Anda di halaman 1dari 20

ANALISIS PREDIKSI FINANCIAL DISTRESS PEMERINTAH DAERAH

KABUPATEN/KOTA DI INDONESIA PERIODE 2011-2013

NASKAH PUBLIKASI

Disusun Oleh:
DEWI SARTIKA
B 200 122 012

PROGRAM STUDI AKUNTANSI


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2016
HALAMAN PERSETUJUAN

ANALISIS PREDIKSI FINANCIAL DISTRESS PEMERINTAH DAERAH


KABUPATEN/KOTA DI INDONESIA PERIODE 2011-2013

PUBLIKASI ILMIAH

Oleh:

DEWI SARTIKA
B 200 122 012

Telah diperiksa dan disetujui oleh:

Dosen Pembimbing

(Drs. Suyatmin Waskito Adi, M.Si)

2
HALAMAN PENGESAHAN

ANALISIS PREDIKSI FINANCIAL DISTRESS PEMERINTAH DAERAH


KABUPATEN/KOTA DI INDONESIA PERIODE 2011-2013

Yang ditulis oleh:


DEWI SARTIKA
B 200 122 012

Telah dipertahankan di depan Dewan Penguji Fakultas Ekonomi dan Bisnis


Universitas Muhammadiyah Surakarta
Pada hari Sabtu, 23 April 2016
Dan dinyatakan telah memenuhi syarat Dewan Penguji:
1. Drs. Suyatmin Waskito Adi, M.Si ( )
(Ketua Dewan Penguji)
2. Dr. Fatchan Achyani, SE., M.Si. ( )
(Anggota 1 Dewan Penguji)
3. Eko Sugiyanto, SE.,M.Si. ( )
(Anggota 2 Dewan Penguji)

Mengetahui,
Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Universitas Muhammadiyah Surakarta

(Dr. Triyono, SE., M.Si.)

3
PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam naskah publikasi ini tidak terdapat

karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan

tinggi dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang

pernah ditulis atau diterbitkan orang lain, kecuali secara tertulis diacu dalam naskah

dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Apabila kelak terbukti ada ketidakbenaran dalam pernyataan saya di atas,

maka akan saya pertanggungjawabkan sepenuhnya.

Surakarta, 29 April 2016


Penulis

DEWI SARTIKA

4
ANALISIS PREDIKSI FINANCIAL DISTRESS PEMERINTAH DAERAH
KABUPATEN/KOTA DI INDONESIA PERIODE 2011-2013

ABSTRACT
Financial distress is a condition in which an area experiencing financial difficulties. This study aims
to examine the effect of financial independence, decentralization, and the solvency of the prediction of financial
distress in the local government district or city in Indonesia listed in the Board of Audit of the Republic of
Indonesia and the Director General of the Financial Balance of Local Government in 2010-2013.
The sampling method with a purposive sampling according to criteria that have been determined.
The number of samples collected as many as 40 districts or cities. The collected data were analyzed using
logistic regression analysis. The results showed that the variables of financial independence and thesolvency
affect the financial distress prediction while decentralization variable does not affect the prediction of financial
distress.

Keywords: Financial Distress, Financial Independence, Decentralization, Solvency.

ABSTRAK
Financial distress merupakan suatu kondisi dimana suatu daerah mengalami
kesulitan keuangan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menguji pengaruh kemandirian
keuangan, desentralisasi dan solvabilitas terhadap prediksi financial distress pada pemerintah
daerah kabupaten/kota di Indonesia yang terdaftar di Badan Pemeriksaan Keuangan
Republik Indonesia dan Dirjen Perimbangan keuangan pemerintah daerah pada tahun 2010-
2013.
Metode pengambilan sampel dengan cara purposive sampling sesuai kriteria yang telah
ditentukan. Jumlah sampel yang terkumpul sebanyak 40 kabupaten/kota. Data yang telah
dikumpulkan dianalisis dengan menggunakan analisis regresi logistik. Pengujian hipotesis
dalam penelitian ini menggunakan analisis regresi berganda. Hasil penelitian menujukkan
bahwa variabel kemandirian keuangan, dan solvabilitas berpengaruh terhadap prediksi
financial distress sedangkan variabel desentralisasi tidak berpengaruh terhadap prediksi financial
distress.

Kata kunci : Financial Distress, Kemandirian Keuangan, Desentralisasi, Solvabilitas.

