IPM EkoBudiriyanto PDF
IPM EkoBudiriyanto PDF
Indeks Pembangunan
Manusia (IPM) Dalam
Formulasi DAU
IPM merupakan ukuran untuk melihat dampak kinerja pembangunan wilayah,
karena memperlihatkan kualitas penduduk suatu wilayah dalam hal harapan
hidup, intelelektualitas dan standar hidup layak. Dalam perencanaan
pembangunan, IPM juga berfungsi dalam memberikan tuntunan dalam
menentukan prioritas dalam merumuskan kebijakan dan menentukan program.
Namun demikian, IPM sebagai sarana pemerataan pembangunan perlu dikaji
lebih dalam dalam penggunaannya secara lebih tepat.
Eko Budiriyanto,S.E
Ditjen Perimbangan Keuangan, Kemenkeu RI
11/28/2011
DAFTAR ISI
Pendahuluan ........................................................................................................................................... 3
Latar belakang ..................................................................................................................................... 3
Dasar Hukum....................................................................................................................................... 4
Ruang lingkup...................................................................................................................................... 4
Dana Alokasi Umum ................................................................................................................................ 6
Formula DAU ....................................................................................................................................... 7
Kebutuhan Fiskal (KbF)........................................................................................................................ 7
Kapasitas Fiskal (KpF) .......................................................................................................................... 7
Index Pembangungan Manusia (IPM) ..................................................................................................... 8
Indeks harapan hidup ......................................................................................................................... 8
Indeks pendidikan ............................................................................................................................... 8
Indeks standar hidup layak ................................................................................................................. 9
Komponen terpenting ....................................................................................................................... 10
Permasalahan........................................................................................................................................ 12
IPM sebagai formula ......................................................................................................................... 12
IPM dan mobilitas penduduk ............................................................................................................ 14
Kesimpulan dan saran ........................................................................................................................... 18
Kesimpulan........................................................................................................................................ 18
Saran ................................................................................................................................................. 19
Daftar Pustaka....................................................................................................................................... 20
PENDAHULUAN
Latar belakang
Negara Kesatuan Republik Indonesia menyelenggarakan pemerintahan Negara dan
pembangunan nasional untuk mencapai masyarakat adil, makmur, dan merata berdasarkan
Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Pasal 18A ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
mengamanatkan agar hubungan keuangan, pelayanan umum, serta pemanfaatan sumber daya alam
dan sumber daya lainnya antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah diatur dan dilaksanakan secara
adil dan selaras berdasarkan Undang-Undang. Dengan demikian, Pasal ini merupakan landasan
filosofis dan landasan konstitusional pembentukan Undang-Undang tentang Perimbangan Keuangan
antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah.
Dana Perimbangan adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan
kepada Daerah untuk mendanai kebutuhan Daerah dalam rangka pelaksanaan Desentralisasi. Dana
Perimbangan terdiri atas :
Dana Bagi Hasil adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan
kepada Daerah berdasarkan angka persentase untuk mendanai kebutuhan Daerah dalam rangka
pelaksanaan Desentralisasi.
Dana Alokasi Umum yang selanjutnya disebut DAU adalah dana yang bersumber dari
pendapatan APBN yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antar-
Daerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka Desentralisasi.
Dari ketiga jenis dana perimbangan di atas jelas bahwa DAU-lah yang akan digunakan
sebagai instrumen pemerintah dalam mengurangi ketimpangan kemampuan keuangan antar
daerah. Oleh karena itu, pengalokasian DAU yang tepat menjadi penting untuk pencapaian tujuan
pembangunan nasional yang adil dan merata. Ketimpangan antara daerah yang terlalu besar dan
terlalu lama, dapat mengancam stabilitas dan integrasi negara kesatuan ini.
Tentang perhitungan pengalokasian DAU ini telah diatur dalam UU nomor 33 tahun 2004
tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat Dan Pemerintahan Daerah serta Peraturan
Pemerintah Nomor 55 tahun 2005 tentang Dana Perimbangan. Namun demikian apakah apa yang
diatur dalam peraturan tersebut sudah tepat dalam pencapaian tujuan DAU sendiri yaitu
pemerataan kemampuan keuangan antar-Daerah, hal ini yang menggugah penulis untuk membuat
tulisan ini dengan maksud memberikan pemahaman yang lebih bagi penulis sendiri serta pemicu
bahan diskusi bagi para pembaca.
