2.1. Kusta
2.1.1. Definisi Penyakit Kusta
Amiruddin dalam Harahap (2000) menjelaskan bahwa penyakit kusta adalah
penyakit kronik yang disebabkan oleh kuman Mycobacterium leprae yang pertama
kali menyerang susunan saraf tepi, selanjutnya menyerang kulit, mukosa (mulut),
saluran pernapasan bagian atas, sistem retikulo endotelial, mata, otot, tulang dan
testis.
Menurut Depkes RI (2006) kusta merupakan penyakit menular menahun yang
disebabkan oleh kuman kusta (Mycobacterium leprae) yang menyerang syaraf tepi,
kulit dan jaringan tubuh lainnya. Depkes RI (2006) juga menjelaskan bahwa penyakit
kusta merupakan salah satu penyakit menular yang dapat menimbulkan masalah yang
sangat kompleks. Masalah yang dimaksud bukan hanya dari segi medis tetapi meluas
sampai masalah sosial, ekonomi, dan psikologis.
Tabel 2.1 Situasi Kusta Menurut Regional WHO Pada Awal Tahun 2007 (Di Luar
10
Regional Eropa)
Regional WHO Prevalensi awal 2007 Kasus baru dilaporkan
selama tahun 2007
Afrika 40.830 (0,56) 42.814 (5,92)
Amerika 32.904 (0,39) 41.780 (4,98)
Asia Tenggara 133.422 (0,81) 201.635 (12,17)
Mediterran Timur 4.024 (0,09) 3.133 (0,67)
Pasifik Barat 8.646 (0,05) 7.137 (0,41)
Total 219.826 296.499
Pada tahun 2002, di Indonesia, jumlah penderita kusta yang terdaftar 19.805
orang. Masih terdapat di 10 propinsi memiliki penderita kusta terbanyak diantara
propinsi lainnya yaitu Jawa Timur 4.856 orang, Jawa Barat 1.721 orang, Jawa Tengah
2.334 orang, Sulawesi Selatan 1.779 orang, Papua 1.190 orang, Nanggroe Aceh
Darusalam 736 orang, Daerah Kota Istimewa Jakarta 1.721 orang, Sulawesi Utara
404 orang, Maluku Utara 550 orang dan Kalimantan Selatan 473 orang, Maluku 522,
Sulawesi Utara 404 orang (Depkes RI, 2006).
b. Distribusi penyakit kusta menurut waktu
Ada 17 negara melaporkan 1000 atau lebih kasus baru selama tahun 2007.
Sejak tahun 2002 secara global terjadi penurunan penemuan kasus baru, tetapi ada
juga peningkatan penemuan kasus baru, hal ini dapat dilihat pada tabel di bawah ini :
Dari tabel di atas terlihat bahwa secara global terjadi penurunan penemuan kasus baru
pada penderita kusta, tetapi sejak tahun 2002 sampai dengan 2007 ada beberapa
negara mengalami peningkatan kasus baru yaitu seperti di Indonesia, Demokrasi
Kongo dan Philippina. Dan sebagai negara terbanyak penderita kusta adalah negara
India, diikuti Brazil dan Indonesia.
c. Distribusi penyakit kusta menurut orang
1. Distribusi menurut umur
Penyakit kusta jarang sekali ditemukan pada bayi. Angka kejadian penyakit
kusta meningkat sesuai umur dengan puncak kejadian pada umur 10-20 tahun
(Depkes RI, 2006). Penyakit kusta dapat mengenai semua umur dan terbanyak terjadi
pada umur 15-29 tahun. Serangan pertama kali pada usia di atas 70 tahun sangat
12
jarang terjadi. Di Brasilia terdapat peninggian prevalensi pada usia muda, sedangkan
pada penduduk imigran prevalensi meningkat di usia lanjut (Harahap, 2000). Menurut
Depkes RI (2006) kebanyakan penelitian melaporkan bahwa distribusi penyakit kusta
menurut umur berdasarkan prevalensi, hanya sedikit yang berdasarkan insiden karena
pada saat timbulnya penyakit sangat sulit diketahui.