5
I. PENDAHULUAN
Setelah lebih dari satu dasawarsa, pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia mengenai
keberhasilan program ini mulai banyak dipertanyakan. Otonomi daerah yang tadinya
diharapkan mampu memperbaiki masalah ketimpangan pertumbuhan ekonomi dan
pembangunan, justru menimbulkan masalah baru akibat adanya penyalahgunaan wewenang
yang telah diberikan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Adanya temuan lembaga
independen yang ikut mengawasi pelaksanaan otonomi daerah juga telah menyebutkan
bahwa kini kondisi keuangan daerah cenderung kritis dan mengkhawatirkan (Syurmita, 2014).
Mengutip temuan Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA), di
Indonesia terdapat 124 pemda yang 60% lebih APBD-nya untuk belanja pegawai. Jika
kondisi keuangan ini dibiarkan terus-menerus, kebangkrutan pemda diperkirakan
mengancam daerah dalam 2-3 tahun mendatang. Idealnya, belanja pegawai kurang dari 50%
dari total APBD. Jika melebihi, atau setiap tahun belanja pegawai mengalami kenaikan hingga
menghilangkan rasionalitas struktur APBD, yang dirugikan adalah rakyat. Dipastikan banyak
sektor publik dan pelayanan yang tidak akan memperoleh anggaran secara cukup(Republika,
2011). Selain itu dikabarkan dari harian Solopos (2011) mayoritas anggaran pendapatan dan
belanja daerah (APBD) kabupaten/kota di negeri ini habis untuk belanja pegawai. Dalam
APBD Kabupaten Klaten 2011, belanja pegawai menghabiskan 70% dari total APBD-nya, di
Solo 60%, di Boyolali 69%, di Sukoharjo 62,98%, di Sragen 64,4%, dan di Karanganyar 75%
(Khoirul Fariz Atmaja, 2012).
Sebagai salah satu bentuk organisasi yang bertujuan untuk memberikan pelayanan
kepada masyarakat umum berupa peningkatan keamanan, peningkatan kesejahteraan,
peningkatan mutu pendidikan atau peningkatan mutu kesehatan dan lain-lain, entitas
pemerintah merupakan sebuah organisasi yang orientasi utamanya tidak untuk mencari
keuantungan (laba). Entitas pemerintah memiliki karakteristik khusus danterkesan sebagai
lembaga politik daripada lembaga ekonomi, jika dibandingkan dengan organisasi nirlaba
lainnya. Akan tetapi, karakteristik tersebut tidak berarti bahwa entitas pemerintah tidak
memerlukan lembaga ekonomi. Sebagaimana organisasi nir-laba lainnya, entitas
pemerintah juga memerlukan sebuah lembaga ekonomi untuk mengatur perekonomian
pemerintah, termasuk pengaturan mengenai pendapatan pemerintah yang berasal dari
retribusi, pajak, dan lain-lain, serta pengaturan mengenai pengeluaran pemerintah untuk
membiayai kegiatan-kegiatan yang dilakukan pemerintah guna mendukung pelaksanaan
pelayanan kepada masyarakat (Ardi, 2011).

6
Penelitian mengenai indikator-indikator prediksi financial distress telah banyak dilakukan,
diantaranya adalah penelitian Pramono (2014), Sutaryo dkk. (2012), Tubels (2015) Khoirul
(2012), Dwijayanti (2010), Yuanita (2012), dan Albasiah(2013).Penelitian mengenai prediksi
financial distress ini dilakukan mengingat pentingnya peran pemerintah bagi masyarakat
sehingga pemerintah perlu mengetahui indikator-indikator yang mempengaruhi prediksi
financial distress agar dapat terhindar dari kondisi financial distress, serta perbedaan hasil
penelitian yang ditemukan oleh peneliti-peneliti terdahulu. Penelitian ini mengacu pada
penelitian Syurmita (2014) yang meneliti tentang prediksi financial distress pemerintah daerah
kabupaten/kota di Indonesia. Indikator-indokator prediksi financial distress dalam penelitian
ini adalah kemandirian, desentralisasi, solvabilitas, dan pemekaran wilayah. Perbedaan
penelitian terdahulu dengan penelitian ini terletak pada variabel independennya. Peneliti tidak
menggunakan variabel pemekaran wilayah dan mengganti periode waktu yang lebih panjang
dan baru yaitu 2010-2013.

II. KAJIAN LITERATUR DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS


Teori Kebangkrutan
Kebangkrutan yaitu suatu kondisi dimana suatu perusahaan tidak mampu melaksanakan
kegiatan operasional perusahaan (Ramadhani dan Lukviarman dalam Dwijayanti, 2010).
Kebangkrutan dapat diartikan juga sebagai kegagalan perusahaan dalam menjalankan operasi
perusahaan untuk memperoleh laba. Kegagalan dalam arti ekonomi (economic failure) biasanya
berarti bahwa perusahaan kehilangan uang atau pendapatan perusahaan tidak menutup
biayanya sendiri, ini berarti tingkat labanya lebih kecil dari biaya modal atau nilai sekarang
dari arus kas perusahaan lebih kecil dari kewajiban (Mastuti, dkk., 2013)

Otonomi Daerah
Otonomi daerah merupakan penyerahan wewenang pemerintah pusat kepada
pemerintah daerah untuk mengatur dan mengelola keuangan daerah. Berdasarkan Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia Nomor 84 Tahun 2000 tentang Pedoman Organisasi
Perangkat Daerah, otonomi daerah adalah kewenangan daerah otonom untuk
mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri
berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundangan (Albasiah, 2013).
Pelaksanaan otonomi daerah dapat memberi pengaruh pada kehidupan masyarakat
dalam berbagai bidang. Dalam konsep otonomi daerah, pemerintah dan masyarakat di suatu

7
daerah memiliki peranan yang penting dalam peningkatan kualitas pembangunan di daerah
masing-masing (Syurmita, 2014).

