Anda di halaman 1dari 61

TUGAS KOMPREHENSIF II

ASUHAN KEPERAWATAN NEONATAL


(HIRCHSPRUNG, ATRESIA ANI, ATRESIA DUCTUS HEPATICUS)

Disusun Oleh

Kelompok 5:

1. INTANG SULISTIANI ZEN


2. MUTIAH ANDRIANI
3. EVA SUGIARTI
4. TRAN UTAMI RIZKY
5. ERNILA YASNI
6. FUTRI FIDIA H.
7. ANGGUN PRATIWI
8. M. SYAID ZAMZURI
9. I GEDE MEDIA PRATAMA

YAYASAN RUMAH SAKIT ISLAM NUSA TENGGARA BARAT


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN YARSI MATARAM
PROGRAM STUDI SI KEPERAWATAN
MATARAM
2016

i
ii
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT., atas limpahan dan
rahmat karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah Tugas
Komprehensif II Asuhan Keperawatan Neonatal (Hirchsprung, Atresia Ani,
Atresia Ductus Hepaticus). Makalah ini disusun sebagai salah satu tugas Mata
Kuliah Sistem Muskuloskeletal. Karena makalah ini tidak mungkin dapat
diselesaikan tanpa bantuan dari pihak-pihak tertentu, maka dalam kesempatan ini
penulis mengucapkan terimakasih yang sedalam-dalamnya kepada :
1. Agus Supinganto, Ners., M.Kes., selaku Ketua STIKES YARSI Mataram.
2. Indah Wasliah, Ners., M.Kep., Sp.Anak., selaku Ka. Prodi S1 Keperawatan
STIKES YARSI Mataram.
3. Bq. Rully Fatmawati, Ners., selaku dosen pembimbing akademik.
4. Baiq Nurul Hidayati, Ners., M.Kep.,selaku dosen Mata Kuliah Sistem
Integumen.
5. Semua pihak yang ikut membantu dalam penyusunan makalah ini.
Penulis membuat makalah ini dengan seringkas-ringkasnya dan bahasa
yang jelas agar mudah dipahami. Karena penulis menyadari keterbatasan yang
penulis miliki, penulis mengharapkan kritik dan saran dari para pembaca, agar
pembuatan makalah penulis yang berikutnya dapat menjadi lebih baik.
Akhir kata semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi para pembaca.

Mataram, Oktober 2016

Penulis

iii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Penyakit Hirschsprung adalah suatu kelainan kongenital pada kolon
yang ditandai dengan tiadanya sel ganglion parasimpatis pada pleksus
submukosus Meissneri dan pleksus mienterikus Aurbachi. Sembilan puluh
persen kelainan ini terdapat pada rektum dan sigmoid.
Penyakit ini pertama kali ditemukan oleh Herald Hirschsprung tahun
1886, namun patofisiologi terjadinya penyakit ini tidak diketahui secara
jelas hingga tahun 1938, dimana Robertson dan Kernohan menyatakan
bahwa megakolon yang dijumpai pada kelainan ini disebabkan oleh
gangguan peristaltik dibagian distal usus akibat defisiensi ganglion. Risiko
tertinggi terjadinya penyakit Hirschsprung biasanya pada pasien yang
mempunyai riwayat keluarga penyakit Hirschsprung dan pada pasien
penderita Down Syndrome. Rektosigmoid paling sering terkena, sekitar
75% kasus, fleksura lienalis atau kolon transversum pada 17% kasus. Anak
kembar dan adanya riwayat keturunan meningkatkan risiko terjadinya
penyakit Hirschsprung. Penyakit Hirschsprung lebih sering terjadi secara
diturunkan oleh ibu aganglionosis dibandingkan oleh ayah (Kartono, 2010;
Holscneider, 2005).
Atresia berasal dari bahasa Yunani, a artinya tidak ada, trepis artinya
nutrisi atau makanan. Dalam istilah kedokteran atresia itu sendiri adalah
keadaan tidak adanya atau tertutupnya lubang badan normal atau organ
tubular secara kongenital disebut juga clausura. Dengan kata lain tidak
adanya lubang di tempat yang seharusnya berlubang atau buntunya saluran
atau rongga tubuh, hal ini bisa terjadi karena bawaan sejak lahir atau terjadi
kemudian karena proses penyakit yang mengenai saluran itu. Atresia dapat
terjadi pada seluruh saluran tubuh, misalnya atresia ani. Atresia ani yaitu
tidak berlubangnya dubur. Atresia ani memiliki nama lain yaitu anus
imperforata. Jika atresia terjadi maka hampir selalu memerlukan tindakan
operasi untuk membuat saluran seperti keadaan normalnya.

1
Insiden 1:5000 kelahiran yang dapat muncul sebagai sindroma
VACTRERL (Vertebra, Anal, Cardial, Esofageal, Renal, Limb) (Faradilla,
2009).
Atresia bilier adalah penyakit serius yang mana ini terjadi pada satu
dari 10.000 anak-anak dan lebih sering terjadi pada anak perempuan
daripada anak laki-laki dan pada bayi baru lahir Asia dan Afrika-Amerika
daripada di Kaukasia bayi baru lahir. Penyebab atresia bilier tidak diketahui,
dan perawatan hanya sebagian berhasil. Atresia bilier adalah alasan paling
umum untuk pencangkokan hati pada anak-anak di Amerika Serikat dan
sebagian besar dunia Barat (Santoso, Agus.2010. Health Academy).
Atresia bilier terjadi karena proses inflamasi berkepanjangan yang
menyebabkan kerusakan progresif pada duktus bilier ekstrahepatik sehingga
menyebabkan hambatan aliran empedu. Jadi, atresia bilier adalah tidak
adanya atau kecilnya lumen pada sebagian atau keseluruhan traktus
bilier ekstrahepatik yang menyebabkan hambatan aliran empedu. Akibatnya
di dalam hati dan darah terjadi penumpukan garam empedu dan peningkatan
bilirubin direk. Hanya tindakan bedah yang dapat mengatasi atresia bilier.
Bila tindakan bedah dilakukan pada usia 8 minggu, angka keberhasilannya
adalah 86%, tetapi bila pembedahan dilakukan pada usia > 8 minggu maka
angka keberhasilannya hanya 36%. Oleh karena itu diagnosis atresia bilier
harus ditegakkan sedini mungkin, sebelum usia 8 minggu (Dr.
Parlin.1991.Atresia Bilier. Jakarta: Ilmu Kesehatan Anak FK UI).
Kerusakan hati yang timbul dari atresia bilier disebabkan oleh atresia
dari saluran-saluran empedu yang bertanggung jawab untuk mengalirkan
empedu dari hati. Empedu dibuat oleh hati dan melewati saluran empedu
dan masuk ke usus di mana ia membantu mencerna makanan, lemak, dan
kolesterol. Hilangnya saluran empedu menyebabkan empedu untuk tetap di
hati. Ketika empedu mulai merusak hati, menyebabkan jaringan parut dan
hilangnya jaringan hati. Akhirnya hati tidak akan dapat bekerja dengan baik
dan sirosis akan terjadi. Setelah gagal hati, pencangkokan hati menjadi
perlu. Atresia bilier dapat menyebabkan kegagalan hati dan kebutuhan

2
untuk transplantasi hati dalam 1 sampai 2 tahun pertama kehidupan
(Santoso, Agus.2010. Health Academy).

1.2. Rumusan Masalah


1. Bagaimana konsep dasar penyakit Hirscprung ?
2. Bagaimana konsep dasar penyakit Atresia Ani ?
3. Bagaimana konsep dasar penyakit Atresia Ductus Hepaticus (Atresia
Bilier) ?

1.3. Tujuan
1.3.1. Tujuan Umum
Menjelaskan tentang konsep penyakit Hirscprung, Atresia Ani
dan Atresia bilier.
1.3.2. Tujuan Khusus
1. Mengidentifikasi konsep dasar penyakit Hirscprung.
2. Mengidentifikasi konsep dasar penyakit Atresia Ani.
3. Mengidentifikasi konsep dasar penyakit Atresia Ductus
Hepaticus.

1.4. Manfaat
Mahasiswa mampu memahami tentang penyakit yang berhubungan
dengan sistem endokrin (Hirscprung, Atresia Ani dan Atresia bilier) serta
mampu menerapkan asuhan keperawatan pada klien dengan Atresia bilier
dengan pendekatan Student Center Learning.

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Dasar Penyakit Hirscprung


2.1.1. Definisi Penyakit Hirschsprung
Penyakit Hirschsprung juga disebut dengan aganglionik
megakolon kongenital adalah salah satu penyebab paling umum dari
obstruksi usus neonatal (bayi berumur (0-28 hari). Penyakit
Hirschsprung merupakan penyakit dari usus besar (kolon) berupa
gangguan perkembangan dari sistem saraf enterik. Pergerakan dalam
usus besar didorong oleh otot. Otot ini dikendalikan oleh sel-sel saraf
khusus yang disebut sel ganglion. Pada bayi yang lahir dengan
penyakit Hirschsprung tidak ditemui adanya sel ganglion yang
berfungsi mengontrol kontraksi dan relaksasi dari otot polos dalam
usus distal. Tanpa adanya sel-sel ganglion (aganglionosis) otot-otot
di bagian usus besar tidak dapat melakukan gerak peristaltik (gerak
mendorong keluar feses).

Gambar 2.1 Foto penderita penyakit Hirschsprung berumur 3 hari


2.1.2. Embriologi Kolon
Dalam perkembangan embriologis normal, sel-sel neuroenterik
bermigrasi dari krista neural ke saluran gastrointestinal bagian atas
kemudian melanjutkan ke arah distal. Sel-sel saraf pertama sampai di
esofagus dalam gestasi minggu kelima. Sel-sel saraf sampai di
midgut dan mencapai kolon distal dalam minggu kedua belas.
Migrasi berlangsung mula-mula ke dalam pleksus Auerbach,

4
selanjutnya sel-sel ini menuju ke dalam pleksus submukosa. Sel-sel
krista neural dalam migrasinya dibimbing oleh berbagai glikoprotein
neural atau serabut-serabut saraf yang berkembang lebih awal
daripada sel-sel krista neural.
Glikoprotein yang berperan termasuk fibronektin dan asam
hialuronik, yang membentuk jalan bagi migrasi sel neural. Serabut
saraf berkembang ke bawah menuju saluran gastrointestinal dan
kemudian bergerak menuju intestine, dimulai dari membran dasar
dan berakhir di lapisan muskular.
Secara embriologik, kolon kanan berasal dari usus tengah,
sedangkan kolon kiri berasal dari usus belakang. Lapisan otot
longitudinal kolon membentuk tiga buah pita yang disebut taenia
yang berukuran lebih pendek dari kolon itu sendiri sehingga kolon
berlipat-lipat dan berbentuk seperti sakulus (kantong kecil) dan biasa
disebut haustra (bejana). Kolon tranversum dan kolon sigmoideum
terletak intraperitoneal dan dilengkapi dengan mesentrium.
Gangguan rotasi usus embrional dapat terjadi dalam
perkembangan embriologik sehingga kolon kanan dan sekum
mempunyai mesentrium yang lengkap. Keadaan ini memudahkan
terjadinya putaran atau volvulus sebagian besar usus yang sama
halnya dapat terjadi dengan mesentrium yang panjang pada kolon
sigmoid dengan radiksnyayang sempit.
2.1.3. Anatomi dan Fisiologi Kolon
Usus besar atau kolon berbentuk tabung muskular berongga
dengan panjang sekitar 1,5 m yang terbentang dari sekum hingga
kanalis ani. Diameter usus besar lebih besar daripada usus kecil yaitu
sekitar 6,5 cm (2,5 inci), namun semakin dekat dengan anus
diameternya pun semakin kecil. Usus besar dibagi menjadi sekum,
kolon, dan rektum. Pada sekum terdapat katup ileosekal dan
apendiks yang melekat pada ujung sekum. Sekum menempati sekitar
dua atau tiga inci pertama dari usus besar. Katup ileosekal
mengendalikan aliran kimus dari ileum ke dalam sekum dan

5
mencegah terjadinya aliran balik bahan fekal dari usus besar ke
dalam usus halus.
Kolon terbagi atas kolon asenden, tranversum, desenden, dan
sigmoid. Kolon membentuk kelokan tajam pada abdomen kanan dan
kiri atas berturut-turut disebut dengan fleksura hepatika dan fleksura
lienalis. Kolon sigmoid mulai setinggi krista iliaka dan membentuk
lekukan berbentuk-S. Lekukan bagian bawah membelok ke kiri
sewaktu kolon sigmoid bersatu dengan rektum. Bagian utama usus
yang terakhir disebut sebagai rektum dan membentang dari kolon
sigmoid hingga anus (muara ke bagian luar tubuh). Satu inci terakhir
dari rektum disebut sebagai kanalis ani dan dilindungi oleh otot
sfingter ani eksternus dan internus. Panjang rektum dan kanalis ani
adalah sekitar 15 cm (5,9 inci).
Usus besar memiliki berbagai fungsi yang semuanya berkaitan
dengan proses akhir isi usus. Fungsi usus besar yang paling penting
adalah absorpsi air dan elektrolit. Kolon sigmoid berfungsi sebagai
reservoir yang menampung massa feses yang sudah terdehidrasi
sampai berlangsungnya defekasi. Kolon mengabsorpsi sekitar 800 ml
air per hari dengan berat akhir feses yang dikeluarkan adalah 200
gram dan 80%-90% diantaranya adalah air. Sisanya terdiri dari
residu makanan yang tidak terabsorpsi, bakteri, sel epitel yang
terlepas, dan mineral yang tidak terabsorpsi.