Dasar Hukum
1. UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan
Pemerintahan Daerah; dan
2. PP No. 55 Tahun 2005 tentang Dana Perimbangan
Ruang lingkup
Penghitungan DAU melalui beberapa tahapan, yaitu :
Tahapan Akademis
Konsep awal penyusunan kebijakan atas implementasi formula DAU dilakukan oleh Tim
Independen dari berbagai universitas dengan tujuan untuk memperoleh kebijakan
penghitungan DAU yang sesuai dengan ketentuan UU dan karakteristik Otonomi Daerah di
Indonesia.
Dalam tahapan ini Kemenkeu c.q. DJPK melakukan koordinasi dengan instansi terkait untuk
penyiapan data dasar penghitungan DAU termasuk didalamnya kegiatan konsolidasi dan
verifikasi data untuk mendapatkan validitas dan kemutakhiran data yang akan digunakan
Tahapan Teknis
Tahapan Politis
Merupakan tahap akhir, pembahasan penghitungan dan alokasi DAU antara Pemerintah
dengan Panitia Kerja (Panja) Belanja Daerah Panitia Anggaran DPR RI untuk konsultasi dan
mendapatkan persetujuan hasil penghitungan DAU.
Formula DAU menggunakan pendekatan Celah Fiskal (fiscal gap) dan Alokasi Dasar (AD).
Celah Fiskal adalah selisih antara Kebutuhan Fiskal (fiscal needs) dikurangi dengan Kapasitas Fiskal
(fiscal capacity), sedangkan Alokasi Dasar berupa jumlah gaji PNS daerah.
Komponen variabel kebutuhan fiskal (fiscal needs) yang digunakan untuk pendekatan
perhitungan kebutuhan daerah terdiri dari: jumlah penduduk, luas wilayah, indeks pembangunan
manusia (IPM), indeks kemahalankonstruksi (IKK), dan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) per
kapita. Komponen variabel kapasitas fiskal (fiscal capacity) merupakan sumber pendanaan daerah
yang berasal dari Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan Dana Bagi Hasil (DBH).
Dalam tulisan ini penulis hanya membatasi diri tentang ketepatan penggunaan Indeks
Pembangunan Manusia (IPM) sebagai salah satu komponen variabel kebutuhan fiskal.
DAU bersifat Block Grant yang berarti penggunaannya diserahkan kepada daerah sesuai
dengan prioritas dan kebutuhan daerah untuk peningkatan pelayanan kepada masyarakat dalam
rangka pelaksanaan otonomi daerah. DAU dialokasikan untuk provinsi dan kabupaten/kota.
Jumlah keseluruhan DAU ditetapkan sekurang-kurangnya 26% (dua puluh enam persen) dari
Pendapatan Dalam Negeri Netto. Pendapatan Dalam Negeri Netto adalah Penerimaan Negara yang
berasal dari pajak dan bukan pajak setelah dikurangi dengan Penerimaan Negara yang dibagihasilkan
kepada Daerah. Proporsi DAU antara provinsi dan kabupaten/kota dihitung dari perbandingan
antara bobot urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan provinsi dan kabupaten/kota. Dalam
hal penentuan proporsi tersebut belum dapat dihitung secara kuantitatif, proporsi DAU antara
provinsi dan kabupaten/kota ditetapkan dengan imbangan 10% (sepuluh persen) dan 90% (sembilan
puluh persen).
DAU untuk suatu daerah dialokasikan berdasarkan formula yang terdiri atas celah fiskal dan
alokasi dasar. Celah fiskal merupakan selisih antara kebutuhan fiskal dan kapasitas fiskal. Alokasi
Dasar dihitung berdasarkan realisasi gaji Pegawai Negeri Sipil Daerah (PNSD) tahun sebelumnya (t-1)
yang meliputi gaji pokok dan tunjangan-tunjangan yang melekat sesuai dengan peraturan penggajian
PNS yang berlaku.