Kemandirian Keuangan
Kemandirian keuangan daerah (otonomi fiskal) mengindikasikan kemampuan
pemerintah daerah dalam membiayai sendiri kegiatan pemerintahan, pembangunan, dan
pelayanan masyarakat yang telah membayar pajak dan retribusi sebagai sumber
pendapatan daerah (Halim dalam Pramono, 2014).Rasio kemandirian keuangan daerah
menggambarkan ketergantungan daerah terhadap sumber eksternal. Semakin tinggi rasio
kemandirian mengandung arti bahwa tingkat ketergantungan daerah terhadap bantuan pihak
eksternal (terutama pemerintah pusat dan provinsi) semakin rendah dan demikian sebaliknya.
Rasio kemandirian juga menggambarkan tingkat paritisipasi masyarakat dalam pembangunan
daerah (Havid dan Yanuar, 2012).

Desentralisasi
Desentralisasi merupakan penyerahan tugas atau wewenang dari pemerintah pusat
kepada pemerintah daerah. Desentralisasi dilaksanakan dengan tujuan untuk mempermudah
daerah dalam melaksanakan fungsi pemerintah yakni, memaksimalkan potensi daerah
masing-masing. Tubels (2015) menjelaskan bahwa pemerintah daerah merupakan unit yang
lebih dekat ke masyarakat dibandingkan pemerintah pusat dimana pemerintah pusat dapat
memiliki assymetric information sementara pemerintah daerah lebih kecil derajat assymetric
information-nya karena lebih dekat ke masyarakat.
Menurut Hasugian dalam Falah, dkk. (2015) desentralisasi fiskal merupakan salah satu
mekanisme transfer dana APBN dalam kaitannya dengan kebijakan keuangan negara yaitu
untuk mewujudkan ketahanan fiskal yang berkelanjutan dan memberikan stimulus terhadap
aktivitas perekonomian masyarakat, maka dengan kebijakan desentralisasi fiskal diharapkan
akan menciptakan pemerataan kemampuan keuangan antar daerah yang sepadan dengan
besarnya kewenangan urusan pemerintahan yang diserahkan kepada daerah otonom
(Hasugian dalam Falah, dkk. 2015).

Solvabilitas
Rasio solvabilitas merupakan rasio yang digunakan untuk mengukur sejauh mana aktiva
perusahaan dibiayai dengan utang. Artinya berapa besar beban utang yang ditanggung
perusahaan dibandingkan dengan aktivanya (Kasmir dalam Mirza, 2012).

8
Prasetyaningsih (2011) menggambarkan rasio solvabilitas sebagai kemampuan
perusahaan dalam membayar kewajiban jangka panjangnya atau kewajiban-kewajibannya
apabila perusahaan dilikuidasi. Ketersediaan sumber daya untuk melunasi utang merupakan
sinyal kemampuan organisasi dalam memenuhi komitmen keuangan (Syurmita, 2014).

Financial Distress
Financial distress menurut Ross dan Westerfield dalam Tubels (2015) adalah suatu kondisi
dimana cash flow operasi perusahaan tidak mampu menutupi atau mencukupi kewajiban saat
ini.Financial distress dapat membawa suatu perusahaan mengalami kegagalan (corporate failure)
pada kontraknya yang akhirnya dapat dilakukan retrukturisasi finansial antara perusahaan,
kreditur, dan investor. Sedangkan pada sektor pemerintahan, financial distress adalah
ketidakmampuan pemerintah untuk menyediakan pelayanan publik sesuai standar mutu
pelayanan yang ditetapkan. Salah satustandar mutu pelayanan ditetapkan oleh pemerintah
pusat terhadap pemerintah daerah adalah alokasi belanja modal. Adapun standar mutu
pelayanan berupa belanja modal adalah sebesar 30% berdasarkan pedoman penyusunan
anggaran pendapatan dan belanja daerah.

Penelitian Terdahulu
Hasil penelitian Atmaja (2012) menunjukkan bahwa variabel rasio kinerja keuangan,
rasio posisi keuangan, rasio efisiensi, dan rasio utang secara simultan mempengaruhi
kemungkinan financial distress. Secara parsial rasio posisi keuangan, rasio efisiensi, dan rasio
hutang berpengaruh terhadap kemungkinan financial distress, tetapi rasio kinerja keuangan tidak
berpengaruh terhadap kemungkinan financial distress.
Hasil penelitian Tubels (2015) menunjukkan bahwa terdapat kerentanan financial distress
yang disebabkan oleh kurangnya kemandirian fiskal dan rendahnya derajat desentralisasi.
Namun terdapat potensi perbaikan atas financial distress di masa depan apabila Pemkot Bandar
Lampung dapat mengoptimalkan kelompok penduduk dalam usia produktif untuk
mendorong pertumbuhan ekonomi dan pendapatan asli daerah sehingga dapat menurunkan
tingkat financial distress.
Hasil penelitian Syurmita (2014) menunjukkan bahwa prediksi financial distress
pemerintah daerah kabupaten/kota di Indonesia secara signifikan dipengaruhi oleh tingkat
kemandirian daerah, derajat desentralisasi, populasi penduduk dan pemekaran wilayah. Secara
parsial desentralisasi, solvabilitas, dan pemekaran wilayah berpengaruh positif terhadap

