Henle.
4. Tubula Distal. Tubula distal adalah tempat penting lain untuk sekresi dan
reabsorpsi. Sebagai contoh, tubula distal memainkan peranan kunci dalam
pengaturan konsentrasi K+ dan NaCl cairan tubuh dengan cara
memvariasikan jumlah K+ yang disekresikan ke dalam filtrate dan jumlah
NaCl yang diserap kembali dari filtrate tersebut. Seperti tubula proksimal,
tubula distal juga mempengaruhi pengaturan Ph, melalui sekresi terkontrol
H+ dan melalui penyerapan kembali ion bikarbonat (HCO3-).
5. Duktus Pengumpul. Duktus pengumpul membawa filtrate kembali menuju
medulla dan pelvis renal. Epithelium transport duktus pengumpul ini
memainkan peranan besar dalam menentukan berapa banyak garam yang
sesungguhnya dieksresikan dalam urin dengan cara menyerap kembali
NaCl secara aktif. Epitellium tersebut permeable terhadap air akan tetapi
tidak terhadap garam. Dengan demikian, ketika duktus pengumpul itu
menembus gradient osmolaritas itu dalam cairan interstisial, filtrate akan
kehilangan lebih banyak air melalui osmosis ke cairan hiperosmotik di luar
saluran. Hilangnya air itu akan memekatkan urea dalam filtrate, tetapi
tidak semua urea ini dengan serta merta dilewatkan ke pelvis renal dalam
urin. Pada bagian dasar duktus pengumpul itu, yaitu pada bagian dalam
medulla, epithelium saluran itu permeable terhadap urea. Karena
konsentrasi urea yang tinggi dalam filtrate pada titik ini, maka sebagian
dari urea itu berdifusi keluar dari saluran itu dan masuk ke dalam cairan
interstisial, yang menggenangi bagian nefron di bagian medulla. Urea
interstisial ini merupakan zat terlarut utama yang berkonstribusi, bersama-
sama dengan NaCl, kepada osmolaritas cairan interstisial yang tinggi di
medulla. Osmolaritas cairan interstisial yang tinggi inilah yang
memampukan ginjal menghemat air dengan cara mensekresikan urin yang
hiperosmotik dibandingkan dengan cairan tubuh pada umumya.

Kemampuan Ginjal Mamalia Untuk Menghemat Air Merupakan Suatu


Adaptasi Terestrial yang Utama.