Gambar 2.2 Anatomi Usus besar (Kolon)

6
2.1.4. Klasifikasi
Berdasarkan panjang segmen yang terkena, Hirschprung
dapat dibagi menjadi dua, yaitu :
1. Penyakit hirschprung segmen pendek
Segmen aganglionosis mulai dari anus sampai sigmoid; ini
merupakan 70% dari kasus penyakit hirschsprung dan lebih
sering ditemukan pada anak laki- laki dibanding anak
perempuan.
2. Penyakit hirschprung segmen panjang
Kelainan dapat melebihi sigmoid, bahkan dapat mengenai
seluruh kolon atau usus halus. Ditemukan sama banyak baik laki
laki maupun perempuan.
2.1.5. Epidemiologi
1. Distribusi dan Frekuensi
Penyakit Hirschsprung terjadi pada 1 dari 5.000 kelahiran
hidup dan merupakan penyebab tersering obstruksi saluran cerna
bagian bawah pada neonatus. Penyakit yang lebih sering
ditemukan memperlihatkan predominasi pada laki-laki
dibandingkan perempuan dengan perbandingan 4:1. Insidens
penyakit Hirschsprung bertambah pada kasus-kasus familial yang
rata-rata mencapai sekitar 6% (berkisar antara 2-18%).
Sementara untuk distribusi ras setara untuk bayi berkulit putih
dan Amerika keturunan Afrika.
Penelitian yang dilakukan Iqbal dkk. (2010) di Rumah
Sakit Sheikh Zayed, Pakistan menunjukkan proporsi penyakit
Hirschsprung lebih tinggi pada anak laki-laki (70,59% ; 12 dari
17 orang) daripada anak perempuan (29,41% ; 5 dari 17 orang).
Penelitian tersebut juga menunjukkan proporsi penyakit
Hirschsprung lebih banyak ditemukan pada umur < 2 tahun
(58,83% ; 10 dari 17 orang) dibandingkan dengan umur > 2
tahun (41,17% ; 7 dari 10 orang).

7
Berdasarkan penelitian Hidayat dalam kurun waktu 3
tahun (2005-2008) di Rumah Sakit Wahidin Sudirohusodo
terhadap 28 kasus penyakit Hirschsprung menunjukkan proporsi
jenis kelamin laki-laki adalah 42,85% (12 dari 28 kasus) dan
pada perempuan adalah 57,15% (16 dari 28 kasus).
Menurut penelitian Kartono yang menangani penyakit
Hirschsprung di RS Cipto Mangunkusumo memperlihatkan
proporsi penyakit Hirschprung lebih banyak ditemukan pada
pasien berumur 0-1 bulan yaitu sebesar 29,71% (52 dari 175
orang) sedangkan untuk umur 1 bulan-1 tahun sebesar 22,85%
(40 dari 175 orang). Kartono juga mencatat penderita penyakit
Hirschsprung sebanyak 131 orang (74,85%) berjenis kelamin
lelaki sedangkan perempuan yang berjumlah 44 orang (25,15%).
Hasil penelitian Sari di RSUP H. Adam Malik pada tahun
2005-2009 tercatat ada 50 orang anak yang menderita penyakit
Hirschsprung dan dijadikan sampel penelitian. Dari 50 orang
sampel tersebut, distribusi tertinggi pada kelompok usia 0-2
tahun yaitu sebanyak 40 orang (80%). Ada 36 orang (72%)
berjenis kelamin laki-laki dan 14 orang (28%) berjenis kelamin
perempuan yang tercatat menderita penyakit Hirschsprung.
2. Determinan Penyakit Hirschsprung
Faktor Bayi
Umur Bayi
Bayi dengan umur 0-28 hari merupakan kelompok umur
yang paling rentan terkena penyakit Hirschsprung karena
penyakit Hirschsprung merupakan salah satu penyebab paling
umum obstruksi usus neonatal (bayi berumur 0-28 hari).
Riwayat Sindrom Down
Sekitar 12% dari kasus penyakit Hirschsprung terjadi
sebagai bagian dari sindrom yang disebabkan oleh kelainan
kromosom. Kelainan kromosom yang paling umum beresiko
menyebabkan terjadinya penyakit Hirshsprung adalah Sindrom

8
Down. 2-10% dari individu dengan penyakit Hirschsprung
merupakan penderita sindrom Down. Sindrom Down adalah
kelainan kromosom di mana ada tambahan salinan kromosom 21.
Hal ini terkait dengan karakteristik fitur wajah, cacat jantung
bawaan, dan keterlambatan perkembangan anak.
Faktor Ibu
Umur
Umur ibu yang semakin tua (> 35 tahun) dalam waktu
hamil dapat meningkatkan risiko terjadinya kelainan kongenital
pada bayinya. Bayi dengan Sindrom Down lebih sering
ditemukan pada bayi-bayi yang dilahirkan oleh ibu yang
mendekati masa menopause.
Ras/Etnis
Di Indonesia, beberapa suku ada yang memperbolehkan
perkawinan kerabat dekat (sedarah) seperti suku Batak Toba
(pariban) dan Batak Karo (impal). Perkawinan pariban dapat
disebut sebagai perkawinan hubungan darah atau incest.
Perkawinan incest membawa akibat pada kesehatan fisik yang
sangat berat dan memperbesar kemungkinan anak lahir dengan
kelainan kongenital.
2.1.6. Etiologi
Sel neuroblas bermigrasi dari krista neuralis saluran
gastrointestinal bagian atas dan selanjutnya mengikuti serabut-
serabut vagal yang telah ada ke kaudal. Penyakit Hirschsprung
terjadi bila migrasi sel neuroblas terhenti di suatu tempat dan tidak
mencapai rektum. Sel-sel neuroblas tersebut gagal bermigrasi ke
dalam dinding usus dan berkembang ke arah kraniokaudal di dalam
dinding usus.
Mutasi gen banyak dikaitkan sebagai penyebab terjadinya
penyakit Hirschsprung. Mutasi pada Ret proto-onkogen telah
dikaitkan dengan neoplasia endokrin 2A atau 2B pada penyakit
Hirschsprung. Gen lain yang berhubungan dengan penyakit

9
Hirschsprung termasuk sel neurotrofik glial yang diturunkan dari
faktor gen yaitu gen endhotelin-B dan gen endothelin -3.

Gambar 2.3 Dilatasi kolon akibat tidak ditemukannya sel saraf pada
bagian akhir usus . Pleksus Myenterik (Auerbach) dan
Pleksus Submukosal (Meissner)
2.1.7. Patofisiologi
Istilah congenital aganglionic Mega Colon menggambarkan
adanya kerusakan primer dengan tidak adanya sel ganglion pada
dinding sub mukosa kolon distal. Segmen aganglionic hampir selalu
ada dalam rectum dan bagian proksimal pada usus besar.
Ketidakadaan ini menimbulkan keabnormalan atau tidak adanya
gerakan tenaga pendorong ( peristaltik ) dan tidak adanya evakuasi
usus spontan serta spinkter rectum tidak dapat berelaksasi sehingga
mencegah keluarnya feses secara normal yang menyebabkan adanya
akumulasi pada usus dan distensi pada saluran cerna. Bagian
proksimal sampai pada bagian yang rusak pada Mega Colon (Cecily
Betz & Sowden, 2002:196).
Isi usus terdorong ke segmen aganglionik dan feses
terkumpul didaerah tersebut, menyebabkan terdilatasinya bagian
usus yang proksimal terhadap daerah itu karena terjadi obstruksi dan
menyebabkan dibagian Colon tersebut melebar ( Price, S & Wilson,
1995 : 141 ).
Aganglionic mega colon atau hirschprung dikarenakan
karena tidak adanya ganglion parasimpatik disubmukosa (meissher)
dan mienterik (aurbach) tidak ditemukan pada satu atau lebih bagian
dari kolon menyebabkan peristaltik usus abnormal. Peristaltik usus
abnormal menyebabkan konstipasi dan akumulasi sisa pencernaan di

10
kolon yang berakibat timbulnya dilatasi usus sehingga terjadi
megakolon dan pasien mengalami distensi abdomen. Aganglionosis
mempengaruhi dilatasi sfingter ani interna menjadi tidak berfungsi
lagi, mengakibatkan pengeluaran feses, gas dan cairan terhambat.
Penumpukan sisa pencernaan yang semakin banyak merupakan
media utama berkembangnya bakteri. Iskemia saluran cerna
berhubungan dengan peristaltik yang abnormal mempermudah
infeksi kuman ke lumen usus dan terjadilah enterocolitis. Apabila
tidak segera ditangani anak yang mengalami hal tersebut dapat
mengalami kematian (kirscher dikutip oleh Dona L.Wong,
1999:2000)

11
2.1.8. Pathways

Aganglionik
saluran cerna

Peristaltik menurun

Perubahan pola eliminasi


(konstipasi)

Akumulasi isi usus

Proliferasi bakteri Dilatasi usus

Pengeluaran endotoksin Feses membusuk produks gas meningkat

inflamasi diare
Mual & muntah Distensi abdomen

Enterokolitis Penekanan pada diafragma


Anoreksia Drainase gaster

Ekspansi paru
Hospitalisasi Prosedur operasi menurun
Ketidakseimb Resiko
angan nutrisi kekurangan
< dari volume cairan
kebutuhan Pola nafas tidak efektif
Nyeri akut

Imunitas menurun

Perubahan Resiko tinggi


tumbuh kembang infeksi

12
2.1.9. Gambaran Klinis
Ada trias gejala klinis yang sering dijumpai yakni
pengeluaran mekonium yang terlambat, muntah hijau dan distensi
abdomen. Pengeluaran mekonium yang terlambat (lebih dari 24 jam
pertama) merupakan tanda klinis yang signifikan. Swenson (1973)
mencatat angka 94% dari pengamatan terhadap 501 kasus,
sedangkan Kartono mencatat angka 93,5% untuk waktu 24 jam dan
72,4% untuk waktu 48 jam setelah lahir. Muntah hijau dan distensi
abdomen biasanya dapat berkurang ketika mekonium dapat
dikeluarkan segera.
Distensi abdomen merupakan manifestasi obstruksi usus dan
dapat disebabkan oleh kelainan lain seperti atresia ileum. Muntah
yang berwarna hijau disebabkan oleh obstruksi usus, yang dapat pula
terjadi pada kelainan lain dengan gangguan pasase usus, seperti pada
atresia ileum, enterokolitis netrotikans neonatal, atau peritonitis
intrauterine. Enterokolitis merupakan ancaman komplikasi yang
serius bagi penderita penyakit Hirschsprung yang dapat menyerang
pada usia berapa saja namun yang paling tinggi saat usia dua-empat
minggu, meskipun sudah dapat dijumpai pada usia satu minggu.
Gejalanya berupa diare, distensi abdomen, feses berbau busuk, dan
disertai demam.
2.1.10. Penatalaksanaan
Sampai pada saat ini, penyembuhan penyakit Hirschsprung
hanya dapat dilakukan dengan pembedahan. Tindakan-tindakan
medis dapat dilakukan tetapi untuk menangani distensi abdomen
dengan pemasangan pipa anus atau pemasangan pipa lambung dan
irigasi rektum. Pemberian antibiotika dimaksudkan untuk
pencegahan infeksi terutama untuk enterokolitis dan mencegah
terjadinya sepsis. Cairan infus dapat diberikan untuk menjaga
keseimbangan cairan, elektrolit, dan asam basa tubuh.
Penanganan bedah pada umumnya terdiri atas dua tahap yaitu
tahap pertama dengan pembuatan kolostomi dan tahap kedua dengan

