Anda di halaman 1dari 13

REFLEKSI KASUS KULIT KELAMIN

DERMATITIS KONTAK ALERGI

Dosen Pembimbing:

dr. Fajar Waskita, Sp.KK, M.Kes

Disusun Oleh:

Yonathan Adhitya Irawan (42160079)

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN KULIT KELAMIN

RUMAH SAKIT BETHESDA YOGYAKARTA

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN DUTA WACANA

YOGYAKARTA

2017

1
STATUS PASIEN

I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Bp. BY
Usia : 29 Tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Alamat : Kulonprogo
Pekerjaan : Dapur restoran
Tanggal periksa : 12 oktober 2017

II. ANAMNESA
A. Keluhan Utama
Kulit telapak tangan kanan dan kiri kering, mengelupas dan terasa gatal.
B. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke RS Bethesda dengan keluhan tangan kanan dan kiri terlihat
merah, kering, mengelupas, gatal, dan terasa tebal. Pasien mengatakan rasa gatal
dan kering ini hilang timbul dan sudah terjadi selama kurang lebih 2 tahun ini.
Sebelumnya sudah pernah diperiksa dan diberikan obat dan sudah membaik, dan
setelah obat habis sekitar 1 bulan yang lalu, keluhan kembali muncul dan semakin
parah. Pasien bekerja di restoran di sebuah hotel di Yogyakarta, dan dulu pasien
bertugas untuk mencuci piring namun belakangan ini pasien sudah sangat jarang
kontak dengan sabun cuci piring dan tidak pernah terendam air dalam waktu yang
lama.
C. Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien sudah mengalami keluhan serupa sejak 2 tahun lalu.
D. Riwayat Operasi
Pasien belum pernah dioperasi sebelumnya.
E. Riwayat Alergi
Pasien mengaku tidak memiliki alergi.
F. Riwayat Penyakit Keluarga
Ayah dan ibu pasien tidak memiliki riwayat alergi
G. Riwayat Pengobatan
Pasien mengatakan tidak sedang menjalani pengobatan apapun

2
III. PEMERIKSAAN FISIK
1. Keadaan Umum : Baik
2. Kesadaran : Compos Mentis
3. GCS : 15 (E4V5M6)
4. Status Generalis :
Wajah : tidak ditemukan lesi
Leher : tidak ditemukan lesi
Thorax : tidak ditemukan lesi
Abdomen : tidak ditemukan lesi
Ekstremitas : Terdapat lesi pada tangan kanan dan kiri
5. Status Lokalis :
Foto lesi Deskripsi UKK
Pada ekstremitas superior
dekstra et sinistra, kesan
kering dan kulit tampak
mengelupas. Tampak macula
eritem, multiple, batas tidak
tegas, bentuk tidak teratur.

IV. DIAGNOSIS BANDING


Dermatitis kontak alergi
Dermatitis kontak iritan
Dermatitis atopik

V. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pada pasien ini tidak dilakukan pemeriksaan penunjang.
Sebagai saran, dapat dilakukan patch test untuk menyingkirkan diagnosis banding

VI. DIAGNOSA KERJA


Dermatitis Kontak Alergi dengan infeksi sekunder

3
VII. TATALAKSANA
Antiseptik dan kasa
Untuk membersihkan lesi
Esperson cream Tube 5 gram
Sebagai anti inflamasi, anti alergi topikal
Fuson cream Tube 5 gram 2%
Sebagai antibiotic topikal
Cetirizine Tab 10 mg
Sebagai antihistamin oral
Methylprednisolon Tab 4 mg
Sebagai anti inflamasi oral

VIII. PROGNOSIS

Quo ad Vitam : bonam

Quo ad Sanam : bonam

Quo ad Fungsionam : bonam

IX. EDUKASI
1. Hindari kontak dengan allergen atau menggunakan pelindung.
2. Jaga kebersihan dan kelembaban pada kulit pasien.
3. Hindari menggaruk lesi.

4
TINJAUAN PUSTAKA

A. DEFINISI
Dermatitis kontak merupakan bagian dari eksim atau eksema, di mana kulit bisa
menjadi memerah, kering dan pecah-pecah. Dermatitis kontak bisa terjadi pada kulit di
bagian tubuh mana pun, tapi umumnya dermatitis kontak menyerang kulit tangan dan
wajah. Agar pengobatan bisa berjalan sukses, penderita harus mengidentifikasi dan
menghindari penyebab munculnya dermatitis kontak pada kulit mereka.