Formula DAU
Dimana:
AD = Gaji PNS Daerah
CF = Kebutuhan Fiskal Kapasitas Fiskal
Dimana:
TBR = Total Belanja Rata-rata APBD
IP = Indeks Jumlah Penduduk
IW = Indeks Luas Wilayah
IPM = Indeks Pembangunan Manusia
IKK = Indeks Kemahalan Konstruksi
IPDRB/kap = Indeks Produk Domestik Regional Bruto per kapita
= Bobot Indeks
Dimana:
PAD = Pendapatan Asli Daerah
DBH Pajak = Dana Bagi Hasil dari Penerimaan Pajak
DBH SDA = Dana Bagi Hasil dari Penerimaan Sumber Daya Alam
Daerah yang memiliki nilai celah fiskal lebih besar dari 0 (nol), menerima DAU sebesar alokasi dasar
ditambah celah fiskal.
Daerah yang memiliki nilai celah fiskal sama dengan 0 (nol), menerima DAU sebesar alokasi dasar.
Daerah yang memiliki nilai celah fiskal negatif dan nilai negatif tersebut lebih kecil dari alokasi dasar,
menerima DAU sebesar alokasi dasar setelah diperhitungkan nilai celah fiskal.
Daerah yang memiliki nilai celah fiskal negatif dan nilai negatif tersebut sama atau lebih besar dari
alokasi dasar, tidak menerima DAU.
Hasil penghitungan DAU per provinsi, kabupaten, dan kota ditetapkan dengan Keputusan Presiden.
1. Indeks harapan hidup, sebagai perwujudan dimensi umur panjang dan sehat (longevity)
2. Indeks pendidikan, sebagai perwujudan dimensi pengetahuan (knowledge)
3. Indeks standar hidup layak, sebagai perwujudan dimensi hidup layak (decent living)
Indeks pendidikan
Dalam perhitungannya menggunakan dua indikator, yaitu : angka melek huruf (Lit) dan rata-
rata lama sekolah (Man Years School [MYS]). Angka melek huruf adalah persentase dari penduduk
usia 15 tahun ke atas yang bisa membaca dan menulis dalam huruf latin atau huruf lainnya. Rata-
rata lama sekolah adalah rata-rata jumlah tahun yang dihabiskan oleh penduduk usia 15 tahun ke
atas di seluruh jenjang pendidikan formal yang pernah dijalani atau sedang menjalani. Indikator ini
dihitung dari variabel pendidikan yang tertinggi yang ditamatkan dan tingkat pendidikan yang
sedang ditamatkan dan tingkat pendidikan yang sedang diduduki. Tabel 2.2 di bawah ini menyajikan
faktor konversi dari tiap jenjang pendidikan, rata-rata lama sekolah dihitung berdasarkan formula
sebagai berikut :
Tabel 2.2
Tahun Konversi dari
Pendidikan Tertinggi
Pendidikan Tertinggi Tahun Konversi
yang Ditamatkan
yang Ditamatkan No
1 Tidak Pernah Sekolah 0
2 SD 6
3 SMP 9
4 SMA 12
5 D1 13
6 D2 14
7 D3 15
8 S 1/D 4 16
9 S2 18
10 S3 21
Sumber : BPS Sumatera Utara
Sumber : BPS
Komponen terpenting
Mengetahui komponen mana yang memegang peranan penting dalam pembentukan angka
IPM adalah penting agar dapat digunakan dalam menentukan prioritas dan kebijakan yang tepat
bagi pembangunan bangsa.