13
melakukan operasi definitif. Tahap pertama dimaksudkan sebagai
tindakan darurat untuk mencegah komplikasi dan kematian. Pada
tahapan ini dilakukan kolostomi, sehingga akan menghilangkan
distensi abdomen dan akan memperbaiki kondisi pasien. Tahapan
kedua adalah dengan melakukan operasi definitif dengan membuang
segmen yang ganglionik dengan bagian bawah rektum.
Dikenal beberapa prosedur tindakan definitif yaitu prosedur
Swensons sigmoidectomy, prosedur Duhamel, prosedur Soaves
Transanal Endorectal Pull-Through, prosedur Rehbein dengan cara
reseksi anterior, prosedur Laparoskopic Pull-Through, prosedur dan
prosedur miomektomi anorektal.
Setelah diagnosis penyakit Hirschsprung ditegakkan maka
sejumlah tindakan praoperasi harus dikerjakan terlebih dahulu.
Apabila penderita dalam keadaan dehidrasi atau sepsis maka harus
dilakukan stabilisasi dan resusitasi dengan pemberian cairan
intravena, antibiotik, dan pemasangan pipa lambung. Apabila
sebelum operasi ternyata telah mengalami enterokolitis maka cairan
resusitasi cairan dilakukan secara agresif, pemberian antibiotik broad
spektrum secara ketat kemudian segera dilakukan tindakan
dekompresi usus.
2.1.11. Komplikasi
Komplikasi pasca tindakan bedah penyakit Hirschsprung
dapat digolongkan atas kebocoran anastome, stenosis, enterokolitis
dan gangguan fungsi sfingter. Enterokolitis telah dilaporkan sampai
58% kasus pada penderita penyakit Hirschsprung yang diakibatkan
oleh karena iskemia mukosa dengan invasi bakteri dan translokasi.
Perubahan-perubahan pada komponen musin dan sel neuroendokrin,
kenaikan aktivitas prostaglandin E1, infeksi Clostridium difficile atau
rotavirus dicurigai sebagai penyebab terjadinya enterokolitis. Pada
keadaan yang sangat berat enterokolitis akan menyebabkan
megakolon toksik yang ditandai dengan demam, muntah hijau, diare
hebat, distensi abdomen, dehidrasi dan syok. Terjadinya ulserasi

14
nekrosis akibat iskemia mukosa diatas segmen aganglionik akan
menyebakan terjadinya sepsis, pnematosis dan perforasi usus.
Infeksi pada penyakit Hirschsprung bersumber pada kondisi
obstruksi usus letak rendah. Distensi usus mengakibatkan hambatan
sirkulasi darah pada dinding usus, sehingga dinding usus mengalami
iskemia dan anoksia. Jaringan iskemik mudah terinfeksi oleh kuman,
dan kuman menjadi lebih virulen. Terjadi invasi kuman dari lumen
usus, ke mukosa, sub mukosa, lapisan muscular, dan akhirnya ke
rongga peritoneal atau terjadi sepsis. Keadaan iskemia dinding usus
dapat berlanjut yang akhirnya menyebabkan nekrosis dan perforasi.
Proses kerusakan dinding usus mulai dari mukosa, dan dapat
menyebabkan enterokilitis.
Enterokolitis merupakan ancaman komplikasi yang serius
bagi penderita penyakit Hirschsprung ini, yang dapat menyerang
pada usia kapan saja, namun paling tinggi saat usia 2-4 minggu,
meskipun sudah dapat dijumpai pada usia 1 minggu. Gejalanya
berupa diare, distensi abdomen, feces berbau busuk dan disertai
demam. Swenson mencatat hampir 1/3 kasus Hirschsprung datang
dengan manifestasi klinis enterokolitis, bahkan dapat pula terjadi
meski telah dilakukan kolostomi.
2.1.12. Prognosis
Kelangsungan hidup pasien dengan penyakit Hirschsprung
sangat bergantung pada diagnosis awal dan pendekatan operasi.
Secara umum prognosisnya baik, 90% pasien dengan penyakit
Hirschsprung yang mendapat tindakan pembedahan mengalami
penyembuhan dan hanya sekitar 10% pasien yang masih mempunyai
masalah dengan saluran cernanya sehingga harus dilakukan
kolostomi permanen. Angka kematian akibat komplikasi dari
tindakan pembedahan pada bayi sekitar.
2.1.13. Pencegahan
Pencgahan Primer
Pencegahan primer pada penderita HIrschsprung dapat dilakukan

15
dengan cara:
1. Health Promotion
Penyakit Hirschsprung merupakan penyakit yang disebabkan
oleh pengaruh genetik yang tidak terlepas dari pola konsumsi
serta asupan gizi dari ibu hamil sehingga ibu hamil hingga
kandungan menginjak usia tiga bulan disarankan berhati-hati
terhadap obat-obatan, makanan awetan dan alcohol yang dapat
memberikan pengaruh terhadap kelainan tersebut. Pada tahap
health promotion ini, sebagai pencegahan tingkat pertama
(primary prevention) adalah perlunya perhatian terhadap pola
konsumsi sejak dini terutama sejak masa awal kehamilan.
Menghindari mengkonsumsi makanan yang bersifat
karsinogenik, mengikuti penyuluhan mengenai konsumsi gizi
seimbang serta olah raga dan istirahat yang cukup
b. Spesific Protection
Pada tahap ini pencegahan dilakukan walaupun belum dapat
diketahui adanya kelainan maupun tanda-tanda yang
berhubungan dengan penyakit Hirschsprung. Pencegahan lebig
mengarah pada perlindungan terhadap ancaman agent
penyakitnya misalnya melakukan akses pelayanan Antenatal
Care (ANC) terutama pada skrining ibu hamil beresiko tinggi,
imunisasi ibu hamil, pemberian tablet tambah darah dan
pemeriksaan rutin sebagai upaya deteksi dini obstetric dengan
komplikasi.
Pencegahan Sekunder
Pencegahan sekunder ditujukan guna mengetahui adanya
penyakit Hisrchsprung dan menegakkan diagnosis sedini mungkin.
Keterlambatan diagnosis dapat menyebabkan berbagai komplikasi
yang merupakan penyebab kematian seperti enterokolitis, perforasi
usus, dan sepsis. Pada tahun 1946 Ehrenpreis menekankan bahwa
diagnosa penyakit Hirschsprung dapat ditegakkan pada masa
neonatal.

16
Berbagai teknologi tersedia untuk menegakkan diagnosis
penyakit Hirschsprung. Dengan melakukan anamnesis yang cermat,
pemeriksaan fisik yang teliti, pemeriksaan radiografik, serta
pemeriksaan patologi anatomi biopsi isap rektum, diagnosis penyakit
Hirschsprung pada sebagian besar kasus dapat ditegakkan.
2.1.14. Anamnesis
Adapun tanda-tanda yang dapat dilihat pada saat melakukan
anamnesis adalah adanya keterlambatan pengeluaran mekonium
pertama yang pada umumnya keluar > 24 jam, muntah berwarna
hijau, adanya obstipasi masa neonatus. Jika terjadi pada anak yang
lebih besar obstipasi semakin sering, perut kembung, dan
pertumbuhan terhambat. Selain itu perlu diketahui adanya riwayat
keluarga sebelumnya yang pernah menderita keluhan serupa,
misalnya anak laki-laki terdahulu meninggal sebelum usia dua
minggu dengan riwayat tidak dapat defekasi.
2.1.15. Pemeriksaan Fisik
Pada neonatus biasa ditemukan perut kembung karena
mengalami obstipasi. Bila dilakukan colok dubur maka sewaktu jari
ditarik keluar maka feses akan menyemprot keluar dalam jumlah
yang banyak dan tampak perut anak sudah kembali normal.
Pemeriksaan ini bertujuan untuk mengetahui bau dari feses, kotoran
yang menumpuk dan menyumbat pada usus bagian bawah dan akan
terjadi pembusukan.
Pemeriksaan Radiologi
Pemeriksaan radiologi merupakan pemeriksaan penting pada
penyakit Hirschsprung. Pemeriksaan foto polos abdomen dan
khususnya pemeriksaan enema barium merupakan pemeriksaan
diagnostik terpenting untuk mendeteksi penyakit Hirschsprung
secara dini pada neonatus. Pada foto polos abdomen dapat dijumpai
gambaran obstruksi usus letak rendah, meski pada bayi masih sulit
untuk membedakan usus halus dan usus besar.

17
Pemeriksaan yang merupakan standar dalam menegakkan
diagnosa penyakit Hirschsprung adalah enema barium, dimana akan
dijumpai tiga tanda khas yaitu adanya daerah penyempitan di bagian
rektum ke proksimal yang panjangnya bervariasi, terdapat daerah
transisi, terlihat di proksimal daerah penyempitan ke arah daerah
dilatasi, serta terdapat daerah pelebaran lumen di proksimal daerah
transisi.
Apabila dari foto barium enema tidak terlihat tanda-tanda
khas penyakit Hirschsprung, maka dapat dilanjutkan dengan foto
retensi barium, yakni foto setelah 24-48 jam barium dibiarkan
membaur dengan feses. Gambaran khasnya adalah terlihatnya barium
yang membaur dengan feses ke arah proksimal kolon. Sedangkan
pada penderita yang tidak mengalami Hirschsprung namun disertai
dengan obstipasi kronis, maka barium terlihat menggumpal di daerah
rektum dan sigmoid.

Gambar 2.4 Foto polos abdomen pada penderita penyakit Hirschsprung

18
Gambar 2.5 Foto barium enema pada penderita penyakit Hirschsprung
Pemeriksaan Patologi Anatomi
Diagnosis patologi-anatomik penyakit Hirschsprung
dilakukan melalui prosedur biopsi yang didasarkan atas tidak adanya
sel ganglion pada pleksus myenterik (Auerbach) dan pleksus sub-
mukosa (Meissner). Di samping itu akan terlihat dalam jumlah
banyak penebalan serabut saraf (parasimpatik). Akurasi pemeriksaan
akan semakin tinggi apabila menggunakan pengecatan
immunohistokimia asetilkolinesterase, suatu enzim yang banyak
ditemukan pada serabut saraf parasimpatik.
Biasanya biopsi hisap dilakukan pada tiga tempat yaitu dua,
tiga, dan lima sentimeter proksimal dari anal verge. Apabila hasil
biopsi hisap meragukan, maka dilakukan biopsi eksisi otot rektum
untuk menilai pleksus Auerbach. Dalam laporannya, Polley (1986)
melakukan 309 kasus biopsi hisap rektum tanpa ada hasil negatif
palsu dan komplikasi.
Manometri Anorektal
Pemeriksaan manometri anorektal adalah suatu pemeriksaan
objektif yang mempelajari fungsi fisiologi defekasi pada penyakit
yang melibatkan sfingter anorektal. Dalam praktiknya, manometri
anorektal dilaksanakan apabila hasil pemeriksaan klinis, radiologis,
dan histologis meragukan. Pada dasarnya, alat ini memiliki dua
komponen dasar yaitu transuder yang sensitif terhadap tekanan
seperti balon mikro dan kateter mikro, serta sistem pencatat seperti
poligraph atau komputer.
Beberapa hasil manometri anorektal yang spesifik bagi
penyakit Hirschsprung adalah hiperaktivitas pada segmen dilatasi,
tidak adanya kontraksi peristaltik yang terkoordinasi pada segmen
usus aganglionik, sampling reflex tidak berkembang yang artinya
tidak dijumpainya relaksasi sfingter interna setelah distensi rektum
akibat desakan feses atau tidak adanya relaksasi spontan.