B. EPIDEMIOLOGI
Epidemiologi DKA sering terjadi. Penyakit ini terhitung sebesar 7% dari penyakit
yang terkait dengan pekerjaan di Amerika Serikat.Berdasarkan beberapa studi yang
dilakukan, insiden dan tingkat prevalensi DKA dipengaruhi oleh alergen-alergen
tertentu. Dalam data terakhir, lebih banyak perempuan (18,8%) ditemukan memiliki
DKA dibandingkan laki-laki (11,5%). Namun, harus dipahami bahwa angka ini
mengacu pada prevalensi DKA dalam populasi (yaitu, jumlah individu yang potensial
menderita DKA bila terkena alergen), dan ini bukan merupakan angka insiden (yaitu,
jumlah individu yang menderita DKA setelah jangka waktu tertentu).Tidak ada data
yang cukup tentang epidemiologi dermatitis kontak alergi di Indonesia, namun
berdasarkan penelitian pada penata rias di Denpasar, sekitar 27,6 persen memiliki efek

samping kosmetik, dimana 25, 4 persen dari angka itu menderita DKA

C. ETIOLOGI

Penyebab dermatitis kontak alergik (DKA) adalah alergen, paling sering berupa
bahan kimia sederhana dengan berat molekul kurang dari 500-1000 Da, yang juga
disebut hapten, bersifat lipofilik, sangat reaktif, dan dapat menembus stratum korneum.
Dermatitis yang timbul dipengaruhi oleh potensi sensitisasi alergen, derajat pajanan,
dan luasnya penetrasi di kulit, lama pajanan, suhu dan kelembaban lingkungan,
vehikulum, dan pH.

Faktor individu juga ikut berperan, misalnya keadaan kulit pada lokasi kontak
(utuh, terluka, kering, tebal epidermis bergantung pada lokasinya) dan status
imunologik (sedang sakit, atau terpajan matahari).

5
D. PATOGENESIS
Secara umum terdapat 4 tipe reaksi imunologik yang dikemukakan oleh Coomb dan
Gell, antara lain :

Tipe I (Reaksi anafilaksis, reaksi cepat)

Mekanisme ini paling banyak ditemukan. Yang berperan ialah Ig E yang mempunyai
afinitas yang tinggi terhadap mastosit dan basofil. Pajanan pertama dari obat tidak
menimbulkan reaksi. Tetapi bila dilakukan pemberian kembali obat yang sama, maka
obat tersebut akan dianggap sebagai antigen yang akan merangsang pelepasan
bermacam-macam mediator seperti histamin, serotonin, bradikinin, heparin dan SRSA.
Mediator yang dilepaskan ini akan menimbulkan bermacam-macam efek, misalnya
urtikaria dan yang lebih berat ialah angiooedema. Reaksi yang paling ditakutkan adalah
timbulnya syok anafilaktik.

Tipe II (Reaksi Autotoksis, reaksi sitostatik)

Adanya ikatan antara Ig G dan Ig M dengan antigen yang melekat pada sel. Aktivasi
sistem komplemen ini akan memacu sejumlah reaksi yang berakhir dengan sitolitik
atau sitotoksik oleh sel efektor.

Tipe III (Reaksi Kompleks Imun)

Antibodi yang berikatan dengan antigen akan membentuk kompleks antigen antibodi.
Kompleks antigen antibodi ini mengendap pada salah satu tempat dalam jaringan tubuh
mengakibatkan reaksi radang yang mengaktifkan kompelemen. Aktivasi sistem
komplemen merangsang pelepasan berbagai mediator oleh mastosit. Kompleks imun
akan beredar dalam sirkulasi dan dideposit pada sel sasaran, sebagai akibatnya, akan
terjadi kerusakan jaringan.

Tipe IV (Reaksi Alergi Seluler Tipe Lambat)

Reaksi ini melibatkan limfosit, APC (Antigen Presenting Cell), dan sel Langerhans
yang mempresentasikan antigen kepada limfosit T. Limfosit T yang tersensitasi
mengadakan reaksi dengan antigen. Reaksi ini disebut reaksi tipe lambat karena baru
timbul 12-48 jam setelah pajanan terhadap antigen yang menyebabkan pelepasan
serangkaian limfokin.