Diketahui, IPM dibentuk oleh empat komponen; yaitu harapan hidup, melek
huruf, rata-rata lama sekolah dan pengeluran riil perkapita. Terkait dengan
ini, menarik untuk diketahui berapa besar setiap komponen berkontribusi
terhadap besaran angka IPM. Informasi ini sangata diperlukan untuk
menetapkan prioritas pembangunan. Untuk mengetahui besarnya kontribusi
setiap komponen IPM terhadap besaran angka IPM digunakan teknik regresi
yang diperoleh dari koefisien determinasi (R2). Berdasar hasil regresi data IPM
tahun 2007 diperoleh komponen IPM yang mempunyai kontribusi terbesar
adalah rata-rata lama sekolah, yakni sebesar 71 persen per tahun, berikutnya
melek huruf 64 persen per tahun. Adapun harapan hidup dan pengeluran riil
per kapita masing-masing sebesar 48 persen per tahun dan 40 persen per
tahun.(Indeks Pembangunan Manusia 2006-2007, katalog BPS:4102002)
Karena komponen rata-rata lama sekolah dan angka melek huruf (AMH) menempati urutan
tertinggi masing-masing 71 persen dan 64 persen, maka penulis berasumsi bahwa kedua komponen
Sumber : BPS
Ditingkat provinsi, DKI Jakarta memiliki rata-rata lama sekolah tertinggi dibandingkan
provinsi lainnya yaitu sebesar 10,8. Tertinggi kedua adalah Provinsi Kepulauan Riau sebesar 8,94
tahun. Berikutnya Provinsi Kalimantan Timur dan Sulawesi Utara masing-masing 8,8 per tahun.
Provinsi Yogyakarta yang merupakan kota pelajar hanya berada di urutan 8 dengan rata-rata lama
sekolah 8,6 per tahun.
Sesuai dengan fokus dari pokok bahasan, yaitu IPM, maka penulis membagi permasalahan menjadi
dua bagian :
Formulasi kebutuhan fiskal (KbF) yang di atur dalam PP 55 tahun 2005, seperti di bawah ini :
Dengan formulasi seperti di atas, maka suatu daerah yang mempunyai IPDRB/cap dan IPM
yang tinggi, kebutuhan fiskalnya jadi terhitung lebih tinggi, tapi sebaliknya terhadap daerah yang
mempunyai IPDRB/cap dan IPM yang rendah kebutuhan fiskalnya jadi terhitung lebih rendah.
Padahal seperti kita ketahui kebutuhan fiscal merupakan dasar bagi penghitungan celah fiskal, dan
celah fiscal itu sendiri (ditambah alokasi dasar [AD]) akan menjadi besaran DAU suatu daerah.
Dengan kata lain suatu daerah yang sudah maju karena IPDRB/cap dan IPM yang tinggi
justru akan mendapatkan DAU yang besar. Namun daerah yang kurang maju atau tertinggal karena
IPM dan IPDRB/capnya yang masih rendah justru akan mendapat DAU yang kecil. Akibatnya daerah
yang tertinggal justru semakin susah mengejar ketertinggalannya terhadap daerah yang sudah maju.
Akselerasi kemajuaannya pun akan makin ketinggalan. Padahal tujuan semula dari DAU adalah
sebagai instrument pemerataan antar daerah.
Dalam perkembangan berikutnya, penulis juga telah membaca draft revisi Undang-Undang
No.33 tahun 2004 dan mendapati perubahan perhitungan dalam formulasi kebutuhan fiskal (KbF)
yang cukup signifikan, seperti berikut :
Berangkat dari hal ini, penulis mengusulkan agar apabila variabel IPM masih juga digunakan
sebagai komponen dalam perhitungan Kebutuhan Fiskal (KbF), sebaiknya angka IPM jangan langsung
digunakan dalam formulasi baik dalam bentuk positif maupun negasi-nya. IPM mungkin bisa
digunakan untuk menciptakan sebuah angka lain yang berupa score prestasi pengembangan IPM.
Sumber BPS
Dengan sistem pemberian score dalam proses penghitungan kebutuhan fiscal, diharapkan
daerah-daerah yang sedari awalnya memang masih tertinggal dapat semakin mengejar
ketertinggalannya. Demikian juga dengan daerah yang memang berprestasi karena perkembangan
pembangunan yang relatif cepat walaupun berangkat dari IPM yang rendah, merasa lebih dihargai,
sehingga dapat mengurangi ancaman disintegrasi NKRI.
