Anda di halaman 1dari 2

SUMMARY

AKREDITASI
Akreditasi adalah pengakuan terhadap RS yang diberikan oleh lembaga independen penyelenggara
akreditasi yang ditetapkan oleh menteri, setelah dinilai bahwa RS itu memenuhi standar pelayanan RS yang
berlaku untuk meningkatkan mutu pelayanan RS secara berkesinambungan. Tujuan akreditasi RS adalah
meningkatkan mutu pelayanan RS, meningkatkan keselamatan pasien RS, meningkatkan perlindungan
pasien dan masyarakat serta SDM di RS, dan mendukung program pemerintah di bidang kesehatan (1).
Sebagai institusi yang melakukan pelayanan kesehatan bagi masyarakat, RS harus melakukan proses
akreditasi. RS wajib diakreditasi minimal 3 tahun sekali untuk meningkatkan mutu pelayanannya (2). RS wajib
mengikuti akreditasi nasional(1). Berdasarkan PMK no.56 tahun 2014 pada pasal 76 ayat 1 disebutkan bahwa
setiap RS yang telah mendapatkan izin operasional harus diakreditasi, pada ayat 5 disebutkan bahwa RS
yang akan mengikuti akreditasi internasional harus mendapatkan status akreditasi nasional terlebih dahulu,
dan pada ayat 7 disebutkan bahwa RS baru yang telah memperoleh izin operasional dan beroperasi minimal 2
tahun wajib mengajukan permohonan akreditasi(3). Lembaga akreditasi RS di Indonesia terdiri atas: KARS
(lembaga dari dalam negeri), dan Joint Comissions International/JCI (lembaga dari luar negeri)(4). Tugas dari
kedua lembaga tersebut adalah melaksanakan akreditasi berdasarkan standar akreditasi yang berlaku;
menyusun tata laksana penyelenggaraan akreditasi; dan melaporkan RS yang telah terakreditasi oleh
lembaga tersebut kepada Menteri melalui Direktur Jenderal Bina Upaya Kesehatan(5).
Komite Akreditasi Rumah Sakit (KARS) merupakan lembaga independen pelaksana akreditasi yang
bersifat fungsional, non struktural dan bertanggung jawab kepada Menkes. Tugas KARS yaitu menyusun
peraturan internal KARS, menyusun standar akreditasi, menetapkan status akreditasi RS, menyelenggarakan
pendidikan, pelatihan dan pembimbingan serta pengembangan di bidang akreditasi dan mutu layanan RS
mengangkat dan memberhentikan tenaga surveyor merumuskan kebijakan dan tatalaksana akreditasi RS,
melakukan sosialisasi dan promosi kegiatan akreditasi, melakukan monitoring dan evaluasi dalam bidang
akreditasi RS, melakukan pencatatan dan pelaporan kegiatan akreditasi RS, serta membina kerjasama
dengan institusi di dalam negeri maupun di luar negeri yang berkaitan dengan bidang akreditasi dan
peningkatan mutu layanan RS. Survei akreditasi RS dilakukan oleh surveyor yang merupakan tenaga
kesehatan yang terdiri dari dokter dengan kemampuan administrasi managemen RS, dokter spesialis dan
perawat yang melakukan survei akreditasi tersebut. Terdapat 3 kategori yaitu surveyor managemen, medis,
dan keperawatan(6). KARS mempunyai fungsi perencanaan, pelaksanaan, pengembangan, pembimbingan dan
pelatihan serta monitoring dan evaluasi dalam bidang akreditasi rumah sakit di Indonesia(7).
Salah satu hal yang termasuk dalam penilaian, dan standar akreditasi RS yaitu dalam kelompok standar
pelayanan berfokus pada pasien adalah Managemen Penggunaan Obat (MPO). Terdapat 7 standar dalam
MPO antara lain: MPO1 (Organisasi dan Manajemen); MPO2 (Seleksi dan pengadaan); MPO3
(penyimpanan); MPO 4 (pemesanan dan pencatatan); MPO 5 (persiapan dan penyaluran); MPO 6
(pemberian); MPO 7 (pemantauan). Dokumen yang diperlukan yakni Laporan dari indikator klinis dan
manajerial yang ditetapkan pimpinan RS, Root Cause Analysis (RCA) untuk setiap kejadian cedera dan nyaris
cedera, Assesmen Resiko secara proaktif, Pedoman/panduan praktik klinik dan Clinical Pathways untuk
menjelaskan pedoman dan alur asuhan yang dipakai, Komite Mutu/Tim KPRS, SPO penggunaan obat di RS
(laporan narkotik&psikotropik); SPO identifikasi, penyimpanan obat, pemusnahan, peresepan, pencatatan
obat di RS)(8).