19
2.2 Konsep Dasar Penyakit Atresia ANI
2.2.1. Definisi
Atresia ani adalah suatu kelainan kongenital tanpa anus atau
anus tidak sempurna, termasuk didalamnya agenesis ani, agenesis
rektum dan atresia rektum.
Atresia ani adalah kelainan kongenital yang dikenal sebagai
anus imperforata meliputi anus, rektum, atau batas di antara
keduanya (Betz, 2002). Atresia ani merupakan kelainan bawaan
(kongenital), tidak adanya lubang atau saluran anus (Donna, 2003).
Atresia ani adalah tidak lengkapnya perkembangan embrionik pada
distal anus atau tertutupnya anus secara abnormal (Suradi, 2001).
Atresia ani atau anus imperforata adalah tidak terjadinya perforasi
membran yang memisahkan bagian endoterm mengakibatkan
pembentukan lubang anus yang tidak sempurna. Anus tampak rata
atau sedikit cekung ke dalam atau kadang berbentuk anus namun
tidak berhubungan langsung dengan rektum (Purwanto, 2001).
2.2.2. Embriologi
Usus belakang membentuk sepertiga distal kolon transversum,
kolon desendens, sigmoid, rektum, bagian atas kanalis ani.emdodern
usus belakang ini juga membentuk lapisan dalam kandung kemih dan
uretra (Sadler T.W, 1997).
Bagian akhir usus belakang bermuara ke dalam kloaka, suatu
rongga yang dilapisi endoderm yang berhubungan langsung dengan
ektoderm permukaan. Daerah pertemuan antara endoderm dan
ektoderm membentuk membran kloaka (Sadler T.W, 1997).
Pada perkembangan selanjutnya, timbul suatu rigi melintang,
yaitu septum urorektal, pada sudut antara allantois dan usus
belakang.Sekat ini tumbuh kearah kaudal, karena itu membagi
kloaka menjadi bagian depan, yaitu sinus uroginetalis primitif, dan
bagian posterior, yaitu kanalis anorektalis. Ketika mudigah berumur
7 minggu, septum urorektal mencapai membran kloaka, dan di
daeraah ini terbentuklah korpus parienalis. Membran kloakalis

20
kemudian terbagi menjadi membran analis di belakang, dan
membran urogenitalis di depan (Sadler T.W, 1997).
Sementara itu, membran analis dikelilingi oleh tonjol-tonjol
mesenkim, yang dikenal sebagai celah anus atau proktodeum. Pada
minggu ke-9, membran analis koyak, dan terbukalah jalan antara
rektum dan dunia luar. Bagian atas kanalis analis berasal dari
endoderm dan diperdarahi oleh pembuluh nasi usus belakang, yaitu
arteri mesentrika inferior. Akan tetapi, sepertiga bagian bawah
kanalis analis berasal dari ektoderm dan ektoderm dibentuk oleh
linea pektinata, yang terdapat tepat di bawah kolumna analis. Pada
garis ini, epitel berubah dari epitel torak menjadi epitel berlapis
gepeng (Sadler T.W, 1997).
Secara embriologi, saluran pencernaan berasal dari foregut,
midgut dan hindgut. Foregut akan membentuk faring, sistem
pernafasan bagian bawah, esofagus, lambung sebagian duodenum,
hati dan sistem bilier serta pankreas. Midgut membentuk usus halus,
sebagian duodenum, sekum, appendik, kolon asenden sampai
pertengahan kolon transversum. Hindgut meluas dari midgut hingga
ke membrana kloaka, membrana ini tersusun dari endoderm kloaka,
dan ektoderm dari protoderm atau analpit. Usus terbentuk mulai
minggu keempat disebut sebagai primitif gut. Kegagalan
perkembangan yang lengkap dari septum urorektalis menghasilkan
anomali letak tinggi atau supra levator. Sedangkan anomali letak
rendah atau infra levator berasal dari defek perkembangan
proktoderm dan lipatan genital. Pada anomali letak tinggi, otot
levator ani perkembangannya tidak normal. Sedangkan otot sfingter
eksternus dan internus dapat tidak ada atau rudimenter (Faradilla,
2009).
2.2.3. Klasifikasi Atresia Ani
Klasifikasi atresia ani ada 4 yaitu :
1. Anal stenosis adalah terjadinya penyempitan daerah anus
sehingga feses tidak dapat keluar.

21
2. Membranosus atresia adalah terdapat membran pada anus.
3. Anal agenesis adalah memiliki anus tetapi ada daging diantara
rectum dengan anus.
4. Rectal atresia adalah tidak memiliki rektum.

Pasien bisa diklasifikasikan lebih lanjut menjadi 3 sub


kelompok anatomi yaitu :
1. Anomali rendah / infralevator
Rektum mempunyai jalur desenden normal melalui otot
puborektalis, terdapat sfingter internal dan eksternal yang
berkembang baik dengan fungsi normal dan tidak terdapat
hubungan dengan saluran genitourinarius.
2. Anomali intermediet
Rektum berada pada atau di bawah tingkat otot
puborectalis, lesung anal dan sfingter eksternal berada pada
posisi yang normal.
3. Anomali tinggi / supralevator
Ujung rectum di atas otot puborectalis dan sfingter
internal tidak ada. Hal ini biasanya berhubungan dengan fistula
genitourinarius retrouretral (pria) atau rectovagina
(perempuan). Jarak antara ujung buntu rectum sampai kulit
perineum lebih dari1 cm.

22
Keterangan :
A : Normal
B : Anomali Rendah
C : Anomali Tinggi
D : Anomali Intermediet
2.2.4. Etiologi
Penyebab sebenarnya dari atresia ani ini belum di ketahui
pasti, namun ada sumber yang mengatakan bahwa kelainan bawaan
anus di sebabkan oleh :
1. Karena kegagalan pembentukan septum urorektal secara komplit
karena gangguan pertumbuhan, fusi, atau pembentukan anus dari
tonjolan embrionik.
2. Putusnya saluran pencernaan dari atas dengan dubur, sehingga
bayi lahir tanpa lubang anus.
3. Gangguan organogenesis dalam kandungan penyebab atresia ani,
karena ada kegagalan pertumbuhan saat bayi dalam kandungan
berusia 12 minggu atau 3 bulan.
4. Kelainan bawaan, anus umumnya tidak ada kelainan rektum,
sfingter, dan otot dasar panggul. Namum demikian pada agenesis
anus, sfingter internal mungkin tidak memadai. Menurut
penelitian beberapa ahli masih jarang terjadi bahwa gen
autosomal resesif yang menjadi penyebab atresia ani. Orang tua

23
tidak diketahui apakah mempunyai gen carier penyakit ini. Janin
yang diturunkan dari kedua orang tua yang menjadi carier saat
kehamilan mempunyai peluang sekitar 25 % - 30 % dari bayi
yang mempunya sindrom genetik, abnormalitas kromosom, atau
kelainan kongenital lain juga beresiko untuk menderita atresia ani
(Purwanto, 2001).
2.2.5. Faktor Predisposisi
Atresia ani dapat terjadi disertai dengan beberapa kelainan
kongenital saat lahir, seperti :
1. Kelainan sistem pencernaan terjadi kegagalan perkembangan
anomali pada gastrointestinal.
2. Kelainan sistem perkemihan terjadi kegagalan pada
genitourinari.
2.2.6. Patofisiologi
Kelainan ini terjadi karena kegagalan pembentukan septum
urorektal secara komplit karena gangguan pertumbuhan, fusi atau
pembentukan anus dari tonjolan embrionik, sehingga anus dan
rektum berkembang dari embrionik bagian belakang. Ujung ekor dari
bagian belakang berkembang menjadi kloaka yang merupakan bakal
genitourinari dan struktur anorektal. Terjadi stenosis anal karena
adanya penyempitan pada kanal anorektal. Terjadi atresia anal karena
tidak ada kelengkapan dan perkembangan struktur kolon antara 7-10
minggu dalam perkembangan fetal. Kegagalan migrasi dapat juga
karena kegagalan dalam agenesis sakral dan abnormalitas pada uretra
dan vagina. Tidak ada pembukaan usus besar yang keluar melalui
anus sehingga menyebabkan fekal tidak dapat dikeluarkan sehingga
intestinal mengalami obstruksi. Putusnya saluran pencernaan dari
atas dengan daerah dubur, sehingga bayi baru lahir tanpa lubang
anus. Atresia ani adalah suatu kelainan bawaan, terdapat tiga letak :
1. Tinggi (supralevator) : rektum berakhir di atas M. levator ani
(M. puborektalis) dengan jarak antara ujung buntu rektum
dengan kulit perineum lebih dari 1 cm. Letak upralevator

24
biasanya disertai dengan fistel ke saluran kencing atau saluran
genital.
2. Intermediate : rektum terletak pada M. levator ani tetapi tidak
menembusnya.
3. Rendah : : rektum berakhir di bawah M. levator ani sehingga
jarak antara kulit dan ujung rektum paling jauh 1 cm.

25
2.2.7. Pathway

Kelainan Kongenital

Agenesis sacral
Gangguan Abnormalitas uretra (tulang belakang
pertumbuhan, fusi, dan vagina tumbuh abnormal)
dan pembentukan
anus dari tonjolan
embrionik Perkembangan dan migrasi kolon
pada fetal usia 7-10 minggu tidak

Pembentukan septum urogenital


gagal

ATRESIA ANI

Tidak ada pembukaan usus Hubungan abnormal rektum dan


besar melalui anus vagina
Kebocoran isi anus
Feses tidak bisa
keluar Feses masuk ke
Feses menumpuk MK : KONSTIPASI uretra
Mikroorganisme
Tekanan intraabdominal masuk ke saluran
meningkat
Infeksi saluran kemih
Penanganan medis / Mual dan muntah
pembedahan
Napsu makan MK : GANGGUAN
menurun ELIMINASI URINE

MK : KETIDAKSEIMBANGAN
NUTRISI KUURANG DARI
KEBUTUHAN

Pre-operasi Post-operasi Trauma jaringan

Kurang Perubahan Timbul nyeri Perawatan


informasi defekasi inadekuat
Defekasi tidak
MK : DEFISIT MK : NYERI MK : RESIKO
terkontrol
PENGETAHUA INFEKSI
N MK : GANGGUAN
MK : RASA NYAMAN
INKONTINENSIA
26
2.2.8. Manifestasi Klinis
Bayi muntah-muntah pada 24-48 jam setelah lahir dan tidak
terdapat defekasi mekonium. Gejala ini terdapat pada penyumbatan
yang lebih tinggi.
Pada golongan 3 hampir selalu disertai fistula. Pada bayi wanita
sering ditemukan fistula rektovaginal (dengan gejala bila bayi buang
air besar feses keluar dari (vagina) dan jarang rektoperineal, tidak
pernah rektourinarius. Sedang pada bayi laki-laki dapat terjadi fistula
rektourinarius dan berakhir di kandung kemih atau uretra dan jarang
rektoperineal. Gejala yang akan timbul :
1. Mekonium tidak keluar dalm 24 jam pertama setelah kelahiran.
2. Tidak dapat dilakukan pengukuran suhu rektal pada bayi.
3. Mekonium keluar melalui sebuah fistula atau anus yang
letaknya salah.
4. Perut kembung.
5. Bayi muntah-muntah pada umur 24-48 jam.
Atresia ani sangat bervariasi, mulai dari atresia ani letak rendah
dimana rectum berada pada lokasi yang normal tapi terlalu sempit
sehingga feses bayi tidak dapat melaluinya, malformasi anorektal
intermedia dimana ujung dari rektum dekat ke uretra dan malformasi
anorektal letak tinggi dimana anus sama sekali tidak ada
(Departement of Surgery University of Michigan, 2009).
Sebagian besar bayi dengan atresia ani memiliki satu atau lebih
abnormalitas yang mengenai sistem lain. Insidennya berkisar antara
50% - 60%. Makin tinggi letak abnormalitas berhubungan dengan
malformasi yang lebih sering. Kebanyakan dari kelainan itu
ditemukan secara kebetulan, akan tetapi beberapa diantaranya dapat
mengancam nyawa seperti kelainan kardiovaskuler (Grosfeld J,
2006).

27
Beberapa jenis kelainan yang sering ditemukan bersamaan
dengan malformasi anorektal adalah
1. Kelainan kardiovaskuler.
Ditemukan pada sepertiga pasien dengan atresia ani. Jenis
kelainan yang paling banyak ditemui adalah atrial septal defect
dan paten ductus arteriosus, diikuti oleh tetralogi of fallot dan
vebtrikular septal defect.
2. Kelainan gastrointestinal.
Kelainan yang ditemui berupa kelainan trakeoesofageal
(10%), obstruksi duodenum (1%-2%).
3. Kelainan tulang belakang dan medulla spinalis.
Kelainan tulang belakang yang sering ditemukan adalah
kelainan lumbosakral seperti hemivertebrae, skoliosis, butterfly
vertebrae, dan hemisacrum. Sedangkan kelainan spinal yang
sering ditemukan adalah myelomeningocele, meningocele, dan
teratoma intraspinal.
4. Kelainan traktus genitourinarius.
Kelainan traktus urogenital kongenital paling banyak
ditemukan pada atresia ani. Beberapa penelitian menunjukkan
insiden kelainan urogeital dengan atresia ani letak tinggi antara
50 % sampai 60%, dengan atresia ani letak rendah 15% sampai
20%. Kelainan tersebut dapat berdiri sendiri ataupun muncul
bersamaan sebagai VATER (Vertebrae, Anorectal,
Tracheoesophageal and Renal abnormality) dan VACTERL
(Vertebrae, Anorectal, Cardiovascular, Tracheoesophageal,
Renal and Limb abnormality) ( Oldham K, 2005).
2.2.9. Komplikasi
1. Infeksi saluran kemih yang berkepanjangan.
2. Obstruksi intestinal
3. Kerusakan uretra akibat prosedur pembedahan.
4. Komplikasi jangka panjang :
a. Eversi mukosa anal.