Osmolaritas darah manusia adalah sekitar 300 mosm/L, tetapi ginjal dapat
mensekresikan urin sampai kepekatan empat kali lipat, yaitu sekitar 1200
mosm/L. kerja kooperatif lengkung Henle dan duktus pengumpul
mempertahankan gradient osmolaritas dalam jaringan interstisial ginjal yang
memungkinkan pemekatan urin. Kedua zat terlarut yang bertanggung jawab
atas gradient osmolaritas ini adalah NaCl, yang dideposit di dalam medulla
renal oleh lengkung Henle, dan urea, yang bocor menenmbus epithelium
duktus pengumpul itu ke bagian dalam medulla.
Pengehematan Air Melalui Dua Gradien Zat Terlarut.
Untuk dapat lebih baik memahami fisiologi ginjal mamalia sebagai sebuah
organ penghematan (konservasi) air, mari kita melacak aliran filtrate melalui
tubula eksresi, yang pada saat ini memfokuskan pada bagaimana nefron
jukstamedulari mempertahankan gradient osmolaritas dalam ginjal dan
menggunakan gradient tersebut untuk mensekresikan urin yang hiperosmotik.
Filtran yang lewat dari kapsula Bowman ke tubula proksimal mempunyai nilai
osmolaritas sekitar 300 mosm/L, sama seperti darah. Ketika filtrate itu
mengalir melalui tubula proksimal, yang terletak dalam korteks renal,
sejumlah besar air dan garam diserap kembali; dengan demikian, volume
filtrate menurun secara signifikan pada tahap ini, tetapi nilai osmolaritas kira-
kira masih sama.
Ketika filtrate mengalir dari korteks ke medulla dalam saluran menurun
lengkung Henle, air meninggalkan tubula melalui osmosis, dan osmolaritas
filtrate itu meningkat ketika zat terlarut, termasuk NaCl, menjadi semakin
pekat. Meningkat secara perlahan-lahan dari korteks ke medulla, konsentrasi
garam filtrate tersebut memuncak pada siku lengkung Henle tersebut. Hal
tersebut memaksimalkan difusi garam keluar dari tubula ketika filtrate itu
mengitari lengkungan dan memasuki saluran menaik, yang permeable
terhadap garam tetapi tidak terhadap air. Dengan demikian, kedua saluran
lengkung Henle itu bekerja sama untuk mempertahankan gradient osmolaritas
dalam cairan interstisial ginjal. Saluran yang menurun itu menghasilkan
filtrate yang menghasilkan filtrate yang semakin lama semakin tinggi kadar
garamnya, dan saluran yang menaik memanfaatkan konsentrasi NaCl ini untuk
membantu mempertahankan osmolaritas yang tinggi dalam cairan interstisial
medulla adrenal.
Lengkung Henle tersebut mempunyai beberapa kualitas sistem lawan-arus,
yang prinsipnya mirip dengan mekanisme lawan-arus yang memaksimalkan
pengambilan oksigen oleh insang ikan. Meskipun kedua saluran lengkung
Henle itu tidak berada dalam kontak fisik langsung, keduanya berjarak cukup
dekat satu sama lain sehingga dapat mempengaruhi pertukaran kimiawi
masing-masing dengan cairan interstisial yang sama. Lengkung Henle dapat
memekatkan garam dalam medulla bagian dalam hanya karena lalu lintas
dalam saluran yang menurun itu menghadapi gradient osmolaritas yang
dihasilkan oleh saluran yang menaik dalam cairan interstisial.
Apa yang mencegah kapiler medulla renal sehingga tidak kehilangan gradient
osmolaritas dengan cara membawa NaCl yang keluar dari saluran yang
menaik ke dalam cairan interstisial? Vasa rekta juga merupakan suatu sistem
lawan-arus, dengan pembuluh yang menaik dan menurun yang membawa
darah dengan arah yang berlawanan melalui gradient osmolaritas ginjal.
Ketika pembuluh yang menurun mengirimkan darah menuju ke medulla
bagian dalam, air hilang dari darah dan NaCl berdifusi ke dalam darah. Aliran
ini hanya dibalik seiring dengan aliran darah yang kembali menuju ke korteks
pada pembuluh yang menaik, dengan air yang masuk kembali ke darah dan
garam yang berdifusi keluar dari darah. Dengan demikian, vasa rakta dapat
meyediakan nutrient dan zat-zat penting lainnya yang dibawa oleh darah tanpa
menghalangi gradient osmolaritas yang memungkinkan ginjal mengeksresikan
urin yang hiperosmotik.
Ketika filtran itu mencapai tubula distal, cairan itu sama sekali tidak
hiperosmotik dibandingkan dengan cairan tubuh, melainkan hipoosmotik. Hal
ini terjadi karena segmen tebal saluran yang menaik lengkung Henle itu secara
aktif memompa NaCl keluar dari tubula, yang membuat filtrate itu menjadi
semakin encer. Sekarang filtrate itu turun sekali lagi menuju medulla, kali ini
dalam duktus pengumpul, yang permeable terhadap air tetapi tidak permeable
terhadap garam. Mengalir dari korteks ke medulla, filtrate itu kehilangan air
melalui osmosis ketika menghadapi cairan interstisial dengan osmolaritas
yang semakin meningkat. Dengan demikian, urea mengalami pemekatan
dalam filtrate itu. Sebagian di antaranya, bocor dari daerah yang lebih rendah
pada duktus pengumpul itu, sehingga turut berkontribusi terhadap osmolaritas
interstisial yang tinggi pada bagian dalam medulla. (Urea ini didaur ulang
melalui difusinya ke dalam lengkung Henle, tetapi kebocoran urea secara
terus-menerus dari duktus pengumpul itu mempertahankan konsentrasi zat
terlarut tersebut agar tetap tinggi dalam cairan interstisia). Urea yang masih
tetap berada dalam duktus pengumpul dieksresikan, dengan air yang hilang
dalam jumlah minimum, dari tubuh karena osmosis menyebabkan filtrate
dalam duktus pengumpul menyamai osmolaritas cairan interstisial, yang dapat
mencapai 1200 mosm/L pada bagian dalam medulla. Perhatikan bahwa urin,
pada kepekatan yang paling tinggi pun, sebenarnya isoosmotik dibandingkan
dengan cairan interstisial bagian dalam medulla; akan tetapi, urin tersebut
hiperosmotik dibandingkan dengan darah dan cairan interstisial dimana pun
dalam tubuh. Nefron, jukstamedulari, dengan cirri pemekatan urinnya itu,
merupakan adaptasi yang utama bagi kehidupan terrestrial, yang membuat
mamalia mampu membuang limbah bernitrogen tanpa membuang air secara
percuma.
Sistem Saraf dan Perputaran Umpan-Balik Hormonal Mengatur Fungsi Ginjal
Meskipun ginjal dapat mengeksresikan urin yang hiperosmotik, namun tidak
selalu menguntungkan bagi ginjal untuk melakukan hal itu. Sebagai contoh,
jika anda mengkonsumsi cairan dalam jumlah berlebihan, ginjal sebenarnya
dapat mengekskresikan sejumlah besar urin hipoosmoti (seencer 70 mosm/L,
dibanding dengan sekitar 300 mosm.L darah manusia). Hal tersebut
memungkinkan ginjal membuang sejumlah besar air tanpa kehilangan garam-
garam yang penting. Ginjal adalah organ osmoregulasi yang serba bisa,
dimana penyerapan kembali air dan garam tunduk pada suatu kombinasi
sistem saraf dan control hormonal.

Salah satu hormone penting dalam osmoregulasi adalah hormone antidiuretik


(antidiuretic hormone, ADH). Hormone tersebut dihasilkan dalam bagian otak
yang disebut hipotalamus. ADH disimpan dan dibebaskan dari kelenjar
pituitary, yang berada persis di bawah hipotalamus. Sel-sel osmoreseptor
dalam hipotalamus memonitor osmolaritas darah, dan merangsang
pembebasan tambahan ADH ketika osmolaritas darah meningkat di atas titik
pasang sebesar 300 mosm/L.
Hilangnya air secara berlebihan akibat berkeringat atau diare merupakan
contoh-contoh krisis yang dapat menyebabkan peningkatan osmolaritas darah.
Lebih banyak ADH kemudian dibebaskan ke dalam aliran darah dan mencapai
ginjal. Target utama ADH adalah tubula distal dan duktus pengumpul ginjal,
dimana hormone itu akan meningkatkan permeabilitas eptellium terhadap air.
Hal tersebut akan memperbesar reabsorpsi air, yang membantu mencegah
penyimpangan lebih lanjut osmolaritas darah dari titik itu. Melalui umpan
balik negative, osmolaritas darah yang semakin menurun tersebut mengurangi
aktivitas sel-sel osmoreseptor dalam hipotalamus, sehingga lebih sedikit ADH
yang disekresikan. Hanya tambahan asupan air dalam makanan dan minuman
yang dapat membuat osmolaritas keseluruhannya turun kembali menjadi 300
mosm/L. Ketika sangat sedikit ADH yang dibebaskan, seperti yang terjadi
setelah sejumlah besar volume air menurunkan osmolaritas darah, ginjal akan
menyerap sedikit air, yang mengakibatkan peningkatan pengeluaran urin
encer. (Peningkatan urinasi/pengeluaran urin disebut diuresis, dank karena
ADH melawan keadaan ini, maka hormone itu disebut hormone antidiuretic).
Alcohol dapat mengganggu keseimbangan air dengan cara menghambat
pembebasan ADH, yang menyebabkan hilangnya air secara berlebihan dalam
urin dan menyebabkan tubuh mengalami dehidrasi. Beberapa diantara gejala
hangover (perasaan sakit setelah minum alcohol) mungkin disebabkan oleh
dehidrasi ini. Akan tetapi, secara normal osmolaritas darah, pembebasan
ADH, dan reabsorpsi air dalam ginjal semuanya dihubungkan dalam suatu
perputaran umpan-balik yang turut mempertahankan homeostasis.