Manusia yang menjadi penduduk suatu daerah dapat dengan mudah meninggalkan
daerahnya menuju daerah lainnya. Sehingga suatu daerah yang sudah berusaha keras meningkatkan
IPM dengan berinvestasi pada bidang pendidikan, yaitu dengan alokasi pada APBD yang cukup besar
di bidang ini, akan gigit jari manakala penduduknya yang sudah mencapai tingkat pendidikan yang
cukup tinggi akan berpindah atau berurbanisasi ke daerah lainnya. Di lain pihak dengan mudahnya
daerah-daerah yang menjadi tujuan utama kepindahaan atau urbanisasi tiba-tiba akan mendapatkan
Angka 20-23 juta orang di Indonesia tidak tinggal di daerah asalnya lagi menunjukkan angka
yang cukup signifikan untuk dapat mengganggu kemurnian hasil perhitungan IPM itu sendiri. Hal ini
tentunya juga masih tergantung metode perhitungan IPM yang digunakan oleh BPS apakah dalam
perhitungannya juga memperhitungkan asal daerah atau tidak.
Kalau kita perhatikan tabel 3.2 tentang Rata-rata Lama Sekolah dan Peringkat Menurut
Provinsi Tahun 2006-2007 (Publikasi BPS), maka tampak kalau daerah-daerah yang saat ini menjadi
daerah tujuan utama urbanisasi seperti DKI Jakarta dan Kepulauan Riau (Batam) menempati
peringkat ke-1 dan ke-2. Sementara D.I Yogyakarta yang selama ini dikenal sebagai kota pelajar
justru hanya ada di peringkat ke-8. Kondisi ini bisa terjadi karena banyak penduduk di Yogyakarta
yang telah sekolah dan atau kuliah di yogyakarta setelah lulus banyak yang bekerja dan tinggal di
luar Yogyakarta. Yang perlu diperhatikan lagi yaitu provinsi-provinsi di wilayah Jawa, seperti Jawa
Timur dan Jawa Tengah yang masing-masing berada di peringkat ke-27 dan 28 dari 33 provinsi yang
ada. Hal ini tentu cukup mengherankan jika mengingat tingkat kemajuan yang telah diraih kedua
provinsi ini.
Jawa Barat dan Banten berada di posisi yang lebih baik yakni ke-21 dan 12. Hal ini mungkin
bisa dijelaskan karena provinsi ini terbantu oleh daerah-daerah penyangga di kawasan Bodetabek,
yang selama ini juga merupakan daerah tujuan urbanisasi akibat limpahan dari DKI Jakarta.
Perpindahan penduduk dari daerah tertinggal ke daerah yang lebih maju, terutama justru
terjadi pada kelompok penduduk yang sudah berpendidikan. Mereka yang merasa tingkat
penghidupan di daerahnya tidak sebanding dengan tingkat pendidikan yang telah diraihnya, akan
pindah ke daerah yang tingkat kemajuannya dianggap setara dengan tingkat pendidikannya. Dengan
demikian daerah-daerah tertinggal semakin merana karena ditinggalkan oleh penduduk
potensialnya, dan yang tertinggal hanyalah sisanya yaitu penduduk yang berpendidikan rendah. Hal
ini diperparah lagi dengan seringnya anjuran daerah maju melalui media elektronik kalau mau
datang ke daerahnya mesti punya keterampilan atau keahlian terlebih dulu. Ini menjadi tidak adil,
karena daerah maju itu maunya hanya menerima penduduk yang berpendidikan saja, sementera
yang berpendidikan rendah silahkan tetap tinggal di daerahnya masing-masing. Bahkan terdapat
suatu daerah yang menggelar suatu operasi terhadap penduduk yang baru datang dari daerah lain
yang biasanya dilakukan pada kelompok-kelompok penduduk yang termajinalkan yang biasanya
berasal dari kelompok penduduk yang berpendidikan rendah.
Mengingat hal ini, penulis mengusulkan agar dalam pembentukan IPM, BPS mengikutkan
daerah asal penduduk terutama untuk unsur pembentuk IPM dari dimensi pendidikan (knowledge).