28
b. Stenosis akibat kontraksi jaringan parut dari anastomosis.
c. Impaksi dan konstipasi akibat terjadi dilatasi sigmoid.
d. Masalah atau kelambatan yang berhubungan dengan toilet
training.
e. Inkontinensia akibat stenosis anal atau impaksi.
f. Fistula kambuh karena tegangan di area pembedahan dan
infeksi.
2.2.10. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan dalam tindakan atresia ani yaitu :
1. Pembuatan kolostomi
Kolostomi adalah sebuah lubang buatan yang dibuat oleh
dokter ahli bedah pada dinding abdomen untuk mengeluarkan
feses. Pembuatan lubang biasanya sementara atau permanen dari
usus besar atau colon iliaka. Untuk anomali tinggi, dilakukan
kolostomi beberapa hari setelah lahir.

2. PSARP (Posterio Sagital Ano Rectal Plasty)


Bedah definitifnya, yaitu anoplasty dan umumnya ditunda
9 sampai 12 bulan. Penundaan ini dimaksudkan untuk memberi
waktu pelvis untuk membesar dan pada otot-otot untuk
berkembang. Tindakan ini juga memungkinkan bayi untuk
menambah berat badannya dan bertambah baik status nutrisinya.
3. Tutup kolostomi
Tindakan yang terakhir dari atresia ani. Biasanya beberapa
hari setelah operasi, anak akan mulai BAB melalui anus.

29
Pertama, BAB akan sering tetapi seminggu setelah operasi BAB
berkurang frekuensinya dan agak padat.
2.2.11. Pemeriksaan Penunjang
Untuk memperkuat diagnosis sering diperlukan pemeriksaan
penunjang sebagai berikut :
1. Pemeriksaan radiologis
Dilakukan untuk mengetahui ada tidaknya obstruksi intestinal.
2. Sinar X terhadap abdomen.
Dilakukan untuk menentukan kejelasan keseluruhan bowel dan
untuk mengetahui jarak pemanjangan kantung rektum dari
sfingternya.
3. Ultrasound terhadap abdomen
Digunakan untuk melihat fungsi organ internal terutama dalam
sistem pencernaan dan mencari adanya faktor reversible seperti
obstruksi oleh karena massa tumor.
4. CT Scan
Digunakan untuk menentukan lesi.
5. Pylografi intra vena
Digunakan untuk menilai pelviokalises dan ureter.
6. Pemeriksaan fisik rektum
Kepatenan rektal dapat dilakukan colok dubur dengan
menggunakan selang atau jari.
Hasil pemeriksaan fisik yang didapatkan pada pasien atresia
ani biasanya anus tampak merah, usus melebar, termometer yang
dimasukkan melalui anus tertahan oleh jaringan, pada auskultasi
terdengar hiperperistaltik, tanpa mekonium dalam waktu 24 jam
setelah bayi lahir, tinja dalam urine dan vagina.
7. Rontgenogram abdomen dan pelvis
Juga bisa digunakan untuk mengkonfirmasi adanya fistula yang
berhubungan dengan traktus urinarius.

30
2.3 Konsep Dasar Penyakit Atresia Ductus Hepaticus (Atresia Bilier)
2.3.1. Anatomy dan Fungsi sistem bilier
Sistem empedu terdiri dari organ-organ dan saluran (saluran
empedu, kandung empedu, dan struktur terkait) yang terlibat dalam
produksi dan transportasi empedu.
Ketika sel-sel hati mengeluarkan empedu, yang dikumpulkan
oleh sistem saluran yang mengalir dari hati melalui duktus hepatika
kanan dan kiri. Saluran ini akhirnya mengalir ke duktus hepatik
umum. Duktus hepatika kemudian bergabung dengan duktus sistikus
dari kantong empedu untuk membentuk saluran empedu umum, yang
berlangsung dari hati ke duodenum (bagian pertama dari usus kecil).
Namun, tidak semua berjalan dari empedu langsung ke
duodenum. Sekitar 50 persen dari empedu yang dihasilkan oleh hati
adalah pertama disimpan di kantong empedu, organ berbentuk buah
pir yang terletak tepat di bawah hati.
Kemudian, ketika makanan dimakan, kontrak kandung
empedu dan melepaskan empedu ke duodenum disimpan untuk
membantu memecah lemak.

Gambar 1.1 sistem atresia bilier (Ohio State.2011)


Fungsi utama sistem bilier yang meliputi:
1. untuk mengeringkan produk limbah dari hati ke duodenum
2. untuk membantu dalam pencernaan dengan pelepasan terkontrol
empedu
Empedu merupakan cairan kehijauan-kuning (terdiri dari
produk-produk limbah, kolesterol, dan garam empedu) yang

31
disekresikan oleh sel-sel hati untuk melakukan dua fungsi utama,
termasuk yang berikut:
1. Untuk membawa pergi limbah
2. Untuk memecah lemak selama pencernaan
Garam empedu adalah komponen aktual yang membantu
memecah dan menyerap lemak. Empedu, yang dikeluarkan dari
tubuh dalam bentuk kotoran, adalah apa yang memberikan kotoran
warna gelapnya coklat (Tim Ohio State University.2011.Sistem
Bilier.Columbus:Medical center).
2.3.2. Definisi Atresia bilier
Atresia bilier (biliary atresia) adalah suatu penghambatan di
dalam pipa/saluran-saluran yang membawa cairan empedu (bile)
dari liver menuju ke kantung empedu (gallbladder). Ini merupakan
kondisi congenital, yang berarti terjadi saat kelahiran
(Lavanilate.2010.Askep Atresia Bilier).

Atresia Billiary merupakan kelainan yang berkisar dari


hipoplasiasegmental/generalisata saluran empedu dan atresia sampai
obliterasilengkap duktur billiaris ekstra/intra hepatic (David
Sabiston, 1994). Atresia Billiary merupakan kelainan kongenital
yang berhubungan dengan kolangio hepatic intra uteri dimana
saluran empedu mengalami fibrosis. Proses ini sering berjalan terus
setelah bayi lahir sehingga prognosis umumnya buruk (Sjamsu
Hidajat, 1998). Atresia Billiary merupakan obstruksi total aliran
empedu karena destruksi/tidak adanya saluran/sebagian saluran
empedu ekstra hepatic (Robbins Contrans, 1999). Atresia Billiary
adalah tidak adanya/kecilnya lumen padasebagian/keseluruhan

32
traktus bilier ekstra hepatic (Ringoringo P.). Jadi Atresia Billiary
adalah suatu keadaan dimana saluran empedu tidak berbentuk atau
tidak berkembang secara normal.
Fungsi dari sistem empedu adalah membuang limbah
metabolik darihati dan mengangkut garam empedu yang diperlukan
untuk mencerna lemak di dalam usus halus. Pada Atresia Billiary
terjadi penyumbatan aliran empedudari hati ke kandung empedu. Hal
ini bisa menyebabkan skerusakan hati dansirosis hati.
Proses inflamasi berkepanjangan yang menyebabkan
kerusakan progresif pada duktus bilier ekstrahepatik sehingga
menyebabkan hambatan aliran empedu. Jadi, atresia bilier adalah
tidak adanya atau kecilnya lumen pada sebagian atau keseluruhan
traktus bilier ekstrahepatik yang menyebabkan inflamasi. Akibatnya
di dalam hati dan darah terjadi penumpukan garam empedu dan
peningkatan degenerasi edema hepatic dan bilirubin direk (Dr.
Parlin.1991.Atresia Bilier. Jakarta: Ilmu Kesehatan Anak FK UI).
Kementerian Kesehatan melaporkan bahwa Penyakit Atresia
Bilier terjadi pada 1 banding 10 ribu hingga 15 ribu bayi lahir hidup.
Dengan angka kelahiran hidup di Indonesia 4,5 juta pertahun, dari
jumlah tersebut diprediksi bayi yang menderita penyakit tersebut
mencapai 300-450 bayi setiap tahunnya. Rasio atresia bilier pada
anak perempuan dan anak laki-laki adalah 1,4 : 1 (Wartapedia.2010).
Bayi dengan atresia bilier biasanya muncul sehat ketika
mereka lahir. Gejala penyakit ini biasanya muncul dalam dua minggu
pertama setelah hidup. Gejala-gejala seperti Ikterus, Jaundice Urin
gelap Tinja berwarna pucat, Penurunan berat badan dan ini
berkembang ketika tingkat ikterus meningkat.
Pasien dengan atresia bilier dapat dibagi menjadi 2 grup,
yakni :
1. Perinatal form ( Isolated Biliary Atresia)
65 90 % Bentuk ini ditemukan pada neonatal dan bayi
berusia 2-8 minggu. Inflmasi atau peradangan yang progresiv

33
pada saluran empedu extrahepatik timbul setelah lahir. Bentuk
ini tidak muncul bersama kelainan congenital lainnya.
2. Fetal Embrionic form
10 35 % Bentuk ini ditandai dengan cholestatis yang
muncul amat cepat, dalam 2 minggu kehidupan pertama. Pada
bentuk ini, saluran empedu tidak terbentuk pada saat lahir dan
biasanya disertai dengan kelainan congenital lainnya seperti
situs inversus, polysplenia,malrotasi, dan lain-lain.

Gambar 1.2 atresia bilier ekstrahepatik (wikipedia.2006)


Atresia biliary merupakan obliterasi atau hipoplasi satu
komponen atau lebih dari duktus biliaris akibat terhentinya
perkembangan janin, menyebabkan ikterus persisten dan
kerusakan hati yang bervariasi dari statis empedu sampai sirosis
biliaris, dengan splenomegali bila berlanjut menjadi hipertensi
porta (Kamus Kedokteran Dorland 2002: 206).
Atresia bilier atau atresia biliaris ekstrahepatik merupakan
proses inflamasi progresif yang menyebabkan fibrosis saluran
empedu intrahepatik maupun ekstrahepatik sehingga pada
akhirnya akan terjadi obstruksi saluran tersebut (Donna L. Wong
2008: 1028).

34
2.3.3. Klasifikasi Atresia bilier
Kasai mengajukan klasifikasi atresia bilier sebagai berikut :

gambar 1.3 tipe atresia bilier


1. Atresia (sebagian atau total) duktus bilier komunis, segmen
proksimal paten.
2. IIa. Obliterasi duktus hepatikus komunis (duktus bilier komunis,
duktus sistikus, dan kandung empedu semuanyanormal).
IIb. Obliterasi duktus bilier komunis, duktus hepatikus komunis,
duktus sistikus. Kandung empedu normal.
3. Semua sistem duktus bilier ekstrahepatik mengalami obliterasi,
sampai ke hilus.
Tipe I dan II merupakan jenis atresia bilier yang dapat
dioperasi (correctable), sedangkan tipe III adalah bentuk yang tidak
dapat dioperasi (non-correctable). Sayangnya dari semua kasus
atresia bilier, hanya 10% yang tergolong tipe I dan II.
Atresia Billiary cibagi menjadi 2 bagian yaitu:
1. Atresia Billiary Intra Hepatik
Merupakan atresia yang dapat dikoreksi. Bentuk ini lebih
jarangdibandingkan ekstra hepatik yang hanya 10 % dari
penderita atresia.Ditemukan saluran empedu proksimal yang
terbuka lumennya. Tetapitidak berhubungan dengan duodenum.
Atresia hanya melibatkan duktuskoledukus distal. Sirosis bilier
terjadi lambat.
2. Atresia Billiary Ekstra Hepatik
Merupakan Atresia yang tidak dapat dikoreksi. Bentuk ini sekitar
90 %dari penderita atresia. Prognosis buruk menyebabkan
kematian.Ditemukan bahwa seluruh sistem saluran empedu
ekstra hepatik mengalami obliterasi sirosis bilier terjadi cepat.

35
Gejala klinik dan patologik bergantung pada awal proses
penyakitnya dan bergantung padasaat penyakit terdiagnosis.
Atresia Ekstra Hepatik terbagi menjadi 2 yaitu:
a. Embrional :
1/3 penderita atresia ekstra hepatik terjadi pada masa
embrional. Awal prosesnya merusak saluran empedu mulai
sejak masa intrauterinhingga saat bayi lahir. Pada penderita
tidak ditemukan masa bebasikterus setelah pperiode ikterus
neonatorum fisiologis (2 minggu pertama kelahiran).
b. Perinatal:
2/3 penderita atresia ekstra hepatik terjadi pada masa
perinatal. Awal prosesnya adalah gejala ikterus setelah
periode ikterus psikologik menghilang. Kemudian diteruskan
ikterus yang progresif.
c. Kasai mengajukan klasifikasi atresia bilier sebagai berikut :
a. I. Atresia (sebagian atau total) duktus bilier komunis,
segmen proksimal paten.
b. IIa. Obliterasi duktus hepatikus komunis (duktus bilier
komunis, duktus sistikus, dan kandung empedu semuanya
normal).
c. IIb. Obliterasi duktus bilierkomunis, duktus hepatikus
komunis, duktus sistikus. Kandung empedu normal.
d. III. Semua sistem duktus bilier ekstrahepatik mengalami
obliterasi, sampai ke hilus. Tipe I dan II merupakan jenis
atresia bilier yang dapat dioperasi (correctable),
sedangkan tipe III adalah bentuk yang tidak dapat
dioperasi (non-correctable). Sayangnya dari semua kasus
atresia bilier, hanya 10% yang tergolong tipe I dan II.

36
Gambar 3. Klasifikas Atresia Bilier
2.3.4. Etiologi
Etiologi Atresia Billiary masih belum diketahui dengan pasti.
Atresia Billiary terjadi antara lain karena proses inflamasi
berkepanjangan yang menyebabkan kerusakan progresif pada duktus
bilier ekstra hepatik sehingga menyebabkan hambatan aliiran
empedu. Ada juga sebagian ahli yang menyatakan bahwa faktor
genetik ikut berperan, yang dikaitkan dengan adanya kelainan
kromosom trisomi 17, 18 dan 21 serta terdapatnya anomalioragan
pada 10-30 % kasus Atresia Billiary.
Insiden Atresia Billiary adalah1/10000 sampai 1/14.000
kelahiran hidup. Rasio Atresia Billiary pada anak perempuan dan
laki-laki adalah + 1,4 : 1.Dari 904 kasus Atresia Billiary yang
terdaftar di lebih dari 100 institusi,Atresia Billiary terdapat pada Ras
Kaukasia (62 %), berkulit hitam (20 %), Hispanik (11 %), Asia (4,2
%) dan Indian Amerika (1,5 %). Namun, sebagian besar penulis
berpendapat bahwa atresia bilier adalah akibat proses inflamasi yang

37
merusak duktus bilier, bisa karena infeksi atau iskemi (Behrman,
Richard E. (1992).
Beberapa anak, terutama mereka dengan bentuk janin atresia
bilier, seringkali memiliki cacat lahir lainnya di jantung, limpa, atau
usus.
Sebuah fakta penting adalah bahwa atresia bilier bukan
merupakan penyakit keturunan. Kasus dari atresia bilier pernah
terjadi pada bayi kembar identik, dimana hanya 1 anak yang
menderita penyakit tersebut. Atresia bilier kemungkinan besar
disebabkan oleh sebuah peristiwa yang terjadi selama hidup janin
atau sekitar saat kelahiran. Kemungkinan yang "memicu" dapat
mencakup satu atau kombinasi dari faktor-faktor predisposisi
berikut:
1. Infeksi virus atau bakteri
2. Masalah dengan sistem kekebalan tubuh
3. Komponen yang abnormal empedu
4. Kesalahan dalam pengembangan saluran hati dan empedu
5. Hepatocelluler dysfunction

38
2.3.5. Pathway

39
2.3.6. Manifestasi Klinis
Bayi dengan atresia bilier biasanya muncul sehat ketika mereka
lahir. Gejala penyakit ini biasanya muncul dalam dua minggu
pertama setelah hidup. Gejala-gejala termasuk:
1. Ikterus, kekuningan pada kulit dan mata karena tingkat bilirubin
yang sangat tinggi (pigmen empedu) tertahan di dalam hati dan
akan dikeluarkan dalam aliran darah.
Jaundice disebabkan oleh hati yang belum dewasa adalah umum
pada bayi baru lahir. Ini biasanya hilang dalam minggu pertama
sampai 10 hari dari kehidupan. Seorang bayi dengan atresia bilier
biasanya tampak normal saat lahir, tapi ikterus berkembang pada
dua atau tiga minggu setelah lahir
2. Urin gelap yang disebabkan oleh penumpukan bilirubin (produk
pemecahan dari hemoglobin) dalam darah. Bilirubin kemudian
disaring oleh ginjal dan dibuang dalam urin.
3. Tinja berwarna pucat, karena tidak ada empedu atau pewarnaan
bilirubin yang masuk ke dalam usus untuk mewarnai feses. Juga,
perut dapat menjadi bengkak akibat pembesaran hati.
4. Penurunan berat badan, berkembang ketika tingkat ikterus
meningkat degenerasi secara gradual pada liver menyebabkan
jaundice, ikterus, dan hepatomegali, Saluran intestine tidak bisa
menyerap lemak dan lemak yang larut dalam air sehingga
menyebabkan kondisi malnutrisi, defisiensi lemak larut dalam air
serta gagal tumbuh
Pada saat usia bayi mencapai 2-3 bulan, akan timbul gejala berikut:
1. Gangguan pertumbuhan yang mengakibatkan gagal tumbuh dan
malnutrisi.
2. Gatal-gatal : karena asam empedu yang menumpuk dan menyebar
kedalam aliran darah yang menyebabkan kulit merasa gatal
3. Rewel

40
4. Splenomegali menunjukkan sirosis yang progresif dengan
hipertensi portal / Tekanan darah tinggi pada vena porta
(pembuluh darah yang mengangkut darah dari lambung, usus dan
limpa ke hati).
2.3.7. Patofisiologi
Atresia bilier terjadi karena proses inflamasi berkepanjangan
yang menyebabkan kerusakan progresif pada duktus bilier
ekstrahepatik sehingga menyebabkan hambatan aliran empedu, dan
tidak adanya atau kecilnya lumen pada sebagian atau keseluruhan
traktus bilier ekstrahepatik juga menyebabkan obstruksi aliran
empedu.
Obstruksi saluran bilier ekstrahepatik akan menimbulkan
hiperbilirubinemia terkonjugasi yang disertai bilirubinuria. Obstruksi
saluran bilier ekstrahepatik dapat total maupun parsial. Obstruksi
total dapat disertai tinja yang alkoholik. Penyebab tersering obstruksi
bilier ekstrahepatik adalah : sumbatan batu empedu pada ujung
bawah ductus koledokus, karsinoma kaput pancreas, karsinoma
ampula vateri, striktura pasca peradangan atau operasi.
Obstruksi pada saluran empedu ekstrahepatik menyebabkan
obstruksi aliran normal empedu dari hati ke kantong empedu dan
usus. Akhirnya terbentuk sumbatan dan menyebabkan cairan empedu
balik ke hati ini akan menyebabkan peradangan, edema, degenerasi
hati. Dan apabila asam empedu tertumpuk dapat merusak hati.
Bahkan hati menjadi fibrosis dan cirrhosis. Kemudian terjadi
pembesaran hati yang menekan vena portal sehingga mengalami
hipertensi portal yang akan mengakibatkan gagal hati.
Penyebab sebenarnya atresia billier tidak diketahui sekalipun
mekanisme imin atau viral injury bertanggung jawab atas proses
progresif yang menimbulkan obliterasi total saluran empedu.
Berbagai laporan menunjukkan bahwa atresia billier tidak terlihat
pada janin, bayi yang lahir mati (stillbirth) atau bayi baru lahir
( Halamek dan Stevenson, 1997); keadaan ini menunjukkan bahwa

41
atresia billier terjadi pada akhir kehamilan atau dalam periode
perinatal dan bermanifestasi dalam waktu beberapa minggu sesudah
dilahirkan. Inflamasi terjadi secara progresif dengan menimbulkan
obstruksi dan fibrosis pada saluran empedu intrahepatik maupun
ekstrahepatik. Akan terjadi berbagai derajat kolestasis yang
menimbulkan pruritus berat. Pembedahan untuk menghasilkan
drainase getah empedu yang efektif harus dilaksanakan dalam
periode 2 hingga 3 bulan sesudah lahir agar kerusakan hati yang
progresif dapat dikurangi. (Sumber: Wong, Donna L.(et.al). 2008.
Buku Ajar Keperawatan Pediatrik Wong. Jakarta: EGC).
Obstruksi pada saluran empedu ekstrahepatik menyebabkan
obstruksi aliran normal empedu ke luar hati dan ke dalam kantong
empedu dan usus. Akhirnya terbentuk sumbatan dan menyebabkan
empedu balik ke hati. Ini akan menyebabkan peradangan , edema,
dan degenerasi hati. Bahkan hati menjadi fibrosis, sirosis, dan
hipertensi portal sehingga akan mengakibatkan gagal hati.
Jika cairan empedu tersebar ke dalam darah dan kulit, akan
menyebabkan rasa gatal. Bilirubin yang tertahan dalam hati juga
akan dikeluarkan ke dalam aliran darah, yang dapat mewarnai kulit
dan bagian putih mata sehingga berwarna kuning.
Degenerasi secara gradual pada hati menyebabkan joundice,
ikterik dan hepatomegaly. Karena tidak ada aliran empedu dari hati
ke dalam usus, lemak dan vitamin larut lemak tidak dapat diabsorbsi,
kekurangan vitamin larut lemak yaitu vitamin A, D,E,K dan gagal
tumbuh.
Vitamin A, D, E, K larut dalam lemak sehingga memerlukan
lemak agar dapat diserap oleh tubuh. Kelebihan vitamin-vitamin
tersebut akan disimpan dalam hati dan lemak didalam tubuh,
kemudian digunakan saat diperlukan. Tetapi mengkonsumsi
berlebihan vitamin yang larut dalam lemak dapat membuat anda
keracunan sehingga menyebabkan efek samping seperti mual,
muntah, dan masalah hati dan jantung.

42
1. Vitamin A
Vitamin A terdapat dalam makanan berwarna kuning-
oranye, berdaun hijau gelap dan dalam bentuk retinol pada
makanan yang berasal dari hewan. Wortel, mangga, labu, pepaya,
bayam, brokoli, selada air, kuning telur, susu dan hati adalah
makanan yang kaya vitamin A.
Vitamin A berperan dalam pertumbuhan dan pemeliharaan
tulang dan jaringan epitel, meningkatkan kekebalan, dan
memerangi radikal bebas (antioksidan). Kekurangan vitamin A
adalah penyebab utama kebutaan pada anak-anak di banyak
negara berkembang.
2. Vitamin D
Ikan berlemak seperti sarden, mackerel, tuna, telur,
makanan yang diperkaya seperti margarin dan sereal adalah
sumber vitamin D. Vitamin ini sangat penting untuk
pertumbuhan dan pemeliharaan tulang karena mengontrol
penyerapan kalsium dan fosfor yang penting untuk metabolisme
tulang. Kekurangan vitamin D pada anak-anak akan
menyebabkan penyakit rakhitis, dan pada orang dewasa
menyebabkan osteomalasia, kondisi di mana tulang menjadi
lemah dan lunak. Vitamin D dapat diproduksi tubuh saat kulit
menerima ultraviolet dari sinar matahari. Kekurangan vitamin D
dapat terjadi pada mereka yang memiliki diet rendah vitamin D
atau jarang terkena sinar matahari. Dosis besar vitamin dapat
menyebabkan kelebihan kalsium, terutama pada anak-anak, yang
mengganggu pembentukan tulang. Namun, hal tersebut sangat
jarang terjadi. Tidak ada rekomendasi mengenai diet vitamin D
untuk orang dewasa yang hidup normal dan cukup terpapar sinar
matahari.
3. Vitamin E
Vitamin E hadir dalam minyak wijen, kacang kedelai,
beras, jagung dan biji bunga matahari, kuning telur, kacang-

43
kacangan dan sayuran. Vitamin ini adalah antioksidan penting
yang mencegah penuaan dini sel-sel, merangsang sistem
kekebalan tubuh, mengurangi risiko katarak, melindungi dari
penyakit jantung, mencegah penyakit kanker dan menjaga
kesehatan kulit. Kekurangan vitamin E pada manusia jarang
terjadi, kecuali pada bayi prematur dan mereka yang memiliki
masalah pencernaan.
4. Vitamin K
Selada, kubis, kembang kol, bayam, kangkung, susu, dan
sayuran berdaun hijau tua adalah sumber terbaik vitamin ini.
Vitamin K terlibat dalam pembekuan darah dan kekurangannya
dapat menyebabkan perdarahan berlebihan dan kesulitan dalam
penyembuhan. Kekurangan vitamin ini jarang terjadi, kecuali
pada bayi baru lahir dan mereka yang memiliki masalah
penyerapan atau metabolisme vitamin, seperti penderita penyakit
hati kronis.
2.3.8. Pemeriksaan Diagnosis
Belum ada satu pun pemeriksaan penunjang yang dapat
sepenuhnya diandalkan untuk membedakan antara kolestasis
intrahepatik dan ekstrahepatik. Secara garis besar, pemeriksaan dapat
dibagi menjadi 3 kelompok, yaitu pemeriksaan :
1. Pemeriksaan laboratorium
Laboratorium rutin dan khusus untuk menentukan etiologi dan
mengetahui fungsi hati (darah, urin, tinja).
a. Pemeriksaan rutin
Pada setiap kasus kolestasis harus dilakukan
pemeriksaan kadar komponen bilirubin untuk
membedakannya dari hiperbilirubinemia fisiologis. Selain
itu dilakukan pemeriksaan darah tepi lengkap, uji fungsi
hati, dan gamma-GT. Kadar bilirubin direk < 4 mg/dl tidak
sesuai dengan obstruksi total. Peningkatan kadar
SGOT/SGPT > 10 kali dengan pcningkatan gamma-GT < 5
kali, lebih mengarah ke suatu kelainan hepatoseluler.

44
Sebaliknya, peningkatan SGOT < 5kali dengan peningkatan
gamma-GT > 5 kali, lebih mengarah ke kolestasis
ekstrahepatik.
Menurut Fitzgerald, kadar gamma-GT yang rendah
tidak menyingkirkan kemungkinan atresia bilier. Kombinasi
peningkatan gamma-GT, bilirubin serum total atau bilirubin
direk, dan alkalifosfatase mempunyai spesifisitas 92,9%
dalam menentukan atresia bilier.
b. Pemeriksaan urine : pemeriksaan urobilinogen penting
artinya pada pasien yang mengalami ikterus. Tetapi
urobilin dalam urine negatif. Hal ini menunjukkan
adanya bendungan saluran empedu total.
c. Pemeriksaan feces : warna tinja pucat karena yang
memberi warna pada tinja / stercobilin dalam tinja
berkurang karena adanya sumbatan.
d. Fungsi hati : bilirubin, aminotranferase dan faktor
pembekuan : protombin time, partial thromboplastin
time.
b. Pemeriksaan khusus
Pemeriksaan aspirasi duodenum (DAT) merupakan
upaya diagnostik yang cukup sensitif, tetapi penulis lain
menyatakan bahwa pemeriksaan ini tidak lebih baik dari
pemeriksaan visualisasi tinja. Pawlawska menyatakan
bahwa karena kadar bilirubin dalam empedu hanya10%,
sedangkan kadar asam empedu di dalam empedu adalah
60%, maka tidak adanya asam empedu di dalam cairan
duodenum dapat menentukan adanya atresia bilier.
2. Pencitraan
Pencitraan, untuk menentukan patensi saluran empedu dan
menilai parenkim hati

45
a. Pemeriksaan ultrasonografi
Theoni mengemukakan bahwa akurasi diagnostic USG
77% dan dapat ditingkatkan bilapemeriksaan dilakukan
dalam 3 fase, yaitu pada keadaan puasa, saat minum dan
sesudah minum.Bila pada saat atau sesudah minum kandung
empedu berkontraksi, maka atresia bilier kemungkinan besar
(90%) dapat disingkirkan. Dilatasi abnormal duktus bilier,
tidak ditemukannya kandung empedu, dan meningkatnya
ekogenitas hati, sangat mendukung diagnosis atresia bilier.
Namun demikian, adanya kandung empedu tidak
menyingkirkan kemungkinan atresia bilier, yaitu atresia
bilier tipe I / distal.
b. Sintigrafi hati
Pemeriksaan sintigrafi sistem hepatobilier dengan
isotop Technetium 99m mempunyai akurasi diagnostik
sebesar 98,4%. Sebelum pemeriksaan dilakukan, kepada
pasien diberikan fenobarbital 5 mg/kgBB/hari per oral, dibagi
dalam 2 dosis selama 5 hari. Pada kolestasisintrahepatik
pengambilan isotop oleh hepatosit berlangsung lambat tetapi
ekskresinya ke usus normal, sedangkan pada atresia bilier
proses pengambilan isotop normal tetapi ekskresinya keusus
lambat atau tidak terjadi sama sekali. Di lain pihak, pada
kolestasis intrahepatik yang beratjuga tidak akan ditemukan
ekskresi isotop ke duodenum. Untuk meningkatkan
sensitivitas danspesifisitas pemeriksaan sintigrafi, dilakukan
penghitungan indeks hepatik (penyebaran isotop dihati dan
jantung), pada menit ke-10. Indeks hepatik > 5 dapat
menyingkirkan kemungkinanatresia bilier, sedangkan indeks
hepatik < 4,3 merupakan petunjuk kuat adanya atresia
bilier.Teknik sintigrafi dapat digabung dengan pemeriksaan
DAT, dengan akurasi diagnosis sebesar 98,4%. Torrisi
mengemukakan bahwa dalam mendetcksi atresia bilier, yang

46
terbaik adalahmenggabungkan basil pemeriksaan USG dan
sintigrafi.
c. Liver Scan
Scan pada liver dengan menggunakan metode HIDA
(Hepatobiliary Iminodeacetic Acid). Hida melakukan
pemotretan pada jalur dari empedu dalam tubuh, sehingga
dapat menunjukan bilamana ada blokade pada aliran empedu.
d. Pemeriksaan kolangiografi
Pemeriksaan ERCP (Endoscopic Retrograde Cholangio
Pancreaticography). Merupakan upaya diagnostik dini yang
berguna untuk membedakan antara atresia bilier dengan
kolestasis intrahepatik. Bila diagnosis atresia bilier masih
meragukan, dapat dilakukan pemeriksaan kolangiografi
durante operasionam.
Sampai saat ini pemeriksaan kolangiografi dianggap
sebagai baku emas untuk membedakan kolestasis intrahepatik
dengan atresia bilier.
3. Biopsi hati
Biopsi hati, terutama bila pemeriksaan lain belum dapat
menunjang diagnosis atresia bilier.
Gambaran histopatologik hati adalah alat diagnostik yang
paling dapat diandalkan. Ditangan seorang ahli patologi yang
berpengalaman, akurasi diagnostiknya mencapai 95%,sehingga
dapat membantu pengambilan keputusan untuk melakukan
laparatomi eksplorasi, danbahkan berperan untuk penentuan
operasi Kasai. Keberhasilan aliran empedu pasca operasi Kasai di
6 tukan oleh diameter duktus bilier yang paten di daerah hilus
hati. Bila diameter duktus100 200 u atau 150 400 u maka aliran
empedu dapat terjadi. Desmet dan Ohya menganjurkan agar
dilakukan frozen section pada saat laparatomi eksplorasi, untuk
menentukan apakah portoenterostomi dapat dikerjakan.
Gambaran histopatologik hati yang mengarah ke atresia
bilier mengharuskan intervensi bedah secara dini. Yang menjadi

47
pertanyaan adalah waktu yang paling optimal untuk melakukan
biopsi hati. Harus disadari, terjadinya proliferasi duktuler
(gambaran histopatologik yang menyokong diagnosis atresia
bilier tetapi tidak patognomonik) memerlukan waktu. Oleh
karena itu tidak dianjurkan untuk melakukan biopsi pada usia < 6
minggu
2.3.9. Penatalaksanaan
1. Terapi medikamentosa
a. Memperbaiki aliran bahan-bahan yang dihasilkan oleh hati
terutama asam empedu (asamlitokolat), dengan
memberikan:
1) Fenobarbital 5 mg/kgBB/hari dibagi 2 dosis, per oral.
2) Fenobarbital akan merangsang enzim glukuronil
transferase (untuk mengubah bilirubin indirek menjadi
bilirubin direk); enzimsitokrom P-450 (untuk
oksigenisasi toksin), enzim Na+ K+ ATPase
(menginduksi aliran empedu). Kolestiramin 1
gram/kgBB/hari dibagi 6 dosis atau sesuai jadwal
pemberian susu. Kolestiramin memotong siklus
enterohepatik asam empedu sekunder
b. Melindungi hati dari zat toksik, dengan memberikan : Asam
ursodeoksikolat, 310 mg/kgBB/hari, dibagi 3 dosis, per oral.
Asam ursodeoksikolat mempunyai daya ikat kompetitif
terhadap asam litokolat yang hepatotoksik.
2. Terapi nutrisi
Terapi yang bertujuan untuk memungkinkan anak tumbuh
dan berkembang seoptimal mungkin, yaitu :
a. Pemberian makanan yang mengandung medium chain
triglycerides (MCT) untuk mengatasi malabsorpsi lemak
dan mempercepat metabolisme. Disamping itu,
metabolisme yang dipercepat akan secara efisien segera
dikonversi menjadi energy untuk secepatnya dipakai oleh

48
organ dan otot, ketimbang digunakan sebagai lemak dalam
tubuh. Makanan yang mengandung MCT antara lain seperti
lemak mentega, minyak kelapa, dan lainnya.
b. Penatalaksanaan defisiensi vitamin yang larut dalam
lemak. Seperti vitamin A, D, E, K
3. Terapi bedah
a. Kasai Prosedur

Prosedur yang terbaik adalah mengganti saluran


empedu yang mengalirkan empedu keusus. Tetapi prosedur
ini hanya mungkin dilakukan pada 5-10% penderita. Untuk
melompati atresia bilier dan langsung menghubungkan hati
dengan usus halus, dilakukan pembedahan yang disebut
prosedur Kasai. Biasanya pembedahan ini hanya merupakan
pengobatan sementara dan pada akhirnya perlu dilakukan
pencangkokan hati.
b. Pencangkokan atau Transplantasi Hati
Transplantasi hati memiliki tingkat keberhasilan yang
tinggi untuk atresia bilier dan kemampuan hidup setelah
operasi meningkat secara dramatis dalam beberapa tahun
terakhir. Karena hati adalah organ satu-satunya yang bisa
bergenerasi secara alami tanpa perlu obat dan fungsinya
akan kembali normal dalam waktu 2 bulan. Anak-anak
dengan atresia bilier sekarang dapat hidup hingga dewasa,

49
beberapa bahkan telah mempunyai anak. Kemajuan dalam
operasi transplantasi telah juga meningkatkan kemungkinan
untuk dilakukannya transplantasi pada anak-anak dengan
atresia bilier. Di masa lalu, hanya hati dari anak kecil yang
dapat digunakan untuk transplatasi karena ukuran hati harus
cocok. Baru-baru ini, telah dikembangkan untuk
menggunakan bagian dari hati orang dewasa, yang
disebut"reduced size" atau "split liver" transplantasi, untuk
transplantasi pada anak dengan atresia bilier.
Berdasarkan treatment yang diberikan :
1. Palliative treatment
Dilakukan home care untuk meningkatkan drainase empedu
dengan mempertahankan fungsi hati dan mencegah komplikasi
kegagalan hati.
2. Supportive treatment
a. Managing the bleeding dengan pemberian vitamin K yang
berperan dalam pembekuan darah dan apabila kekurangan
vitamin K dapat menyebabkan perdarahan berlebihan dan
kesulitan dalam penyembuhan. Ini bisa ditemukan pada
selada, kubis, kol, bayam, kangkung, susu, dan sayuran
berdaun hijau tua adalah sumber terbaik vitamin ini.
b. Nutrisi support, terapi ini diberikan karena klien dengan
atresia bilier mengalami obstruksi aliran dari hati ke dalam
usus sehingga menyebabkan lemak dan vitamin larut lemak
tidak dapat diabsorbsi. Oleh karena itu diberikan makanan
yang mengandung medium chain triglycerides (MCT) seperti
minyak kelapa.
c. Perlindungan kulit bayi secara teratur akibat dari akumulasi
toksik yang menyebar ke dalam darah dan kulit yang
mengakibatkan gatal (pruiritis) pada kulit.
d. Pemberian health edukasi dan emosional support, keluarga
juga turut membantu dalam memberikan stimulasi
perkembangan dan pertumbuhan klien.
2.3.10. Komplikasi

50
1. Kolangitis:
komunikasi langsung dari saluran empedu intrahepatic ke
usus, dengan aliran empedu yang tidak baik, dapat menyebabkan
ascending cholangitis. Hal ini terjadi terutamadalam minggu-
minggu pertama atau bulan setelah prosedur Kasai sebanyak 30-
60% kasus.Infeksi ini bisa berat dan kadang-kadang fulminan.
Ada tanda-tanda sepsis (demam, hipotermia,status hemodinamik
terganggu), ikterus yang berulang, feses acholic dan mungkin
timbul sakitperut. Diagnosis dapat dipastikan dengan kultur
darah dan / atau biopsi hati.
2. Hipertensi portal:
Portal hipertensi terjadi setidaknya pada dua pertiga dari
anak-anak setelah portoenterostomy. Hal paling umum yang
terjadi adalah varises esofagus.
3. Hepatopulmonary syndrome dan hipertensi pulmonal:
Seperti pada pasien dengan penyebab lain secara spontan
(sirosis atau prehepatic hipertensi portal) atau diperoleh (bedah)
portosystemic shunts, shunts pada arterivenosus pulmo mungkin
terjadi. Biasanya, hal inimenyebabkan hipoksia, sianosis, dan
dyspneu. Diagnosis dapat ditegakan dengan scintigraphyparu.
Selain itu, hipertensi pulmonal dapat terjadi pada anak-anak
dengan sirosis yang menjadi penyebab kelesuan dan bahkan
kematian mendadak. Diagnosis dalam kasus ini dapat ditegakan
oleh echocardiography. Transplantasi liver dapat membalikan
shunts, dan dapat membalikkan hipertensi pulmonal ke tahap
semula.