6
Mekanisme

Mekanisme terjadiriya kelainan kulit pada DKA adalah mengikuti respons imun yarng
diperantarai oleh sel (cell-mediated immune respons) atau reaksi imunologik tipe IV,
suatu hipersensitivitas tipe lambat. Reaksi ini terjadi melalui dua fase, yaitu fase
sensitisasi dan fase elisitasi. Hanya individu yang telah mengalami sensitisasi dapat
menderita DKA. Sentisisasi terjadi dalam beberapa minggu setelah kontak dengan
allergen (referensi lain mengatakan terjadi dalam 5 hari atau lebih), tetapi belum terjadi
perubahan pada kulit. Perubahan pada kulit terjadi setelah adanya kontak yang
berikutnya terhadap allergen, walaupun dalam jumlah yang sangat sedikit. Sensitifitas
tersebut akan bertahan selama berbulan-bulan, bertahun-tahun, bahkan seumur hidup.

Patogenesisnya melalui 2 fase yaitu induksi (fase sensitisasi) dan fase elisitasi.

Fase Sensitisasi

Sebelum seorang pertama kali menderita dermatitis kontak alergik, terlebih dahulu
mendapatkan perubahan spesifik reaktivitas pada kulitnya. Perubahan ini terjadi karena
adanya kontak dengan bahan kimia sederhana yang disebut hapten yang akan terikat
dengan protein, membentuk antigen lengkap. Antigen ini ditangkap dan diproses oleh
makrofag dan sel Langerhans, selanjutnya dipresentasikan ke sel T. Setelah kontak
dengan yang telah diproses ini, sel T menuju ke kelenjar getah bening regional untuk
berdeferensiasi dan berproliferasi membentuk sel T efektor yang tersensitisasi secara
spesifik dan sel memori. Sel-sel ini kemudian tersebar melalui sirkulasi ke seluruh
tubuh, juga sistem limfoid, sehingga menyebabkan keadaan sensitivitas yang sama di
seluruh kulit tubuh. Fase saat kontak pertama alergen sampai kulit menjadi sensitif
disebut fase induksi atau fase sensitisasi. Fase ini rata-rata berlangsung selama 2-3
minggu. Pada umumnya reaksi sensitisasi ini dipengaruhi oleh derajat kepekaan
individu, sifat sensitisasi alergen (sensitizer), jumlah alergen, dan konsentrasi.
Sensitizer kuat mempunyai fase yang lebih pendek, sebaliknya sensitizer lemah seperti
bahan-bahan yang dijumpai pada kehidupan sehari-hari pada umumnya kelainan kulit
pertama muncul setelah lama kontak dengan bahan tersebut, bisa bulanan atau tahunan.

7
Fase Elisitasi

Sedangkan periode saat terjadinya pajanan ulang dengan alergen yang sama atau serupa
sampai timbulnya gejala klinis disebut fase elisitasi, umumnya berlangsung antara 24-
48 jam.
E. GEJALA KLINIS
Penderita pada umumnya mengeluh gatal. Kelainan kulit bergantung pada keparahan
dermatitis. Pada yang akut dimulai dengan bercak eritema berbatas jelas, kemudian
diikuti edema, papulovesikel, vesikel atau bula. Vesikel atau bula dapat pecah
menimbulkan erosi dan eksudasi (basah). Pada yang kronis terlihat kulit kering,
berskuama, papul, likenifikasi dan mungkin juga fisur, batasnya tidak jelas. Kelainan
ini sulit dibedakan dengan dermatitis kontak iritan kronis; mungkin penyebabnya juga
campuran.

Akut Subakut Kronis


Vesikel atau bula yang terisi Eritem bertambah Kemerahan dan
cairan jernih multiple dan Edema mengurang bengkak
berat. Bila terjadi Papul menggantikan Lebih menonjolkan
vesikel/berair, timbul erosi vesikel sisik, hyperkeratosis,
dan eczema dan likenifikasi di
Edema, eritem daerah yang terkena
Infeksi sekunder dengan
bakteri gram (+)

F. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Uji Tempel atau Patch Test (In Vivo) Uji tempel digunakan untuk mendeteksi

hipersensitivitas terhadap zat yang bersentuhan dengan kulit sehingga alergen dapat
ditentukan dan tindakan korektif dapat diambil. Uji tempel merupakan pemeriksaan
untuk konfirmasi dan diagnostik tetapi hanya dalam kerangka anamnesis dan
pemeriksaan fisik, uji tempel ini jarang membantu jika tanpa anamnesis dan
pemeriksaan fisik. Uji tempel dapat diadministrasikan dengan thin-layer rapid-use
epicutaneous (TRUE) atau dengan ruang aluminium yang disiapkan tersendiri (Finn)
dimana dipasang pada tape Scanpor. Zat uji biasanya diaplikasikan pada punggung
atas, meskipun jika hanya satu atau dua yang diterapkan, lengan luar atas juga dapat

8
digunakan .Tempelan dihapus setelah 48 jam (atau lebih cepat jika gatal parah atau
terbakar pada kulit) kemudian dibaca. Kulit yang ditempel ini perlu dievaluasi lagi pada
hari ke-4 atau 5, karena reaksi positif mungkin tidak muncul sebelumnya.

Simbol Morfologi Interpretasi


- Tidak ada reaksi Negatif
? Hanya eritema, tanpa infiltrasi Hasil meragukan
+ Eritema, infiltrasi, dan bisa ditemukan Reaksi positif lemah
papul diskret
++ Eritema, infiltrasi, papul, vesikel Reaksi positif kuat
+++ Eritema, infiltrasi, vesikel konfluen Reaksi positif ekstrim
Ir Tipe reaksi yang berbeda (reaksi sabun, Reaksi iritan
vesikel, bula )
Nt Tidak dites

G. DIAGNOSIS
Diagnosis didasarkan atas hasil anamnesis yang cermat dan pemeriksaan klinis yang
teliti, serta pembuktian dengan uji tempel.

Pertanyaan mengenai kontaktan yang didasarkan kelainan kulit yang ditemukan, ada
kelainan kulit berukuran numular sekitar umbilikus berupa hiperpigmentasi,
likenifikasi, dengan papul dan erosi, maka perlu ditanya apakah penderita memakai
kancing celana atau kepala ikat pinggang yang terbuat dari nikel. Data yang berasal
dari anamnesis meliputi riwayat pekerjaan, hobi, obat yang pernah digunakan, obat
sistemik, kosmetika, bahan-bahan yang diketahui menimbulkan penyakit kulit yang
pernah dialami, riwayat atopi baik dari yang bersangkutan maupun keluarganya.

Pemeriksaan fisik sangat penting, karena dengan melihat lokasi dan pola kelainan
sering kali dapat diketahui kemungkinan penyebabnya. Misalnya, di ketiak oleh
deodorant, pergelangan tangan oleh jam tangan, di kaki oleh sepatu/sandal,
Pemeriksaan hendaknya dilakukan di tempat yang cukup terang, seluruh kulit untuk
melihat kemungkinan kelainan kulit lain karena sebab-sebab endogen.

9
H. DIAGNOSA BANDING
Kelainan kulit DKA sering tidak memberikan gambaran morfologik yang khas,
menyerupai dermatitis atopik, dermatitis numularis. Diagnosis banding yang terutama
ialah dengan dermatitis kontak iritan. Dalam keadaan ini pemeriksan uji tempel perlu

timbangkan untuk menentukan apakah dermatitis tersebut karena kontak alergi.

Dermatitis Numularis. Lesi eksematous khas berbentuk koin, berbatas

tegas, ujud kelainan kulit terdiri dari papul dan vesikel.

Dermatitis Atopik. Erupsi cenderung bilateral dan simetris. Lesi kering


terdiri dari Papul atau likenifikasi, dan hiperpigmentasi. Tempat predileksi
pada muka dan ekstensor untuk bayi dan anak-anak, bagian fleksor, di lipat
siku, lipat lutut, samping leher pada dewasa. Adanya riwayat atopi pada
pasien atau keluarganya.

Variabel Iritan Alergi


Penderita Banyak orang Tidak banyak yang
menderita
Timbulnya reaksi Biasanya dalam 48 jam Beberapa jam, 5-6 jam
sesudah kontak
Lokasi Terlokalisasi Tersebar
Batas tegas Sering khas Dapat terjadi
Waktu untuk resolusi Sering mengurang setelah Beberapa hari
klinis setelah bahan 96 jam
disingkirkan
Terjadinya reaksi Terjadi cepat dengan iritan 24-72 jam
kuat (menit-jam); lambat
dengan iritan lemah
Hubungan dengan Membaik dengan liburan Dapat membaik bahkan
pekerjaan lama (4 minggu) pada akhir minggu
Atopi Predisposisi Predisposisi tidak diketahui
Morfologi Eritem, sisik, fisura Vesikel yang sulit dibedakan
dari iritan

10
Agen penyebab Tergantung pada Relatif tidak terkait dengan
konsentrasi agen dan jumlah aplikasi, biasanya
kondisi barier kulit; hanya konsentrasi yang sangat
terjadi di atas ambang sedikit pun cukup
batas menyebabkan DKA, tetapi
tergantung pada derajat
sensitasi
Sistem imun Respon imun tidak spesifik Tipe IV DTH

