Anda di halaman 1dari 3

Compounding and dispensing merupakan proses penyiapan obat dari awal hingga penyerahan obat

kepada pasien sesuai dengan resep yang tertulis. Terdapat 6 langkah umum dalam compounding and
dispensing yaitu (fig.30-2)(1), 1. menerima resep dan melakukan skrining kelengkapan resep, 2. memahami
dan menginterpretasikan resep yang diterima, 3. Proses penyiapan dan peracikan resep termasuk labeling, 4.
melakukan final check untuk memastikan obat yang diracik sesuai dengan resep, 5. dokumentasi terhadap
resep yang telah dibuat, 6. penyerahan obat dan pemberian KIE kepada pasien. Pengkajian Resep meliputi
administrasi, kesesuaian farmasetik dan pertimbangan klinis. Kajian administratif meliputi: nama pasien, umur,
jenis kelamin dan berat badan; nama dokter, nomor Surat Izin Praktik (SIP), alamat, nomor telepon dan paraf;
dan tanggal penulisan Resep. Kajian kesesuaian farmasetik meliputi: bentuk dan kekuatan sediaan; stabilitas;
dan kompatibilitas (ketercampuran Obat). Pertimbangan klinis meliputi: ketepatan indikasi dan dosis obat;
aturan, cara dan lama penggunaan Obat; duplikasi dan/atau polifarmasi; reaksi obat yang tidak diinginkan
(alergi, efek samping obat, manifestasi klinis lain); kontra indikasi; interaksi(2).
Dermatitis atopic (DA) merupakan suatu penyakit inflamasi kulit yang umum dan mengenai15-25%
anak-anak dan 3% dewasa. Penyakit ini berkaitan erat dengan asma dan sensitisasi alergi dengan gajala
khas kulit gatal, meradang, dapat kambuh serta penyakitnya kronis. Pada pasien DA, terjadi kenaikan IgE,
eosinofil, makrofag, dan sel T. Jika kedua atau salah satu orang tua mempunyai riwayat alergi dan asma maka
akan menyebabkan kenaikan serum IgE. IgE merupakan perantara terjadinya reaksi hipersensitivitas yang
berupa alergi, sehingga anak tersebut akan lebih mudah terkena alergi, sebab manifestasi dari alergi bisa
berupa asma, rinitis alergik (RA) dan dermatitis atopik (DA) (3,4). Klasifikasi dari DA terdiri dari 3 yaitu a. akut
yaitu pruritus/gatal intensif, papula eritematosa dan vesikel, ekskoriasi dan eksudat, b. subakut yaitu lesi lebih
tebal, pucat, bersisik, eritematosa, dan eksoriasi plak dan c. kronis yaitu plak menebal, tanda kulit
ditekankan/likenifikasi, dan papula fibrosis(5). Etiologi dari DA antara lain idiopatik, bisa karena genetik,
lingkungan, dan mekanisme imunologi(6). Patofisiologi dari DA yaitu adanya paparan alergen pada kulit yang
menyebabkan sensitisasi, alergen ditangkap oleh sel APC (antigen presenting cell) dan diserahkan ke sel
limfosit T dgn bantuan MHC klas II. Hal tersebut mengakibatkan sel T aktif, alergen dikenali melalui T cell
receptor (TCR) sehingga sel T berdeferensiasi, kemudian subpopulasi sel Th2 yang mensekresi IL-4 dan
sitokin dan menyebabkan sel B memproduksi IgE (yang spesifik terhadap alergen) yang kemudian berikatan
dengan sel mast dan basofil. Pada paparan alergen berikutnya, IgE telah tersedia pada permukaan sel mast
membentuk ikatan alergen, IgE yang mnyebabkan degranulasi sel mast dan pelepasan mediator: histamin,
leukotrien C4 (LTC4), prostaglandin D2 (PGD2) dll. Faktor resiko dari DA adalah a. aeroalergen: tungau debu
rumah, serbuk sari, bulu binatang, jamur & kecoa. b. Makanan: susu, telur, kacang, ikan laut, kerang laut &
gandum. c. Bahan iritan: wool, desinfektan, nikel. d. Psikologi: stress(3). Terapi DA dapat dibedakan menjadi
terapi farmakologi dan terapi non farmakologi. Terapi farmakologi berdasarkan penangan akut dari pruritus
dan peradangan diberikan kortikosteroid topikal atau inhibitor kalsineurin topikal, pimekrolimus BID atau
takrolimus BID, pemeliharaan terapi untuk penyakit yang tak kunjung membaik dan atau kambuh pada tanda
pertama kemunculan gunakan inhibitor kalsineurin topikal untuk mencegah perkembangan penyakit,
penggunaan dapat berselang-seling dengan kortikosteroid topikal, kekambuhan yang parah fototerapi, steroid
topikal yang kuat, siklosporin, MTX. Terapi tambahan untuk menghindari faktor pemicu: infeksi bakteri
menggunakan AB oral atau topikal, infeksi virus menggunakan antiviral, antihistamin. Terapi non-farmakologi
yang dapat menunjang proses penyembuhan antara lain identifikasi allergen yang berpotensi memicu atau
memperparah DA, gunakan emolien dalam tiga menit setelah mandi, gunakan air hangat ketika mandi, hindari
penggunaan lap atau penggosok yang dapat mengiritasi, gunakan baju berbahan katun, jaga kelembaban kulit
dan jaga agar kuku tetap pendek dan bersih untuk mencegah timbulnya guratan ketika menggaruk (7,8).
Jerawat (Acne vulgaris) merupakan inflamasi kronik yang terjadi pada dermatosis ditandai dengan
adanya komedo (tertutup maupun terbuka) dan lesi berupa papula, pustula dan nodul atau kista(9). Klasifikasi
jerawat dibagi menjadi 3 yaitu, 1. komedonal acne, terdiri dari papula kecil berwarna putih (komedo tertutup)
dan papula putih keabu-abuan yang timbul akibat oklusi duktal dan sekresi sebum. 2. Papular pustular
sedang-berat, ditandai dengan lesi inflamasi yang dangkal. 3. Severe acne, terdiri dari pustula yang dalam
dan nodul, sakit jika ditekan, lesi dapat meluas dan menyebabkan kerusakan jaringan, contohnya jerawat
konglobata dimana terdapat inflamasi papula yang luas, nodul dan kista yang menyebabkan jaringan parut (10).
Tanda dan gejala yang sering terjadi adalah : terdapat komedo, papula, pustula, nodul, kista, dan jaringan
parut pada muka, leher, punggung, dada. Pada akne fulminan disertai demam, atralgia, dan lesi litik steril
pada tulang(11). Etiologi jerawat antara lain : produksi minyak, sel kulit mati, pori-pori yang tersumbat, dan
bakteri, hormon (androgen, ketidakstabilan hormon saat hamil), obat-obatan (kortikosteroid, androgen, litium,
makanan (makanan yang mengandung lemak tinggi, coklat, makanan tinggi karbohidrat), stress, kulit yang
tidak bersih, kosmetik, keturunan(12). Patofisiologi dari jerawat yaitu peningkatan produksi sebum,
pengelupasan keratinosit, pertumbuhan bakteri, dan inflamasi. Komedo terbentk hasil dari penyumbatan folikel
pilosebaceous. Kanal folikel melebar dan produksi sel meningkat. Sebum bercampur dengan kelebihan
pengelupasan sel menyebabkan sumbatan pada keratinosit. Komedo tertutup dapat menandakan terjadinya
lesi yang meradang dan lebih besar. Apabila dinding folikel rusak atau pecah isi folikel dapat menonjol keluar
pada dermis dan disebut pustula. Faktor Resiko jerawat ini bermacam-macam yaitu faktor genetik, faktor ras,
dimana berkulit putih lebih banyak menderita acne dibandingkan dengan yang berkulit hitam, hormonal dan
kelebihan keringat serta menstruasi, diet (seperti coklat dan makanan berlemak), iklim atau cuaca, lingkungan
serta stress(13). Terapi jerawat pada awalnya cukup dengan terapi non farmakologi dengan menghindari
konsumsi kacang-kacangan dan berlemak, menghindari peakaian kosmetik yang berlebihan, membersihkan
permukaan kulit dengan sabun dan air, menggosok kulit jangan terlalu keras karena akan mengiritasi kulit,
menggunakan pembersih yang lembut. Terapi farmakologi berdasarkan klasifikasi jerawat yaitu untuk kategori
ringan bisa menggunakan 1st line benzoyl peroxide (BP) atau topical retinoid atau juga bisa menggunakan
kombinasi terapi (BP) + antibiotik/retinoid + antibiotik/Retinoid + BP + antibiotik. Alternatif terapi untuk jerawat
kategori ringan yaitu dengan menggunakan topical retinoid atau topical BP. Untuk kategori sedang bisa
menggunakan topikal kombinasi terapi menggunakan BP + antibiotik atau retinoid + BP atau retinoid + BP +
Antibiotik atau antibiotik oral+topical retinoid + BP + topical antibiotik. Untuk kategori berat bisa menggunakan
oral antibiotik + kombinasi topikal seperti BP + antibiotik atau retinoid+ BP + antibiotik atau oral isotretinoid(14).
Berikut merupakan permasalahan pada skenario beserta careplan yang dapat dilakukan:
Aspek Permasalahan Careplan
Skrining Usia pasien Ditanyakan ke pasien
administratif Jenis kelamin pasien Ditanyakan ke pasien
Berat badan pasien Ditanyakan ke pasien
Paraf dokter Ditanyakan ke dokter
Alamat praktik dokter yang tidak sesuai Ditanyakan ke dokter
Skrining Kekuatan sdiaan Konfirmasi ke dokter
farmasetis Cara pakai Konfirmasi ke dokter
Bentuk sediaan Konfirmasi ke dokter
Skrining Dosis ozen (s.2.dd.1/2) Direkomendasikan s.2.dd.1
klinis Frekuensi penggunaan zeliris 2 kali Direkomendasikan diganti dengan renitoin 0,025% satu
sehari kali sehari malam hari karena berfungsi untuk menipiskan
kulit sehingga tidak terjadi rupture
Dosis betametason (s.3.dd.u.e) Direkomendasikan s.2.dd.1 tiap pagi dan sore
Efek samping kortikosteroid penebalan pemberian emollient atau pelembab (carmed urea, noroid,
kulit ezzera)
Monitoring efek samping obat (skin atropy/ penebalan, rasa terbakar dikulit, iritasi, kulit kering, gatal,
mengelupas, berminyak, panas), monitoring keparahan dan perubahan jerawat atau DA yang dialami. KIE
yang dapat diberikan pada pasien DA dan jerawat yaitu menghindari terjadinya peningkatan sebum dengan
cara diet rendah lemak dan karbohidrat serta melakukan perawatan kulit untuk membersihkan permukaan kulit
dari kotoran secara lembut. Menghindari terjadinya faktor pemicu, misalnya: hidup teratur dan sehat, cukup
berolahraga sesuai kondisi tubuh, hindari stres, menjauhi terpacunya kelenjar minyak misalnya minuman
keras, pedas, rokok, dan sebagainya. Memberikan informasi yang cukup pada penderita mengenai penyebab
penyakit, pencegahan dan cara maupun lama pengobatan serta prognosisnya. Tidak menyentuh kulit dan
memberikan eduksi kepada pasien untuk meningkatkan rasa percaya diri kepada pasien(15).
DAFTAR PUSTAKA
1. Albert, C., et al, 2012, Managing Access to Medicine and Health Technologies, Management Science for Health, Inc.
Chapter 30
2. Anoim, PMK no.35 tahun 2014 tentang pelayanan farmasi klinis di Apotek, Kementerian Kesehatan Indonesia.
3. Dipiro, J.T., et al, 2008, Pharmacotherapy: A Pathophysiologic Approach, 7th, MC grow Hill, Washington DC.
4. Eichenfield, L.F. Hanifin, J.M. Beck, L.A. Lemanske Jr, R.F. Sampson, H.A. Weiss, S.T. Leung, D.Y.M. 2003. Atopic
Dermatitis and Asthma: Parallels in the Evolution of Treatment.
5. Rubel D, Thirumoorthy T, Soebaryo RW, Weng SCK, Gabriel TM, Villafuerte LL., 2013, Consensus Guidelines for the
Management of Atopic Dermatitis: an Asia-Pacific perspective. Jour Dermatol 201
6. Wells, B.G., Dipiro, J.T., Scwinghammer, T.L., Dipiro, C.V., 2015, Pharmacotherapy Handbook, 9th, MC grow Hill,
Washington DC.
7. Sukandar, E.Y., Andrajati, R., Sigit, J.I., Adnyana, I.K., Setiadi, A.P., Kusnandar, 2011, ISO Farmakoterapi, Buku 2,
Penerbit ISFI, Jakarta.

8. Anonim, available at www.medsacape.com, diakses pada tanggal 23 Mei 2017.

9. Zaenglein et al, Guidelines of care for the management of acne vulgaris, J Am Acad Dermatol, 2016: vol.74(5); 945-
953.
10. Asai, Yuka et al, Management of acne: Canadian clinical practice guideline, CMAJ, 2015.
11. Davey, P., 2003, At a Glance Medicine, Penerbit Erlangga, Jakarta, 404

12. Anonim, 2002, Diseases and Conditions Acne, available at http://www.mayoclinic.org/diseasea-


conditions/acne/basics/causes/con-20020580 (diakses pada tanggal 23 Mei 2017)

13. Thompson, Amy E., Acne, JAMA, 2015 Volume 313, Number 6; 640.
14. Zaenglein et al, Guidelines of care for the management of acne vulgaris, J Am Acad Dermatol, 2016: vol.74(5); 945-
953.
15. Anonim, 2014, American Academy of Dermatology, https://www.aad.org/dermatology-a-to-z/diseases-and-
treatments/a---d/acne/tips : diakses tanggal 3 Mei 2016.

Anda mungkin juga menyukai