51
4. Keganasan:
Hepatocarcinomas, hepatoblastomas, dan
cholangiocarcinomas dapat timbul pada pasien dengan atresia
bilier yang telah mengalami sirosis. Skrining untuk keganasan
harus dilakukan secara teratur dalam tindak lanjut pasien dengan
operasi Kasai yang berhasil.
5. Hasil setelah gagal operasi Kasai
Sirosis bilier bersifat progresif jika operasi Kasai gagal untuk
memulihkan aliran empedu,dan pada keadaan ini harus dilakukan
transplantasi hati. Hal ini biasanya dilakukan di tahun kedua
kehidupan, namun dapat dilakukan lebih awal (dari 6 bulan
hidup) untuk mengurangi kerusakan dari hati. Atresia bilier
mewakili lebih dari setengah dari indikasi untuk transplantasi
hati di masa kanak-kanak. Hal ini juga mungkin diperlukan
dalam kasus-kasus dimana pada awalnya sukses setelah operasi
Kasai tetapi timbul ikterus yang rekuren (kegagalan sekunder
operasi Kasai), atau untuk berbagai komplikasi dari sirosis
(hepatopulmonary sindrom).
2.3.11. Prognosis
Keberhasilan portoenterostomi ditentukan oleh usia anak saat
dioperasi, gambaran histologik porta hepatis, kejadian penyulit
kolangitis, dan pengalaman ahli bedahnya sendiri. Bila operasi
dilakukan pada usia < 8 minggu maka angka keberhasilannya
71,86%, sedangkan bila operasi dilakukan pada usia > 8 minggu
maka angka keberhasilannya hanya 34,43%. Sedangkan bila operasi
tidak dilakukan, maka angka keberhasilan hidup 3 tahun hanya 10%
dan meninggal rata-rata pada usia 12 bulan. Anak termuda yang
mengalami operasi Kasai berusia 76 jam. Jadi, faktor-faktor yang
mempengaruhi kegagalan operasi adalah usia saat dilakukan operasi
> 60 hari, adanya gambaran sirosis pada sediaan histologik hati,
tidak adanya duktus bilier ekstrahepatik yang paten, dan bila terjadi
penyulit hipertensi portal. (Dewi, Kristiana.2010.Atresia bilier).

52
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN PADA BY.A DENGAN GANGGUAN SISTEM
DIGESTIV PADA KASUS OBSTRUKSI USUS LETAK RENDAH DAN
HISPRUNG DISEASE

ANALISA KASUS
An. A usia 1 minggu tidak pernah BAB sampai hari ini. Mekonium (-), perut
kembung, An. A juga mual muntah warna kehijauan, An. A sangat rewel, terlihat
kurus dan perut membuncit. Pemeriksaan fisik : turgor kulit sedang terdapat anus,
An.A juga demam, tidak mau menyusu. Ibu mengatakan kebingungan melihat
anaknya yang sakit seperti ini . pada saat pengkajian ibu menangis karena 4 orang
anaknya tidak ada yang seperti ini dan anak yang di rumah tidak ada yang
menjaga. An. A direncanakan akan menjalani pembedahan. Suhu 38C turun naik,
nadi 130x/menit dan RR 30x/menit.
3.1. Pengkajian
1. Data Biografi
Identitas Bayi
Nama : An. A
No.Register : 1175670
Umur : 7 hari
Jenis kelamin : Laki-laki
Alamat : Ds.Gondanglegi RT 42 RW 04 Gondanglegi
Malang
Tanggal lahir : 06 Mei 2014
Diagnosa medis : Obstruksi Usus Letak Rendah + Hisprung Disease
2. Keluhan Utama.
Saat MRS : Bayi tidak dapat buang air besar sejak lahir.
3. Riwayat Penyakit Sekarang
An. A usia 1 minggu tidak pernah BAB sampai hari ini. Mekonium (-),
perut kembung, An. A juga mual muntah warna kehijauan, An. A sangat
rewel, terlihat kurus dan perut membuncit. An.A juga demam, tidak mau

53
menyusu. Ibu mengatakan kebingungan melihat anaknya yang sakit
seperti ini.
4. Riwayat Penyakit Keluarga
Pada saat pengkajian ibu menangis karena 4 orang anaknya tidak ada
yang seperti ini.
5. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik : turgor kulit sedang terdapat anus, An.A juga demam,
tidak mau menyusu. Ibu mengatakan kebingungan melihat anaknya yang
sakit seperti ini . nadi 130x/menit dan RR 30x/menit.
6. Analisa Data
Nama Pasien : An. A
Umur : 7 Hari
No. Registrasi : 1117567
SYMPTOM PROBLEM ETIOLOGY
DS : Gangguan Hisprung
An. A usia 1 minggu tidak eliminasi
pernah BAB sampai hari BAB : Peristaltik usus menurun
ini Konstipasi
DO : Konstipasi
An. A sangat rewel dan
perut kembung, Akumulasi isi feses
mekonium (-)
Dilatasi usus
Feses membusuk

Distensi Abdomen
DS : Resiko defisit Hisprung
An. A tidak mau menyusu volume cairan
DO : Peristaltik usus
An. A mual muntah menurun
warna kehijauan dan
terlihat kurus, suhu 38 C. Konstipasi
Pemeriksaan fisik : turgor
kulit sedang terdapat anus Akumulasi isi feses

Dilatasi usus

Feses membusuk

Mual, muntah

Drainase gaster

54
1. Gangguan eliminasi BAB : konstipasi b/d tidak adanya peristaltik
usus, akumulasi feses ditandai dengan An. A usia 1 minggu tidak
pernah BAB sampai hari ini, An. A sangat rewel dan perut
kembung, mekonium (-).
2. Resiko defisit volume cairan b/d pemasukan yang kurang,
pengeluaran yang berlebihan ditandai dengan An. A tidak mau
menyusu, An. A mual muntah warna kehijauan dan terlihat kurus,
suhu 38 C. Pemeriksaan fisik : turgor kulit sedang terdapat anus

3.2. Diagnosa Keperawatan


1. Gangguan eliminasi BAB : konstipasi b/d tidak adanya peristaltik usus,
akumulasi feses ditandai dengan An. A usia 1 minggu tidak pernah BAB
sampai hari ini, An. A sangat rewel dan perut kembung, mekonium (-).
2. Resiko defisit volume cairan b/d pemasukan yang kurang, pengeluaran
yang berlebihan ditandai dengan An. A tidak mau menyusu, An. A mual
muntah warna kehijauan dan terlihat kurus, suhu 38 C. Pemeriksaan
fisik : turgor kulit sedang terdapat anus

3.3. Intervensi Keperawatan


No. Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi
Dx NOC NIC
I Setelah dilakukan tindakan NIC: Constipation/ Impaction
keperawatan selama 2 x 24 Management
jam, pasien dapat BAB 1. Monitor tanda dan gejala
dengan teratur. konstipasi
Kriteria Hasil : 2. Monior bising usus
1. Mempertahankan 3. Monitor feses: frekuensi,
bentuk feses lunak konsistensi dan volume
setiap 1-3 hari 4. Konsultasi dengan dokter tentang
2. Bebas dari penurunan dan peningkatan bising
ketidaknyamanan dan usus
konstipasi 5. Mitor tanda dan gejala ruptur
3. Mengidentifikasi usus/peritonitis
indicator untuk 6. Jelaskan etiologi dan rasionalisasi

55
mencegah konstipasi tindakan terhadap pasien
7. Identifikasi faktor penyebab dan
kontribusi konstipasi
8. Dukung intake cairan
9. Kolaborasikan pemberian laksatif
II NOC: Fluid management
Setelah dilakukan tindakan 1. Timbang popok/pembalut jika
asuhan keperawatan selama diperlukan
2 x 24 jam, volume cairan 2. Pertahankan catatan intake dan
dan elektrolit dapat output yang akurat
terpenuhi. 3. Monitor status hidrasi
Kriteria Hasil :
(kelembaban membran mukosa,
1. Mempertahankan
nadi adekuat, tekanan darah
urine output sesuai
ortostatik ), jika diperlukan
dengan usia dan BB, BJ
4. Monitor vital sign
urine normal, HT
5. Monitor masukan makanan /
normal
cairan dan hitung intake kalori
2. Tekanan darah, nadi,
harian
suhu tubuh dalam batas
6. Lakukan terapi IV
normal
7. Monitor status nutrisi
3. Tidak ada tanda
8. Berikan cairan
tanda dehidrasi,
9. Berikan cairan IV pada suhu
Elastisitas turgor kulit
ruangan
baik, membran mukosa
10. Dorong masukan oral
lembab, tidak ada rasa
11. Berikan penggantian nesogatrik
haus yang berlebihan
sesuai output
12. Dorong keluarga untuk
membantu pasien makan
13. Tawarkan snack (jus buah, buah
segar)
14. Kolaborasi dokter jika tanda
cairan berlebih muncul meburuk
15. Atur kemungkinan tranfusi
16. Persiapan untuk tranfusi

56
BAB IV
PENUTUP

4.1. Kesimpulan
Penyakit Hirschsprung juga disebut dengan aganglionik megakolon
kongenital adalah salah satu penyebab paling umum dari obstruksi usus
neonatal (bayi berumur (0-28 hari). Penyakit Hirschsprung merupakan
penyakit dari usus besar (kolon) berupa gangguan perkembangan dari sistem
saraf enterik.
Atresia Ani adalah tidak adanya lubang di tempat yang seharusnya
atau buntutnya saluran atau rongga tubuh. Hal ini bisa terjadi karena bawaan
sejak lahir atau terjadi kemudian karena proses penyakit yang mengenai
saluran itu. Atresia ani yaitu yaitu tidak berlubangnya dubur. Atresia ani
memiliki nama lain yaitu Anus imperforata.
Atresia bilier (biliary atresia) adalah suatu penghambatan di dalam
pipa/saluran-saluran yang membawa cairan empedu (bile) dari liver menuju
ke kantung empedu (gallbladder). Ini merupakan kondisi congenital, yang
berarti terjadi saat kelahiran.
Bayi dengan atresia bilier biasanya muncul sehat ketika mereka lahir.
Gejala penyakit ini biasanya muncul dalam dua minggu pertama setelah
hidup. Gejala-gejala seperti Ikterus, Jaundice Urin gelap Tinja berwarna
pucat, Penurunan berat badan dan ini berkembang ketika tingkat ikterus
meningkat.

4.2. Saran
Perlu deteksi dini kasus Hirschprung, Atresia Ani dan Atresia Bilier
dan pemberian penatalaksanaan yang tepat demi tercapainya pertumbuhan
fisik dan perkembangan mental yang optimal bagi penderita penyakit
tersebut.

57
DAFTAR PUSTAKA

Betz, Cecily, dkk. 2002. Buku Saku Keperawatan Pediatrik, Edisi 3. Jakarta :
EGC.

Hidayat, Alimul Aziz. 2006. Pengantar Ilmu Keperawatan Anak, buku 2. Jakarta :
Salemba Medika

Ngastiyah. 2005. Perawatan Anak Sakit, Edisi 2. Jakarta : EGC

Sacharin, Rosa M. 1993. Prinsip Keperawatan Pediatrik, Edisi 2. Jakarta : EGC

Suriadi, dkk. 2001. Asuhan Keperawatan Pada Anak, Edisi 7. Jakarta : PT. Fajar
Interpratama

Wong, Donna L. 2003. Pedoman Klinis Keperawatan Pediatrik, Edisi 4. Jakarta :


EGC

Sjamsuhidajat dan Win De Jong. (1998). Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta: EGC.

Staff Pengajar Ilmu Kesehatan Anak FKUI. (2000). Ilmu Kesehatan Anak Ed. 1.
Jakarta: Bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUI

Oldham, Keith T.et all (eds); Biliary Atresia at Principles and Practice of Pediatric
Surgery, 4th Edition.

Carpenito, Lynda Juall. 2003. Buku Saku Diagnosis Keperawatan. Jakarta : EGC.

Widodo Judarwanto. 2010. Atresia Bilier, Waspadai Bila Kuning Bayi Baru Lahir
yang berkepanjangan. From : url
:http://koranindonesiasehat.wordpress.com/

58

Anda mungkin juga menyukai