9
financial distresssedangkan kemandirian keuangan dan populasi penduduk berpengaruh negatif
terhadap financial distress.
Hasil penelitian Sutaryo, dkk. (2010), menunjukkan bahwa return on asset (ROA), position
government wealth (POSGW), current liquidity government wealth (CLGW), liquidity (LQ), current
liabilities (CL) dan long term debt to total asset (LTDA) berpengaruh terhadap financial distress pada
tahun selanjutnya. Sementara performance government wealth (PERGW), level of capital outly(LCO),
long term debt to total asset (LTDA) dandebt to revenue (DTR) berpengaruh terhadap financial
distress untuk dua tahun selanjutnya.
Hasil penelitian Ardi (2011) tentang analisis kesehatan keuangan pemerintah daerah
dalam mendukung pelaksanaan otonomi menunjukkan bahwa tingkat kemandirian
pemerintah daerah Kabupaten Jember tergolong masih sangat rendah, dengan rata-rata
sebesar 8,99%. Hal ini berarti tingkat ketergantungan pemerintah daerah terhadap bantuan
finansial dari pemerintah provinsi maupun pemerintas pusat masih sangat tinggi.

Pengaruh Kemandirian Keuangan terhadap Financial Distress


Teori ketergantungan sumber daya menjelaskan mengenai hubungan antar organisasi.
Sebuah organisasi dipandang memiliki sifat seperti makhluk hidup (organisme) yang
survavilitasnya akan tergantung pada lingkungan. Organisasi mengambil sumber daya dari
lingkungannya, seperti bahan baku dan tenaga kerja. Organisasi yang mampu menguasai
sumberdaya vital atau bisa mengurangi ketidakpastian dalam hubungannya dengan organisasi
lain akan memiliki kekuatan (power) yang paling besar (Preffer Salancik dalam Syurmita, 2014)
Pramono (2014) rasio kemandirian juga menggambarkan tingkat partisispasi masyarakat
dalam pembangunan daerah. Semakin tinggi rasio kemandirian, semakin tinggi partisipasi
masyarakat dalam membayar pajak dan retribusi daerah yang merupakan komponen utama
pendapatan asli daerah. Semakin tinggi masyarakat membayar pajak dan retribusi daerah
menggambarkan bahwa tingkat kesejahteraan masyarakat semakin tinggi. Berdasarkan hal
tersebut maka peneliti merumuskan hipotesis sebagai berikut:
H: Kemandirian keuangan pemerintah daerah berpengaruh terhadap prediksi financial
distress.

Pengaruh Desentralisasi terhadap Financial Distress


Teori ketergantungan sumber daya menjelaskan bahwa organisasi adalah
konsekuensi dari kemampuan mereka mempengaruhi, sehingga organisasi yang hidupnya

10
tergantung pada subsidi pemerintah biasanya akan cenderung lebih taat pada pemerintah
(aturan) pemerintah (Preffer dan Salancik dalam Syurmita, 2014).
Menurut UU No. 32 tahun 2005, tujuan pelaksanaan otonomi daerah dan
desentralisasi fiskal adalah untuk meningkatkan kemandirian dan mengurangi ketergantungan
fiskal pemerintah daerah terhadap pemerintah pusat (Albasiah, 2013). Berdasarkan hal
tersebut maka peneliti merumuskan hipotesis sebagai berikut:
H: Kontribusi pendapatan asli daerah dalam penyelenggaraan desentralisasi berpengaruh
terhadap prediksi financial distress.

Pengaruh Solvabilitas terhadap Financial Distress


Ketersediaan sumber daya untuk melunasi utang merupakan sinyal kemampuan
organisasi dalam memenuhi komitmen keuangan (Syurmita, 2014). Beberapa penelitian
terdahulu pada sektor publik menggunakan rasio kewajiban sebagai indikator financial distress.
Cohen dalam Sutaryo, dkk. (2010) menggunakan rasio terkait kewajiban keuangan
pemerintah berupa current ratio, debt to equity ratio, long term liabilities to total asset. Hasil penelitian
ini adalah bahwa rasio utang pemerintah dipengaruhi oleh jumlah penduduk dan jumlah
pendapatan serta jumlah pengeluaran yang dilakukan oleh pemerintah daerah.
Groves,et al.dalam Sutaryo, dkk. (2012) menggunakan rasio terkait kewajiban berupa debt
structure dan unfunded liabilities untuk memberi penggambaran kemampuan pembayaran
kewajiban pemerintah. Berdasarkan hal tersebut maka peneliti merumuskan hipotesis sebagai
berikut:
H: Kemampuan pemerintah daerah dalam melunasi kewajibannya berpengaruh terhadap
prediksi financial distress.