Penulis menyadari hal ini tidak akan mudah dilakukan oleh BPS, karena perpindahan seorang
Hal lain yang mungkin bisa menjadi alternatif adalah mencabut kembali urusan daerah di
bidang pendidikan menjadi urusan pemerintah pusat. Sebagaimana diamanatkan dalam UUD 1945,
bahwa negara berkewajiban mencerdaskan kehidupan bangsa. Dengan menjadi urusan pemerintah
pusat, perpindahan penduduk dari mana dan kemanapun sepanjang masih dalam wilayah NKRI
tidak akan menimbulkan masalah seperti di atas. Dan dengan demikian IPM/HDI sebagaimana
digunakan oleh UNDP dalam membandingkan tingkat pembangunan antar berbagai negara, tidak
tepat lagi dalam konteks perbandingan antar daerah. Perlu dicarikan alternatif lain parameter yang
dapat digunakan untuk membandingkan prestasi pembangunan antar daerah.
Kesimpulan
Dari apa yang telah diuraikan di atas, penulis dapat mengambil kesimpulan sebagai
berikut :
1. Sebenarnya Indeks Pembangunan Manusia (IPM) merupakan alat ukur yang peka untuk
dapat memberikan gambaran perubahan yang terjadi, terutama pada dimensi standar hidup
layak. Terbutki dalam kasus Indonesia yag sangat merosot akibat krisis ekonomi yang terjadi
sejak pertengahan tahun 1997. Dimana pada tahun-tahun tersebut sampai dengan awal
decade tahun 2000-an IPM Indonesia memang terpuruk dan mulai merangkak naik lagi
setelahnya.
2. Namun IPM sebagai alat pengukuran hanya cocok dipakai untuk alat pengukuran dalam
satuan wilayah yang mobilitas penduduk tidak terlalu besar, teruma untuk dimensi
kesehatan dan pendidikan, misalnya satuan wilayah negara. Perpindahan penduduk antar
negara tidaklah sebesar perpindahan penduduk antar provinsi ataupun kab/kota. Karena
migran antar negara tentunya akan lebih sulit. Jikalaupun misalnya perpindahan penduduk
antar negara juga di anggap cukup besar, misalnya TKI ataupun ekspatriat, namun tentunya
mereka masih lebih mudah diidentifikasi asalnya dibandingkan dengan migrant dalam
negeri. Sehingga perbandingan IPM atau HDI antar negara oleh UNDP masih lebih berarti
dan tepat daripada perbandingan IPM antar wilayah dalam suatu negara. Dengan kata lain
IPM tidak lagi terlalu tepat untuk dijadikan ukuran dalam perbandingan kemajuan
pembangunan manusia antar daerah.
Saran
1. IPM dalam formulasi DAU perlu pengkajian lebih lanjut tentang :
Apakah IPM masih layak digunakan;
Bagaimana cara penggunaannya yang lebih baik;
Maupun perlu tidaknya alterntif lain sebagai pengganti IPM.
Hal ini mungkin diperlukan agar tujuan DAU sebagai sarana pemerataan kemampuan
keuangan antar daerah lebih dapat tercapai dengan cepat dan tepat.
2. Pelarangan perpindahan penduduk antar daerah dalam suatu wilayah NKRI mustahil
dilakukan. Yang perlu dilakukan adalah pemerataan pembangunan baik manusianya
maupun infrastrukturnya. Perlu didorong perpindahan penduduk berpendidikan tinggi dari
daerah maju ke daerah terbelakang maupun mencegah (bukan melarang) perpindahan dari
daerah terbelakang ke daerah maju, dengan pemberian insentif khusus.
3. Untuk urusan-urusan pemerintah daerah yang berakibat banyak lintas batas antar daerah,
seperti misalnya pendidikan maupun kesehatan, sebaiknya diambil alih kembali oleh
pemerintah pusat. Hal ini agar daerah lebih fokus terhadap fungsi pelayanan dan
pembangunan yang menjadi urusannya sendiri dan mencegah konflik dengan daerah
lainnya.
Badan Pusat Statistik, 2008, Indeks Pembangunan Manusia 2006-2007, Katalog BPS : 4102002
Luki Aulia, 2009, Kebijakan Perlindungan Pekerja Migran Perlu Direformasi, Kompas 5 okt 2009
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/18185/4/Chapter%20II.pdf
http://yapenwaropenkab.bps.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=15:ipm&catid
=31:sosial&Itemid=46