Diantaranya hal-hal yang menyangkut dalam MPO adalah penyimpanan dan pendistribusian. Setelah
barang diterima di Instalasi Farmasi perlu dilakukan penyimpanan sebelum dilakukan pendistribusian.
Penyimpanan harus dapat menjamin kualitas dan keamanan sediaan farmasi, alat kesehatan (alkes), dan
Bahan Medis Habis Pakai (BMHP) sesuai dengan persyaratan kefarmasian. Persyaratan kefarmasian yang
dimaksud meliputi stabilitas dan keamanan, sanitasi, cahaya, kelembaban, ventilasi, dan penggolongan jenis.
Komponen yang harus diperhatikan antara lain: a. Obat dan bahan kimia yang digunakan untuk
mempersiapkan obat diberi label yang secara jelas terbaca memuat nama, tanggal pertama kemasan dibuka,
tanggal kadaluwarsa dan peringatan khusus; elektrolit konsentrasi tinggi tidak disimpan di unit perawatan
kecuali untuk kebutuhan klinis yang penting; b. Elektrolit konsentrasi tinggi yang disimpan pada unit perawatan
pasien dilengkapi dengan pengaman, harus diberi label yang jelas dan disimpan pada area yang dibatasi ketat
(restricted) untuk mencegah penatalaksanaan yang kurang hati-hati; c. Sediaan farmasi, alkes, dan BMHP
yang dibawa oleh pasien harus disimpan secara khusus dan dapat diidentifikasi; d. Tempat penyimpanan obat
tidak dipergunakan untuk penyimpanan barang lainnya yang menyebabkan kontaminasi. Kemudian untuk
bahan berbahaya dan beracun (B3) harus disertakan Material Safety Data Sheet (MSDS) dan Lembar Data
Pengaman (LDP) disertai pelabelan yang berisi identitas bahan, jumlahnya, cara penanggulangan bila
tumpah/bocor, dan penanggulangan kedaruratan (9).
Instalasi Farmasi harus dapat memastikan bahwa obat disimpan secara benar dan diinspeksi secara
periodik. Sediaan farmasi, alkes, dan BMHP yang harus disimpan terpisah yaitu: a. Bahan yang mudah
terbakar, disimpan dalam ruang tahan api dan diberi tanda khusus bahan berbahaya; b. Gas medis disimpan
dengan posisi berdiri, terikat, dan diberi penandaaan untuk menghindari kesalahan pengambilan jenis gas
medis. Penyimpanan tabung gas medis kosong terpisah dari tabung gas medis yang ada isinya. Penyimpanan
tabung gas medis di ruangan harus menggunakan tutup demi keselamatan(9).
Metode penyimpanan dapat dilakukan berdasarkan kelas terapi, bentuk sediaan, jenis dan disusun
secara alfabetis dengan menerapkan prinsip First Expired First Out (FEFO) dan First In First Out (FIFO)
disertai sistem informasi manajemen. Penyimpanan sediaan farmasi, alkes, dan BMHP yang penampilan dan
penamaan berdekatan dan harus diberi penandaan khusus untuk mencegah terjadinya kesalahan
pengambilan obat. RS harus dapat menyediakan lokasi penyimpanan obat emergensi untuk kondisi
kegawatdaruratan. Tempat penyimpanan harus mudah diakses dan terhindar dari penyalahgunaan dan
pencurian. Pengelolaan obat emergensi harus menjamin: a. Jumlah dan jenis obat sesuai dengan daftar obat
emergensi yang telah ditetapkan; a. Tidak boleh bercampur dengan persediaan obat untuk kebutuhan lain; b.
Bila dipakai untuk keperluan emergensi harus segera diganti; c. Dicek secara berkala apakah ada yang
kadaluwarsa; dan d. Dilarang untuk dipinjam untuk kebutuhan lain (9). Penyimpanan bahan khusus seperti
vaksin untuk Polio disimpan pada suhu -15 sampai -25 oC; vaksin Hepatitis B disimpan pada suhu ruangan;
dan vaksin lain seperti DPT-HB, DT, TT, BCD, Campak Td, disimpan pada suhu 2-8oC(10).