III. METODE
Desain Penelitian
Desain penelitian ini adalah penelitian kuantitatif dengan melakukan uji hipotesis.
Data yang digunakan adalah data sekunder dengan melihat laporan tahunan kinerja
pemerintah. Data penelitian ini diperoleh dari Badan Pemeriksaan Keuangan Republik
Indonesia (www.bpk.go.id) dan Dirjen Perimbangan Keuangan Pemerintah Daerah selama
tahun 2010-2013 yang meliputi laporan keuangan yang telah diaudit, laporan realisasi APBD,
dan laporan neraca tahuhan.

11
Populasi dan Sampel Penelitian
Populasi dalam penelitian ini adalah pemerintah daerah kabupaten/kota di Indonesia
periode 2010-2013. Pada penelitian ini teknik pengambilan sampel dilakukan dengan
probabilitas yaitu dilakukan secara purposive sampling. Kriteria pemilihan sampel sebagai
berikut:
1. Pemerintah kabupaten/kota di Indonesia yang menerbitkan kinerja laporan keuangan
pemerintah daerah tahun 2010-2013.
2. Pemerintah kabupaten/kota di Indonesia yang menyampaikan laporan realisasi APBD
dan laporan neraca tahunan kepada Dirjen Perimbangan Keuangan Pemerintah Daerah
tahun 2010-2013.
3. Pemerintah kabupaten/kota di Indonesia yang mengalokasikan belanja pegawai lebih
dari 75% tahun 2010-2011.

Definisi Operasional Variabel dan Pengukuraannya


Variabel Dependen (Y)
Variabel dependen yang digunakan dalam penelitian ini adalah pemerintah daerah
dengan status distress dan pemerintah daerah non distress. Berdasarkan Peraturan Pemerintah
No. 54/2005 tentang Pinjaman Daerah, pengelompokan sampel penelitian ini menggunakan
Debt Service Coverage Ratio (DCSR). Peraturan menyebutkan bahwa salah satu syarat untuk
dapat melakukan pinjaman daerah adalah Debt Service Coverage Ratio (DCSR) 2,5 (dua
setengah). Untuk pemerintah daerah yang mempunyai DCSR<2,5 tidak diperbolehkan
melakukan pinjaman, maka dinyatakan mengalami financial distress dan dilambangkan dengan
angka 0, sementara untuk pemerintah daerah yang mempunyai DCSR>2,5 dinyatakan dalam
kondisi non financial distress dan dilambangkan angka 1.

Notasi:
DSCR = Debt Service Coverage Ratio atau Rasio Kemampuan Membayar Kembali
Pinjaman
PAD = Pendapatan Asli Daerah
DAU = Dana Alokasi Umum
DBH = Dana Bagi Hasil
DBHDR = Dana Bagi Hasil Dana Reboisasi

12
Variabel independen
Kemandirian keuangan (X)
Kemandirian keuangan mencerminkan sejauh mana pendapatan asli daerah (PAD)
mampu memenuhi kebutuhan daerah. Rasio kemandirian ditunjukkan oleh besarnya
pendapatan asli daerah dibandingkan dengan pendapatan daerah yang berasal dari bantuan
dari pemerintah pusat/provinsi antara lain bagi hasil pajak, bagi hasil bukan pajak, sumber
daya alam, dana alokasi umum, dan dana alokasi khusus, dana darurat dan dana pinjaman
(Widodo dalam Sholikhah, 2011). Variabel kemandirian keuangan daerah diukur dengan
menggunakan rasio kemandirian.

Desentralisasi (X)
Desentralisasi fiskal daerah menunjukkan seberapa besar ketergantungan pemerintah
daerah terhadap pemerintah pusat dalam membiayai pembangunan. Untuk mengetahui
seberapa besar tingkat ketergantungan tersebut maka dilakukan dengan menggunakan ukuran
yang disebut derajat desentralisasi fiskal. Derajat desentralisasi fiskal dihitung berdasarkan
perbandingan antara jumlah pendapatan asli daerah dengan total penerimaan daerah. Rasio
ini menunjukkan derajat kontribusi PAD terhadap total penerimaan daerah.
Semakin tinggi kontribusi PAD maka semakin tinggi kemampuan pemerintah daerah
dalam penyelenggaraan desentralisasi. Rasio ini dirumuskan sebagai berikut:

Solvabilitas (X)
Kemampuan pemerintah daerah dalam memenuhi seluruh kewajiban finansialnya, baik
kewajiban jangka pendek maupun jangka panjang tercermin dari rasio solvabilitas pemerintah
daerah. Mahmudi dalam Mirza (2012) menyatakan bahwa nilai minimal rasio solvabilitas
dianggap aman adalah 1:1.
Perhitungan solvabilitas digunakan untuk mengukur kemampuan pemerintah daerah
dalam membayar semua utangnya yang akan jatuh tempo (Prasetyaningsih, 2011). Rasio ini
diukur dengan rasio aktiva terhadap utang. Rasio ini dirumuskan sebagai berikut:

13
Metode Analisis Data
Analisis statistik
Analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah regresi logistik biner (binery logistic
regression) dengan bantuan perangkat SPSS versi 21. Regresi logistik biner digunakan apabila
variabel dependennya berupa variabel dikotomi atau variabel biner. Dalam penelitian ini,
financial distress merupakan variabel dikotomi yang memiliki dua tingkatan berbeda, yaitu
pemerintah daerah yang mengalami financial distress dan pemerintah daerah yang tidak
mengalami financial distress. Selain untuk melihat pengaruh sejumlah variabel independen
terhadap variabel dependen yang berupa variabel respon biner, regresi logistik biner juga
biasa digunakan untuk memprediksi nilai suatu variabel dependen Y (yang berupa variabel
biner) berdasarkan nilai variabel-variabel independen X, X,...,Xk.
Model regresi logistik yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

Notasi:
FD = Financial Distress (1 = Distress dan 0 = Non Distress)
KK = Kemandirian Keuangan
Desent = Desentralisasi
Solva = Solvabilitas
a = Konstanta
b = Koefisien Regresi
e = errors terms
Ln = Log natural

IV. HASIL PENELITIAN


Hasil Pemilihan Sampel
Objek penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah kabupaten/kota Indonesia
yang terdaftar pada Badan Pemeriksaan Keuangan. Data diambil dari Badan Pemeriksaan
Keuangan Republik Indonesia (BPK RI) dan Dirjen Perimbangan Keuangan Pemerintah
Daerah selama tahun 2010-2013.Populasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah
pemerintah kabupaten/kota di Indonesia selama tahun 2010-2013. Data diperoleh dari situs
resmi BPK (www.bpk.go.id) dan Dirjen Perimbangan Keuangan Pemerintah Daerah selama
periode 2010-2013. Pemilihan sampel dilakukan dengan metode purposive sampling dengan
beberapa ketentuan yang digambarkan pada Tabel1 hingga diperoleh 40 sampel:

14
Tabel 1
Hasil Pemilihan Sampel
Keterangan Jumlah
Pemerintah kabupaten/kota di Indonesia yang menerbitkan kinerja 491
laporan keuangan pemerintah daerah tahun 2010-2013
Pemerintah Kabupaten/Kota di Indonesia yang tidak menyampaikan -211
laporan realisasi APBD dan laporan neraca tahunan kepada Dirjen
Perimbangan Keuangan Daerah tahun 2010-2013

Pemerintah Kabupaten/Kota di Indonesia yang mengalokasikan belanja -270


pegawai kurang dari 75% tahun 2010-2011.
JumlahSampel 10
10 X 4 Tahun 40
Sumber: data diolah, 2015

Berdasarkan jumlah kabupaten/kota yang listing di BPK tahun 2010-2013 terdapat 491
kabupaten/kota dan semua mempublikasikan kinerja laporan keuangan. Namun, diantara
kabupaten/kota tersebut terdapat 211 kabupaten/kota yang tidak mempunyai data dan
ada270 kabupaten/kota yang mengalokasikan belanja pegawai kurang dari 75% sehingga
pada data hasil sampel yang ditetapkan diperoleh sebanyak 10 kabupaten/kota sebagai
sampel penelitian. Jadi jumlah data yang diperoleh sebanyak 40 kabupaten/kota (10 x 4
tahun).

Analisis Data
Menurut hasil analisis deskriptif diketahui nilai rata-rata kemandirian keuangan
menjelaskan pendapatan asli daerah sebesar 775487,9000, dengan nilai minimum sebesar
11,00 dan nilai maksimum pendapatan asli daerah sebesar 17743000,00 serta standar deviasi
sebesar 3061104,593. Nilai rata-rata desentralisasi sebesar 0,094930061 dengan nilai
minimum sebesar 0,0028814 dan nilai maksimum sebesar 0,5356372 serta standar deviasi
sebesar 0,0929760909.
Nilai rata-rata solvabilitas sebesar dengan nilai 733,863043202 dengan nilai minimum
sebesar 5,0000000 dan nilai maksimum sebesar 5272,0000000 serta standar deviasi sebesar
1039,8763005305 ini menunjukkan bahwa setiap daerah mempunyai hutang. Nilai rata-rata
DCSR sebesar 0,13 dengan nilai minimun 0 dan nilai maksimum 1 serta standar deviasi
0,335.

15
Hasil penelitian ini dapat dikatakan goodness of fit test, dimana dari asil perhitungan
diketahui besar Hosmer and Lemeshows sebesar 0,078 atau lebih besar dari 0,05. Hal ini
menunjukkan bahwa model mampu memprediksi nilai observasinya atau dapat dikatakan
model dapat diterima karena cocok dengan data yang diobservasi penelitian.
Hasil perhitungan dari -2 log likelihood diperoleh pada block number 0 nilai -2 log likelihood
adalah sebesar 30,142 sedangkan pada block number 1 nilai -2 log likelihood adalah sebesar
12,591 dan 7 diperoleh nilai Chi-square sebesar 17.551 yaitu selisih antara 30,142 dengan
12,591 yang menunjukkan model penelitian ini fit dengan data.
Tabel 2
Hasil Pengujian Hipotesis
Variabel Koefisien Sig. Kesimpulan
Regresi
KK 0 0,043 Signifikan
Desent 12,553 0,314 Tidak Signifikan
Solva 0,01 0,048 Signifikan
Konstanta -5,504 0,007
Sumber : pengolahan data SPSS, 2015

Berdasarkan hasil analisis regresi linier berganda maka diperoleh rumus persamaan regresi
linier barganda dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

Dari persamaan diatas dapat diketahui bahwa, nilai Konstanta sebesar -5,504
menunjukkan bahwa jika variabel KK, Desent, dan Solva konstan atau sama dengan nol
maka besarnya financial distress adalah sebesar -5,504.Koefisien regresi KK bernilai positif
yaitu 0,000. Hal ini menujukkan apabila kemandirian keuangan meningkat akan menaikkan
tingkat financial distress sebesar 0,000 dengan asumsi variabel bebas yang lainnya konstan.
Koefisien Desent bernilai positif yaitu 12,553. Hal ini menunjukkan apabila tingkat
desentralisasi meningkat akan menaikkan tingkat financial distress sebesar 12,553 dengan
asumsi variabel bebas yang lainnya konstan.Koefisien Solva bernilai positif 0,001. Hal ini
menunjukkan bahwa apabila tingkat solvabilitas meningkat akan menaikkan tingkat financial
distress sebesar 0,001 dengan asumsi variabel bebas yang lainnya konstan.
Berdasarkan hasil uji koefisien determinasi diketahui bahwa nilai Nagelkerke R square
sebesar 0,671 menunjukkan bahwa 67,1% variasi dari variabel dependen dapat dijelaskan
oleh variabel independen, sedangkan sisanya sebanyak 32,9% dijelaskan oleh variabel lain

16
yang tidak dijelaskan dalam penelitian ini. Variasi yang terjadi pada variabel financial distress
dijelaskan oleh variabel kemandirian keuangan, desentralisasi dan solvabilitas.
Hasil dari tingkat ketepatan prediksi modelmenunjukkan nilai estimasi financial distress
dan non financial distress. Terdapat 35 pemerintah yang tidak mengalami financial distress. Jadi
ketepatan prediksi 35/0 (100%). Pemerintah daerah yang diprediksi tidak mengalami
kesulitan keuangan (non financial distress) sebanyak 5 pemerintah daerah, namun observasi
menunjukkan hanya 1 pemerintah daerah yang mengalami financial distress, sedangkan sisanya
4 pemerintah daerah tidak mengalami financial distress.Jadi ketepatan prediksi financial distress
adalah 1/4 (80%). Secara keseluruhan tingkat ketepatan prediksi adalah 97,5% pemerintah
daerah.

V. DISKUSI
Hasil pengujian hipotesis pertama memiliki nilai signifikansi 0,045 dan koefisien 0,00.
Nilai signifikansi yang lebih kecil dari 0,05 menunjukkan bahwa kemandirian keuangan
berpengaruh signifikan terhadap financial distress. Nilai koefisien positif menunjukkan bahwa
pemerintah daerah yang mempunyai tingkat kemandirian keuangan yang tinggi maka
cenderung tidak akan mengalami financial distress atau pemerintah daerah memiliki kecukupan
dana untuk membiayai kegiatan pemerintah tersebut. Hasil penelitian ini dapat dijelaskan
bahwa kemandirian keuangan mempengaruhifinancial distress. Kemandirian keuangan yang
baik merupakan penentu dari financial distress. Hasil penelitian ini mendukung penelitian yang
dilakukan oleh Syurmitha (2014) yang menyatakan bahwa pemerintah daerah yang
mempunyai kemandirian keuangan yang tinggi (tidak bergantung pada dana transfer
pemerintah pusat atau daerah) maka tidak akan mengalami financial distress atau mempunyai
ketersediaan dana untuk membiayai kegiatan daerah
Hasil pengujian hipotesis kedua menunjukkan nilai signifikansi 0,314 dengan nilai
koefisien 12,553. Nilai signifikansi yang lebih besar dari 0,05 menunjukkan bahwa
desentralisasi tidak berpengaruh terhadap financial distress. Nilai koefisien positif menunjukkan
bahwa ketika pemerintah daerah memiliki derajat desentralisasi tinggi (mengandalkan dana
transfer lebih banyak) cenderung tidak mengalami financial distress, sedangkan pemerintah
yang memiliki derajat desentralisasi rendah (mengandalkan dana transfer lebih kecil)
cenderung akan mengalami financial distress. Dengan demikian hipotesis kedua yang
menyatakan bahwa desentralisasi berpengaruh terhadap financial distress tidak terbukti.Hasil
penelitian ini dapat dijelaskan bahwa, desentralisasi tidak dapat memberikan pengaruh

17
terhadap financial distress karena banyaknya pemerintahan kabupaten/kota yang tidak
bergantung dari dana transfer sehingga terhindar dari financial distress.
Hasil pengujian hipotesis ketiga memiliki nilai signifikansi 0,048 dan nilai koefisien 0,01.
Nilai signifikan yang lebih kecil dari 0,05 menunjukkan bahwa solvabilitas berpengaruh
terhadap financial distress. Nilai koefisien positif menunjukkan bahwa ketika suatu pemerintah
daerah mempunyai tingkat solvabilitas yang baik maka cenderung tidak mengalami financial
distress. Dengan demikian hipotesis ketiga yang menyatakan bahwa solvabilitas bepengaruh
terhadap financial distress terbukti. Hasil penelitian ini dapat dijelaskan bahwa dengan adanya
solvabilitas yang baik akan terhindar dari financial distress.