I. TATALAKSANA
Hal yang perlu diperhatikan pada pengobatan dermatitis kontak adalah upaya
pencegahan terulangnya kontak kembali dengan alergen penyebab, dan menekan
kelainan kulit yang timbul.
1. Menghindari Alergen
Setelah kemungkinan penyebab masalah dermatologi pasien telah ditentukan oleh
uji tempel, sangat penting untuk menyampaikan informasi ini kepada pasien dengan
cara yang mudah dimengerti. Ini melibatkan penjelasan cermat terhadap bahan yang
mengandung alergen.
2. Terapi Topikal
Untuk dermatitis kontak alergi akut yang ditandai dengan eritema, edema, bula
atau vesikel, serta eksudatif (madidans), kelainan kulit dikompres beberapa kali sehari
selama 15-20 menit. Dapat menggunakan larutan garam faal atau larutan salisil
1:1000, larutan potassium permanganate 1:10.000, larutan Burowi (aluminium asetat)
1:20-1:40. Kompres dihentikan apabila edema telah hilang. Pada beberapa kasus yang
lebih berat, diperlukan kortikosteroid topical dari potensi sedang hingga potensi tinggi.
Dapat juga menggunakan formulasi triamsinolone acetonide 0,1% dalam lotio Sarna
(kampor 0,5 %, mentol 0,5%, fenol 0,5%).
Pada keadaan subakut, penggunaan krim kortikosteroid potensi sedang hingga
potensi tinggi merupakan pilihan utama. Sedang kompres terbuka tidak diindikasikan.
Sedangkan untuk lesi kronik, diberikan salap kortikosteroid potensi tinggi atau sangat
tinggi sebagai terapi initialnya. Untuk terapi rumatan dapat digunakan kortikosteroid
potensi rendah. Diberikan juga emolien, seperti gliserin, urea 10%, atau preparat ter

11
untuk lesi yang likenifikasi dan kering. Pada kondisi likenifikasi yang berat,
pemberian kortikosteroid intralesi dapat memberikan manfaat.
Untuk dermatitis kontak alergik yang ringan, atau dermatitis akut yang telah
mereda (setelah mendapat pengobatan kortikosteroid sistemik), cukup diberikan
kortikosteroid topikal atau makrolaktam (pimecrolimus atau tacrolimus).Golongan
makrolaktam yang tidak mengakibatkan atrofi kulit sehingga aman untuk digunakan
di wajah dan mata.
3. Terapi sistemik
Untuk mengurangi rasa gatal dan peradangan yang moderate dapat diberikan
antihistamin. Sedangkan kortikosteoroid oral diberikan dalam jangka pendek untuk
mengatasi peradangan pada keadaan akut yang berat, misalnya prednison 30 mg/hari
(dibagi 3dosis). Umumnya kelainan kulit akan mereda setelah beberapa hari.
Pada kondisi yang lebih parah, dimana pekerjaan sehari-hari pasien terganggu dan
tidak bisa tidur, dapat diberikan prednison oral 70mg sebagai dosis initial, yang
diturunkan 5-10 mg/hari selama 1-2 minggu. Apabila terdapat infeksi sekunder,
terdapat fisura, erosi, dan secret purulen dapat ditambahkan antibiotic misalnya
eritromisin 4250-500 mg selama 7-10 hari.

J. PROGNOSIS
Prognosis dermatitis kontak alergi umumnya baik, sejauh bahan kontaktannya
dapat disingkirkan. Prognosis kurang baik dan menjadi kronis, bila bersamaan dengan
dermatitis oleh faktor endogen (dermatitis atopik, dermatitis numularis, atau psoriasis),
atau pajanan dengan bahan iritan yang tidak mungkin dihindari.

12
DAFTAR PUSTAKA

1. Sularsito, Sri Adi., Djuanda 2010. Ilmu Penyakit Kulit Dan Kelamin. Edisi kelima.Balai
Penerbit FKUI: Jakarta
2. Belsito DV. Allergic Contact Dermatitis. Dalam: Freedberg IM, Eisen AZ, Wolff K,
Austen KF, Goldsmith LA, Katz SI (eds). Fitzpatricks Dermatology in General
Medicine. 6th ed. New York: The McGraw-Hill; 2013. h. 1164-1179.
3. Marks JG, Elsner P, Deleo VA. Contact & Occupational Dermatology. 3rd ed.USA:
Mosby Inc; 2012. h. 3-33.
4. Wolff K, Johnson RA. Fitzpatricks Color Atlas and Synopsis of Clinical Dermatology.
6th ed. New York: The McGraw-Hill Companies; 2009. h. 20-33.

13

Anda mungkin juga menyukai