Distribusi merupakan suatu rangkaian kegiatan dalam rangka menyalurkan/menyerahkan sediaan
farmasi, alat kesehatan (alkes), dan Bahan Medis Habis Pakai (BMHP) dari tempat penyimpanan sampai
kepada unit pelayanan/pasien dengan tetap menjamin mutu, stabilitas, jenis, jumlah, dan ketepatan waktu. RS
harus menentukan sistem distribusi yang dapat menjamin terlaksananya pengawasan dan pengendalian di
unit pelayanan. Sistem distribusi di unit pelayanan dapat dilakukan dengan cara: Sistem Persediaan Lengkap
di Ruangan /floor stock, Sistem Resep Perorangan, Sistem Unit Dosis, dan Sistem Kombinasi. Sistem
distribusi Unit Dose Dispensing (UDD) sangat dianjurkan untuk pasien rawat inap mengingat dengan sistem
ini tingkat kesalahan pemberian obat dapat diminimalkan sampai kurang dari 5% dibandingkan dengan sistem
floor stock atau resep individu yang mencapai 18%. Sistem distribusi dirancang atas dasar kemudahan untuk
dijangkau oleh pasien dengan mempertimbangkan efisiensi dan efektifitas sumber daya yang ada dan metode
sentralisasi atau desentralisasi(9). Distribusi khusus seperti vaksin memiliki ketentuan tertentu. Wadah
pengiriman vaksin berupa cold box yang disertai alat untuk mempertahankan suhu dingin berupa: a. Cool
pack untuk vaksin TT, Td, DT, Hepatitis B, dan DPT-HB (disertai indicator paparan suhu beku); b. Cold pack
untuk vaksin BCG (disertai indicator paparan suhu panas) dan Campak; dan c. Dry ice dan/atau cold pack
untuk vaksin polio(10).
Berdasarkan skenario, terdapat beberapa permasalahan terkait penyimpanan dan distribusi obat. Bahan
seperti elektrolit konsentrasi tinggi tidak disimpan di unit perawatan kecuali untuk kebutuhan klinis yang
penting. Elektrolit konsentrasi tinggi yang disimpan pada unit perawatan pasien dilengkapi dengan pengaman,
harus diberi label yang jelas dan disimpan pada area yang dibatasi ketat (restricted) untuk mencegah
penatalaksanaan yang kurang hati-hati. B3 harus disertakan MSDS dan LDP disertai pelabelan yang berisi
identitas bahan, jumlahnya, cara penanggulangan bila tumpah/bocor, dan penanggulangan kedaruratan
kemudian obat emergensi idak boleh bercampur dengan persediaan obat untuk kebutuhan lain. Pada
pendistribusian sebaiknya vaksin didistribusikan menggunakan cool pack, cold pack, atau dry ice sesuai
dengan jenis vaksinnya. IFRS perlu memperbaiki dan menjaga pengelolaan obat terkait penyimpanan dan
pendistribusian karena selain berpengaruh pada akreditasi, yang terpenting adalah berpengaruh pada
keselamatan baik pegawai RS maupun pasien. Keterbatasan apoteker dan perawat dapat diatasi dengan
penambahan karyawan yang sesuai dengan kriteria agar distribusi obat dapat menerapkan system UDD dan
menanggulangi ketidaktersediaan dokumen yang bersangkutan.
Daftar Pustaka:
1. Anonim, 2012, Peraturan Mentri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2012 Tentang Akreditasi
Rumah Sakit, Departemen Kesehatan RI, Jakarta.
2. Anonim, 2009, Undang Undang Dasar No 44 pasal 40 Tentang Rumah Sakit, Republik Indonesia, Jakarta
3. Anonim, 2014, Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No 56/MENKES/PER/VIII/2014 tentang
Klasifikasi dan Perizinan Rumah Sakit, Departemen Kesehatan RI, Jakarta.
4. Anonim, 2012, Keputusan Mentri Kesehatan Nomor 428/MENKES/SK/XII/2012 Tentang Penetapan
Lembaga Independen Pelaksana Akreditasi Rumah Sakit Di Indonesia, Departemen Kesehatan RI, Jakarta
5. Anonim, 2012, Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 428/MENKES/SK/XII/2012 tentang
Penetapan Lembaga Independen Pelaksana Akreditasi Rumah Sakit di Indonesia, Jakarta.
6. KARS, 2014, Pedoman Tata Laksana Survei Akreditasi Rumah Sakit Edisi III, Komisi Akreditasi Rumah
Sakit, Jakarta.
7. Anonim, 2011, Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 417/MENKES/PER/II/2011 Tentang
Komisi Akreditasi Rumah Sakit, Departemen Kesehatan RI, Jakarta.
8. Supriyantoro, et al, 2011, Standar Akreditasi Rumah Sakit Edisi I, Kementrian Kesehatan RI, Jakarta.
9. Anonim, 2016, Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 72 Tahun 2016 tentang Standar
Pelayanan Kefarmasian di Rumah sakit, Departemen Kesehatan RI, Jakarta.
10. Anonim, 2013, Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor42/MENKES/PER/6/2013
Tentang Penyelenggaraan I munisasi, Kementrian Kesehatan RI, Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai