Anda di halaman 1dari 3

PATOFISIOLOGI KARSINOMA NASOFARING

Berbeda dengan selaput lendir saluran nafas lainnya, selaput lendir nasofaring mengandung
banyak sekali jaringan limfoid yang terletak didalam dan dibawah epitel yang merupakan
kumpulan sel limfosit tipe B dan sedikit tipe T yang membentuk folikel-folikel dan pusat
germinal tanpa kapsul. Struktur limfoid ini banyak terdapat di dinding lateral terutama di
sekitar muara tuba Eustachius, dinding posterior dan bagian nasofaring di palatum molle.
Struktur limfoid ini merupakan lengkung bagian atas dari cincin Waldeyer.1
Pada dinding lateral, terutama di daerah tuba Eustachius paling kaya akan pembuluh limfe.
Aliran limfenya juga berjalan ke arah anteroposterior dan bermuara ke kelenjar retrofaringeal
atau ke kelenjar yang paling proksimal dari masing-masing sisi rantai kelenjar spinal dan
jugularis interna, dimana rantai kelenjar ini terletak di bawah otot sternokleidomastoideus
pada tiap prosesus mastoid. Beberapa kelenjar dari rantai jugular letaknya sangat dekat
dengan sarafsaraf kranial terakhir, yaitu saraf IX,X,XI,XII.2
KNF sering berawal dari fossa Rosenmuller dan dapat meluas kedalam atau keluar dari
dinding lateral dan/atau posterosuperior ke dasar otak atau ke palatum, kavum nasi atau
orofaring.3 KNF mudah meluas ke fosa serebri media melalui 2 titik lemah yaitu foramen
laserum dan ovale.2 Kluster KNF pada suku di Cina Selatan secara kuat menunjukkan
keterlibatan faktor etiologi mayor termasuk genetik, lingkungan dan faktor virus. Faktor
etiologi yang penting lainnya pada beberapa tipe dari KNF adalah EBV (Epstein-barr virus).
Ada dua jenis infeksi EBV yang terjadi, yaitu infeksi litik, dimana DNA dan protein virus
disintesis, disusul dengan perakitan partikel virus dan lisis sel. Jenis infeksi kedua adalah
infeksi laten non litik, disini DNA virus dipertahankan di dalam sel terinfeksi sebagai episom.
Infeksi laten inilah yang sering berlanjut menjadi keganasan. Berbagai antigen yang disandi
oleh virus dapat diidentifikasi dalam nukleus, sitoplasma dan membran sel terinfeksi. Antigen
ini dapat menginduksi respon imun seperti EBNA (Epstein-barr nuclear antigen) yang
diekspresikan pada infeksi litik dini tapi juga dapat diekspresikan pada infeksi laten. Protein
lain adalah LMP (latent membrane protein) dan VCA (viral capsid antigen). Infeksi EBV
mempunyai dampak yang jelas pada sel B. Percobaan invitro membuktikan bahwa virus ini
merupakan aktivator proliferasi poliklonal sel B yang tidak tergantung pada sel T, dan
mengakibatkan sel B yang terinfeksi menjadi immortal dan mengalami transformasi ganas.
Walaupun dapat terjadi respon seluler atau respon humoral terhadap antigen yang disandi
oleh virus DNA tersebut, ternyata hanya sel T spesifik terhadap antigen tersebutlah yang
dapat memperantarai penolakan terhadap tumor tersebut secara in vivo. Jadi untuk mengatasi
infeksi EBV diperlukan respon imun seluler atau respon sel T. Pada keadaan defisiensi
respon imun seluler, dapat mengakibatkan sel yang terinfeksi EBV secara laten mengalami
transformasi ganas.4 Klonal EBV DNA telah ditemukan pada beberapa lesi preinvasif,
menunjukkan bahwa adanya hubungan antara EBV DNA dengan proses transformasi.
Hubungan lain meliputi infeksi hidung yang kronis, higienis yang buruk dan paparan dari
nitrosamin dan hidrokarbon polisiklik pada makanan yang diasinkan.
Karsinoma Nasofaring merupakan munculnya keganasan berupa tumor yang berasal dari sel-
sel epitel yang menutupi permukaan nasofaring. Tumbuhnya tumor akan dimulai pada salah
satu dinding nasofaring yang kemudian akan menginfiltrasi kelenjar dan jaringan sekitarnya.
Lokasi yang paling sering menjadi awal terbentuknya KNF adalah pada Fossa Rossenmuller.
Penyebaran ke jaringan dan kjelenjar limfa sekitarnya kemudian terjadi perlahan, seperti
layaknya metastasis lesi karsinoma lainnya. Penyebaran KNF dapat berupa :
1. Penyebaran ke atas
Tumor meluas ke intrakranial menjalar sepanjang fossa medialis, disebut penjalaran
Petrosfenoid, biasanya melalui foramen laserum, kemudian ke sinus kavernosus dan Fossa
kranii media dan fossa kranii anterior mengenai saraf-saraf kranialis anterior ( n.I n VI).
Kumpulan gejala yang terjadi akibat rusaknya saraf kranialis anterior akibat metastasis tumor
ini disebut Sindrom Petrosfenoid. Yang paling sering terjadi adalah diplopia dan neuralgia
trigeminal.
2. Penyebaran ke belakang
Tumor meluas ke belakang secara ekstrakranial menembus fascia pharyngobasilaris
yaitu sepanjang fossa posterior (termasuk di dalamnya foramen spinosum, foramen ovale dll)
di mana di dalamnya terdapat nervus kranialais IX XII; disebut penjalaran retroparotidian.
Yang terkena adalah grup posterior dari saraf otak yaitu n VII - n XII beserta nervus
simpatikus servikalis. Kumpulan gejala akibat kerusakan pada n IX n XII disebut sindroma
retroparotidean atau disebut juga sindrom Jugular Jackson. Nervus VII dan VIII jarang
mengalami gangguan akibat tumor karena letaknya yang tonggi dalam sistem anatomi tubuh.5
Daftar Pustaka

1. Gustafson, RO dan Neel, HB 1999, Cancer of the nasopharynx, IN: Myers EN, Suen
JY, ed. Cancer of the head and neck, 2nd ed, Churcill livingstone, New York, pp. 494-
508
2. Cottrill, CP dan Nutting, CM 2003, Tumours of the nasopharynx, in: Evans PHR,
Montgomery PQ, Gullane PJ, ed. Principle and practice of Head and Neck Oncology,
Martin Dunitz, London, pp. 192-218.
3. Brennan, B 2006, Nasopharyngeal carcinoma, Orph J Rare Dis, vol.1, pp. 23
4. Notopuro, H, Kentjono, WA, Harijono, RH 2005, Analisis Dasar Molekuler
Karsinoma Nasofaring di Surabaya (Jawa Timur, Dalam: Laporan Akhir Penelitian
tahun idanIII Hibah bersaing perguruan tinggi, Universitas Airlangga, Surabaya, pp1-
7
5. Roazin A, Adham M. Karsinoma Nasofaring, Pada telinga hidung tenggorok pada
Kepala & Leher. Jakarta: Balai Penerbit FKUI, 2007.

Anda mungkin juga menyukai