2. Distribusi menurut jenis kelamin
Kejadian penyakit kusta pada laki-laki lebih banyak terjadi dari pada wanita,
kecuali di Afrika, wanita lebih banyak terkena penyakit kusta dari pada laki-laki
(Depkes RI, 2006). Menurut Louhennpessy dalam Buletin Penelitian Kesehatan
(2007) bahwa perbandingan penyakit kusta pada penderita laki-laki dan perempuan
adalah 2,3 : 1,0, artinya penderita kusta pada laki-laki 2,3 kali lebih banyak
dibandingkan penderita kusta pada perempuan. Menurut Noor dalam Buletin
Penelitian Kesehatan (2007) penderita pria lebih tinggi dari wanita dengan
perbandingannya sekitar 2 : 1.
alasan jauh maka orang tersebut dianggap sebagai suspek. Tanda-tanda tersangka
kusta tidak dapat digunakan sebagai dasar diagnosis penyakit kusta. Tanda-tanda pada
kulit tersangka penderita kusta adalah sebagai berikut : Bercak/kelainan kulit yang
merah atau putih di bagian tubuh, kulit mengkilap, bercak yang tidak gatal, adanya
bagian-bagian tubuh yang tidak berkeringat atau tidak berambut, lepuh tidak nyeri
dan tanda-tanda pada saraf adalah sebagai berikut: rasa kesemutan, tertusuk-tusuk dan
nyeri pada anggota badan atau muka, gangguan gerak anggota badan atau bagian
muka, adanya cacat, dan luka yang tidak mau sembuh (Depkes RI, 2006).
Seseorang yang telah didiagnosis menderita kusta selanjutnya akan ditentukan
tipe/klasifikasi penyakit kusta. Tujuan klasifikasi penyakit kusta adalah untuk
menentukan jenis, lamanya pengobatan, waktu penderita dinyatakan sembuh dan
perencanaan logistik. Menurut Depkes RI (2006) pada tahun 1982 jenis klasifikasi
World Health Organization (WHO) yang dipakai oleh petugas kesehatan di seluruh
Indonesia untuk menentukan penderita kusta tipe Pauci Baciler atau Multi Baciler.
Pedoman untuk menentukan penyakit kusta tersebut menurut klasifikasi World
Health Organization yaitu :
Tabel 2.3 Klasifikasi Kusta Menurut WHO
Kelainan kulit dan hasil PB MB
pemeriksaan
1.bercak (makula) mati rasa
: Kecil dan besar Kecil-kecil
a) Ukuran Uniteral atau bilateral Bilateral simetris
b) Distribusi asimetris
Kering dan kasar Halus,berkilat
c) Konsistensi Tegas Kurang tegas
d) Batas Selalu ada dan jelas Biasanya tidak jelas,jika
e) Kehilangan rasa pada ada,terjadi pada yang
bercak sudah lanjut
Selalu ada dan jelas Biasanya tidak jelas,jika
f) Kehilangan ada,terjadi pada yang
kemampuan sudah lanjut
berkeringat, rambut
rontok pada bercak
2.infiltrat :
14
b. Pemberian imunisasi
Sampai saat ini belum ditemukan upaya pencegahan primer penyakit kusta
seperti pemberian imunisasi (Saisohar,1994). Dari hasil penelitian di Malawi
tahun 1996 didapatkan bahwa pemberian vaksinasi BCG satu kali dapat
memberikan perlindungan terhadap kusta sebesar 50%, sedangkan pemberian
dua kali dapat memberikan perlindungan terhadap kusta sebanyak 80%, namun
demikian penemuan ini belum menjadi kebijakan program di Indonesia karena
penelitian beberapa negara memberikan hasil berbeda pemberian vaksinasi
BCG tersebut (Depkes RI, 2006).
2.1.4.2 Pencegahan sekunder
Pencegahan sekunder dapat dilakukan dengan :
a. Pengobatan pada penderita kusta
Pengobatan pada penderita kusta untuk memutuskan mata rantai penularan,
menyembuhkan penyakit penderita, mencegah terjadinya cacat atau mencegah
bertambahnya cacat yang sudah ada sebelum pengobatan. Pemberian Multi
drug therapy pada penderita kusta terutama pada tipe Multibaciler karena tipe
tersebut merupakan sumber kuman menularkan kepada orang lain (Depkes RI,
2006).
