Anda di halaman 1dari 3

Mendung di Balkon Rusun Lantai 8

Ramalan cuaca yang ditontonya tadi pagi bisa jadi benar jika hari ini hujan akan turun
dengan lebat. Mungkin juga salah. Lagipula mendung yang berwarna abu-abu tua dan kini
sedang menempati sepertiga bagian langit terujung tidak selalu diikuti hujan. Bisa jadi
mendung-mendung itu hanya iseng-iseng lewat.

Hujan pun sebenarnya bukan masalah untuknya. Tidak ada alasan kuat yang
membuatnya harus bersungut-sungut pada hujan selain dampaknya yang seringkali
menyebabkan ibu-ibu harus berlomba dengan waktu untuk mengentas pakaian dan lampu
mati yang menggemparkan seisi rusun terutama anak-anak. Mereka yang takut gelap
mungkin menangis, sementara yang melawan ibunya akan turun dan bermain-main dengan
kawan lainnya.

Bangunan beton di pinggir rusunnya kian menjamur dan menjulang subur. Bisa jadi
itu salah satu alasan mengapa katak yang dulu selalu muncul setelah hujan dan bersuara
nyaring saling bersahut-sahutan dengan sesamanya mulai punah. Sekarang justru
segerombolan rayaplah yang datang. Rayap-rayap pemakan kayu yang dengungannya
semakin mempertegas betapa rusun yang kini ia dan para tetangganya tinggali sudah lapuk
dan harus secepatnya diperbarui. Seperti kata lima orang berjas necis yang kemarin datang
mengetuki satu-persatu pintu di rusun itu sambil membawa uang ganti rugi dan surat untuk
ditandatangani.

Mendung tidak lagi menjadikan perasaannya lebih syahdu, dan hujan, meski tetap saja
membasahi tanah dan menebar bau segar tak lagi romantis. Dulu mungkin dia pernah berjalan
berdua menyusuri jalan pulang dari sekolah bersama teman lelaki sekelasnya. Berpayung tas
masing-masing yang dibungkus kantong plastik. Setelahnya setiap hujan turun dia akan
mengirim pesan pada temannya itu seperti Ingat kita pernah hujan-hujan berdua. Atau
Hujan membawa rindu, ya. Sambil tersenyum-senyum sendiri. Tapi itu dulu. Kini tak ada
lagi kenangan yang bisa membuat perempuan itu terbawa dan larut sedemikian rupa. Dia
bukan lagi remaja berumur belasan. Masa itu sudah lewat.

Mendung berwarna abu-abu tua itu merambat dan sekarang telah menempati setengah
bagian langit terujung berimbang Perempuan itu masih terduduk sendirian di balkon dengan
memangku segelas wedang jahe dan juga kenangan. Matanya beredar keseluruh balkon
memperhatikan tanaman-tanaman dalam pot yang semakin berimbun. Cuaca musim sudah
tidak menentu seperti dahulu yang sering hujan seperti ini menguntungkan perempuan itu.
Sering dia berterimakasih meski dengan berbisik. Sebab karenanya dia tak perlu lagi
menyirami bunga-bunga itu setiap hari.

Hanya dia yang gemar merawat tanaman diantara penghuni yang lain lantai delapan
rusun itu. Tentunya di balkon umum lantai delapan karena rumah-rumah di rusun itu tidak
ada yang mempunyai balkon. Hanya rusun, gumamnya. Tidak ada tetangga yang keberatan
dengan hal tersebut, terlebih karena tanaman-tanaman yang dirawatnya tidak hanya memberi
warna dan sedikit penyegaran pada mata yang sudah bosan melihat cat mengelupas, atau
kusam akibat kebocoran di hampir semua penjuru rusun tapi juga beberapa kali
mengantarkan balkon lantai delapan menjuarai lomba menghias balkon se-rusun saat lomba
kemerdekaan. Balkon itu menjadi tempat yang paling apik di rusun itu, dibanding tempat
umum lain terutama kamar mandi.

Aku mau berkebun ya, yah! Aku sudah membeli bunga mawar, buku tujuh, dan
melati. Juga beberapa pot dan tanah.

Mawar, melati, dan ah pokoknya kamu sambil menunjukan tanaman buku


tujuh, ayo bilang selamat tinggal pada dunia!

Ayaah! Kok gitu siih? dengan wajah cemberut dan tangan dilipat gadis itu
membalas jawaban ayahnya. Namun ayahnya segera menggendongnya, kemudian mereka
tertawa bersama, Hahaha.

Asal dirawat dengan baik ya! Janji? Ayahnya memberikan kelingkingnya.

Ehm.. hehehe.. Iyaaa iyaa janji deh disiram setiap hari kookk. Pinky sweeeaaar!!
ucap perempuan itu sambil mengulurkan kelingkingnya juga dan mengaitkannya pada
kelingking ayahnya.

Setetes air jatuh memasuki cangkirnya. Sepertinya hujan akan turun, pikirnya. Tapi
perempuan itu justru memejam matanya sambil menghirup nafas dalam-dalam dan
menahannya.

Bunga-bunga itu, ah perempuan bergumam dalam hatinya. Akhir-akhir ini dia


lebih sering termenung sendiri saat memandang mereka. Bunga-bunga di balkon itu
mengingatkannya pada ayahnya. Yang padanya dapat ia titipkan sebuah kepercayaan, sebesar
apapun. Satu diantara banyak lelaki yang benar-benar tulus menyayanginya dan tak akan
pernah menyakitinya. Satu yang tidak ada duanya.

Perempuan itu kini juga teringat bagaimana tujuh hari yang lalu kekasihnya
memutuskan hubungan mereka yang tampak baik-baik saja dan hampir menuju pelaminan
dengan tiba-tiba. Hanya dengan pesan singkat yang tak sampai 4 baris. Dia bukannya
melepaskan kekasihnya itu begitu saja. Tapi setelah tiga kali mencoba menemui bahkan ke
rumahnya kekasihnya tak kunjung menunjukkan batang hidung. Semua bentuk cinta memang
butuh pengorbanan, namun tidak dapat dipahaminya jika hanya dirinya saja yang harus
berjuang.

Haahhh, Perempuan itu menghembuskan nafas dalamnya. Kelopak matanya yang


terpejam kembali membuka.. Jika saja ayahnya masih ada pasti akan menguatkan perempuan
itu dan dengan sabar bekata Akan lebih baik berakhir sekarang dari pada saat sudah menikah
kan? sambil memeluknya.

Angin menerbangkan rambut perempuan itu. Ramalan cuaca sepertinya akan menjadi
kenyataan. Air-air mulai jatuh sebagai gerimis. Perempuan itu tak segera beranjak. Masih
diresapi bagaimana tetesan-tetesan itu jatuh mengenai kulitnya, jatuh dari dahi lalu turun ke
hidungnya dan masuk ke mulut melalui celah bibir. Biar saja hujan mengguyurnya hari ini,
menunjukkan restu pada nya yang esok akan berdemo dengan para tetangga se-rusun
menolak didirikannya apartemen baru diatas tanah mereka.

Profil penulis

Mega Kahdina, 19 tahun. Angakatan 12 sekolah menulis #KampusFiksi yang


diadakan oleh salah satu penerbit mayor di Jogjakarta. Juara harapan 2 lomba menulis Cerita
Rakyat 2015 yang diadakan oleh Kemdikbud. Lebih dekat dengannya di
megaaakahdina.tumblr.com email : megakahdina@yahoo.co.id line/ig : @megakahdina

Anda mungkin juga menyukai