Mekanisme kedua yang mengatur fungsi ginjal melibatkan jaringan khusus


yang disebut sebagai apparatus jukstaglomelurus yang terletak di sekitar
arteriola aferen, dan menghasilkan darah ke glomelurus. Ketika tekanan darah
atau volume darah dalam arteriola aferen turun (kadang-kadang sebagai akibat
dari penurunan asupan garam), enzim rennin mengawali reaksi kimia yang
mengubah protein plasma yang disebut sebagai angiotensin II. Angiotensin II
berfungsi sebagai hormone yang meningkatkan tekanan darah dan volume
darah dalam beberapa cara. Sebagai contoh, angiotensin II menaikkan tekanan
darah dengan cara menyempitkan arteriola, menurunkan aliran darah ke
banyak kapiler, termasuk kapiler ginjal. Angiotensin II juga merangsang
tubula proksimal nefron untuk menyerap kembali NaCl dan air. Hal tersebut
akan mengurangi jumlah garam dan air yang dieksresikan dalam urin dan
akibatnya adalah peningkatan volume darah dan tekanan darah. Akan tetapi,
pengaruh lain angiotensin II adalah perangsangan kelenjar adrenal, yaitu organ
yang terletak di atas ginjal, untuk membebaskan hormone yang disebut
dengan aldosteron. Hormone ini bekerja pada tubula distal nefron, yang
membuat tubula tersebut menyerap kembali lebih banyak ion natrium (Na+)
dan air, serta meningkatkan volume dan tekanan darah. Secara ringkas, sistem
rennin-angiotensin-aldosteron (RAAS) merupakan bagian dari perputaran
umpan-balik kompleks yang berfungsi dalam homeostasis. Penurunan dalam
tekanan darah dan volume darah akan memicu pembebasan rennin dari JGA.
Selanjutnya, peningkatan tekanan dan volume darah yang disebabkan oleh
berbagai kerja angiotensin II dan aldosteron akan mengurangi pelepasan
rennin.

Mungkin kelihatannya fungsi ADH dan RAAS tumpang-tindih, tetapi tidak


demikian halnya. Memang benar, bahwa keduanya meningkatkan penyerapan
kembali air (reabsorpsi), tetapi masing-masing menghadapi permasalahan
osmoregulasi yang berbeda. Pelepasan ADH merupakan respons terhadap
peningkatan dalam osmolaritas darah, seperti ketika tubuh mengalami
dehidrasi akibat kurangnya konsumsi air. Akan tetapi bayangkan suatu situasi
yang menyebabkan kehilangan garam dan cairan tubuh secara berlebihan, luka
misalnya atau diare hebat. Hal tersebut akan menguarangi volume darah tanpa
peningkatan osmolaritasnya. RAAS akan menyelamatkan hidup kita dengan
cara meningkatkan penghematan air dan Na+ sebagai respons terhadap
penurunan volume darah yang disebabkan oleh kehilangan cairan. Secara
normal, ADH saja akan menurunkan konsentrasi Na+ darah dengan cara
merangsang penyerapan kembali air dalam ginjal, tetapi RAAS akan
membantu mempertahankan keseimbangan dengan merangsang penyerapan
kembali Na+.

Anda mungkin juga menyukai