VI. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil pengujian yang dilakukan dalam penelitian ini maka dapat ditarik
kesimpulan sebagai berikut. Kemandirian keuangan berpengaruh terhadap financial distress
ditunjukkan dari nilai signifikan 0,043>0,05. Hal ini membuktikan bahwa kondisi financial
distress dipengaruhi oleh kemandirian keuangan. Tingkat kemandirian keuangan merupakan
menjadi penentu financial distress.
Desentralisasi tidak berpengaruh terhadap financial distress ditunjukkan dengan nilai
signifikan 0,314>0,05. Hal ini membuktikan bahwa tingginya tingkat desentralisasi
mengakibatkan prmerintah kabupaten/kota di di Indonesia terhindar dari financial
distress.Solvabilitas berpengaruh terhadap financial distressditunjukkan dengan nilai signifikansi
0,048>0,05. Hal ini membuktikan bahwa pemerintah yang mampu memenuhi komitmen
keuangannya akan terhindar dari financial distress.

DAFTAR PUSTAKA
Syurmita. 2014. Prediksi Financial Distress Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota di Indonesia. SNA
XVII. Mataram.

Atmaja, Khoirul Fariz. 2012. Analisis Rasio Keuangan untuk Memprediksi Kemungkinan Financial
Distress. Accounting Journal. ISNN 2252-6765.

Ardi, Riza Dewi Al. 2011. Analisis Kesehatan Keuangan Pemerintah Daerah dalam Mendukung
Pelaksanaan Otonomi Daerah. Skripsi.

Pramono, Joko. 2014. Analisis Rasio Keuangan untuk Menilai Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah
(Studi Kasus pada Pemerintah Kota Surakarta).

Sutaryo, Bambang Sutopo, dan Doddy Setyawan. 2010. Nilai Relevansi Informasi Laporan Keuangan
Terkait Financial Distress Pemerintah Daerah. SNA XIII. Purwokerto.

18
Tubels, Agus. 2015. Evaluasi Financial Distress pada Pemerintah Kota Bandar Lampung. Jurnal
Akuntansi.

Dwijayanti, S. Patricia Febriani. 2010. Penyebab, Dampak, dan Prediksi Financial Distress serta
Solusi untuk Mengatasi Financial Distress. Jurnal Akuntansi Kotemporer. Vol. 2 No. 2.

Yuanita, Ika. 2012. Prediksi Financial Distress dalam Industri Textile dan Garment. Politeknik.
Jurnal Padang.

Albasiah, O. A. 2013. Analisis Kinerja Pengelolaan Keuangan Daerah dan Tingkat Kemandirian
Daerah di Era Otonomi Daerah: Studi Kasus Kota Malang (Tahun Anggaran 2007-2011).

Mastuti, Firda, Muhammad Saifi dan Azizah, D. F. 2013. Altman Z-Score sebagai Salah Satu
Metode dalam Menganalisis Estimasi Kebangkrutan Perusahaan (Studi pada Perusahaan
Plastik dan Kemasan yang Terdaftar (Listing) di Bursa Efek Indonesia Periode Tahun 2010-
2012 ).

Sularso, Havid, Yanuar E. R. 2012. Pengaruh Kinerja Keuangan terhadap Alokasi Belanja Modal dan
Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten/Kota di Jawa Tengah.Accounting Journal. ISNN 2008-
2106.

Setiawan, Agus. 2010. Analisis Kinerja Keuangan Daerah pada Era Otonomi Daerah di Kabupaten
Boyolali. Skripsi.

Prasetyaningsih, Tri. 2011. Pengaruh Pendapatan Asli Daerah terhadap Belanja Daerah pada Propinsi
Kepulauan Bangka Belitung. Tugas Akhir Program Magister (TAPM).

Sutaryo, Bambang Sutopo, dan Rahmawati. 2012. Relevansi Informasi Laporan Keuangan Cash
Modified Basis: Kemampuan Rasio Keuangan dalam Memprediksi Status Financial Distress
Pemerintah Daerah. SNA XV. Banjarmasin.

Mirza, Rifka Amalia. 2012. Analisis Kinerja Keuangan Pemerintah Pusat Tahun 2005-2010. Skripsi

Sholikhah, Ratna. 2011. Analisis Kemampuan Kemandirian Keuangan Daerah Pengaruhnya terhadap
Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten Wonogiri Tahun Anggaran 2000-2009. Skripsi.

http://www.bpk.go.id

http://www.djpk.kemenkeu.go.id

19
20

Anda mungkin juga menyukai