2.1.4.3 Pencegahan tertier
a. Pencegahan cacat kusta
Pencegahan tersier dilakukan untuk pencegahan cacat kusta pada penderita.
Upaya pencegahan cacat terdiri atas (Depkes RI, 2006) :
i. Upaya pencegahan cacat primer meliputi penemuan dini penderita
sebelum cacat, pengobatan secara teratur dan penangan reaksi untuk
mencegah terjadinya kerusakan fungsi saraf.
16
ii. Upaya pencegahan cacat sekunder meliputi perawatan diri sendiri untuk
mencegah luka dan perawatan mata, tangan, atau kaki yang sudah
mengalami gangguan fungsi saraf.
b. Rehabilitasi kusta
Rehabilitasi merupakan proses pemulihan untuk memperoleh fungsi penyesuaian
diri secara maksimal atas usaha untuk mempersiapkan penderita cacat secara
fisik, mental, sosial dan kekaryaan untuk suatu kehidupan yang penuh sesuai
dengan kemampuan yang ada padanya. Tujuan rehabilitasi adalah penyandang
cacat secara umum dapat dikondisikan sehingga memperoleh kesetaraan,
kesempatan dan integrasi sosial dalam masyarakat yang akhirnya mempunyai
kualitas hidup yang lebih baik (Depkes RI, 2006). Rehabilitasi terhadap penderita
kusta meliputi :
i. Latihan fisioterapi pada otot yang mengalami kelumpuhan untuk
mencegah terjadinya kontraktur.
ii. Bedah rekonstruksi untuk koreksi otot yang mengalami kelumpuhan agar
tidak mendapat tekanan yang berlebihan.
iii. Bedah plastik untuk mengurangi perluasan infeksi.
iv. Terapi okupsi (kegiatan hidup sehari-hari) dilakukan bila gerakan normal
terbatas pada tangan.
v. Konseling dilakukan untuk mengurangi depresi pada penderita cacat.
gratis, disimpan ditempat yang kering, aman, teduh dan jauh dari jangkauan anak-
anak. Selama menjalani pengobatan penderita dapat menjalani kehidupan normal,
dapat tinggal dirumah, pergi kesekolah, bekerja, bermain, menikah, mempunyai anak
serta dalam acara-acara sosial (Depkes RI, 2006).
Tujuan pengobatan penderita untuk memutuskan mata rantai penularan,
menyembuhkan penyakit penderita dan mencegah terjadinya cacat atau mencegah
bertambahnya cacat yang sudah ada sebelum pengobatan. Pada penderita yang sudah
mengalami cacat permanen, pengobatan dilakukan hanya untuk mencegah cacat lebih
lanjut.
Bila penderita kusta tidak meminum obat secara teratur maka kuman kusta
dapat menjadi aktif kembali dan dapat menimbulkan gejala-gejala baru yang akan
memperburuk keadaan penderita. Pentingnya pengobatan sedini mungkin dan teratur
minum obat agar tidak timbul cacat yang baru.
Sejak tahun 1982 Indonesia memberikan pengobatan secara gratis pada
penderita kusta dengan kombinasi Multi Drug Therapy (MDT) yaitu kombinasi dua
atau lebih obat anti kusta,yang slah satunya harus terdiri atas Rifampisin yang
berfungsi sebagai obat anti kusta yang sifatnya bakterisid kuat dengan obat anti kusta
lain yang bias bersifat bekteriostatik.
berikut ini merupakan kelompok orang-orang yang membutuhkan MDT adalah :
kasus baru, mereka dengan tanda kusta yang belum pernah mendapat pengobatan
MDT.
Ulangan, termasuk didalamnya :
i. Relaps (kambuh), diobati dengan regimen pengobatan baik PB ataupun MB.
ii. Masuk Kembali setelah default adalah penderita yang datang kembali setelah
dinyatakan default (baik PBmaupun MB).
iii. Pindahan (pindah masuk), harus dilengkapi dengan surat rujukan berisi catatan
pengobatan yang telah diterima hingga saat tersebut.
iv. Ganti tipe, penderita dengan perubahan klasifikasi.
Regimen pengobatan MDT di Indonesia sesuai dengan regimen pengobatan yang
18
penderita dianggap telah sembuh. Petugas harus memberikan keterangan tentang arti
dan maksud Release From Treatment (RFT) kepada penderita bahwa tipe Pauci
Baciler (PB) pengobatan 6 dosis selesai dalam waktu 6-9 bulan langsung dinyatakan
sembuh untuk tipe Multi Baciler (MB) pengobatan 12 dosis selesai dalam waktu 12-
18 bulan dinyatakan sembuh (Release From Treatment). Walaupun sudah sembuh
petugas tetap meyakinkan penderita bahwa bercak yang ada akan berangsur hilang
dan menjelaskan cara mencegah terjadinya luka jika terjadi kecacatan yaitu dengan
memelihara tangan dan kaki dengan baik dan bila penderita melihat bercak kulit yang
baru atau tanda-tanda baru mereka harus datang kembali kontrol atau pemeriksaan
ulang ke puskesmas.
informasi yang kurang. Untuk penderita lanjut usia kepatuhan minum obat dapat
dipengaruhi oleh daya ingat yang berkurang, ditambah lagi apabila penderita lanjut
usia tinggal sendiri. Menurut Dunbar & Waszak dalam Smeat (1994) ketaatan dalam
aturan pengobatan pada anak-anak, remaja dan dewasa adalah sama. Menurut Taylor
dalam Smeat (1994) orang tua cenderung patuh minum obat karena mengikuti semua
anjuran dokter.
b. Jenis kelamin
Jenis kelamin dapat mempengaruhi penderita untuk patuh minum obat. Penderita
wanita biasanya akan lebih patuh untuk minum obat karena sesuai dengan kodrat
wanita yang ingin tampak kelihatan cantik dan tidak ingin ada cacat pada tubuhnya,
sehingga dalam penanggulangannya penyakit kusta akan lebih patuh minum obat
dibandingkan dengan laki-laki. Menurut Smeat (1994) di Amerika Serikat kaum
wanita cenderung mengikuti anjuran dokter, termasuk anjuran teratur minum obat
demi kesembuhannya.
c. Pendidikan
Penderita dengan pendidikan rendah dan kecerdasan yang terbatas perlu penanganan
yang lebih teliti dalam instruksi tatacara penggunaan obat yang betul dan benar.
Karena pendidikan yang rendah akan menganggap aturan minum obat 3x1 sama dan
1x3, sehingga obat untuk satu hari diminum sekaligus. Menurut Langevelt dalam
Notoatmodjo (2007) pendidikan adalah setiap usaha, pengaruh, perlindungan, dan
bantuan yang diberikan kepada anak, yang tertuju kepada kedewasaan yaitu
kedewasaan jasmani dan rohani. Menurut Notoatmodjo (2007) pendidikan tersebut
menuju kepada suatu perubahan yaitu mengubah perilaku kearah yang diinginkan,
maka tujuan pendidikan kesehatan mengubah perilaku dari yang merugikan atau tidak
sesuai dengan norma kesehatan ke arah tingkah laku yang menguntungkan kesehatan
atau norma yang sesuai dengan kesehatan. Menurut penelitian Fajar (2005) di
Kabupaten Gresik bahwa pendidikan tidak mempengaruhi keteraturan berobat pada
penderita kusta.Tetapi menurut penelitian Masduki (2007) di Kabupaten Kuningan
pendidikan mempunyai hubungan terhadap kepatuhan minum obat pada penderita
21
kusta.
d. Pekerjaan
Penderita penyakit kusta yang bekerja seperti biasa akan termotivasi untuk lebih
patuh minum obat demi kesembuhannya bila dibandingkan dengan penderita yang
tidak bekerja, karena pekerjaannya adalah sumber mata pencahariannya, sumber
untuk memberikan nafkah dan berguna bagi keluarganya walaupun kondisi tubuh
menderita penyakit kusta, tetap bekerja. Hasil penelitian Masduki (2007) di
Kabupaten Kuningan, Jawa Barat bahwa pekerjaan memberikan kontribusi paling
besar terhadap kepatuhan berobat atau minum obat.
e.Pengetahuan
Definisi pengetahuan menurut Notoatmodjo (2007) adalah hasil penginderaan
manusia atau hasil tahu seseorang terhadap objek melalui indera yang
dimilikinya.Tahu diartikan sebagai recall (memanggil) memori yang telah ada
sebelumnya setelah mengamati sesuatu. Teori L.W. Green dalam Notoatmojo (2007),
menyatakan bahwa pengetahuan merupakan faktor awal dari suatu perilaku yang
diharapkan dan pada umumnya berkorelasi positif dengan perilaku. Menurut Azwar
(2007) fungsi pengetahuan mempunyai dorongan dasar untuk ingin tahu, untuk
mencari penalaran dan untuk mengorganisasikan pengalamannya. Menurut
Notoatmodjo (2007) pengetahuan merupakan dominan yang sangat penting untuk
terbentuknya tindakan seseorang. Menurut penelitian Masduki (2007) di Kabupaten
Kuningan Jawa Barat pengetahuan mempunyai hubungan terhadap kepatuhan berobat
pada penderita kusta. Apabila penderita kusta memiliki pengetahuan yang baik dan
memadai tentang penyakit kusta, cara pengobatannnya, jenis obat,cara memakan obat
tersebut dan akibat bila tidak patuh meminum obat yang akan berakibat buruk
terhadap dirinya akan mampu mengimplementasikannya di dalam kehidupannya
sehari-hari maka diharapkan angka kesembuhan pada penderita kusta meningkat.
Rendahnya pengetahuan tentang kusta dan masih kuatnya stigma terhadap penyakit
kusta sangat berpengaruh terhadap ketaatan penderita untuk minum obat.
f. Sikap
22
Sikap adalah respon tertutup seseorang terhadap stimulus atau objek tertentu yang
sudah melibatkan faktor pendapat dan emosi yang bersangkutan (senang, tidak
senang, setuju dan tidak setuju, baik dan tidak baik). Menurut Newcomb dalam
Notoatmodjo (2007) sikap merupakan kesiapan atau kesediaan untuk bertindak bukan
merupakan pelaksanaan motif tertentu. Menurut Thustone dan Likert dalam Azwar
(2007) sikap adalah suatu bentuk evalusi, reaksi perasaan yang mendukung, memihak
maupun perasaan tidak mendukung atau tidak memihak pada objek tersebut. Menurut
Taylor dalam Azwar (2007) ketaatan penderita minum obat sering diartikan sebagai
usaha pasien untuk mengendalikan perilakunya apakah pasien mengikuti apa yang
dianjurkan oleh petugas untuk dilaksanakan guna mencapai kesembuhan. Hasil
penelitian yang dilakukan oleh Fajar (2005) di Kabupaten Gresik pada penderita
kusta, ada pengaruh sikap penderita terhadap pengobatan dini dan upaya pengobatan
teratur oleh penderita kusta.
2. Faktor eksternal
a. Dukungan keluarga
Keluarga merupakan sebagai lembaga sosial yang mempunyai fungsi tradisional
keluarga seperti fungsi sosial ekonomi, karena sebagian hasil kerja yang dilakukan di
dalam atau di luar rumah dikelola dalam keluarga, yang ditunjukkan dengan adanya
pembentukan kerabat, keturunan dan hubungan sosial melalui keluarga dan fungsi
proses pendidikan termasuk di dalamnya penanaman nilai dan ideologi kepada
anggota keluarga, oleh karena itu penangan yang baik terhadap persoalan-persoalan
keluarga akan memberikan kontribusi yang positif bagi upaya kesehatan para
anggotanya (Notosoedirdjo dan Latipun, 2005). Orang-orang yang mendapat
perhatian dan penghiburan maupun pertolongan dari keluarganya cenderung lebih
mudah mengikuti nasehat medis, karenanya peranan keluarga sangat besar bagi
penderita dalam mendukung perilaku atau tindakan dalam memamfaatkan pelayanan
kesehatan. Menurut hasil penelitian Rachmalina dan Sunanti (2004) di Kabupaten
Bangkalan peran anggota keluarga membantu penderita kusta teratur minum obat.
b. Dukungan petugas kesehatan
23
Pelayanan yang baik dari petugas kesehatan dapat menyebabkan berperilaku positip.
Perilaku petugas yang ramah dan segera mengobati pasien tanpa menunggu lama-
lama serta dan mengambil obat diperiksa dokter terlebih dahulu, maka penderita
merasa dihargai datang ke puskesmas, penderita diberi penjelasan tentang obat yang
diberikan dan pentingnya makan obat yang teratur. Kebanyakan orang hanya kadang-
kadang datang ke tenaga kesehatan, karena hampir semua orang mempunyai keluhan
yang menakutkan tentang kunjungan pada petugas kesehatan (Smet,1994).
Dari hasil penelitian Rachmalina dan Sunanti (2004) di Kabupaten Bangkalan peran
petugas kesehatan sangat berpengaruh terhadap ketaatan penderita untuk berobat.
Menurut Zulaicha dalam Smet (1994) di Indonesia kualitas interaksi antara petugas
kesehatan terutama dokter dan penderita berbeda-beda berdasarkan tingkat
pendidikannya, karena si petugas harus memberikan informasi dengan kalimat atau
kata-kata sesuai dengan tingkat pendidikan pasiennya.
Dari hasil penelitian Masduki (2007) di Kabupaten Kuningan bahwa peran petugas
mempunyai hubungan yang bermakna terhadap ketidakteraturan berobat pada
penderita kusta. Menurut Depkes RI (2006) Penderita sering terputus pengobatannya
karena keterbatasan obat di puskesmas, pelayanan puskesmas yang buruk dan tidak
ada petugas dipuskesmas ketika datang mengambil obat dengan memperhatikan
besarnya masalah kusta yang dapat menimbulkan penularan pada masyarakat,
perlunya penderita untuk berobat, pencegahan kecacatan dan keteraturan minum obat
maka kegiatan penyuluhan kesehatan yang diberikan oleh petugas merupakan
komponen sangat penting perlu dilanjutkan, dikembangkan, dan ditingkatkan
perannya dalam pemberantasan penyakit kusta.
c. Dukungan Tokoh Panutan.
Tokoh panutan (Reference Group) adalah sekelompok social yang menjadi acuan bagi
seseorang untuk membentuk pribadi dan perilakunya (Soekanto, 2007). Tokoh
panutan merupakan faktor social yang sangat penting dalam suatu proses adopsi atau
perubahan. Perilaku orang lebih banyak dipengaruhi oleh orang-orang yang dianggap
penting. Apabila seseorang penting bagi seseorang individu, maka apa yang dia
24
DAFTAR PUSTAKA
Jakarta : FKUI.
Notoatmodjo, S. (2005). Metodologi Penelitian Kesehatan Edisi Revisi. Jakarta :
Rhineka Cipta.
Notoatmodjo, S. (2007). Kesehatan Masyarakat Ilmu dan Seni. Jakarta : Rhineka
Cipta.
Notoatmodjo, S. (2010). Ilmu Perilaku Kesehatan. Jakarta : Rhineka Cipta.
Pratiwi, Q., Purwonugroho, N., Andryani, B.E. (2011). Pelatihan Keterampilan
Merawat Diri pada Penderita Kusta dan Keluarganya di Wilayah Kerja
Puskesmas Kecamatan Padas Kabupaten Ngawi Jawa Timur. PKM, UMS :
Surakarta, Tidak Dipublikasikan.
Soedarjatmi, Istiarti, T., & Widagdo, L., (2009). Faktor-faktor yang Melatarbelakagi
Persepsi Penderita Terhadap Stigma Penyakit Kusta. Jurnal Promosi
Kesehatan Indonesia Vol. 4 / No. 1 / Januari 2009.
Sofiarini. (2003). Pengetahuan, Sikap dan Peran Keluarga dalam Upaya
Penyembuhan Penderita Kusta di Wilayah Kerja Puskesmas Kramatsari Kota
Pekalongan Tahun 2002. Tesis. Sarjana, Undip : Semarang, Tidak
Dipublikasikan.
Wabula, N., (2010). Analisis Hubungan Pengetahuan dan Sikap Pasien Kusta Dengan
Upaya Pencegahan Kecacatan Penyakitnya di Rumah Sakit Dr. Tadjuddin
Chalid Makassar Tahun 2009. Tesis. Sarjana, Universitas Hasanuddin :
Makassar, Tidak Dipublikasikan.
27